• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

II.3 Wacana TKW dalam Novel Indonesia

III.1.3 Hubungan antara TKW dengan TKW

Hubungan antara sesama TKW sudah terjalin ketika mereka memulai proses pendaftaran ke sponsor. Bisa dibilang mereka adalah CTKW yang sedang dalam masa pra keberangkatan ke luar negeri. Misalnya seperti Astina yang kemudian berkenalan dengan Bu Ida dan Bu Karmi karena mendaftar pada sponsor yang sama. Astina kemudian juga berkenalan dengan Ana dan Titin. Dari proses awal ini sudah terjadi pemisahan penggambaran mengenai diri ”aku” dan juga “mereka”. Contohnya ketika melihat Astina yang masih muda, Bu Karni berujar:

“Menurut Ibu, Eneng nggak pantes pergi ke luar negeri jadi pembantu. Abis cakep sih” protes bu Karmi (Triutami 2012, h.50).

Kutipan tersebut merupakan salah satu contoh representasi terhadap diri aku yang dinarasikan oleh tokoh lain. Pujian tokoh lain terhadap penampilan Astina juga terulang pada halaman 90 sebanyak dua kali. Penggambaran tersebut kurang lebih mengenai paras Astina yang terlalu cantik jika hanya bekerja sebagai pembantu.

Begitu pula penggambaran Astina sebagai orang yang berani dan vokal yang diartikulasikan melalui penokohannya sendiri maupun melalui tokoh lain.

Tapi mulutku yang terbiasa protes di depan Gedung DPRD Bandung membela para pedagang kaki lima di Dago ini tak bisa kuatur. Mulutku tiba-tiba nyelonong. “Kalau kami orang kampung, Mam sendiri orang mana?” (Triutami 2012, h.103).

Penggambaran itu juga terjadi pada halaman 111 di mana Astina yang dianggap paling vokal dan berani diminta oleh Ana dan Titin untuk menelepon Bu Rina guna meminta uang. Astina juga berani untuk meminta pihak PT mencoret namanya dari daftar murid kelas Bahasa Inggris karena menurutnya dia sudah bisa. Dia ingin menggunakan waktunya untuk belajar Bahasa Kanton saja.

Astina juga beberapa kali menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang rajin belajar sehingga disayang oleh gurunya, terutama Lause Antimi.

Karena belajar dan setoran hafalanku lancar, aku disayang oleh Lause Antimi (Triutami 2012, h.163).

“Ayo yang lainnya! Mana, kok nggak ada yang bilang hafal. Masak kalah sama Astina, baru datang dia udah hafal.” (Triutami 2012, h.155).

Namun justru hal tersebut yang membuat Astina tidak disukai oleh teman- temannya. Mereka merasa iri karena Astina yang selalu mendapat pujian dan tidak pernah mendapat hukuman. Astina juga tidak disukai oleh beberapa orang guru karena beberapa kali memprotes untuk membela hak-hak dirinya dan teman- temannya.

Setelah sampai di Hongkong, Astina juga mendapat pujian dari Kimmy, seseorang yang diminta kantor mitra kerja di luar negeri untuk menjemputnya di bandara. Kimmy mengatakan bahwa kebanyakan TKW yang baru dia jemput

tidak selancar Astina ketika berbicara Bahasa Kanton dengan artikulasi yang jelas. Apalagi Astina juga bisa berbahasa Inggris. Dia mengatakan bahwa Astina memiliki sense of language yang bagus.

Melalui narasi-narasi tersebut, beberapa kali penulis seolah berusaha mengunggulkan dirinya diantara teman-temannya sesama TKW. Seperti yang juga tergambar pada kutipan-kutipan dalam novel berikut ini:

“Baiklah, kamu kerja baik-baik di Hongkong, ya? Kamu anak cantik, pintar, dan baik” (Triutami 2012, h.241).

Pujian mengenai kecantikan diri tokoh utama ini juga terjadi pada beberapa halaman lainnya. Pengunggulan itu juga tidak terbatas pada penampilan fisik semata, tapi juga tentang sifat dan kepintarannya.

