• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebebasan Berkontrak dan Batas Otonomi Para Pihak dalam Perjanjian Arbitrase ICSID untuk Menyepakati Keterbukaan Putusan

Skema 3 : Hasil Penyelesaian Sengketa

J. Kebebasan Berkontrak dan Batas Otonomi Para Pihak dalam Perjanjian Arbitrase ICSID untuk Menyepakati Keterbukaan Putusan

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase mengandung beberapa prinsip yang dianggap sebagai keunggulan dari arbitrase, salah satunya adalah prinsip otonomi para pihak (partij autonomie). Stefano Azzali195mengatakan bahwa ”arbitration is an expression of parties‟ autonomy that has to be expressed in a contract : the arbitration agreement” (arbitrase merupakan ekspresi otonomi para pihak yang harus dinyatakan dalam kontrak : perjanjian arbitrase). Pada saat mengadakan perjanjian dagang termasuk investasi, para pihak memiliki kebebasan berkontrak dan otonomi yang luas dalam menentukan isi perjanjian, bentuk, tempat maupun aturan prosedur arbitrase196 termasuk ketentuan khusus mengenai kerahasiaan atau terbukanya putusan arbitrase. Schmitthoff 197 menanggapi asas kebebasan berkontrak bahwa :

The autonomy of the parties will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has, ..., no objection that in that are an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy.

(Terjemahan : otonomi para pihak dalam hukum kontrak adalah dasar di mana hukum otonom hukum perdagangan internasional dapat dibangun. Kedaulatan nasional memiliki, ... , tidak ada keberatan bahwa yang merupakan otonom hukum perdagangan internasional dikembangkan oleh para pihak, selalu

195Stefano Azzali, “Balancing Confidentiality and Transparency,” dalam Alberto Malatesta & Rinaldo Sali, The Rise of Transparency in International Arbitration, The Case for The Anonymous Publication of Arbitral Awards, (USA : JurisNet,LLC, 2013), hlm. xix.

196 Basuki Rekso Wibowo, “Prinsip-Prinsip Dasar Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian

Sengketa Dagang Di Indonesia,” Jurnal Hukum Yuridika, vol. 16 No. 6, Universitas Airlangga, Nopember-Desember 2001, hlm. 552, 559.

197

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan ke-4, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 15, dikutip dari Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in A Changing Economic Climate, (London : Sweet and Maxwell, 1981), hlm. 22.

menunjukkan bahwa keterbatasan hukum dalam setiap yurisdiksi nasional ditetapkan oleh kebijakan publik).

Melalui kontrak atau perjanjian maka tercipta penyelesaian sengketa melalui arbitrase, baik sebelum maupun sesudah timbulnya sengketa. Bayu Seto198 mengatakan bahwa :

Hukum kontrak (hukum perjanjian) hingga saat ini masih menjadi salah satu pilar utama di bidang hukum tempat bertumpunya solusi terhadap persoalan-persoalan hukum dalam kegiatan perekonomian dan perdagangan serta akan terus berfungsi sebagai bidang hukum utama yang harus mampu menjawab kebutuhan akan keadilan (justice) dan kepastian hukum (legal certainty) bagi masyarakat pelaku perdagangan dan bisnis. Hal mana tercermin dari salah satu asas hukum perjanjian yaitu kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak (freedom of contract) ditegakkan di atas asas Pacta Sunt Servanda dengan syarat : 199 (a) dilakukan atas kehendak bebas (free will), tidak ada paksaan, kekerasan dan ancaman, tidak mengandung kebohongan dan penipuan, (b) setiap persetujuan mengikat kepada para pihak, kekuatan mengikatnya seperti undang-undang dan tidak bisa dipecah secara unilateral, tapi mesti dipecah atas kesepakatan bilateral, (c) harus dipenuhi dengan itikad baik. Sarjana Common Law

198Bayu Seto, “Lex Mercatoria Baru dan Arah Pengembangan Hukum Kontrak Indonesia Di

Dalam Era Perdagangan Bebas Tinjauan Singkat Tentang Kedudukan Hukum Perjanjian Nasional dan

Prospek Pengembangannya Dalam Konteks Harmonisasi Hukum Kontrak Di Kawasan ASEAN,”

dalam Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Editor Ida Susanti dan Bayu Seto, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 72.

