• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

II.3 Wacana TKW dalam Novel Indonesia

III.1.1 TKW dan Kapitalisme

Menurut rumusan Pasal 1 angka 1 UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sedangkan TKW sendiri lebih menspesifikkan pada TKI yang berjenis kelamin wanita atau perempuan.

Dari awal, identitas dari seorang TKI/ TKW telah ditentukan oleh negara. Para TKW tidak diperkenankan untuk menentukan identitasnya sendiri. Mereka dianggap tidak memiliki kuasa sehingga identitasnya perlu didefinisikan bahkan dengan landasan hukum. Seharusnya konsekuensi dari hal tersebut adalah harus ada tanggungjawab perlindungan dari suatu negara terhadap warga negaranya yang bekerja sebagai TKW. Negara yang dimaksudkan di sini didefinisikan

sebagai suatu badan atau organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang banyak serta mempunyai kewajiban-kewajiban untuk melindungi, mensejahterakan masyarakatnya (Dimas 2011).

Cerita dalam novel “Aku Bukan Budak” diawali dengan penceritaan masa kecil Astina yang sudah megalami kegetiran hidup yaitu ketidak-harmonisan keluarga. Dia secara tidak langsung dituntut untuk bisa hidup mandiri. Astina bahkan sempat mencoba bunuh diri karena melihat orang tuanya hampir setiap hari cek-cok tanpa memperhatikan anak-anaknya. Titik tolak kehidupan Astina dimulai ketika ayahnya meninggal dan ibunya memilih untuk menikah lagi. Melihat kondisi ekonomi keluarga dan saudara-saudaranya tidak membaik, Astina akhirnya memilih untuk mendaftar menjadi TKW pada seorang sponsor bernama Bu Rina, yang kontaknya dia temukan di sebuah surat kabar.

Dari proses paling awal untuk menjadi TKW, yaitu sponsor, Astina telah mengalami berbagai bentuk ketidakadilan. Dari awal, umur Astina telah diubah menjadi satu tahun lebih tua dari umur yang sebenarnya. Hal tersebut karena umur minimal untuk menjadi TKW adalah 21 tahun, sedangakan Astina masih berumur 20 tahun. Astina sendiri merasa hal tersebut melanggar hukum. Namun dia hanya menurut karena jika tidak dilakukan, dia tidak bisa menjadi TKW.

Kecurangan sponsor lainnya dialami Astina ketika dia dan beberapa temannya yang satu sponsor masih dalam proses pemeriksaan kesehatan di PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) bernama PT Rajawali. Dia dan teman-

temannya langsung ditinggal begitu saja oleh Bu Rina dengan uang insentif yang minim. Padahal pihak sponsor yang lain rela menemani CTKWnya hingga proses penerimaan selesai. Dia juga tidak dibelikan koper layaknya teman-temannya yang mendaftar pada sponsor berbeda. Hal ini menyebabkan Astina kesulitan membawa baju dan perlengkapannya karena tas miliknya hampir putus.

Sesuai dengan Undang-Undang No.39 Tahun 2004, setiap orang yang ingin bekerja di luar negeri harus mendaftarkan diri ke kantor Dinas Kabupaten/Kota setempat yang membidangi ketenagakerjaan dan PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) atau yang biasa dikenal dengan PJTKI (Iskandar 2014). Dalam prakteknya, sesorang yang mau menjadi TKI, khususnya yang menjadi pekerja domestik, selalu melalui perantara yang biasa disebut dengan sponsor kampung atau sponsor luar yang berafiliasi dengan PJTKI. Sponsor akan mendapat imbalan dari setiap CTKW yang dia bawa yang lolos tes administrasi dan kesehatan. Minimnya sosialisasi dari negara mengenai sponsor atau PJTKI mana yang kredibel membuat para CTKW menanggung akibatnya. Banyak dari mereka yang minim informasi akhirnya mendaftar pada sponsor yang tidak kredibel hingga berujung pada masuknya mereka ke PJTKI illegal.