“Iya. Kalo aku, Tan, biasa hidup di jalan, gaul sama preman. Jadi, berani jawab calo-calo itu. Nah kalo mbak-mbak yang dari kampung, digertak sama kernet tadi, kan pasti ngasih. Kasihan mereka”. Jawabku lagi (Triutami 2012, h.357). Aku merasa kesal dan muak sekali, karena TKW dijadikan barang mainan oleh agen-agen di Hongkong oleh agen-agen di Hongkong tanpa ada pemantauan dari negerinya. Untung saja aku memiliki kemampuan untuk melawan. Lalu, bagaimana dengan nasib para TKW yang begitu polosnya menuruti kemauan agen? (Triutami 2012, h.338).

Walaupun pada kutipan tersebut seolah mengasihani beberapa orang temannya jika mengalami kejadian serupa, namun tetap terjadi pengunggulan atas dirinya sendiri.

Dalam kutipan-kutipan tersebut bisa dilihat bahwa subjek atau aktor leluasa untuk mendeskripsikan siapa dirinya. Peneliti melihat bahwa kerap kali penulis berusaha mengunggulkan dirinya dalam hal penampilan, keberanian

berbicara, dan kemampuan berbahasa Inggris dan Kanton. Bahkan dia juga menyebutkan bahwa dia disayang oleh salah satu guru di PT karena dia pintar.

Pengunggulan diri sendiri ini bisa jadi dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai perempuan Bandung (Sunda). Walaupun ibunya berdarah Madura, namun Astina lebih bangga jika dikatakan bahwa dia perempuan Bandung. Dia merasa menjadi orang Bandung karena Ayahnya orang Bandung. Dia juga lahir dan besar di sana. Stereotipe yang ada di masyarakat, perempuan Bandung atau Sunda memiliki wajah yang cantik dan memiliki kulit putih. Orang Bandung juga dikenal sangat memperhatikan penampilannya (Nawalapatra 2008). Hal inilah yang mungkin menjadikan Astina mengunggulkan segi kecantikannya sebagai seorang perempuan. Sedangkan keberanian yang Astina punya dipengaruhi oleh latar belakangnya yang pernah menjadi seorang pengamen dan bergaul dengan para pengamen dan juga preman selama dia mengamen di Bandung.

Mengenai kepintarannya berbahasa Inggris, hal ini nampaknya dipengaruhi dari kegemarannya menyanyikan lagu-lagu berbahasa inggris. Salah satu band favoritnya adalah Rolling Stones. Sedangkan untuk kemampuannya berbahasa Kanton dia dapat dari belajar selama di BLK.

Pendeskripsian mengenai tokoh “aku” atau penulis yang berujung pada pengunggulan diri ini selain dilakukan melalui tokoh “aku” sendiri juga dilakukan melalui tokoh lain. Selain mendeskripsikan mengenai dirinya sendiri, penulis juga banyak merepresentasikan TKW lain melalui narasinya. Dalam novel “Aku Bukan Budak”, pendeskripsian yang dilakukan lebih terkesan negatif.

Pendeskripsian itu dilakukan dirinya sendiri, orang lain, maupun peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Mereka, teman-teman yang terlihat tak senang pada kesiapanku syuting, banyak yang tidak sungguh-sungguh saat belajar dan menghafal…..mereka memilih ngerumpi…..Dasar orang kampung! (Triutami 2012, h.156).

Mereka tidak suka belajar. Belajar adalah hal yang sangat membosankan bagi sebagian besar temanku di BLK. Bila aku mencoba memberikan solusi atas kesulitan mereka menghafal, aku malah dibenci. Mereka iri kalau aku dipuji oleh Lause Antimi. Mereka iri kalau aku, hanya aku, di kelas itu yang tak pernah dimarahi. Namun mereka tetap saja malas menghafal dan lebih semangat kalau disuruh ngerumpi daripada belajar. Kasihan sekali mereka. Betapa sulitnya memberikan pencerahan kepada mereka (Triutami 2012, h 163-164).

Dalam kutipan tersebut diceritakan bahwa tokoh Aku-Astina, adalah orang yang rajin belajar sedangkan teman-temannya pemalas. Seperti kata pepatah ‘rajin pangkal pandai’, karena rajin Astina akhirnya menjadi pintar dan disayang oleh guru. Beberapa kali Astina menyebutkan teman-temannya sebagai orang yang kampungan. Kampungan memiliki arti yang negative. Artinya berbeda dengan orang kampung. Orang kampung memiliki arti orang yang berasal dari kampung, sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “kampungan” berarti: berkaitan dengan kebiasaan orang kampung; terbelakang (belum modern), kolot, tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, dan kurang ajar. Kata kampungan ini sering dipakai penulis untuk merepresentasikan para TKW.

