• Tidak ada hasil yang ditemukan

OF ICSID ARBITRATION AWARD IN INDONESIA AND ITS COMPARISON WITH SOME STATES

E. Keaslian Penelitian

Dari penelusuran dan inventarisasi kepustakaan yang telah dilakukan di berbagai kepustakaan pada program doktor (S-3), maka penelitian mengenai arbitrase pernah dilakukan.

1. Disertasi Tineke Louise Tuegeh Longdong (1998), 53 dengan judul “Pelaksanaan Konvensi New York 1958”, Universitas Indonesia (UI) - Jakarta, yang melakukan penelitian mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase berdasarkan asas ketertiban umum dengan kajian putusan pengadilan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.

2. Disertasi Dahnidar Lukman (1999), dengan judul ”Klausula Arbitrase ICSID Dalam Persetujuan Penanaman Modal Asing di Indonesia”, Universitas Indonesia (UI) – Jakarta, yang melakukan penelitian mengenai yurisdiksi Badan Arbitrase ICSID terkait dengan persetujuan yurisdiksi para pihak.

3. Disertasi Eman Suparman (2004),54 dengan judul “Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan” dari Pascasarjana

Universitas Diponegoro (UNDIP)-Semarang, merupakan disertasi yang membahas mengenai pilihan forum dalam arbitrase untuk penegakan keadilan.

53 Tineke Louise Tuegeh Longdong, Pelaksanaan Konvensi New York 1958, Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, sebagaimana telah dicetak dalam buku berjudul : Asas Ketertiban Umum & Konvensi New York 1958: Sebuah Tinjauan atas Pelaksanaan Konvensi New York 1958 Pada Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Asing,”(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998).

54 Eman Suparman, “Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan,” Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, sebagaimana telah dicetak dalam buku berjudul : Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta : PT. Tatanusa, 2004).

4. Disertasi Teddy Reinier Sondakh (2009), dengan judul ”Prinsip Transparansi dalam Ketentuan Hukum Penanaman Modal di Indonesia” dari Pascasarjana Universitas Brawijaya (UNIBRAW) – Malang, yang membahas mengenai prinsip transparansi dalam arti yang berbeda dengan transparansi yang dimaksud dalam disertasi ini.

Namun kesemua karya di atas dapat digunakan sebagai referensi dan sebagai bahan studi perbandingan guna menemukan sesuatu yang baru yang bermanfaat bagi pembangunan ilmu hukum dan pembangunan hukum di Indonesia. Dengan demikian keaslian penelitian disertasi ini dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk di kritisi secara konstruktif.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka teori

Kerangka teori55 merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dengan menginterpretasi hasil-hasil

55 Kebutuhan akan kerangka teori semakin jelas bila di lihat dari fungsinya. Pertama, kerangka teori menguraikan variabel-variabel yang diperhitungkan atau yang dijadikan sebagai objek yang diusulkan dalam suatu penelitian dan darinya memberi hasil bagi pemecahan masalah. Kedua, memberikan batasan-batasan kepada penyelidikan yang diajukan dengan menyarankan variabel-variabel mana yang harus dipandang sebagai tidak relevan dan karena itu harus di abaikan. Ketiga, kerangka teori merupakan struktur yang memberikan arti kepada hasil-hasil penelitian. Bagaimanapun juga arti hasil-hasil penelitian yang diperoleh melalui analisis data adalah dengan mengacu kepada kerangka teori. Keempat, kerangka teori memberikan premis-premis dari mana peneliti dapat mendeduksikan obyektif-objektif penelitian. Lihat dalam Uber Silalahi, Metode dan Metodologi Penelitian (Bandung : Bina Budaya, 1999), hlm. 69.

penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.56 Kerangka teori57 merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu sengketa atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoretis. Hal ini dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis.

Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan.58 Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.59 Teori60 akan memberikan sebuah sarana penjelasan yang bermanfaat dan akan membantu untuk memperbandingkan teori-teori itu dan menilai manfaat teori-teori tersebut.

Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum,61 dalam definisi ini teori hukum muncul sebagai produk sebab

56

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 19. 57

M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 58

Satjipto Rahardjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder) (Semarang : Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, tanggal 15 Desember 2000), hlm. 8.

59

Kerlinger, Foundations of Behavioral Research,2nd Edition, (New York : MacMillan, 1971), h.9 sebagaimana dikutip dalam Masri Singarimbun & Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta : LP3ES, 1989), hlm. 37.

60

Tom Campbell, Seven Theories of Human Society, diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hlm. 29.

