• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID

H. Prinsip Keterbukaan

I. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Arbitrase merupakan sistem alternatif penyelesaian sengketa yang memiliki sifat paling formal. Dalam proses arbitrase, para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada pihak ketiga yang netral dan berwenang untuk memberikan putusan yang mengikat para pihak.147 Smith148 berpendapat bahwa ”in arbitration the parties select a neutral person or persons (arbiters) who mader a binding decision” (dalam arbitrase para pihak memilih orang netral atau orang (arbiter) yang membuat keputusan yang mengikat).

146 J.L. Simpson dan Hazel Fox, International Arbitration Law and Practice, (New York : Frederic A Praeger Publisher, 1959), hlm. 293-294.

147

Sujud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 110.

148 Len Young Smith, Richard A mann, Barry S. Roberts, Business Law and The Regulation of Business, second edition, (St. Paul New York : West Publishing Company, 1987), hlm. 43.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, menurut Hans Van Houtte149 adalah :

dispute in international trade are not always resolved by court, contracting parties often agree that possible disputes concerning the contract will be settled through arbitration” (sengketa dalam perdagangan internasional yang tidak selalu diselesaikan melalui pengadilan, para pihak dalam perjanjian sering menyepakati bahwa perselisihan yang mungkin terjadi berkaitan dengan kontrak akan diselesaikan melalui arbitrase).

Menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae : Belanda –Indonesia150 bahwa “arbitrage” adalah penyelesaian suatu perselisihan oleh seorang atau lebih juru pisah yang harus memutus menurut hukum yang berlaku atau berdasar keadilan. Menurut Black‟s Law Dictionary151

arbitrase sebagai “a method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding” (arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa yang melibatkan satu atau pihak ketiga yang lebih netral yang biasanya disetujui oleh para pihak yang bersengketa dan keputusannya mengikat). Menurut Charlton152arbitration is a process in which the parties to a dispute arguments and evidence to a neutral third party (the arbiter) who makes a determination” (arbitrase adalah proses di mana pihak untuk mengajukan sengketa

149

Hans Van Houtte, The Law of International Trade, (London : Sweet & Maxwell Limited, 1995), hlm. 383.

150 N.E. Algra, et.al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae : Belanda – Indonesia, ( Jakarta : Binacipta, 1983), hlm. 33-34.

151

Bryan A. Garner, et.al.eds., Black‟s Law Dictionary, 9th ed., (Paul Minn : West Group-St.,

1999), s.v. “arbitration”., hlm. 100.

152 Ruth Charlton, Dispute Resolution GideBook, (Sydney : LBC Information Services, 2000), hlm. 9.

dan bukti kepada pihak ketiga yang netral (arbiter) yang membuat suatu keputusan). Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase bahwa “arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Priyatna Abdurrasyid153 menyatakan bahwa arbitrase merupakan suatu tindakan hukum di mana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan mengikat. Angualia Daniel154 mengatakan dalam artikelnya bahwa :

Arbitration may also be defined as the process by which a dispute or difference between two or more parties as to their mutual legal rights and liabilities is referred to and determined judicially and with binding effect by the application of law by one or more persons (the arbitral tribunal) instead of by a court of law ... Arbitration is only an alternative to litigation and it does not replace the judicial machinery in all aspects, rather it co-exists with it.

(Terjemahan : arbitrase juga dapat didefinisikan sebagai proses di mana perselisihan atau perbedaan antara dua pihak atau lebih dalam hak hukum para pihak secara timbal balik dan kewajibannya menunjukkan dan diartikan secara hukum serta dengan efek mengikat penerapan hukumnya oleh satu orang atau lebih (majelis arbitrase) melalui hukum pengadilan ... Arbitrase hanya alternatif untuk litigasi dan tidak mengganti mekanisme peradilan disemua aspek, melainkan digunakan semacam itu).

153

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, 2002), hlm. 76.

154Angualia Daniel, “The Role of Domestic Courts In International Commercial Arbitration,”

2010, hlm. 4-5, sebagaimana dikutip dari Halsbury‟s Laws of England, 4th edition, (Butterworths, 1991), para 601, 332, diunduh dari http://www.ssrn.com/abstract=1674760.