Pendeskripsian tentang teman-teman sesama TKW yang terkesan memarjinalkan tersebut tidak hanya terjadi sebelum keberangkatan ke negara tujuan. Pada saat setelah sampai pun Astina beberapa kali mendeskripsikan TKW.

Tidak hanya sifatnya saja, kali ini Astina merepresentasikan penampilan para TKW.

Tak lama kemudian, aku melihat beberapa orang dari negaraku datang. Sikap mereka berbeda dengan kebanyakan orang yang kulihat sedang mengantre di sepanjang jalan antrean. Mereka terlihat norak, kampungan. Ada yang memakai stoking hitam dipadukan dengan rok jeans pendek, padahal ia gendutnya minta ampun. Rambutnya pun dicat merah. Begitu kontras dengan warna kulitnya yang berwarna hitam pekat. Seorang lagi berpakaian seperti laki-laki. Celananya terlihat kebesaran, melorot hingga ke bawah pantatnya. Ia mengenakan kaos lengan pendek yang juga terihat seperti kebesaran. Hidungnya ditindik. Sepatunya berwarna putih. Tali sepatunya berlainan warna. Yang satu berwarna oranye, yang satu lagi berwarna hijau muda. Norak sekali. Ia berambut pendek tapi dengan poni panjang dibelah ke samping sehingga menutupi sebagian matanya (Triutami 2012, h.219).

Begitu pula ketika Astina baru tiba di bandara, seseorang mengajaknya berbicara dengan bahasa jawa. Astina menjawab mbak itu dengan setengah hati, karena penampilan perempuan itu menurut Astina norak dan tidak sopan. Astina bahkan mencoba meluruskan pandangannya karena enggan diajak mengobrol lagi. Pada halaman 272 lagi-lagi menjelaskan mengenai penampilan fisik TKW dengan nuansa negatif. Digambarkan ketika Astina dan Sin Sang (majikan laki- laki) sedang berada di plaza. Agak jauh di depan mereka ada seorang wanita yang sedang menelepon tertawa terbahak-bahak dan berpenampilan seperti wanita Hongkong asli. Namun ketika jarak semakin dekat, semakin terdengar logat Jawa yang medok dengan penampilan yang tidak pantas.

Di halaman 300, Astina menyebutkan bahwa dandanan mereka layaknya artis yang hendak mentas atau orang kaya baru. Astina merasa sungkan. Dia juga menyebutkan dandanan TKW yang dilihatnya menor layaknya ratu dangdut.

Ada juga yang memakai rok pendek, yang memamerkan kulit bersisik dan dihiasi oleh bekas gigitan nyamuk atau mungkin bekas cacar waktu kecil. Beberapa memakai topi country, yang membuat mereka mendongakkan kepala saat berbicara dengan teman-teman yang lebih tinggi. Kuku-kuku tangan yang berwarna-warni dan kontras sekali dengan kulitnya yang hitam (Triutami 2012, h.300).

Representasi mengenai penampilan fisik para TKW lain juga terjadi pada halaman 301 yang menggambarkan TKW mengenakan pakaian dengan ukuran serba besar serta telinga dan hidungnya ditindik. Mereka memiliki potongan rambut nge-punk dengan buntut memanjang atau polos saja seperti potongan rambut laki-laki pada umumnya. Begitu pula pada halaman 379, terjadi penggambaran penampilan fisik TKW lain hingga membuat Astina enggan berbincang dengannya. Salah seorang dikatakan berpenampilan bak pemandu karaoke yang merujuk pada penampilan yang negatif. Salah seorang diantaranya mencoba mengajak Astina mengobrol.

Weh,sampeyan arep mlebu Hongkong yo Mbak?” “Ya”, jawabku singkat

“Melu aku ae yok kerjo ndek Macau yuk. Enak Mbak, akeh duwe’e”. katanya mendekatiku. Ia berbicara sambil tak henti mengunyah permen karet. Ingin sekali kugetok kepalanya supaya ia diam dan tak bicara kurang ajar. Tak tahukah ia kalau di situ banyak orang dari berbagai Negara yang memandangnya bukan sebagai individu tetapi sebagai orang Indonesia (Triutami 2012, h.379).