61 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa oleh Arief Sidharta (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 160. Menurut Robert K. Yin, “Theory means the design of research steps according to some relationship to the literature, policy issues, or other substance source. Menurut Kerlinger, theory means a set interrelated constructs (concept) definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relation among variables, with the pupose of explaining and predicting the phenomena.” Sebagaimana juga dikutip dalam Tan Kamello, Hukum

keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoretik bidang hukum.62 Dalam konteks filsafat ilmu hukum, teori hukum menjadi penting dalam memberikan pengaruh terhadap perkembangan ilmu hukum, suatu teori merupakan sesuatu yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh suatu disiplin ilmu.63

Beranjak dari tema penelitian ini, maka teori yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Grand theory

Teori filsafat sebagai fundamental teori hukum dari disertasi ini adalah Teori Kedaulatan Negara dari Hans Kelsen yang merupakan sebuah pilihan yang didasarkan pada pertimbangan penelitian yang berpangkal pada pengutamaan hukum nasional bahwa negara yang tatanan hukumnya merupakan titik awal dari seluruh konstruksi yang dapat dianggap berdaulat yang di atasnya tidak ada lagi tatanan hukum yang lain. Adanya dualisme64 hukum internasional65 dan nasional Jaminan Fidusia – Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : Penerbit PT. Alumni, 2006), hlm.17

62

Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum (Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990), (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 42.

63

Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 11.

64 Aliran dualisme menyatakan bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Alasan penganut dualisme antara lain : pertama, kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara. Kedua, subyek hukumnya berlainan. Subjek hukum nasional adalah orang perorangan baik dalam hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subjek hukum dari hukum internasional adalah negara. Ketiga, sebagai tata hukum, daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional, atau dengan kata lain hukum nasional tetap berlaku secara efektif

bukanlah untuk menegaskan keterpisahan masing-masing di antaranya, melainkan untuk menegaskan ide tentang kedaulatan66 negara yang merupakan kualitas penting dari kekuasaan67 tertinggi suatu negara sebagai salah satu akibat dari aliran dualisme tersebut yang menentukan bahwa hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum nasional. Negara itu berdaulat berarti tatanan hukum nasional merupakan suatu tatanan yang di atasnya tidak ada tatanan yang lebih tinggi. Hans Kelsen68 dalam bukunya menguraikan bahwa sebagian besar norma hukum internasional adalah norma yang tidak sempurna yang menerima penyempurnaannya dari norma-norma hukum nasional, jadi tatanan hukum internasional hanya berarti sebagai bagian dari suatu tatanan hukum universal yang meliputi juga seluruh tatanan hukum nasional. Analisis tersebut selanjutnya membawa kepada kesimpulan sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional. Lihat dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Alumni, 2003), hlm. 57-58.

65

Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara : negara dengan negara dan negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Ibid, hlm. 4. Benny mengatakan bahwa “international law issues arise whenever a transaction involves the crossing of national borders in some way, it may be that the parties operate from different jurisdictions or, perhaps the subject matter is in a different jurisdiction.” Dalam Benny S. Tabalujan, Singapore Business Law, second edition, (Singapore : BusinessLaw Asia, 2000), hlm. 483.

66

Kedaulatan (sovereignty) sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya yaitu : pertama, kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu, dan kedua, kekuasaan itu berakhir di mana kekuasaan suatu negara lain di mulai. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.cit., hlm. 18.

67

Otoritas (authority) biasanya didefinisikan sebagai hak atau kekuasaan untuk menerbitkan perintah-perintah yang memaksa, bandingkan dengan teori Hukum Austin bahwa hukum adalah perintah pihak yang berdaulat (Law was the command of sovereign, no law, no sovereign ; and no sovereign, no law). Lihat dalam Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik – Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm.70.

68

Disadur dari Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York : Russel and Russel, 1971), Sebagaimana telah diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dengan judul Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, cet ke-VII, (Bandung : Penerbit Nusa Media, 2011), hlm. 511-512.

bahwa tatanan hukum internasional menentukan bidang validitas teritorial, personal dan temporal dari tatanan-tatanan hukum nasional, dengan demikian memungkinkan koeksistensi dari aneka ragam negara. Pada akhirnya terlihat bahwa tatanan hukum internasional membatasi bidang validitas material dari tatanan-tatanan hukum nasional dengan jalan menundukkannya kepada suatu peraturan tertentu yang menjadi masalahnya sendiri yang kalau tidak, bisa diatur secara sembarangan oleh negara. Pandangan ini juga disebut sebagai pandangan monistik.

Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945, di dalam penjelasannya dikatakan bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan yang tertinggi.69 Jean Bodin70 mengatakan bahwa :

A state differs from other communities through the presence of summa potestas. This, although inheren in the nature of the statse, rest in the individuals who in fact possess supreme power. One aspect of sovereignty is the power to make law as a means of making the sovereign‟s will effective, and therefore largerly equates law with statute.

(Terjemahan : suatu negara berbeda dengan masyarakat lain, karena adanya kekuasaan tertinggi (summa potestas), walau melekat dengan sifat negara, terletak pada individu-individu yang dalam kenyataannya memiliki kekuasaan tertinggi. Salah satu aspek kedaulatan adalah kekuasaan untuk membuat hukum sebagai cara untuk mengefektifkan kehendak kedaulatan, dan karenanya undang-undang disamakan dengan hukum).

69

Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm. 151.

70 W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition (London : Stevens & Sons Limited, 1960), hlm. 540.

Namun perumusan Jean Bodin ini tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen untuk masa sekarang, karena saat itu Bodin hanya meninjau kedaulatan dalam hubungannya dengan masyarakat di dalam negeri itu saja, padahal dewasa ini hubungan antar negara yang satu dengan yang lainnya itu sudah begitu luas, mau tidak mau suatu negara itu mesti terkena pengaruh dari hubungan antar negara-negara tersebut. Akibatnya dikenal adanya kedaulatan ke dalam (internal souvereignity) dan kedaulatan ke luar (external souvereignity).

Posisi negara memiliki kedaulatan bahwa jika ada hukum maka di sana terdapat atribut-atribut negara yang memegang kedaulatan. Berkaitan dengan hal tersebut, Austin71 berpendapat bahwa ”the factual tests for identifying positive law are: law is a command ; a command requires to be supported by a sanction ; the command together with its sanction emanates from a sovereign.” Indikator terpenting untuk mengidentifikasi hukum positif adalah hukum adalah perintah ; suatu perintah harus didukung oleh sanksi di mana keduanya itu berasal dari suatu kedaulatan.

Undang-undang sebagai ius constitutum adalah kehendak dari kekuasaan tertinggi dari kedaulatan negara. Hukum positif merupakan bentuk kodifikasi dari undang-undang antara lain KUH Perdata, HIR, RBG dan RV72 sebagai

71

Howard Davies and David Holderoft, Jurisprudence Texts and Commentary (London, Dublin, Edinburg : Butterworths, 1991), hlm. 17.

72

Jhon Austin dengan aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the law giver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik-buruk.

konsekuensi dari asas-asas hukum73 yang terdapat di dalam lapangan hukum perdata, namun harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang terpadu dan dijadikan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.74

Teori kedaulatan negara75 berkaitan erat dengan konsep rechtsstaat,76 the rule of law77 dan konsep pluralistik.78 Konsep negara hukum melahirkan pengelolaan manajemen negara yang harus berdasarkan hukum, negara hukum Hukum menurut Austin harus memenuhi unsur-unsur yaitu : ada penguasa (souvereignity), perintah (command), kewajiban untuk mentaati (duty) dan sanksi bagi yang tidak taat (sanction). Lihat, dalam Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum (Bandung : Mandar Maju, 2002), hlm. 56. Bandingkan dengan Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum-Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, cet. Ke-3, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 120. Bandingkan dengan W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, (London : Stevens & Sons Limited), 1960, hlm. 212

73 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional (Bandung : Alumni, 1996), hlm. 15. Lihat, juga Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 119, menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan.

74

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa asas hukum adalah sebagai jantung peraturan hukum positif, disebut demikian karena dua hal yaitu : pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas atas lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio logis dari peraturan hukum. Lihat, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 14. Bellefroid memberikan pengertian asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dalam hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengedepanan hukum postif dalam suatu masyarakat. Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) (Yogyakarta : Liberty, 1988), hlm. 32

75

Jean Bodin, Thomas Hobbes, Jhering, John Austin dan Hans Kelsen adalah sederetan nama-nama yang mengetengahkan gagasan tentang kedaulatan negara.

76

Negara hukum (Rechtsstaat) adalah istilah yang diberikan oleh ahli hukum Eropa Barat Kontinental. Frederich Julius Stahl memberikan ciri-ciri rechtsstaat yaitu : pertama, hak-hak asasi manusia. kedua,Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia itu yang bisa dikenal sebagai Trias Politika. Ketiga, Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur). Keempat, Peradilan administrasi dalam perselisihan. Lihat dalam Moh. Mahfud MD., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta : Gama Media, 1999), hlm. 23.

