• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini mengenai wacana TKW yang ada dalam novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Batasan dalam penelitian ini hanya meneliti struktur subjek-objek serta struktur penulis-pembaca dalam teks tanpa melakukan interview kepada pihak penulis novel dan pembaca. Berdasarkan rumusan masalah mengenai bagaimana wacana TKW diartikulasikan dalam novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”, dapat ditarik kesimpulan bahwa TKW masih diposisikan sebagai kaum marjinal. Wacana mengenai TKW yang ada dalam kedua novel tersebut masih sejalan dengan wacana dominan yang ada.

Pada kaitan TKW dan kapitalisme, TKW digambarkan tersubordinasi oleh kapitalisme dan juga institusi atau kelompok yang seakan berorientasi pada kapitalisme semata, misalnya seperti negara, PJTKI, serta pihak sponsor. TKW diposisikan sebagai objek, sedangkan negara, PJTKI dan pihak sponsor yang berorientasi pada kapitalisme dianggap sebagai subjek. Dalam hubungannya dengan negara, negara dianggap kurang serius dalam menangani masalah penempatan dan perlindungan para TKW. Negara sekan hanya ingin memperoleh pemasukan devisa mereka saja, sedangkan faktor keselamatan mereka diabaikan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat seolah tidak pro TKW. Begitu pula dengan PJTKI dan pihak sponsor yang menganggap pemberangkatan TKI/TKW sebagai lahan bisnis.

Pemarjinalan terhadap TKW terjadi bukan hanya saat TKW telah berada di luar negeri, ketika masa pra keberangkatan dan paska kembali ke Indonesia pun mereka kerap mengalami kekerasan dan ketidakadilan. Bentuk dari ketidakadilan itu berupa pemberlakuan beban pajak yang tinggi, pemerasan, tidak meratanya pembagian informasi, dan lain sebagainya. TKW diwacanakan sebgai pihak yang minim kuasa sehingga tidk mampu melawan

Dalam kaitan antara TKW dan kapitalisme, terdapat wacana alternatif berupa protes yang dituangkan dalam novel, khususnya pada novel “Aku Bukan Budak”. Wacana alternatif itu berupa protes maupun kritisi yang ditujukan kepada pemerintah atau negara terkait perbaikan proses pemberangkatan, penempatan, dan kepulangan para TKW. Hal tersebut termasuk dalam suatu bentuk perlawanan karena penulis perempuan berani untuk menyuarakan aspirasinya. Perlawanan itu menunjukkan bahwa TKW tidak selamanya diam atas penindasan yang dilakukan kepadanya.

Terkait dengan relasi yang terjalin antara TKW dengan majikan, wacana yang diartikulasikan juga masih menonjolkan wacana dominan. TKW digambarkan sering menerima siksaan dari majikannya. Majikannya memiliki posisi sebagai subjek dan pembantu/TKW sebagai objek. Melalui relasi tersebut, TKW mengalami kekerasan multilapis, yaitu kekerasan berbasis gender, kekerasan berbasis ras, dan kekerasan berbasis kelas. Kekerasan berbasis gender terjadi karena TKW berjenis kelamin perempuan,

Kekerasan berbasis ras terjadi karena TKW dianggap berasal dari ras yang berbeda dengan mereka, Ras Indonesia seringkali dianggap lebih rendah dibandingkan dengan ras majikan. Bahkan diantara domestic helper yang ditampilkan dalam novel “Aku Bukan Budak”, TKW dari Indonesia digambarkan lebih marjinal diantara yang lain. Majikan nampak merendahkan ketika TKW asal Indonesia mampu berpikir kritis dan memiliki kemauan untuk mengakses informasi di media massa.

Sedangkan kekerasan berbasis kelas terjadi karena TKW sebagai pembantu dianggap rendah kedudukannya jika dibandingkan dengan majikan. Pembantu diwacanakan harus siap diperintah dan menurut dengan semua yang dikatakan majikan. Mereka juga harus siap menerima cacian dan hukuman berupa siksaan jika apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan kehendak majikan. Wacana demikian tampil dalam kedua novel yang menjadi objek penelitian.

Mengenai relasi yang terjadi antara TKW dengan majikan, novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” mengartikulasikan adanya wacana alternatif. TKW direpresentasikan bisa hidup harmonis dengan majikannya. Beberapa majikan digambarkan sebagai majikan yang baik. Bahkan dalam novel tersebut juga ditampilkan adanya wacana lain yang berupa perlawanan langsung yang dilakukan oleh tokoh utama kepada majikannya. Sedangkan dalam novel “Aku Bukan Budak”, perlawanan TKW terhadap majikan ditampilkan secara diam-diam yaitu berupa pegambilan bahan makanan majikan yang sebenarnya adalah hak dari sang pembantu.

Sedangkan dalam relasi yang terjadi antar sesama TKW, wacana yang ditampilkan berbeda dalam dua novel tersebut. Dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” lebih ditonjolkan wacana normatif (normative discourse). TKW direpresentasikan sebagai individu yang saling membantu sesama TKW yang lain, baik itu berupa bantuan moril dan materi. Bantuan moril berupa hadirnya TKW sebagai tempat curhat oleh temannya yang lain disertai dengan pemberian saran dan kata-kata penyemangat untuk saling menguatkan. Sedangkan bantuan materi berupa peminjaman, bahkan pemberian, uang kepada temannya sesama TKW yang membutuhkan. Wacana demikian sejalan dengan normative discourse bahwa sebagai perantau di ‘negeri orang’ mereka hendaknya saling membantu. Wacana demikian tampil dalam kedua novel namun lebih menonjol pada novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”.

Wacana lain yang ditampilkan pada relasi antar sesama TKW terkesan mensubordinatkan TKW yang lain. Penulis novel “Aku Bukan Budak” beberapa kali masih melakukan misrepresentasi temannya sesama TKW. Penulis membuat dikotomi antara “aku” dan “mereka” dengan penempatan “aku” lebih unggul dibandingkan yang lain. Keunggulan itu diartikulasikan penulis lewat narasi mengenai kecantikan fisiknya, sifatnya, serta kepandaiannya yang diungkapkan oleh tokoh “aku” maupun tokoh yang lain.

Sedangkan tokoh “mereka” direpresentasikan sebagai orang yang bodoh karena mau dibayar underpaid, direpresentasikan sebagai penyebab majikan ingin memperkosanya, dianggap ‘kampungan’ karena mengenakan pakaian yang

menggunakan waktu liburnya untuk bersantai-santai saja. Hal-hal seperti itulah yang kemudian menjadikan TKW masih memiliki stereotipe negatif. Penggembaran negatif tersebut bertentangan dengan normative discourse yang seharusnya terjadi.

Dalam relasi antar sesama TKW ini nampak bahwa tokoh utama memiliki posisi sebagai subjek, yang memiliki akses untuk mendefinisikan tokoh lain. Sedangkan TKW lain yang didefinisikan sebagai objek.

Kedua novel yang menjadi objek penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun novel-novel tersebut ditulis oleh perempuan yang juga memiliki pengalaman menjadi TKW, nyatanya mereka beberapa kali masih mereproduksi wacana dominan bahkan saat merepresentasikan kaumnya. Hal ini menunjukkan bahwa wacana dominan telah menghegemoni penulis untuk mereproduksi atau melanggengkan wacana tersebut.

Walaupun sering kali ditampilkan adanya wacana dominan berupa penindasan terhadap TKW, kedua novel juga menampilkan wacana lain berupa perlawanan yang dilakukan TKW terhadap individu maupun kelompok yang menindasnya. TKW digambarkan tidak lagi powerless melainkan bisa berpikir kritis dan melawan. Dalam kedua novel juga disisipkan pesan-pesan agar para TKW maupun perempuan pada umumnya agar berani. Hal ini merupakan sebuah enlightment kepada yang lain bahwa perempuan harus berani untuk memperjuangkan harga diri dan hak-haknya. Kedua novel ini berusah menunjukkan bahwa tidak selamanya perempuan tidak berdaya.

Secara keseluruhan, wacana TKW yang ditampilkan dalam kedua novel masih mereproduksi dan melanggengkan wacana dominan yang ada, bahwa TKW masih memiliki posisi marjinal yang seringkali mengalami kekerasan dari berbagai pihak. Walaupun memang diakui kedua penulis juga berusaha menyertakan wacana alternatif berupa perlawanan para TKW.

Terkait dengan struktur penulis-pembaca, penulis berusaha mensugesti pembaca agar turut peduli dengan permasalahan yang menimpa TKW. Untuk melakukan hal tersebut, penulis menggunakan penyapaan secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembaca. Dengan begitu pembaca akan merasa menjadi bagian dari teks dan menumbuhkan kepedulian dalam diri mereka.

IV.2 Saran

Dalam mengeksplorasi wacana TKW yang ada dalam novel, penelitian ini hanya berfokus pada wacana yang terjadi dalam relasi TKW dengan negara, TKW dengan majikan, dan TKW dengan TKW. Diharapkan penelitian selanjutnya bisa meneliti dengan sudut pandang lain, karena wacana mengenai TKW ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang.

Untuk hasil yang lebih sempurna, penelitian mengenai wacana juga bisa dilakukan dengan menggunakan metode analisis semiotik-diskursif. Dengan menggunakan metode tersebut, penelitian akan lebih rinci. Peneliti bisa meneliti mengenai representasi dari struktur semiotik yang ada dalam novel kemudian menghubungkannya dengan diskurs mengenai TKW yang ada di masyarakat. Semiotik akan membantu peneliti menganalisis dalam hal simbol dan penandaan sedangkan analisis diskurs untuk menganalisis dalam level teks dan konteks.

DAFTAR PUSTAKA