• Tidak ada hasil yang ditemukan

Review Novel “ Dari Tanah Haram ke Ranah Minang ”

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

II.3 Wacana TKW dalam Novel Indonesia

II.3.2 Review Novel “ Dari Tanah Haram ke Ranah Minang ”

Dalam novel ini sang pengarang, Ummuki, menggunakan nama lain dalam menceritakan kisah hidupnya. Tokoh utama dalam novel ini bernama Hanifa. Hanifa adalah orang Minang, lulusan S1 yang menjadi ustadzah di sebuah pesantren. Suatu hari dia dihamili oleh lelaki kenalannya yang berdagang di pasar. Ketika meminta pertanggungjawaban, lelaki itu malah menyuruh Hanifa untuk menggugurkan kandungannya. Karena tidak ingin membuat dosa yang lebih banyak, dia enggan melakukannya. Sebisa mungkin Hanifa berusaha menyembunyikan kehamilannya. Namun akhirnya rahasia itu terkuak juga oleh keluarga dan para teteangganya. Hanifa merasa sangat bersalah karena telah mempermalukan keluarga dan juga pesantrennya.

Gambar II.2 Halaman sampul novel Dari Tanah Haram ke Ranah Minang

Keluarga langsung mendesak si lelaki untuk bertanggungjawab. Karena desakan tersebut, akhirnya mereka berdua menikah di bawah tangan. Pernikahan itu hanya dianggap sekedar pelepas tanda tanya dan kejelasan status saja. Selesai pernikahan, si lelaki kabur dan tidak bertanggung jawab.

Setelah anaknya berusia 1 tahun, Hanifa memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Dia tidak ingin terus-menerus menjadi beban keluarga. Di Jakarta, awalnya Hanifa menumpang pada adik kelasnya di pesantren dulu. Hingga suatu hari dia akhirnya tinggal di sebuah panti sosial. Di sana dia mendapat tempat tinggal dan bekal berupa pelatihan-pelatihan gratis.

Setelah tinggal selama 6 bulan, Hanifa ke luar panti dan menikah dengan Firman yang dulunya juga tinggal di panti sosial. Mereka tinggal di emperan sebuah WC umum karena mereka tidak memiliki tempat tinggal. Firman hanya bekerja serabutan. Setelah kelahiran anaknya yang kedua, Hanifa beserta keluarganya pindah ke Tegal. Mereka merasa bahwa keadaan mereka akan sama saja, atau mungkin lebih buruk jika masih menetap di Jakarta.

Setelah tinggal di Tegal, keadaan ekonomi keluarganya ternyata tidak mengalami perubahan. Suatu hari suaminya menawari Hanifa untuk bekerja di Arab Saudi. Awalnya Hanifa ragu. Namun demi biaya sekolah anak-anaknya dan perbaikan ekonomi keluarga, Hanifa akhirnya pergi walaupun dengan berat hati meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil. Suaminya lah yang mengurus semua persyaratannya untuk menjadi TKW sementara anak-anaknya akan dititipkan pada kakak-kakak Hanifa yang ada di Bukittinggi.

Setiba di Arab Saudi, Hanifa memperoleh majikan yang memiliki 9 anak. Dua anaknya yang masih sekolah, Saidi dan Nabil, tinggal bersama majikannya, Mama Humairah. Di rumah itu juga tinggal suami dari Mama Humairah yang menderita penyakit gula yang hanya bisa berbaring di kamarnya. Di rumah majikannya itu lah Hanifa dipekerjakan bagaikan mesin. Hanifa harus siap disuruh untuk melakukan apa pun dan kapan pun, bahkan untuk hal-hal sepele seperti mengambil remote TV yang ada di depan majikan.

Di sebelah rumah majikannya tinggal anak laki-laki tertua dari Mama, yaitu Baba Mahmud, yang memiliki pembantu asal Indonesia bernama Nur. Hanifa dan Nur menjalin persahabatan dan kerap bertemu. Itupun dengan cara curi-curi kesempatan tanpa sepengetahuan para majikannya. Pertemuan itu juga tidak berlangsung lama, hanya sekedar pelukan hangat dan saling menanyakan kabar.

Untuk menyiasati masalah komunikasi antara mereka berdua, Hanifa dan Nur berkomunikasi lewat surat yang diletakkan di pos rahasia yang hanya diketahui mereka berdua. Lewat surat-surat itu lah mereka saling menceritakan kejadian yang mereka alami dan saling memberikan nasihat.

Suatu hari ketika Mama dan Nabil pergi, Hanifa hampir saja mengalami pemerkosaan oleh Saidi. Namun Hanifa berhasil lolos. Kejadian itu tidak hanya terjadi satu kali, untungnya Hanifa selalu bisa meloloskan diri. Kejadian pelecehan juga dialami oleh Nur. Kerabat majikannya, yang dijuluki si gondrong,

kerap kali melakukan pelecehan seksual kepadanya. Nur tidak berani melapor karena yakin bahwa majikannya akan lebih percaya kepada kerabatnya.

Walaupun tidak bisa ke luar rumah dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, Hanifa tetap bisa menjalin pertemanan dengan beberapa TKW yang lain. TKW-TKW itu adalah pembantu dari anak-anak Mama Humairah. Anak-anak dan cucu Mama Humairah sering berkunjung ke rumah, yang tentu saja dengan membawa serta para pembantunya. Pada saat itu Hanifa akan repot membersihkan rumah dan menyiapkan makanan. Namun dia juga senang karena dengan begitu dia bisa bertemu dan saling bercerita dengan teman-temannya.

Dalam pertemuan itu para TKW saling berbagi cerita mengenai kejadian yang menimpa mereka. Ada yang mengalami pelecehan seksual, disiksa secara fisik, tidak diberikan hak-haknya untuk makan dan berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia, dan lain sebagainya. Namun ada juga yang mendapat majikan baik. Mereka yang beruntung dihajikan atau diumrahkan oleh majikannya. Mereka juga tidak pernah dibentak-bentak, dan selalu diberikan hak- haknya.

Suatu hari Hanifa meminta izin pulang Indonesia pada majikannya. Dia beralasan telah 5 tahun tidak bertemu ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Dulu ketika ayahnya meninggal, Hanifa tidak sempat menemani saat terakhirnya. Dia tidak ingin kejadian yang sama menimpa ibunya. Majikannya tidak langsung menyetujuinya. Majikannya akan meminta persetujuan dari Baba Mahmud terlebih dulu, karena dialah yang memutuskan segala keputusan di 2 rumah itu.

Singkat cerita, karena kegigihannya untuk terus meminta pulang, akhirnya Hanifa dipulangkan oleh majikannya walaupun harus membeli tiket dengan uangnya sendiri. Namun dia termasuk salah satu TKW yang beruntung karena majikannya memberikan semua gaji yang sempat ditahan oleh sang majikan. Begitu pula dengan Nur yang memang masa kerjanya selama dua tahun telah berakhir. Nur akhirnya bisa pulang ke Indonesia dengan perasaan suka cita.

BAB III PEMBAHASAN

Pada bagian ini peneliti membahas mengenai wacana TKW yang ada di dalam objek penelitian. Seperti yang telah dijelaskan dalam Latar Belakang Masalah sebelumnya, untuk menganalisis wacana TKW dalam 2 novel yang menjadi objek penelitian, peneliti membaginya ke dalam dua subbab utama. Subbab pertama membahas mengenai struktur subjek-objek sedangkan subbab kedua membahas mengenai struktur penulis-pembaca. Penelitian ini dibatasi dengan hanya melakukan analisis dalam teks tanpa melakukan interview kepada penulis terkait proses produksi teks, maupun kepada pembaca terkait penerimaan mereka terhadap teks.

Hal ini sejalan dengan metode yang digunakan oleh Sara Mills dalam menganalisis wacana. Sara Mills mengungkapkan bahwa untuk menguraikan suatu wacana diperlukan dua cara yaitu melihat struktur subjek-objek serta melihat struktur antara penulis-pembaca. Hal ini penting karena fokus metode Sara Mills melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan. Hal tersebut akan berpengaruh pada bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara menyeluruh. Sedangkan posisi penulis-pembaca digunakan untuk mengidentifikasikan bagaimana pembaca ditempatkan dalam teks. Hal tersebut mempengaruhi bagaimana teks akan dipersepsi oleh pembaca (Eriyanto 2001).