199 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan … , op.cit., hlm. 416. Kemudian itikad baik dalam

hukum perjanjian didefinisikan oleh P.L.Wry sebagai “kedua belah pihak harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti patut saja antara orang-orang sopan, tanpa tipu daya, tanpa muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain,” lihat dalam P.L. Wry, Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik Di Nederland, (Jakarta : Percetakan Negara, 1990), hlm. 9.

mengartikan prinsip pacta sunt servanda sebagai kesakralan suatu perjanjian (sanctity of the contract).200

Klausula arbitrase umumnya dibuat secara tertulis, hal mana berguna dalam pengakuan dan penegakan putusan arbitrase sesuai dengan Pasal II Konvensi New York. Demikian juga dalam Konvensi Washington (ICSID) yang juga mensyaratkan klausula dibuat dalam bentuk tertulis,201 dalam arti bahwa perjanjian antara pihak investor dengan host state dibuat secara tertulis dengan menyertakan klausula arbitrase dan arbitrase pilihannya yaitu ICSID untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di kemudian hari atas perjanjian pokok yang disepakati.

Perjanjian memiliki pengertian yang sama dengan persetujuan atau kontrak. Menurut R. Subekti202perjanjian adalah suatu peristiwa di mana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut M. Yahya Harahap203 suatu perjanjian adalah suatu hubungan kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.

Sesuai Pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian sah jika terpenuhi syarat, yaitu kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kesepakatan para pihak yang

200

Nigel Blackaby, et.al., Redfern and Hunter on International Arbitration, (New York : Oxford U.P., 2009), hlm. 216., lihat juga dalam Huala Adolf, Dasar-Dasar, …, op.cit., hlm. 24.

201

Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) Konvensi ICSID.

202 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : PT. Alumni, 1984), hlm. 1. 203

mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian yang disebut juga

konsensualisme yang menentukan “ada” nya (raison d‟etre, het bestaanwaarde) perjanjian.204 Grotius mencari dasar consensus dalam hukum kodrat dengan

mengatakan bahwa “pacta sunt servanda” (janji itu mengikat) dan “promis orum implendorum obligation” (setiap orang harus memenuhi janjinya). Prinsip “pacta sunt servanda” membentuk perjanjian antara negara dan investor asing di mana terdapat suatu kewajiban untuk menghormati dan menjalankan isi perjanjian, bahkan dikatakan Joy Cherian205 bahwa “no economic relations between states and foreign corporations can exist without the principle pacta sunt servanda” (tidak ada hubungan ekonomi yang dapat terjalin antara negara dan perusahaan asing tanpa prinsip “pacta sunt servanda”). Selanjutnya bahwa asas konsensualisme memiliki hubungan yang sangat erat dengan asas kebebasan berkontrak206 yang berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian diadakan.207 Mariam Darus208 juga mengatakan bahwa kebebasan berkontrak adalah salah satu asas dari hukum kontrak dan tidak berdiri sendiri, maknanya hanya dapat ditentukan setelah dipahami posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan asas-asas

204

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (standard), Perkembangannya Di Indonesia, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU 1979-2001, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 24.

205

Joy Cherian, op.cit., hlm. 31.

206 Kebebasan berkontrak menurut Maine adalah “an essential legal aspect of individual freedom; but in this matter the need to balance one citizen‟s freedom with that of his fellow citizens became particularly urgent as industrial development led to a glaring discrepancy between formal freedom and actual lack of freedom on the part of “the greatest number”. Lihat dalam W. Friedmann, Legal Theory, op.cit., hlm. 368.

207 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku …, op.cit., hlm. 25-26. 208

hukum kontrak yang lain, yang secara menyeluruh asas-asas ini merupakan pilar, tiang, fondasi dari hukum kontrak.

Arbitrase dipilih karena diperjanjikan. Anzilotti menyatakan bahwa perjanjian internasional mengikat berdasarkan prinsip ”pacta sunt servanda.”209

Hukum perjanjian memusatkan perhatiannya pada kewajiban untuk melaksanakan

kewajibannya sendiri (”self imposed obligation”).210

Kebebasan para pihak untuk

mengadakan pilihan (”freedom of choice”) dalam perjanjian dagang merupakan

implementasi asas kebebasan berkontrak (”freedom of contract”). Kesepakatan untuk memilih suatu putusan dirahasiakan atau dipublikasi dapat juga dilakukan melalui perjanjian. Mengingat hukum perjanjian pada umumnya tergolong sebagai hukum yang bersifat mengatur (regelend recht) sehingga dalam keadaan konkrit terbuka untuk disimpangi atas persetujuan bersama para pihak.211

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melanda dunia, arus globalisasi telah menembus berbagai ruang dan dimensi. Hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya semakin kompleks dan beragam. Dunia perdagangan, bisnis dan investasi juga melaju dengan pesat, baik yang berskala nasional, bilateral, maupun internasional yang mana kesepakatan di antara para pihak dituangkan dalam bentuk kontrak yang dibuat dan mulai mengenal klausula arbitrase.