Dengan mendasarkan sikapnya pada wacana mengenai kedudukan TKW sebagai wakil orang Indonesia, tokoh “aku” atau penulis seakan membenarkan apa yang dilakukannya. Tokoh aku sebagai aktor bebas untuk mendefinisikan

Selain melakukan penggambaran fisik, Astina juga menggambarkan sifat- sifat para TKW yang menurutnya malas dan tidak berguna.

Aku sedikit iri pada mbak itu. Ia diberi pekerjaan untuk merawat nenek yang ia temani setiap hari ke taman. Kenapa ia tak memenfaatkan waktu untuk berolahraga? Kenapa hanya duduk-duduk malas? Atau kalau ia tak suka olahraga, kenapa tak bawa buku atau koran, atau apa saja yang bisa dibaca? Daripada duduk bengong sia-sia seperti itu. Belakangan hari, ketika aku sudah berbulan-bulan di Hongkong, aku begitu kecewa melihat kebanyakan teman senegaraku tidak suka membaca. Mereka lebih suka mengobrol ngalor ngidul alias ngerumpi di Taman Victoria (Triutami 2012, h.279).

Pada halaman 292 digambarkan bahwa teman-temannya mencibirnya karena melakukan jogging di boulevard. Padahal menurut Astina hal tersebutlah yang harusnya dilakukan di waktu senggang daripada hanya duduk dan ngerumpi seperti teman-temannya itu. Astina lebih memilih untuk berolahraga dan membaca koran atau buku dibandingkan berkumpul dengan para TKW yang lain. Karena sikap Astina itu, para TKW yang tinggal di lingkungan rumah majikannya tidak begitu akrab dengannya.

Penggunaan kata ngerumpi dalam teks memiliki pemaknaan negatif jika dibandingkan dengan penggunaan kata mengobrol misalnya. Ngerumpi biasanya berkaitan dengan tindakan bergosip atau mengorek atau membicarakan keburukan orang lain. Sedangkan kata mengobrol merupakan tindakan percakapan, saling bercerita atau bertukar pikiran mengenai apa saja. Menurut Heilburn dalam Kurnia (2009) kekuatan utama perempuan untuk melawan dominasi patriarkal terletak pada kekuatan naratif yang timbul pada saat perempuan menceritakan pengalamannya kepada perempuan lainnya, sehingga menghasilkan narasi pengalaman sosial dari sudut pandang perempuan. Sehingga kegiatan semacam itu

harusnya dipandang sebagai tindakan yang positif sebagai ajang saling curhat di antara sesama TKW.

Yang paling banyak mulut, pasti teman-temanku sendiri. “Walah mbak’e. ora prei to? Dodolan buah yo? Ha ha ha ha” (Triutami 2012, h.302).

Aku sendiri juga melihat bahwa tidak semua majikan bersikap tak manusiawi. Kadang memang TKW-nya sendiri yang keterlaluan bodoh dan nakal senakal-nakalnya (Triutami 2012, h.322).

Mengingat TKW kebanyakan datang dari kampung antah berantah yang kadang saking katroknya ada juga yang tidak bisa membedakan mana baju untuk dipakai ke pesta dan mana baju untuk dipakai ke pasar (Triutami 2012, h.322).

Astina juga beberapa kali mengungkapkan kekesalannya terhadap teman- temannya sesama TKW. Dia merasa bahwa para TKW selama ini terlalu menurut terhadap majikan padahal majikan tersebut membayarnya underpaid. Dia juga kesal karena beberapa temannya tidak menjaga kebersihan Victoria Park hingga pemerintah membuat papan larangan dalam bahasa Indonesia.

Ada yang pasrah dan dengan lapang hati dibayar underpaid, ada yang memilih mencari kesalahan supaya diterminit (diputus kontrak kerja), tetapi ada pula yang memilih menuntut majikannya melalui pengadilan dengan risiko proses hukum sangat lamban dan selama si TKW menjalani proses hukum itu, ia tidaklah diperbolehkan bekerja. Untuk tempat tinggal sementara, ia tinggal di shelter (Triutami 2012, h.331).