Ketika berada di PT Rajawali, lagi-lagi Astina dan para CTKW lainnya harus menerima berbagai kenyataan pahit. Kantor PT itu sangat sempit sedangkan setiap hari ada saja CTKW baru yang diantarkan sponsor. Padahal ketika sudah masuk di PT, para CTKW tidak boleh ke luar lagi karena dikhawatirkan akan

berimpitan. Tidak jarang, ada yang tidur di bangku-bangku panjang lantai bawah karena ruangan tidur sudah tidak cukup lagi. Begitu pula ketika hendak menggunakan kamar mandi, mereka harus berebut karena jumlah kamar mandi minim dan tidak terawat. Di PJTKI itu pula Astina mulai meyadari adanya diskriminasi awal bagi dia dan para CTKW lainnya.

Rupanya, di situ ada sebuah peraturan begini: sebelum masuk, khusus untuk calon TKW harus melepas alas kakinya. Tapi tidak untuk para sponsor dan orang kantor. Sebuah diskriminasi awal yang kutemui (Triutami 2012, h.93).

Selain peraturan mengenai alas kaki itu, para CTKW juga harus memanggil para guru dan pegawai kantor dengan sapaan yang mengindikasikan adanya penghormatan.

Sejak siang itu, kami diberi tahu bahwa kami wajib untuk memanggil Mam kepada para pegawai kami di kantor (Triutami 2012, h.102).

Keharusan penggunaan kata “Mam” pada sapaan CTKW terhadap para guru dan pegawai kantor menunjukkan bahwa kelompok guru dan pegawai dari awal dikonstruksikan lebih tinggi dibandingkan para CTKW.

CTKW yang lolos tes admisnistrasi dan tes kesehatan akan diantar pihak PT ke BLK (Balai Latihan Kerja). Kondisi BLK ternyata sama saja dengan kondisi kantor PT. Bahkan karena lokasinya yang terletak di perkampungan pinggiran Jakarta dan dekat kebun bambu membuat keadaan semakin tidak kondusif. Sama seperti ketika di kantor PT, ketika sudah masuk BLK, CTKW tidak diperkenankan ke luar dengan alasan apapun. BLK ini bagaikan penjara bagi para CTKW karena fasilitas-fasilitas yang ada di dalam balai tidak memadai.

Mulai dari jumlah dan kualitas ruang kelas yang tidak memadai, tempat tidur seadanya, kamar mandi dan dapur yang jorok, dan lain sebagainya.

Ketidakadilan bagi para CTKW berlanjut ketika berada di BLK ini. Di dalam BLK itu, sama halnya ketika masih berada di kantor PT, ada berbagai peraturan yang harus dipatuhi oleh para CTKW. Bahkan para guru juga semakin menunjukkan sikap diskriminatifnya.

Mereka duduk di kursi dengan cara menumpangkan kaki satu ke atas kakinya yang satu lagi. Sementara kami-para murid- duduk di lantai tanpa alas. Mendongakkan kepala ke arah para guru yang duduk manis di kursinya (Triutami 2012, h.131).

Keadaan tersebut terulang pada halaman 160, ketika CTKW akhirnya pindah menempati kelas baru yang lebih nyaman karena mereka tidak lagi duduk di lantai ketika mengikuti pelajaran, tapi duduk di kasur busa tipis. Namun tetap saja para guru duduk di kursi yang menandakan bahwa kedudukan guru ada di atas jika dibandingkan para CTKW yang menjadi murid.

Beberapa kali Astina menggambarkan kedudukan antara guru dan CTKW (murid). Para guru dan pegawai memiliki hak istimewa seperti boleh mengenakan alas kaki di dalam ruangan maupun duduk di kursi, sedangkan para CTKW duduk di bawah. Makna konotasi dari kursi sendiri adalah kedudukan atau jabatan. Dengan gambaran perlakuan demikian, kedudukan guru disosialisasikan lebih tinggi dibandingkan para murid.