209

F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Cetakan Kedua, (Yogyakarta : Penerbitan Universitas Atma Jaya, 1998), hlm. 65.

210

Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, (Bandung : Refika Aditama, 2000), hlm. 62-63.

211

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa kelanjutan arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (pactum de compromittendo) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (acta van compromise).212 Hal senada juga diungkapkan oleh Catherine Tay Swee Kian213 :

An arbitration agreement is an agreement between two or more persons that their dispute shall be decided in a legally binding way by one or more impartial persons..., defines an arbitration agreement as a written agreement to submit present or future differences to arbitration, wheter an arbiter is named therein or not.

(Terjemahan : Suatu perjanjian arbitrase adalah perjanjian antara dua orang atau lebih yang perselisihannya harus diputuskan dengan cara mengikat secara hukum oleh satu orang atau lebih yang tidak memihak, mendefinisikan perjanjian arbitrase sebagai perjanjian tertulis untuk menyelesaikan sengketa saat ini atau nanti, di mana seorang arbiter disebut di dalamnya atau tidak).

Menurut hukum universal bahwa segala yang diperjanjikan dan diterima oleh para pihak mengikat menjadi hukum di antara keduanya dan mengakibatkan konsekuensi yang sama bagi para pihak yang terlibat. Habermas214 mengatakan

bahwa hukum bersifat instersubjektif ”multilateral” dalam arti bahwa hukum tidak

berlaku satu pihak saja, tetapi pada hakikatnya, hukum harus berlaku sama bagi semua pihak yang terlibat, ”A rule has to possess validity intersubjectively for at least two subjects if one subject is to be able to follow the rule, that is, the same rule.

212 Priyatna Abdurrasyid, op.cit., hlm. 82. 213

Basuki Rekso Wibowo, op.cit., hlm. 563. Dikutip dari Chaterine Tay Swee Kian, Resolving Disputes by Arbitration : What You Need to Know, (Singapore : Singapore University Press, 1998), hlm. 37.

214 Juergen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 2 (Boston : Beacon Press, 1987), hlm. 18.

Menurut Sir Henry Maine215 dalam teorinya yang terkenal perihal perkembangan hukum dari status ke kontrak sejalan dengan perkembangan masyarakat yang sederhana ke masyarakat yang modern dan kompleks, hubungan hukum yang didasarkan pada status warga-warga masyarakat yang masih sederhana berangsur-angsur akan hilang apabila masyarakat tadi berkembang menjadi masyarakat yang modern dan kompleks, hubungan-hubungan hukum didasarkan pada sistem-sistem hak dan kewajiban yang didasarkan pada kontrak yang secara sukarela dibuat dan dilakukan oleh para pihak. Oleh karenanya, dalam dunia hukum (khususnya hukum bisnis), hampir dapat dipastikan bahwa abad mendatang akan merupakan abad kontrak. Hukum kontrak sangat penting untuk menunjang kegiatan yang berkaitan dengan perdagangan, bisnis dan penanaman modal. Oleh karenanya bentuk kontrak semakin lama semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan transaksi.

Melalui asas kebebasan berkontrak maka berkembanglah jenis perjanjian lain, khususnya dalam praktek hukum di Indonesia yang mengenal jenis perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang mengundang masuknya investor asing ke Indonesia dan memperkenalkan jenis perjanjian patungan (joint venture

215 “Asas Kebebasan Berkontrak dan Batasannya dalam Hukum Perjanjian di Indonesia,”

agreement), perjanjian waralaba (franchising agreement), perjanjian lisensi (license agreement) dan sebagainya.216

Salah satu asas yang menonjol dalam penyusunan kontrak adalah asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid), yang merupakan asas universal dan dianut oleh hukum perjanjian di hampir seluruh negara di dunia pada saat ini. Asas ini dituangkan dengan berbagai istilah, antara lain “Freedom of Contract, Liberty of Contract,” atau “Party Autonomy,” dan di negara Common Law dikenal dengan istilah “laissez faire.” Berdasarkan tersebut suatu pihak dapat memperjanjikan dan/atau tidak memperjanjikan apa-apa yang dikehendakinya dengan pihak lain.

