• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

II.3 Wacana TKW dalam Novel Indonesia

II.3.1 Review Novel “ Aku Bukan Budak ”

Astina adalah anak tertua dari 3 bersaudara yang berasal dari keluarga broken home. Astina lahir di Bandung. Namun karena ayahnya dipecat dari AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), dia dan keluarganya kemudian pulang ke tanah kelahiran ibunya di Probolinggo. Pertengkaran yang kerap kali terjadi antara ayah dan ibunya menyebabkan mereka tidak begitu memperhatikan anak-anaknya. Akibatnya, Astina putus sekolah karena keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung serta kegemarannya bermain musik mengganggu waktu belajarnya. Astina yang awalnya masuk kelas favorit dan selalu ranking 3 besar akhirnya lebih memilih untuk merantau ke Bandung. Dia menjadi seorang pengamen untuk mencari pemasukan sekaligus menyalurkan hobi bermusiknya. Orang tua yang awalnya bercerai kemudian rujuk kembali demi adik-adik Astina yang asih kecil.

Gambar II.1 Halaman depan Novel Aku Bukan Budak

Hingga suatu hari ayahnya meminta untuk kembali ke Bandung setelah melakukan operasi colostomy walau sang ibu dan adik-adik Astina tetap tinggal di Probolinggo. Sesampainya di Bandung, ayahnya menceritakan keadaan rumah tangga mereka yang sebenarnya. Ayahnya bercerita bahwa ibu Astina telah menikah lagi dengan seorang bos tomat di pasar tempat ibunya bekerja. Betapa remuk hati Astina mengetahui rumah tangga orang tuanya akhirnya tetap hancur.

Karena keadaan ayahnya semakin memburuk, Astina mengusahakan ayahnya untuk dirawat di Rumah Sakit dengan bantuan BPJS serta hutang dari teman-temannya. Namun karena organ pencernannya sudah rusak parah, beberapa hari kemudian ayahnya meninggal. Dari kejadian itulah Astina kemudian bertekad untuk bekerja di luar negeri untuk membayar hutang pengobatan ayahnya serta untuk biaya sekolah adik-adiknya. Astina tidak mempunyai alasan khusus kenapa memilih Hong Kong sebagai Negara tujuannya. Dia hanya menuruti apa kata hatinya.

Pengalamannya sebagai calon TKW dimulai ketika Astina mendapatkan seorang sponsor yang tidak bertanggung jawab bernama Bu Rina. Bu Rina memasukkannya dalam sebuah Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang tidak kompeten. Ia dan dua orang temannya ditinggalkan begitu saja dengan hanya dibekali uang yang minim. Padahal selama berada di PT dia dan anak buahnya berada dalam tanggung jawabnya. Pihak PT juga terkesan tidak memanusiakan para calon TKW yang mendaftarkan diri di tempatnya. Pihak PT hanya menyediakan sebuah ruangan tempat tidur beralaskan tikar. Itupun sudah penuh

sesak. Bahkan banyak dari calon TKW itu tidur di bangku-bangku yang berada di lantai bawah.

Kesengsaraan juga mulai menghampirinya ketika berada di BLK (Balai Latian Kerja). Tidur dalam satu ruangan bersama puluhan Calon TKW (CTKW), mendapat makanan yang tidak memadai, fasilitas BLK yang minim, merupakan beberapa kejadian tak menyenangkan yang menimpa dirinya. Para guru juga tidak menunjukkan sikapnya sebagai seorang pendidik. Tugas mereka seakan hanya menerima setoran hafalan bahasa para CTKW sesuai dengan negara tujuannya. Bahkan beberapa dari mereka sering memanfaatkan para CTKW untuk kepentingan pribadi.

Karena pengalamannya sejak kecil, Astina menjadi sosok yang mudah bergaul dan berani terhadap apapun. Beberapa kali Astina menenjukkan sikap perlawanannya kepada guru BLKnya yang semena-mena. Dia juga yang paling berani memprotes ke sponsornya karena ditelantarkan begitu saja.