77

Negara hukum (Rule of Law) adalah istilah yang diberikan oleh ahli hukum Anglo Saxon. A.C. Dicey memberikan ciri-ciri rule of law yaitu : pertama, Supremasi hukum dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. kedua,Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat. Ketiga, Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan. Ibid.,., hlm. 23.

78

Pluralistik atau pluralisme merupakan sistem yang memberikan peluang sebesar-besarnya bagi peranan rakyat untuk menentukan jalannya negara. Dalam konsep Arief Budiman, pluralisme adalah negara netral (tidak mandiri). Ibid. hlm.34.

menurut Dicey, harus mencerminkan tiga kriteria dari the rule of law yaitu

s

upremasi hukum, persamaan hak di depan hukum, dan perlindungan setiap orang di depan hukum.79

Kemudian kedaulatan negara berhubungan dengan konsep pluralistik80 yang mengakui bahwa hukum nasional dan hukum internasional terpisah tapi berlaku secara bersamaan, artinya bahwa norma hukum internasional tidak dapat secara langsung diterapkan oleh organ-organ negara dan bahwa organ-organ negara, khususnya pengadilan, hanya dapat menerapkan secara langsung norma-norma hukum nasional. Jika suatu norma-norma hukum internasional, misalnya suatu perjanjian internasional harus diterapkan oleh pengadilan suatu negara maka norma tersebut harus diubah menjadi hukum nasional oleh suatu tindakan legislatif yang melahirkan undang-undang atau peraturan dengan isi yang sama seperti perjanjian tersebut,81 dengan kata lain bahwa berlakunya hukum internasional karena ada pengakuan dari hukum nasional. Di sinilah peran kedaulatan negara untuk menerima atau menolak hukum internasional. Mochtar

79

A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law the Constitution (London : Macmillan Press, 1971), hlm. 202-203. Menyatakan bahwa ... in the first place, the absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the influence of arbitrary power, and excludes the existence of arbitrariness, of prerogative, or even of wide discretionary authority on the part of government. It means, again, equality before the law, or equal subjection of all classes to the ordinary law of the land administered by the ordinary law courts ; lastly, may be used as a formula for expressing the fact that with us the law of constitution, the rules which in foreign countries naturally from part of constitutional code, are not the source but the consequence of the rights of individual, as defined and enforced by the courts.”

80 Disadur dari Hans Kelsen, op.cit., hlm. 511-546. 81

Kusumaatmadja82 mengatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang ditetapkan melalui hukum internasional.

Teori kedaulatan digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama karena inti dari penggunaan suatu prinsip dalam hukum nasional adalah berkaitan dengan kedaulatan negara untuk mengaturnya atau tidak, dengan adanya hukum internasional yang hidup berdampingan dengan hukum nasional yang memiliki kedaulatan dari setiap negara, jika dihubungkan penelitian disertasi ini di mana Indonesia menganut konsep negara hukum, maka hukum internasional tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warganegara asing mengenai

82 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, (Jakarta : Bina Cipta, 2010), hlm. 7.

penanaman modal (Convention on The Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States) atau disebut juga Konvensi Washington atau Konvensi ICSID adalah diterima sebagai norma hukum di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XII/MPRS/1966 dan No. XXIII/MPRS/1966 yang menganggap perlunya Pemerintah Republik Indonesia untuk ikut serta dalam Konvensi ICSID tersebut.83 Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tersebut didasarkan pada :

1. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan

membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

2. Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain,”

3. Pasal 20 UUD 1945 yang berbunyi “(1) Tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, (2) Jika suatu rancangan Undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat , maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.”

83

4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1966 tentang Keanggotaan kembali RI dalam Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development) sesuai Lembaran Negara No. 1966 No. 36).

5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara No. 1967 No. 1, Tambahan Lembaran Negara No. 2818). 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1967 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 1966 tentang Keanggotaan Kembali RI dalam Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development) sesuai Lembaran Negara 1967 No. 2, Tambahan Lembaran Negara No. 2819.

Hal tersebut juga menunjukkan bukti ungkapan H.L.A. Hart84 bahwa negara karena kedaulatannya, hanya bisa tunduk atau terikat oleh peraturan-peraturan yang telah dibebankan atas negara itu sendiri.

b. Middle range theory

Dalam middle range theory digunakan teori positivisme yuridis (legal positivisme) H.L.A. Hart yang menyatakan bahwa dalam perspektif positivisme yuridis, hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara