• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

II.1 Wacana Tenaga Kerja Wanita di Indonesia

Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan salah satu pekerjaan yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Terlebih bagi masyarakat dari keluarga kurang mampu. Iming-iming gaji yang besar dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan di negeri sendiri seringkali menjadi alasan bagi mereka untuk bekerja sebagai TKI.

Bekerja di luar negeri bagaikan harapan bagi para tenaga migran Indonesia untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri. Menurut data yang ada, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri sepanjang 2013 mencapai 512.168 orang. Tahun sebelumnya, jumlah TKI sebanyak 494.609 orang. Dari data tersebut sebanyak 276.998 orang berjenis kelamin perempuan yang mayoritas bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) atau yang lebih dikenal sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Sementara TKI laki-laki berjumlah 235.170 orang (Praditya 2014).

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat TKI-TKI tersebut tersebar di 160 negara. Beberapa negara yang menjadi tujuan favorit bagi para TKI diantaranya adalah Malaysia, Hongkong, Taiwan, dan Arab Saudi. Jumlah WNI yang menjadi TKI dan TKW sangatlah besar jika dibandingkan dengan jumlah WNI yang bekerja menjadi

tenaga profesional, Anak Buah Kapal (ABK), pelajar, dan juga permanent resident yang menikah dengan penduduk asli negara itu.

Dari jumlah yang ada, TKI berasal dari 392 Kabupaten/Kota dari 500 kabupaten/kota yang ada di Indonesia (Nurhayat 2013). Tiga kota yang menjadi pemasok TKI terbanyak pada tahun 2013 yaitu Lombok Timur (33.287 orang), Indramayu (28.410 orang), dan Cirebon (18.675 orang) (Praditya 2014).

Penghasilan yang diperoleh oleh para TKI ini jumlahnya cukup besar. Menurut data yang dihimpun oleh Bank Indonesia, jumlah uang yang dikirimkan para TKI ke keluarganya sangat besar yaitu mencapai US$ 7,4 miliar atau sekitar Rp 88 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 6,9 miliar. Bahkan pada tahun 2013 disebutkan bahwa jumlah pemasukan dari para tenaga migran mencapai Rp 100 triliun per tahun (Wahyuni 2013). Jumlah tersebut belum termasuk uang tunai yang dibawa langsung oleh TKI ketika pulang maupun yang dikirimkan melalui jasa pengiriman lain seperti wesel pos (Setiawanto 2014). Pemasukan devisa yang diberikan oleh para tenaga migran sangat besar kepada Indonesia. Karena itulah mereka dijuluki sebagai pahlawan devisa.

Para TKI itu terbagi dalam 2 sektor pekerjaan, yaitu sektor formal dan sektor informal. Hingga November 2013, data penempatan TKI BNP2TKI mencatat sebanyak 55% TKI bekerja pada sektor formal sedangkan sisanya berada pada sektor informal. Para TKI sektor informal inilah yang seringkali mengalami penyiksaan karena pihak terkait tidak leluasa untuk mengawasi. Sektor

informal dianggap sebagai sektor privat yang bahkan tetangga sekitarnya saja tidak bisa terlelu mencampuri urusan itu.

Menurut rumusan Pasal 1 angka 1 UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sedangkan TKW mengacu pada TKI yang berjenis kelamin perempuan.

Walaupun memberikan pemasukan devisa yang cukup besar bagi Indonesia, beberapa masyakat masih memandang rendah status TKI khususnya TKW hanya karena pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga atau buruh migran. Sebab itulah tidak sedikit yang menilai TKW itu 'rendahan'. Ketika demokrasi dan hak-hak mengenai kesetaraan digembar-gemborkan secara universal, TKW masih saja dipandang sebelah mata, bahkan kerapkali diperlakukan sebagai budak. Padahal yang mereka lakukan memiliki banyak sekali resiko. Namun masyarakat seakan menganggap bahwa hal itu adalah hal yang wajar untuk dipertaruhkan jika ingin bekerja sebagai TKI.