Frank Elkouri dan Edna Elkouri155 menyatakan bahwa arbitrase adalah “a simple proceeding voluntarily chosen by parties who want a dispute determined by an impartial judge of their own mutual selection, whose decision, based on the merits of the case, they agree in advance to accept as final and binding” (merupakan proses sederhana secara sukarela yang dipilih oleh para pihak yang menginginkan sengketanya diputuskan oleh seorang hakim netral yang dipilih para pihak sendiri secara bersama, yang keputusannya, berdasarkan pada manfaat dari sengketa, para pihak menyetujuinya untuk menerima sebagai putusan yang final dan mengikat).

Arbitrase menurut Subekti156 adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang bertujuan bahwa para pihak akan tunduk kepada atau mentaati keputusan yang telah diberikan oleh hakim atau para hakim yang dipilih atau ditunjuk para pihak tersebut. Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo157 arbitrase atau perwasitan adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan suatu persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan diserahkan kepada seorang wasit atau lebih.

Bentuk arbitrase, ada dua,158 yaitu arbitrase terlembaga atau permanen (institutional arbitration)159 dan arbitrase ad hoc,160 di mana ICSID termasuk dalam

155

Elkouri & Elkouri, How Arbitration Works, (Washington DC : BNA Books, 1997), hlm. 2. 156

Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Jakarta : Bina Cipta, 1981), hlm. 1. 157

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yoyakarta : Liberty, 1979), hlm. 190.

158 “There are two main forms of arbitration available to the participants of international commerce : Institutional arbitration and ad hoc arbitration.” Lihat dalam Julian D.M. Lew, Applicable Law in International Commercial Arbitration, (Oceana Publication Inc., 1978), hlm. 19.

159 “An institutional arbitration is one which is administered by one of the many specialist arbitral institutions : amongst the better known are the American Arbitration Association (AAA), the

arbitrase institutional. Sengketa internasional menimbulkan masalah khusus karena terdapat lebih dari satu sistem hukum nasional.161 Arbitrase ICSID tergolong dalam arbitrase internasional162 yang ditentukan oleh para pihak dalam kontrak, dilakukan dengan cara yang ditentukan para pihak atau institutional atau gabungan keduanya atau mengikuti prosedur administrasi suatu institusi arbitrase.163 ICSID digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara investor dari negara yang berbeda dengan negara tempat investasi dilakukan. Oleh karena pihak yang terlibat mengandung unsur negara, maka sedapat mungkin arbitrase dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan dalam Konvensi ICSID.

International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), the London Court of International Arbitration (LCIA), the International Chamber of Commerce (ICC).” Lihat dalam Alan Redfern and Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration, (London : Sweet & Maxwell, 1991), hlm. 13. Badan arbitrase ini lebih banyak menjadi alternatif yang disukai khususnya oleh investor asing. Sifatnya yang permanen, hukum acaranya jelas serta kedudukan dan kewenangannya yang jelas (akan) bermanfaat bagi para pihak dalam membantu menyelesaikan sengketanya, dalam Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal, (Bandung : CV. Keni Media, 2011), hlm. 14.

160“An ad hoc arbitration is conducted under rules of procedure which are adopted for the purpose of the arbitration, normally after a dispute has arisen. These rules of procedure may be those drawn up by one of the non-commercial international organizations.” (the best known example is the UNCITRAL Arbitration Rules). Lihat dalam Alan Redfern and Martin Hunter, Law and …, ibid. Arbitrase Ad hoc tidak bersifat permanen atau bersifat temporer karena dibentuk apabila sengketanya lahir sehingga lembaga internasional dan nasional tidak begitu mendukung adanya badan arbitrase yang sifatnya ad hoc, dalam Huala Adolf, ibid.

161

Stephen B. Golberg, Frank E.A. Sander, Nancy H. Rogers, Alternative Dispute : Negotiation, Mediation and Other Process, second edition, (London : Little Brown and Company), hlm. 359.