Struktur penulis-pembaca secara tidak langsung akan tersirat secara tekstual dalam gaya penulisan dan gaya penulis melakukan penyapaan terhadap pembacanya (Eriyanto 2001). Sehingga untuk menganalisis struktur tersebut tidak harus melakukan wawancara kepada penulis maupun pembaca novel.

Dalam subbab pertama, peneliti memilah analisisnya lagi ke dalam beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut digunakan untuk melihat kaitan TKW dan kapitalisme, hubungan TKW dengan majikan, serta hubungan TKW dengan sesama TKW. Peneliti melihat bahwa dalam hubungan yang terjadi pada ketiga relasi tersebut terjadi artikulasi wacana TKW yang unik dan berbeda. Dalam relasi yang terjadi antara TKW dengan sistem maupun pihak tersebut, peneliti melihat adanya ketimpangan kuasa karena didominasi salah satu pihak saja.

Inti dari metode analisis wacana kritis dalam sebuah wacana adalah menguraikan relasi kuasa, dominasi, dan ketimpangan yang diproduksi, yaitu mendeteksi masalah sosial, terutama diskriminasi. Peneliti mengasumsikan bahwa kapitalisme, majikan, dan bahkan sesama TKW sendiri pun secara tidak langsung memproduksi maupun mereproduksi diskriminasi terhadap kelompok TKW.

Novel bukan sekedar hasil imajinasi penulis, mengingat bahwa novel yang dijadikan objek analisis dalam penelitian ini berangkat dari kisah nyata para penulisnya. Novel di sini juga merupakan suatu fakta sosial. Sebagai fakta sosial novel berperan ‘mencerminkan berbagai realitas sosial, pandangan dunia, kepercayaan, sistem nilai, norma-norma, maupun adat istiadat yang tidak hanya melingkupi penciptaan novel tersebut, melainkan juga mencerminkan tanggapan

penulis terhadap berbagai realitas sosial’ (Chusniyatun & Thoyibi 2005, h.70). Hal tersebut tidak terelakkan karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa novel merupakan wadah bagi penulis untuk menyampaikan gagasannya. III.1 Struktur Subjek-Objek dalam Novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”

Dalam subbab pertama ini peneliti menganalisis struktur subjek-objek yang ada di dalam novel. Subbab ini terbagi lagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama membahas mengenai kaitan TKW dan kapitalisme. Dalam kaitan tersebut, terdapat institusi-institusi seperti negara, PJTKI, dan pihak sponsor. Peneliti mengasumsikan bahwa institusi dan pihak-pihak tersebut dipengaruhi oleh kapitalisme sehingga hanya berorientasi pada keuntungan dan memarjinalkan TKW. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran feminis marxis yang menganggap bahwa opresi terhadap perempuan diakibatkan oleh kapitalisme dan perbedaan kelas (Tong 2008).

Bagian kedua membahas mengenai hubungan antara TKW dan majikan, yang mana ketika disajikan di media majikan inilah yang paling sering ditampilkan menyiksa dan melakukan kekerasan kepada TKW. Bagian ketiga membahas mengenai hubungan antara sesama TKW. Dalam hubungan antar personal ini terkadang juga terjadi pemarjinalan terhadap sesamanya karena sebagai seorang pribadi mereka tentu memiliki pandangan berbeda antara satu individu dengan yang lain.

Sara Mills menekankan pada bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa itu ditempatkan dalam teks. Posisi tersebut berakibat pada bagaimana teks akan disampaikan. Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa penguraian struktur subjek-objek dalam sebuah wacana adalah sesuatu yang penting. Setiap aktor pada dasarnya mempunyai kemungkinan menjadi subjek atas dirinya sendiri dan mempunyai kemungkinan atas penggambaran dunia menurut persepsi dan pendapatnya. Aktor berperan untuk mendefinisikan, melakukan penceritaan, sesuai dengan perspektif dan kepentingannya (Eriyanto 2001).