Agusdin menjelaskan, secara umum permasalahan TKW berupa tingkat kaburan masih tinggi, gaji tidak dibayar karena majikan berpenghasilan rendah, keterampilan teknis dan bahasa serta pemahaman budaya adat istiadat belum memadai, pelecehan seksual dan penganiayaan, gaji sangat rendah dibandingkan dengan negara penempatan di Kawasan Asia Pasifik, sebagian besar Mitra Usaha/Agency cenderung mengingkari perjanjian kerjasama penempatan dan lemahnya manajemen PPTKIS (2013).

Pandangan orang mengenai pekerjaan sebagai TKW ini bagaikan 2 sisi mata uang. Di satu sisi, banyak orang menganggapnya sebagai pekerjaan rendah karena mayoritas TKW berasal dari keluarga kurang mampu dan rata-rata bekerja sebagai pembantu rumah tangga ataupun buruh pabrik ketika berada di luar negeri. Di sisi yang lain, pekerjaan ini membawa prestise tinggi di lingkungan sekitar tempat TKW itu tinggal karena beberapa di antara mereka menjadi orang sukses ketika kembali ke kampung halaman. Mereka biasanya mampu membeli tanah, membangun rumah, ataupun membeli perabotan pelengkap lainnya. Namun banyak juga yang kemudian pulang dengan tangan hampa, bahkan mereka di negara tempatnya bekerja mendapatkan berbagai siksaan atau diperkosa oleh majikannya.

Stereotipe yang berkembang di masyarakat mengenai TKI/ TKW juga akibat dari adanya publikasi dari media massa. Media massa Indonesia lebih sering menyorot mengenai penyiksaan yang dialami oleh para pekerja migran. Namun kadang, kasus-kasus yang menyeruak di media cepat naik daun kemudian cepat hilang. Kasus-kasus itu sekanan dianggap angin lalu karena pemerintah tampak tidak serius menanganinya. Pada kenyataannya, kasus-kasus yang tampil di media itu juga tidak menyurutkan keinginan CTKW yang lain untuk menjadi TKI/TKW. Hal tersebut terbukti dari semakin meningkatnya jumlah TKI/TKW yang dikirimkan setiap tahunnya.

Selain ditampilkan melalui media massa pada umumnya, diskursus mengenai TKI/TKW juga mulai ditampilkan pada media massa populer seperti

misalnya film Minggu Pagi di Victoria Park. Sedangkan buku-buku mengenai TKW misalnya Kumpulan Cerpen Majikanku Empu Sendok karya Denok K. Rokhmatika, Sumi: Jejak Cinta Perempuan Gila karya Maria Bo Niok, Novel Burung-Burung Migran karya Miranda Harlan dan Sutik AS, dan lain sebagainya. II. 2 Novel sebagai Media Massa dan Teks

Novel di Indonesia seringkali masih dianggap sebagai karya sastra. Padahal selain sebagai karya sastra, novel juga merupakan media massa. Sebagai bagian dari komunikasi massa, novel turut berperan dalam suatu praktik distribusi pesan-pesan tertentu. Pesan dalam sebuah novel dikonstruksi oleh sang komunikator melalui sebuah setting, ruang waktu, dan penokohan yang ada dalam alur cerita yang disajikan. Novel dijadikan wadah bagi pengarang untuk mencurahkan pemikiran ataupun perasaannya. Walau novel kebanyakan merupakan kisah fiksi, namun kisah itu sebenarnya dipengaruhi oleh kejadian yang nyata. Dalam novel, pengarang menggunakan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan luapan perasaan dari kehidupan yang telah pengarang lihat, dengar, alami, dan rasakan ke dalam suatu wadah yaitu novel.

Meurut Damono, novel sering tidak bisa dipisahkan dari keadaan masyarakat yang melibatkan penulis dan juga pembacanya (Damono 1979). Kaitan antara novel sebagai sastra dan dunia sosial ditegaskan oleh Swingewood (dalam Damono 1979, h.3-4) bahwa “sastra berurusan dengan dunia sosial manusia, usaha untuk menyesuaikan diri dan keinginan untuk mengubahnya”. Maka tidak heran jika dulu pemerintah melarang peredaran buku-buku tertentu,

misalnya buku karangan Pramoedya Ananta Toer dan Rendra, karena sifat buku- buku itu dianggap sebagai “bacaan liar” yang bisa mempengaruhi pembacanya layaknya fungsi sebuah media massa.

