• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

B. Hasil Wawancara

Wawancara dilakukan kepada tiga pengajar BIPA di Wisma Bahasa Yogyakarta, ketiganya adalah Pak Didit Setiawan, Bu Scholastica Ardyanita dan Pak Thomas Bea Dwianggoro. Dari hasil wawancara peneliti dengan narasumber, ada beberapa poin penting yang peneliti dapat, yaitu (1) tingkatan pemelajar BIPA di Wisma Bahasa Yogyakarta, (2) proses pembelajaran yang dilakukan di Wisma Bahasa Yogyakarta, (3) metode pembelajaran, (4) hambatan dalam proses pembelajaran, (5) gaya belajar pemelajar, (6) sumber belajar, (7) media pembelajaran yang ada di Wisma Bahasa, (8) gambar berseri, (9) harapan pengajar terhadap media pembelajaran yang ada di Wisma Bahasa Yogyakarta.

Wisma bahasa memiliki tujuh tingkatan pembelajar. Tingkatan tersebut tidak berdasarkan tingkatan dari CEFR tetapi hanya mengadaptasinya saja. Pembelajaran di Wisma Bahasa biasanya terjadi selama 105 menit untuk setiap pertemuan. Proses pembelajaran yang dilakukan di Wisma Bahasa khususnya untuk tingkat pre-intermediate lebih banyak pada hal-hal yang besifat gramatikal seperti, struktur

kebahasaan dan kosa kata. Pada tingkat ini sudah sedikit menggunakan permainan-permainan dan lebih banyak latihan-latihan yang lebih serius. Proses pembelajaran juga disesuaikan dengan kebutuhan pemelajar, namun untuk tingkat pre-intermediate biasanya lebih pada komunikasi sehari-hari, sehingga pembelajaran yang dilakukan lebih fokus pada keterampilan berbicara dan mendengarkan. Pembelajaran berbicara dilakukan dengan 2 cara, yang pertama adalah dengan teks bacaan. Dengan menggunakan teks bacaan nantinya pemelajar akan diajak untuk berdiskusi mengenai teks bacaan tersebut dan juga menjawab pertanyaan. Cara kedua yaitu dengan melakukan praktek berbicara, baik secara tanya jawab atau wawancara, bercerita, menjelaskan gambar, atau bisa juga dengan praktek langsung dengan penduduk asli di sekitar Wisma Bahasa.

Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk mengajarkan Bahasa Indonesia bagi pemelajar asing biasanya disesuaikan dengan materi yang dipelajari saat itu. Namun, biasanya ada metode audiovisual, TPR (Total Physical Response), ada juga metode drill serta berlatih. Metode yang digunakan disesuaikan dengan situasi murid, kebutuhan murid dan karakter murid. Kalau berhubungan dengan kosakata biasanya menggunakan drilling dibantu dengan flash card dan gambar-gambar. Setelah mengajarkan kosakata lalu mengajarkan stuktur kalimatnya. Struktur kalimatnya diajarkan dengan cara berlatih, role play dan berdialog. Jika waktu dan situasi memungkinkan, pemelajar diajak keluar kelas untuk mempraktekkan role play yang sudah diajarkan sambil berdialog langsung dengan penutur asli.

Secara umum, hambatan yang dihadapi selama proses pembelajaran adalah masalah bahasa. Perbedaan bahasa ibu pemelajar dan pengajar menjadi salah satu penyebabnya. Ada beberapa pemelajar yang tidak mempelajari bahasa Inggris dan pengajar yang tidak mengerti bahasa ibu mereka (China, Perancis, Thailand, Tiongkok), hal itu menjadi salah satu hambatan karena ada kesulitan untuk menerjemahkan kata yang tidak sesuai dengan bahasa mereka, terutama kata-kata yang berkaitan dengan struktur (tenses). Ada juga pemelajar yang sulit untuk menghafal kosakata dan menentukan struktur kalimat. Selain itu, ada pemelajar yang sedikit kemauan untuk berbicara dan mencoba berbahasa Indonesia. Namun, masalah-masalah bisa diselesaikan oleh pengajar dan pemelajar. Umumnya, pemelajar di Wisma Bahasa adalah pemelajar dewasa, jadi mereka mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah mereka. Selain itu, metode drilling dan banyak berlatih berbicara bisa juga membantu pemelajar untuk semakin memperbaiki struktur kebahasaannya. Bila hambatannya adalah masalah bahasa, pengajar akan membuat kalimat-kalimat sederhana sehingga pemelajar dapat mengambil kesimpulan dari kalimat tersebut.