Kisah di dalam BLK berlanjut dengan penceritaan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh para CTKW dan para guru. Para guru yang memiliki posisi

superior dan memiliki akses pada kekuasaan mengopresi CTKW dalam berbagai cara. Misalnya saja dengan memberikan hukuman, cacian, dan lain sebagainya.

Sikap para guru yang ada di BLK kadang tak mencerminkan bahwa dirinya adalah seorang pendidik di sana. Mereka tak segan untuk memaki atau bahkan mencubit hingga kulit para murid atau calon TKW membiru (Triutami 2012, h.161).

Karena memiliki kedudukan yang tinggi, guru memiliki hak kepada muridnya. Sehingga di sini guru bebas memanggil muridnya bodoh, memanggil dengan sebutan tertentu, memarahinya, hingga melakukan kekerasan fisik misalnya mencubit. Sedangkan CTKW tentu saja harus memanggil guru dengan sebutan Mam dan harus bersikap sopan kepada mereka. Seperti itulah perbuatan para guru di BLK yang membuat posisi TKW semakin termarjinalkan. Padahal banyak dari guru-guru di BLK itu yang berjenis kelamin perempuan. Namun apa yang dilakukannya seperti mencerminkan ideologi patriarki.

Di dalam novel (halaman 61) juga diceritakan bahwa tugas para guru PJTKI di kelas hanya menerima setoran hafalan bahasa dari para murid. Mereka tidak menjelaskan tata cara penggunaan bahasa, maupun konteks-konteks di mana bahasa tersebut bisa digunakan. Mereka merasa hanya digaji untuk menerima hafalan dan melakukan beberapa kegiatan teknis lain, sehingga tidak mau repot untuk menjelaskan penggunaan bahasa itu.

Dalam hal ini lagi-lagi sektor modal atau ekonomi lah yang membuat TKW semakin teropresi. Padahal permasalahan bahasa ini lah yang juga kerap kali menyebabkan para TKW mendapatkan penyiksaan dari majikan. Banyak dari para TKW yang ternyata tidak lancar bahasa negara tempatnya bekerja sehingga

membuat majikan kesal atau membuat kesalahpahaman anatara TKW dan majikan (Insani & Raihan 2011). Begitu pula ketika sudah terjadi masalah, mereka tidak bisa meminta bantuan pihak berwenang karena keterbatasan bahasa.

Di PJTKI ini para CTKW juga harus mulai belajar menerima tentang adanya kelas-kelas tersebut tanpa bisa melawan. Sebenarnya para CTKW juga memiliki kuasa untuk melawan, namun tentu hal itu tidak dilakukan karena bisa mengancam keberadaannya untuk bisa terus di BLK. Keadaan yang demikian yang membuat wacana kekuasaan dianggap hanya dimiliki oleh kaum dominan saja, padahal sebenarnya kekuasaan itu tersebar dan dimiliki siapa saja (Foucault dalam Mills 2003).

Pada suatu kejadian diceritakan ada seorang CTKW Hongkong yang dipaksa untuk pindah ke kelas tujuan Malaysia karena Lause Antimi merasa anak itu tidak cukup pintar. Ketika diminta Lause Antimi untuk berhitung dari 1-100 dia tidak bisa, begitu pula ketika diminta menyebutkan nama-nama hari dia melewatkan hari Jumat. Hal itu membuat Lause Antimi marah.

Lause menjadi geregetan dan menanyai sekali lagi dengan rahang yang mengeras dan gigi yang gemeretak: “heh tuyul,…” (Triutami 2012, h.206).

“Guoblok! Jumatnya kamu kemanain!” (Triutami 2012, h.208).

Lause Antimi bahkan memaki CTKW itu karena menurutnya, CTKW itu tidak akan sanggup bekerja di Hongkong dengan budaya yang serba cepat dan dengan watak orang Hongkong yang keras dan disiplin.

“Mending kamu dimaki-maki saya di sini daripada kamu dimaki bangsa lain. Dimaki aku, karuan aja, lhawong aku gurumu. Masuk ke kelas ini!” (Triutami 2012, h.209).