Menurut Marcel Danesi dalam bukunya yang berjudul Pengantar Memahami Semiotik Media, jenis buku pertama yang dirancang untuk menarik perhatian massa adalah novel fiksi. Novel merupakan artefak pengalihan pikiran massa dalam budaya pop yang baru muncul pada abad kedua puluh (Danesi 2010, h.75). Novel merupakan sebuah teks naratif. Novel menceritakan kisah yang merepresentasikan suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan nyata atau merangsang imajinasi. Sering dalam proses pengisahannya, novel merujuk secara langsung atau tidak ke teks-teks lain. Lebih lanjut Danesi menyatakan bahwa novel juga merupakan medium yang efektif untuk meneropong sifat manusia dan masyarakat (2010).

Novel bersifat naratif, artinya ia lebih bersifat “bercerita” daripada “memperagakan”. Namun tentu saja novel bisa membuat penggambaran atau deskripsi yang detail sehingga seolah-olah peristiwa itu dihadirkan dihadapan pembaca. Bahasa yang digunakan dalam novel biasanya adalah bahasa sehari-hari. Dengan begitu novel memungkinkan pembaca untuk membaca tanpa kesulitan yang berarti jika dibandingan dengan pusisi. Hal tersebut semakin mendekatkan novel dengan “dunia yang sebenarnya”.

Novel membawa tujuan dan maksud tertentu dalam pembuatannya. Sang penulis novel tentunya memiliki kuasa atas tema atau cerita yang akan dibuatnya.

Secara otomatis, novel tersebut juga membawa ideologi dari sang penulis novel yang mempengaruhi isi cerita novel tersebut.

Novel bukan sekedar imajinasi penulis, melainkan suatu fakta sosial. Sebagai fakta sosial, ‘novel tidak hanya mencerminkan berbagai realitas sosial, baik pandangan dunia, kepercayaan, sistem nilai, norma-norma, maupun adat istiadat yang melingkupi penciptaan novel tersebut, melainkan juga mencerminkan tanggapan penulis terhadap berbagai realitas sosial terebut’ (Chusniatun & Thoyibi 2005, h.70).

Menurut Rampan dalam Sugiharti & Saptiawan (2007), realitas yang ada dalam novel dimodifikasi sedemikian rupa menjadi sebuah teks literer yang dimungkinkan menghadirkan pencitraan yang berbeda dengan realitas empiris. Dengan demikian realitas yang dihadirkan melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang terjadi atau yang pernah terjadi di masyarakat yang dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan pencitraan yang berbeda.

Penciptaan novel bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam novel hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin di antara seluruh anggotanya. Kemiripan dengan kehidupan nyata ini menjadi ciri pembeda novel dari karya sasra lainnya, seperti roman atau hikayat.

Tidak semua novel bersifat fiksi. Novel yang berdasar pada kisah nyata biasanya disebut dengan novel faksi. Novel faksi merupakan novel yang keberadaannya antara fiksi dan fakta.Istilah ini diperkelnalkan oleh pengarang asal Amerika, Truman Capote. Dalam karya ini teknik-teknik novel digunakan untuk memunculkan kembali peristiwa-peristiwa sejarah bagi pembacanya. Peristiwa dan tokoh dalam jenis novel ini adalah fakta, namun menggunakan rincian rekaan untuk meningkatkan tingkat keterpercayaan dan keterbacaannya (Aziez & Hasim, 2010). Dengan rincian rekaan itu memudahkan pembaca untuk mengerti jalan cerita.

Jika selama ini perempuan menjadi objek representasi penulis laki-laki dengan berbagai biasnya, maka saa ini para penulis perempuan mulai menulis tentang kaumnya, tentang bagaimana hubungan antara perempuan dengan laki- laki, dan tentang dunia dari perspektifnya sendiri.

Lahirnya novel-novel dengan penulis wanita tersebut juga tidak lepas dari sitem politik demokrasi. Hal ini mendorong orang, yang dalam hal ini perempuan, untuk menyampaikan isi, pikiran, dan perasaannya melalui buku. Saat ini banyak bermunculan penulis-penulis baru yang ingin menunjukkan karyanya.