162“Arbitration is international if : (a) the parties to an arbitration agreement have, at the time of the conclusion of that agreement, their places of business in different States; or (b) one of the following places is situated outside the State in which the parties have their places of business (i) the place of arbitration if determined in, or pursuant to, the arbitration agreement ; (ii) any place where a substantial part of the obligations of the commercial relationship is to be performed or the place with ehich the subject-matter of the dispute is most closely connected; or (c) the parties have expressly agreed that the subject matter of the arbitration agreement relates to more than one country.” Dalam

Pasal 1 ayat 3 UNCITRAL Model Law 1985. 163

Berdasarkan sejarah, arbitrase berusia lebih tua dari pengadilan negara karena arbitrase telah ada dalam hukum-hukum kuno, antara lain hukum Yunani dan hukum Romawi. Dalam hukum Romawi suatu sengketa perjanjian dapat diselesaikan melalui seorang arbiter yang disebut compromissum. Referensi yang berkaitan dengan aturan arbitrase ditemukan dalam Digesta 4 ayat (8) dan 5, Codex Iustianianus 2 ayat (55) serta ketentuan arbitrase diatur pula dalam Kitab II Novellae 82 ayat (11).164 Arbitrase juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Byzantinium lama, Hukum Islam dalam Qur‟an Surah ke-5 Al Maidah ayat 48.165 Eksistensi arbitrase telah diakui sejak dahulu, bahkan keberadaannya sudah ada jauh sebelum lahirnya pengadilan nasional,166 Lord Savlille of Nowdigatte167 mengatakan ”arbitration is one means for resolving disputes, perhaps the oldes form of acceptable alternative dispute resolution, i.e., an alternative to the state court system.”

Berkaitan dengan hal tersebut Susan Choi168 mengungkapkan alasan mengapa arbitrase menjadi pilihan para pihak dalam menyelesaikan sengketanya yaitu bahwa :

Arbitration has become a popular method for the resolution of disputes arising from international commercial transactions. In the international context,

164Jerzy Jakubowski, “Reflections On The Philosophy of International Commercial Arbitration

And Conciliation,” dalam Jan C. Schultsz, The Art Of Arbitration, (Deventer/Netherlands : Kluwer Law and Taxation, 1982), hlm. 175.

165 Al Qur‟an Surah ke-5 Al-Maidah ayat 48 yang artinya “… maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu, …”

166

Jerzy Jakubowski, op.cit. 167

Lord Saville of Nowsdigatte, “Introduction,” dalam Ronald Bernstein (eds), Handbook of Arbitration Practice, (London : Sweet and Maxwell, 3rd.ed., 1998), hlm. 4., sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase, (Bandung : CV. Keni Media, 2013), hlm. 49.

168Susan Choi, “Judicial Enforcement of Arbitration Awards Under The ICSID and New York Conventions,” New York University Journal of International Law and Politics, 28 N.Y.U. J. Int'l L. & Pol. 175, Fall 1995 Winter 1996, hlm. 175

arbitration can provide an alternative to litigation in courts that may be unfamiliar to one party. Parties have the freedom to choose the procedural and substantive law that will govern the dispute and can select arbiters based on their expertise in a certain area. Other potential advantages include efficiency, simplicity and, manageable costs.

(Terjemahan : arbitrase telah menjadi suatu metode yang populer untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari transaksi komersial internasional. Dalam konteks internasional, arbitrase dapat memberikan alternatif untuk litigasi di pengadilan yang mungkin asing bagi salah satu pihak. Para pihak memiliki kebebasan untuk memilih hukum acara dan hukum substantif untuk menyelesaikan sengketa dan dapat memilih arbiter sesuai keahliannya di bidang tertentu. Keuntungan lainnya yang potensial adalah termasuk efisiensi, kesederhanaan dan biaya pengelolaan).

Arbitrase bermanfaat sehingga dipilih oleh para pihak. Peter D‟Ambrumenil169 menyatakan bahwa arbitrase bermanfaat karena para pihak dapat menunjuk arbiternya sendiri yang ditentukan, yang akan mempertimbangkan bukti-bukti dan memutuskan hasilnya, hal ini berarti dimungkinkan untuk menunjuk seseorang yang memiliki pengetahuan tentang sengketa sehingga menghilangkan biaya para pihak untuk mengajukan bukti saksi ahli.

Arbitrase merupakan proses alternatif pertama dan tertua (the first and oldest of these alternative procedures)170 dan merupakan proses yang membutuhkan banyak biaya. Meski demikian, arbitrase tetap dipilih karena meskipun perhatian cenderung fokus pada pengadilan sebagai forum penyelesaian konflik, namun sistem pengadilan belum tentu sebagai cara yang efektif untuk menyelesaikan sengketa. Penyelesaian sengketa arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang paling formal

169Peter D‟Ambrumenil, Mediation and Arbitration, (London : Cavendish Publishing Limited, 1997), hlm. 7.