Selain karena suasananya yang hiruk-pikuk, aku juga merasa malu dengan adanya sebuah papan peringatan di sana….namun karena teman-teman selalu membuang sampah sembarangan di sana, khusus di Victoria Park, sampai ada sebuah papan peringatan yang menggunakan bahasa Indonesia, yang mengimbau para TKW supaya jangan buang sampah sembarangan (Triutami 2012, h.332-333).

Fenomena TKW yang memiliki pacar bule juga ditampilkan dalam novel “Aku Bukan Budak”.

Seorang TKW datang lagi dari Hongkong diantar oleh Miss Kiren. Namanya Anggi. Ia sedang menunggu visa juga, sama seperti kami bertiga. Tapi ada yang special darinya, ia sedang menjalin cinta dengan seorang bule asal Kanada. Nama bule itu Josh. Anggi mengenal Josh di sebuah pub malam di Wan Chai. Josh sering memberi uang pada Anggi sehingga ia tak pernah kekurangan suatu apa pun (Triutami 2012, h.376).

Peristiwa mengenai TKW yang memiliki pacar bule ini beberapa kali digambarkan di media Indonesia. Namun penggambaran yang terjadi dalam novel “Aku Bukan Budak” ini cukup berbeda dengan penggambaran yang ada di media lainnya. Misalnya pada film Minggu Pagi di Victoria Park juga ditampilkan adanya peristiwa semacam itu. Penggambaran yang terjadi biasanya bule itu akan memanfaatkan uang TKW untuk memenuhi gaya hidupnya yang mewah. Bule itu biasanya digambarkan memiliki pacar TKW lebih dari satu karena memang niat awalnya hanya untuk mengeruk hasil kerja TKW. Dalam beberapa kasus, TKW bahkan menjadi korban pembunuhan pacar bulenya, seperti kasus yang dialami TKW Suryani (Sudarmawan 2013).

Astina juga menggambarkan rupa-rupa TKW yang ditemuinya selama bekerja di Hongkong.

Astaga. Di boarding house inilah, satu demi satu pengetahuanku tentang TKW di Hongkong terbuka. Aku berdialog dengan TKW yang lesbian, yang pelacur, maupun yang diusir majikannya setelah nekat mendorong si nenek dari kursi roda. Aku menjadi sedikit terhibur karenanya. Aku tak lagi pusing memikirkan nasibku. Aku terpana dengan kisah demi kisah teman-temanku yang menceritakan pengalamannya dengan tawa berderai. Padahal, aku meringis mendengarnya. Namun, lama-kelamaan, aku mulai dapat mendengar cerita mereka bukan hanya dengan telingaku

melainkan hatiku. Di balik tawa mereka kulihat ada sebuah kepalsuan. Mereka sakit. Mereka dendam (Triutami 2012, h.349-341).

Walaupun memiliki posisi yang sama sebagai TKW, dalam kutipan novel “Aku Bukan Budak” tersebut penulis berusaha memisahkan antara “aku” dengan “mereka”. Penampilan pihak “mereka” direpresentasikan secara negatif. Walaupun hal tersebut merupakan pandangan pribadi penulis, penulis bisa mempengaruhi pembaca untuk berpikir sejalan dengan penulis.

Dalam beberapa kutipan-kutipan novel di atas, terlihat bahwa si penulis berusaha menonjolkan siapa dirinya dan terkesan memarjinalkan TKW yang lain. Ada pemisahan antara “aku” dan “mereka”. Kesan yang ditimbulkan adalah timbul penggambaran yang lebih buruk terhadap kelompok “mereka”. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu konsekuensi dari adanya representasi adalah adanya kelompok yang digambarkan tidak semestinya, yaitu diperburuk (Eriyanto, 2001).

Sedangkan dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”, tokoh Aku dideskripsikan sebagai tokoh yang peduli dengan temannya, juga religius. Diceritakan bahwa Hanifa memberanikan diri mengambil telur ayam yang kemudian diberikannya kepada Nur, sahabatnya, yang dari hari ke hari dia lihat semakin kurus. Beberapa kali tokoh Aku juga mengungkapkan bahwa yang paling penting adalah nasib sahabatnya itu.

Namanya juga sama-sama jauh di perantauan dan jauh dari keluarga. Sebagai teman sebangsa dan setanah air, kita harus saling membantu dan mengingatkan (Ummuki 2013, h.29).

Novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” lebih menonjolkan wacana normatif (normative discourse), bahwa sebagai orang yang senasib dan sedang berada di ‘negeri orang’ mereka harus saling membantu. Hubungan antar sesama TKW dalam novel ini digambarkan harmonis dan tanpa konflik.

Melalui tokoh Nur, Hanifa dideskripsikan sebagai orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki kesempatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan dirinya. Hal itu bisa dilihat dari kutipan berikut:

“Dan menurutku, jangan pernah berpikir untuk kembali lagi ke sini. Kamu seorang sarjana dan punya bakat. Kamu sangat tidak pantas menjadi pembantu di negeri orang. Carilah pekerjaan di kampung halaman. Aku yakin masih banyak yang membutuhkan dirimu. Seperti ceritamu, kamu pernah mengajar di pesantren. Jangan sia-siakan bakat dan ilmu yag kamu miliki” (Ummuki 2013, h.34).

Posisi tokoh “aku” dalam hal ini adalah sebagai aktor. Sebagai seorang aktor, tokoh Aku atau penulis memiliki kuasa dalam mendeskripsikan hubungan yang terjadi diantara dia dan rekan-rekannya. Pendeskripsian itu tentu saja bersifat subjektif karena menggunakan sudut pandang dari penulis.

Sebagai orang yang berkewarganegaraan sama dan menetap pada tempat baru, maka tidak mengherankan jika timbul solidaritas diantara para TKW. Orang sebangsa inilah yang seringkali dijadikan teman curhat dan berkeluh kesah. Jauh dari sanak keluarga juga mempererat hubungan mereka di tanah perantauan. Jika ada temannya yang kesusahan, mereka tidak ragu untuk membantu dan mensupport. Hal tersebut menunjukkan adanya wacana normatif, bahwa sebagai perantau mereka harus saling membantu.

Namun sebagai manusia, konflik tetap saja muncul diantara sesama TKW. Interaksi sebagai sesama perantau di boarding house itu tidak harmonis. Setiap hari, bahkan setiap waktu, ada saja yang akan menjadi pemicu pertengkaran. Faktor utama yang paling sering menjadi pemicu pertengkaran adalah soal makanan (Triutami 2012, h.383). Hubungan yang tidak harmonis juga ditunjukkan ketika Astina dijauhi temen-temannya sesama TKW karena tidak pernah ikut berkumpul mengobrol dengan mereka.

Bahkan hubungan yang terjalin antara para TKW di Hongkong ini juga merambah pada ranah seksualitas. Hal ini bisa dilihat dari adanya beberapa orang TKW yang kemudian menjadi seorang lesbian. Isu mengenai lesbianisme ini santer terdengar terjadi pada TKW Hongkong. sedangkan pada Negara lain, isu- isu mengenai hal ini jarang terdengar.

Tidak ada kain pembatas, tidak ada privasi di situ. Jadi, tidak heran bila kemudian banyak benih-benih ketertarikan sesama jenis muncul di BLK, di tengah kesepian dan kelemahan iman para calon TKW (Triutami 2012, h.107).

Selain itu, ada teman-teman yang sibuk dan heboh ngerumpi tentang bermunculannya para lesbian yang selalu “kikuk- kikuk”-istilah teman-teman BLK untuk para lesbian yang sedang bercumbu dengan pasangannya di dalam selimut (Triutami 2012, h.175).

Ketika masih menunggu visa kerjanya di Macau, Astina bertemu dengan seorang TKW bernama Lulu. Pada suatu hari Lulu, dengan beruaraian air mata, membuat suatu pengakuan bahwa dia adalah seorang lesbian. Dia berbuat demikian karena pernah dikhianati pacar laki-lakinya. Karena statusnya yatim piatu dan tidak memiliki siapapun, akhirnya Lulu

memilih untuk berangkat ke Hongkong dan menjadi lesbian (halaman 372).

Di Hongkong Astina juga beberapa kali membaca artikel di Koran mengenai pernikahan TKW sesame jenis yang berasal dari Indonesia. Pernikahan atau pertunangan sesame jenis di kalangan TKW Hongkong sudah dianggap sebagai hal yang lumrah (halaman 333-334).

Ketika Astina bertemu dengan Cici di sebuah restoran, mereka berpelukan. Beberapa orang melihat mereka dengan tatapan menyelidik.

Belakangan kami baru mengetahui bahwa persahabatan di antara dua wanita pendatang (khusunya pendatang dari