Setelah menjadi TKW Astina masih harus menerima berbagai kenyataan pahit. Dia harus menerima potongan gaji untuk membayar pajak dan pelatihannya selama di BLK. Potongan itu sebesar HK$3000 yang harus dibayarkannya selama 7 bulan. Jika dirupiahkan kala itu jumlah potongan selama 7 bulan adalah sebesar 21juta rupiah. Astina hanya menerima uang sebesar HK$580 yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal menurut peraturan kebutuhan itu termasuk dalam kewajiban dari majikannya.

Walaupun majikan Astina di Hong Kong tidak pernah menyakitinya secara fisik, namun majikannya kerap kali menyiksanya secara batin. Mulai dari tambahan kerja yang tidak sesuai kontrak, membersihkan 2 rumah sekaligus, tidak diberikannya hak untuk beribadah walaupun hanya sekali ketika natal, dan lain sebagainya. Astina pun diberikan hari libur yaitu hari Senin. Padahal umumnya TKW yang berada di Hong Kong libur pada hari Minggu yang digunakan untuk berkumpul di Victoria Park. Akibatnya, Astina tidak begitu banyak bersosialisasi dengan TKW yang lain kecuali dengan TKW yang seapartemen dengannya. Itu pun secara sembunyi-sembunyi.

Hingga akhirnya dia di PHK karena majikannya yang pertama akan pindah ke Amerika. Majikannya yang kedua adalah seorang nenek yang cerewet. Dia sangat disiplin. Di majikannya yang kedua itu Astina memulai pekerjaannya dari pukul 6 pagi hingga 11 malam. Dalam kurun waktu itu Astina tidak diperbolehkan untuk istirahat. Tidak betah dengan keadaan seperti itu, dia akhirnya membuat suatu kesalahan yang memang disengaja sehingga akhirnya dipecat.

Menunggu untuk memperoleh majikan selanjutnya serta pengurusan visa yang lama, Astina memilih untuk kembali ke Jakarta. Di situlah dia harus menghadapi kenyataan pahit lainnya. Dia mengalami pemerasan ketika berada di Terminal 4 Selapajang. Oknum-oknum yang menjadi pegawai di sana juga terkesan tidak serius dalam bekerja, padahal mereka dibayar negara untuk melakukan pekerjaannya.

Majikannya yang ketiga juga tak kalah kejam dengan majikannya yang sebelumnya. Suatu hari dia memarahi Astina karena membaca koran. Menurutnya koran bukanlah hak seorang pembantu yang bodoh. Hingga suatu hari Astina dipecat karena nenek itu dan anak-anaknya menemukan buku-buku dan formulir pendaftaran sekolah kejar paket. Menurut mereka tugas Atina di Hong Kong adalah bekerja jadi pembantu, bukan untuk belajar. Padahal sebenarnya, seorang pembantu diperbolehkan untuk bersekolah pada hari liburnya. TKW lain banyak yang melakukan hal demikian.

Setelah majikan ketiga memecatnya, Astina memilih untuk pulang kembali ke Indonesia walaupun sebenarnya masa kerjanya di luar negeri belum genap 2 tahun. Dia meyakini bahwa usianya masih muda dan dia bisa mencari pekerjaan lain di Indonesia. Dia tidak mau lagi menjadi budak, disuruh-suruh oleh majikannya yang tidak berperi kemanusiaan.

Walaupun tidak mengalami kekerasan fisik secara pribadi, namun dalam novel ini Astina juga mengungkapkan penuturan dari teman-temannya sesama TKW yang dirampas hak-haknya. Dari yang dibayar underpaid, dilecehkan secara seksual, dan lain sebagainya.

Astina juga kemudian mengetahui kehidupan teman sebangsanya sesama TKW ketika berda di luar negeri. Ada yang merubah penampilannya dengan cara mengecat rambut, berpakaian ‘semau gue’, ada yang kemudian terperosok dalam dunia prostitusi, dan ada juga yang kemudian menjadi seorang lesbian.