170 David Kelly, Ann Holmes, Ruth Hayward, Business Law, Fourth Edition, (London, Sydney, Oregon, USA : Cavendish Publishing Limited, 2002) , hlm.70.

dalam memutuskan sengketa selain pengadilan. Berkat dukungan pembuat undang-undang dan pertimbangan pragmatis maka arbitrase menjadi pilihan dalam proses penyelesaian sengketa.171 Dengan demikian hukum arbitrase perlu dikembangkan guna mewujudkan sistem yang lebih menguntungkan penggunanya dalam menyelesaikan sengketa sebagaimana diungkapkan bahwa :172

Arbitration is generally known as the peaceful settlement of disputes, are closed, there is no publication of the verdict if there is no agreement of the parties, and the trial was not open to the public . Arbitration does not have a lot of formalities such as civil procedure in court, but the arbitration is only good for a bona fide businessmen … through arbitration also can reduce the burden of the buildup of the court and more favorable than the court because it can resolve disputes quickly and prevent damage.

(Terjemahan : Arbitrase umumnya dikenal sebagai penyelesaian sengketa secara damai, tertutup, tidak ada publikasi putusan jika tidak ada kesepakatan para pihak, dan sidang tidak terbuka untuk umum. Arbitrase tidak memiliki banyak formalitas seperti prosedur di pengadilan, tetapi arbitrase hanya baik untuk pengusaha bonafide ... melalui arbitrase juga dapat mengurangi beban penumpukan perkara di pengadilan dan lebih menguntungkan daripada pengadilan karena dapat mengatasi perselisihan dengan cepat dan mencegah kerusakan).

Terdapat dua pendapat mengenai keberadaan arbitrase. Ada yang berpendapat bahwa arbitrase adalah termasuk dalam penyelesaian sengketa melalui litigasi, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa arbitrase adalah termasuk penyelesaian sengketa non-litigasi. Dalam hal ini penulis juga sependapat dengan pandangan yang

171

Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In a Nutshell, (St. Paul, Minnesota : West Publishing Company, 1992), hlm. 119.

172

Nurnaningsih Amriani, Suhaidi, Tan Kamello, Runtung, “Empowering Arbitration for Resolving Environmental Disputes,” The International Journal Of Humanities & Social Studies, Volume 3, Issue 1, 2015, hlm. 190-192, diakses dari www.theijhss.com.

pertama bahwa arbitrase adalah termasuk dalam litigasi.173 Adapun alasannya adalah: Pertama, arbitrase menggunakan pendekatan penyelesaian sengketa bersifat adversarial/pertentangan dan hasil yang dicapai adalah win-lose solution, hal ini dibuktikan dengan adanya rasa tidak puas oleh salah satu pihak yang dikalahkan dan mengakibatkan pihak tersebut dapat mengajukan pembatalan putusan arbitrase yang pada dasarnya bersifat final dan mengikat. Perbedaannya dengan putusan pengadilan adalah para pihak memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali sesuai waktu yang ditentukan. Kedua, arbitrase memiliki ciri-ciri pengadilan.174 Ketiga, arbitrase bukan termasuk ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa),175 dan Keempat,

173

Oleh karena termasuk dalam litigasi, maka untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam praktek seringkali digabung dengan salah satu bentuk yang terdapat dalam penyelesaian sengketa non litigasi, lihat William H. Ross dan Donal E. Conlon, Hybrid Forms of Third-Party Dispute Resolution : Theoretical Implications of Combining, (Mississippi State : The Academy of Management Review, 2000), hlm. 416-427 dalam Adi Sulistiyono, Op.Cit., hlm.141-142. lihat juga dalam Konvensi ICSID yang mengatur arbitrase dan konsiliasi untuk penyelesaian sengketa penanaman modal antara negara dan investor asing.

174

Menurut F.F van der Haaijden, peradilan memiliki 4 (empat) ciri, yaitu : first, There should be a settlement of a conflict, second, There conflict must be decided on the basis of law, Third, It should be decided by a third party, Fourth, And the parties to the conflict should be bound by the decision. Lihat dalam Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 4. Lihat juga dalam Adi Sulistiyono, op.cit., hlm. 135.