Dalam hukum, masyarakat diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang berisikan apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, sedangkan pasal-pasal sebuah perundang-undangan yang tidak diperlukan dalam sebuah perjanjian dapat disimpangi keberadaannya. Para pihak boleh mengadakan perjanjian yang tidak diatur oleh undang-undang atau bahkan para pihak dapat meniadakannya sama sekali,217 misalnya dalam peraturan arbitrase diatur mengenai kerahasiaan, namun para pihak menyepakati terbukanya proses dan putusan arbitrase. Hal inilah disebut sebagai asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle).

Asas kebebasan berkontrak adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia, namun meski para pihak memiliki kebebasan (kebebasan

216

Syahmin AK., Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 96.

217

berkontrak), keseimbangan para pihak dalam berkontrak masih merupakan konsep dasar yang tidak dapat ditawar. Konsep keseimbangan seperti konsep “yin” dan “yang” dalam filosofi China218 misalnya dapat menjadi contoh untuk menjaga keseimbangan yang mewujudkan tujuan win-win solution.

Kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh adanya faham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, dilanjutkan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman Renaisance melalui ajaran-ajaran antara lain dari Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rosseau. Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah periode Revolusi Perancis.219

Faham individualisme melahirkan kebebasan pada setiap orang untuk memperoleh apa yang dikehendaki dan dalam perjanjian diwujudkan dalam kebebasan berkontrak. Menurut paham ini setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Sebagai azas yang bersifat universal yang bersumber dari paham hukum, azas kebebasan berkontrak (freedom of contract) muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan persaingan bebas (laissez faire).220 Asas ini juga dikenal dalam sistem hukum Inggris, Anson221 berpendapat bahwa “a promise more than a mere statement of intention for it imports

218

Lihat Fritjof Capra, The Turning Point, Science, Society, and The Rising Culture, (New York : Simon and Schuster, 1982), hlm. 35. Bandingkan dengan Werner Menski, op.cit., hlm. 663-706

yang membahas tradisi Cina mengenai konsep “li” dan “fa”

219 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 110.

220Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 75.

221Anson‟s Law of Contract, Edited by A.G. Guest, (Oxford : Oxford University Press, 1973),

a willingness on the part of the promiser to be bound to the person to whom it is made” (janji lebih dari sekadar pernyataan niat untuk memasukkaan kemauan dari pihak yang menjanjikan untuk terikat kepada siapa janji itu dibuat). Sah dan mengikatnya perjanjian disebabkan karena di dalam asas ini terkandung “kehendak para pihak”222

untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan di antara para pihak untuk memenuhi perjanjian.

Di Indonesia, meskipun diatur mengenai kebebasan berkontrak namun hukum kontrak di Indonesia belum sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip hukum umum atau standar kontrak dalam UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private Law) dan UNCITRAL (United Nations Conference on International Trade Law) yang dianut oleh berbagai negara di belahan dunia sehingga perlu dibentuk hukum kontrak Indonesia yang sejalan dengan UNIDROIT dan UNCITRAL sebagaimana dikatakan oleh Ferronica Taylor223 bahwa :

The legal rules that govern contracts in Indonesia are found primarily Dutch-style Civil Code and partially revised Commercial Code, although many of the Code provisions are now regarded as obsolete or inappropriate for current commercial transactions. Commercial parties routinely seek to contract out or exclude the operation of archaic parts of the Code from there own contracts. The fact that there is no authorised or standardized translation of the Civil Code into English also symbolizes its lack of pungency.

(Terjemahan : aturan hukum yang mengatur kontrak di Indonesia ditemukan lebih banyak bergaya Code Civil Belanda dan sebagian direvisi oleh Commercial Code, meskipun banyak dari ketentuan Code sekarang dianggap usang atau tidak pantas untuk transaksi komersial saat ini. Pihak komersial secara rutin berusaha

222

Kehendak para pihak artinya kehendak itu harus tercermin dalam wujud kontrak yang seimbang. Lihat dalam John D. Calamari & Joseph M. Perillo, The Law of Contracts, (St. Paul Minn : West Publishing Co., 1987), hlm. 1-3.

223 Ferronica Taylor, “The Transformation of Indonesian Commercial Contracts and Legal

untuk keluar dari kontrak atau mengecualikan bagian kuno Code dari kontrak itu sendiri. Fakta bahwa tidak ada terjemahan resmi atau standar dari Code Civil ke dalam bahasa Inggris juga mencerminkan kurangnya kekuatannya).

Kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai kehendak atau kepentingannya. Kebebasan yang dimaksud meliputi :224

1. Kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian.

2. Kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa akan membuat perjanjian. 3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.