Atau, apabila pemelajar bisa berbahasa Inggris, pengajar akan ‘memancing’nya menggunakan bahasa Inggris.

Gaya belajar yang dimiliki oleh pemelajar di Wisma Bahasa beraneka ragam, baik visual, audio, audiovisual, dan kinestetik, serta day translation. Ada beberapa murid yang jika menulis harus melihat atau mencontoh kata dan struktur yang sudah dituliskan oleh pengajar di papan tulis dan juga harus mendengar apa bagaimana pengucapan kata atau kalimat tersebut. Gaya belajar tersebut mempengaruhi

penggunaan media dalam pembelajaran. Banyak murid yang lebih mudah mengerti jika menggunakan media yang sesuai, baik dengan gaya belajarnya maupun dengan materi pembelajarannya. Namun, untuk tingkat pre-intermediate penggunaan media gambar dan dengaran lebih banyak digunakan.

Sumber belajar yang digunakan di Wisma Bahasa selama ini adalah buku-buku. Wisma bahasa mempunyai buku ajar sendiri untuk mengajarkan bahasa Indonesia. Selain buku ajar, sumber belajar yang digunakan adalah teks-teks latihan, baik latihan tata bahasa maupun teks latihan. Sedangkan media yang digunakan antara lain gambar-gambar, kadang juga menggunakan realia-realia, dengaran, dan kartu-kartu, serta internet. Media-media tersebut penggunaannya disesuaikan dengan materi dan kebutuhan pemelajar, sehingga tidak ada yang paling sering digunakan, semuanya sama rata.

Beberapa pengajar di Wisma Bahasa sudah pernah menggunakan media gambar berseri. Media gambar berseri biasanya dipakai untuk tingkat pemula. Menurut pengajar di Wisma Bahasa, media gambar berseri cukup menarik karena mendorong dan memicu pemelajar untuk membuat kata dan kalimat yang berkaitan dan runtut dengan kosakata yang pemelajar miliki. Selain menjadi sarana pembelajajaran, media gambar berseri sekaligus menjadi sarana untuk mengulang kembali pelajaran. Gambar berseri juga bisa merangsang pemelajar untuk berbicara dan menulis sesuai dengan gambar yang pemelajar lihat.

Pemilihan jenis/karakter gambar, jumlah objek, dan warna yang akan digunakan dalam media gambar berseri tergantung pemelajar yang akan menggunakan

media tersebut. Untuk kelas anak-anak sebisa mungkin gambar dibuat menarik agar bisa lebih disukai anak-anak. Gambar berseri lebih baik jika dapat menyampaikan apa maksud dari gambar tersebut dengan jelas. Gambar berseri akan lebih baik jika dengan menggunakan gambar berseri pemelajar dapat menyampaikan apa yang ada di gambar tersebut dengan lebih jelas.

Para pengajar di Wisma Bahasa berharap media pembelajaran di Wisma Bahasa semakin lengkap. Mereka berharap media yang ada dapat menyesuaikan dengan kondisi dan situasi saat ini. Mereka juga berharap di setiap pelajaran ada satu set media yang membantu agar pembelajaran lebih efektif dan murid mampu mencapai tujuan dengan semaksimal mungkin.

Dari hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan bahwa media pembelajaran yang digunakan Wisma Bahasa Yogyakarta, khususnya untuk level pre-intermediate masih sangat terbatas. Untuk level pre-pre-intermediate, pengajar masih banyak menggunakan media realia dan gambar tunggal. Realia dan gambar tunggal digunakan pengajar untuk mengajarkan kosakata pada pemelajar agar pemelajar bisa lebih mudah untuk memahami makna dari bahasa Indonesia. Namun, dengan menggunakan media realia tersebut pemelajar terkadang masih kesulitan untuk membuat kalimat atau cerita, sehingga peneliti memilih media gambar berseri untuk membantu pemelajar BIPA dalam meningkatkan kemampuan berbicara karena gambar berseri mampu untuk membantu pemelajar untuk menyusun kata dan membuat kalimat secara runtut sesuai dengan kejadian di dalam gambar. Jadi, dari hasil wawancara tersebut peneliti mendapatkan banyak informasi seputar pengajaran dan penggunaan

media dalam mengajarkan bahasa Indonesia kepada penutur asing. Informasi tersebut menjadi dasar bagi peneliti untuk melanjutkan proses pengembangan media pembelajaran berbicara bahasa Indonesia di Wisma Bahasa Yogyakarta.

Dokumen terkait