175Hal tersebut sejalan dengan pendapat Marriot bahwa “ADR as a range of procedures which serve as alternatives to the adjudicatory procedures of litigation and arbitration for the resolution of disputes, generally but not necessarily involving the intercession and assistance of a neutral third party who helps to facilitate such resolution.” Selanjutnya Marriot mengatakan bahwa “Arbitration differs from ADR in five main ways. First, system of ADR and arbitration are concensual and their use restson agreement, but agreement to enter into arbitration will be enforced by courts, whereas the common wisdom is that agreement to enter into an ADR process may not necessarily be, thought this may be changing. The second main difference is that arbitration has as its object the rendering of a final and binding award, the ADR neutral does not. A third difference is that ADR processes are subject to no statutory regime in England, whereas arbitration is subject to an extensive statutory regime, principal of the 1950, the 1975 and the 1979 Act. A fourth point of difference lies in procedures adopted in arbitration and in ADR. Arbitral procedures are constrained by the rules of natural justice. Yet, the rules of natural justice would positevely hinder an ADR neutral., who must be free to see the parties together or separately, with the utmost flexibility as to what is disclosed from

hukum positif Indonesia juga memisahkan antara arbitrase dengan alternatif penyelesaian sengketa.176

Penyelesaian sengketa arbitrase berbeda dengan judicial settlement177 meskipun kedua proses tersebut merupakan jalur yudisial melalui tribunal. Arbitrase merupakan bentuk khusus dari pengadilan, bedanya adalah jalur judicial settlement menggunakan satu pengadilan permanen atau standing court sedangkan arbitrase merupakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut, namun dalam fungsi intinya, seorang arbiter bertindak sebagai “hakim” dalam majelis, seperti juga hakim permanen walaupun hanya untuk sengketa yang ditangani.178

one party to the other. The fifth and final point of comparison between arbitration and ADR procedures is the basis upon which decision are reached. Arbitrators are expected to decide matters according to law and even when acting ex aequo et bono. ADR neutral do not decide at all, and their recommendation and opinions do not have to follow the law. Lihat Arthur Marriot, “The Role of ADR in The Settlement of Commercial Disputes,” Asia Pacific Law Review, Vol 1 Summer, 1994, hlm. 2 & 7-8 dalam Adi Sulistiyono, op.cit., hlm. 142.

176 Lihat Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lihat Adi Sulistiyono, ibid., hlm. 142.

177“In a Judicial Settlement, a dispute is placed before an existing independent court.” Diakses

dari http://www.britannica.com/EBchcked/topic/930705/judicial-settlement.com., tanggal 31 Desember 2013. Lihat Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes Resolution), (Surabaya : Airlangga University Press, 2003), hlm. 173 bahwa judicial settlement (penyelesaian yudisial) adalah penyelesaian yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional (“the International Court of Justice-ICJ”) yang berkedudukan di Den Haag sebagai satu-satunya organ yang ada dalam masyarakat internasional untuk menyelesaikan sengketa secara hukum. ICJ menggantikan

dan melanjutkan fungsi Mahkamah Internasional Permanen (“the Permanent Court of International Justice-PCIJ”) yang dibentuk dalam rangka penyelesaian perdamaian tahun 1919. Bandingkan dengan J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, (Jakarta : Aksara Persada Indonesia, 1989), hlm. 177. Lihat juga J. G. Merrils, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Bandung : Tarsito, 1986), hlm. 95. dan lihat dalam Philippe Sands, Principles of International Environmental Law I : Frameworks, Standars and Implementation, (Manchester and New York : Manchester University Press, 1995), hlm. 170.

178

H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO, Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia UI-Press, 2002), hlm. 138, sebagaimana dikutip dari J.L. Brierly, The Law of Nations, (Oxford : Clarendon Press, 1963), hlm. 347

Arbitrase menjadi pilihan utama di antara ADR karena beberapa kelebihan, menurut Warren179 sebagai berikut :

Arbitration become the best choice amongst ADR because it is in the nature of arbitration that a final and binding decision is rendered at the end of process. Arbitration can also be enforced as a contract under law because it arises out of an agreement between the parties, either before or at the beginning of the dispute, to refer the subject matter of the dispute to the process, arbitration also boasts flexibility of procedures, parties have the autonomy of putting together a set of procedures streamlined and tailored to their specific wants and needs, some arbitral institutions specifically provide for expedited or fast-tract arbitration which is a procedures that allows the parties, when all requisite conditions are satisfied, to procure an award in the shortest possible time and at a lower cost than would be the case if the matter was brought before the courts. (Terjemahan : arbitrase menjadi pilihan utama di antara ADR karena sifatnya