4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian.

5. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.

Prinsip-prinsip UNIDROIT (Principles of International Commercial Contract) tahun 1994 juga mengatur mengenai prinsip kebebasan berkontrak, sebagaimana dalam Pasal 1.1 yang menyatakan bahwa “the parties are free to enter into a contract and determine its content,” di mana didasari atas pemikiran bahwa225 jika kebebasan berkontrak tidak diatur maka dapat terjadi distorsi, sebaliknya apabila pengaturannya terlalu ketat, akan menghilangkan makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri, sehingga kita tidak dapat menilai kebebasan berkontrak itu secara gramatikal, kebebasan harus ditujukan kepada keadilan yang tentunya tidak

disimpulkan sebagai keadilan dalam konteks “sama rata, sama rasa” atau “ius

224

Syahmin AK, op.cit., hlm. 154.

225Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsisp UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 37

komutativa,”226

melainkan pembagian yang memberi nilai tambah dan manfaat sehingga tercipta keadilan yang proporsional yang disepakati para pihak dan merupakan kebebasan berkontrak yang adil atau “ius distributive.227

Menurut Subekti,228 sejak lahirnya undang-undang tentang perjanjian kerja/perburuhan tahun 1926, asas kebebasan berkontrak itu sudah banyak dibatasi. Pembatasan tersebut semakin meningkat sejak Perang Dunia II (sewa-menyewa perumahan, pengangkutan, dan lain-lain), sedangkan di mana-mana dapat dilihat semakin banyaknya campur tangan pemerintah dalam masalah-masalah yang dahulu diserahkan kepada kebebasan para pihak dalam perjanjian. Campur tangan negara dalam mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat tersebut akibat dari berkembangnya paham negara kesejahteraan (welfare state), sehingga dengan keikutsertaan negara maka dilakukan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak dan individu tidak lagi bebas sebebas-bebasnya mewujudkan kebebasan berkontrak tersebut dalam suatu perjanjian.

Perjanjian penanaman modal antara investor dengan host state juga menggunakan asas kebebasan berkontrak, namun penerapan asas kebebasan berkontrak ini juga adalah tidak bebas sebebas-bebasnya karena terdapat batas-batas

226

Beberapa pendapat pemikir seperti Aristoteles, Thomas Aquinas, Samuel Pufendorf dan Gottfried Wilhelm Leibniz, lihat dalam buku Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problematik Filsafat Hukum, (Jakarta : Grasindo, 1999), hlm. 138-140.

227 Pemikiran Aristoteles tentang keadilan komutatif dan keadilan distributif ini di ikuti juga oleh Hobbes dan Leviathan, lihat dalam Friedrich Kessler & Grant Gilmore, Contracts (Case and Materials), (Boston & Toronto : Little Brown and Company, 1970), hlm. 440. Lihat juga Hans Kelsen, What is Justice ?, (Berkeley-Los Angeles-London : University California Press, 1971), hlm. 110-136.

228 R. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung : PT. Alumni, 1986), hlm. 8-9.

kebebasan berkontrak para pihak yang membatasi ruang lingkup kebebasan berkontrak yang dimaksud. Prinsip ini harus diatur karena dapat membahayakan pihak yang lemah dan karena bersifat fleksibel maka dapat digunakan untuk menekan pihak yang lemah.

Kebebasan berkontrak diatur di seluruh dunia termasuk Indonesia yang mana menurut hukum perjanjian di Indonesia, kontrak akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya,229 pada pembuatan kontrak terdapat unsur proses seperti pada pembuatan undang-undang. Van Apeldoorn230 menyatakan bahwa perjanjian atau kontrak dikelompokkan ke dalam faktor yang membantu pembentukan hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa hal tertentu pembentukan hukum atau undang-undang dapat dianalogikan dengan perjanjian atau kontrak karena kedua-duanya memiliki sifat yang sama, yaitu mengikat. Bedanya, jika dalam perjanjian yang terikat adalah para pihak yang membuatnya, maka dalam undang-undang yang terikat adalah seluruh warga negara.

Aturan para pihak dalam arbitrase berbanding terbalik dengan proses di pengadilan, hal tersebut karena dalam arbitrase unsur ”keinginan atau kesepakatan para pihak menjadi dasar bagi arbitrase, dan hukum sebagai media umum bekerjanya apa yang diinginkan itu, sebagaimana dikatakan oleh Jan Schults231 bahwa ”the law are contained the State‟s permission to arbitrate, very general boundaries for the