Karena kedudukannya sebagai kelas yang memiliki akses lebih pada kekuasaan, para guru merasa memiliki hak untuk bersikap demikian. Sebaliknya, para CTKW tidak bisa melakukan hal serupa karena akan dianggap membangkang atau tidak sopan. Para CTKW itu mau tidak mau harus belajar menerima hal tersebut. Dalam salah satu kutipan dialog tersebut, seorang guru sangat marah kepada salah satu CTKW. Dia mengatakan bahwa dia sebagai guru merasa berhak untuk memarahi CTKW yang menjadi muridnya. Para CTKW yang merasa tidak memiliki kuasa memilih menerima apapun yang dilakukan para guru. Para CTKW menerima dengan sadar bahwa apa yang terjadi tersebut adalah suatu kewajaran.

Perlakuan PT terhadap para CTKW menimbulkan pertanyaan bernada protes di benak Astina. Namun tentu saja dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menyadari posisinya sebagai murid yang nantinya bekerja sebagai TKW atau pembantu memiliki posisi subordinat. Bahkan ia merasa bahwa posisi kaum TKW berada pada posisi kedua di masyarakat.

Aku tidak suka dengan perlakuan PT terhadap kami, para calon TKW. Sangat diskriminatif sekali. Atau karena pekerjaan TKW itu pembantu sehingga tak perlu diperlakukan sopan. Toh, TKW adalah kasta terendah. (Triutami 2012, h.131).

Begitu pula ketika menindak lanjuti peraturan mengenai pemotongan gaji oleh PT, walau dirasa tidak adil, para CTKW diajarkan untuk menyadari posisinya yang harus menerimanya tanpa bisa melakukan apapun. Mereka diajarkan untuk

menerima bahwa pemotongan itu adalah hal yang wajar karena digunakan untuk biaya CTKW selama berada di BLK dan juga untuk biaya administrasi.

Yowis ngono Mbak’e. Susah mau ngomong apa lagi. Kita rakyat kecil, yawis ngikut aja aturan yang ada…… Memang PT itu membantu sekaligus memeras kita” (Triutami 2012, h.99).

Bentuk pemerasan yang dilakukan oleh PT ini adalah berupa potongan gaji selama 7 bulan. Jadi bisa dibilang, para TKW bekerja selama 7 bulan penuh di luar negeri tanpa menerima gaji sepeser pun. Gaji tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya selama TKW menjalani poses administrasi (pembuatan paspor, pengurusan visa) maupun pelatihan selama di BLK.

PJTKI ini merupakan institusi layaknya sekolah berfungsi sebagai tempat pendidikan dan pelatihan. Di dalam institusi inilah diajarkan ideologi dominan, salah satunya mengenai struktur kelas yang berkuasa. Menurut Althusser institusi demikian adalah apa yang disebut dengan Ideological State Aparatus (ISA) yang mampu menghegemonikan suatu nilai dominan. Di PJTKI atau di BLK ini, para CTKW telah dikenalkan pada adanya struktur kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas berkuasa di sini tentu saja adalah para guru dan para pegawai PJTKI. Sedangkan para TKW berada pada kelas yang dikuasai.

PJTKI merupakan suatu institusi atau usaha yang pendiriannya harus mendapatkan surat izin dari pemerintah. Keberadaan PJTKI ini berfungsi untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para CTKW agar menguasai keterampilan yang dibutuhkan ketika bekerja. Sayangnya sebagian besar PJTKI di Indonesia kurang memadai dan hanya terkesan ingin mengeruk keuntungan dari

para CTKW yang mendaftar padanya melalui sponsor. Mereka mengurus keberangkatan para CTKW dari berbagai daerah yang hampir tidak terurus oleh negara (Iskandar 2014). Secara tidak langsung, PJTKI ini mendukung kapitalisme karena orientasinya adalah profit.

PJTKI ini umumnya berlokasi di kota-kota besar, misalnya Jakarta. Hal ini sejalan dengan wacana sentralisasi yang disosialisasikan oleh pemerintahan pada masa Orde Baru (Kurnia 2009). Ketika semua hal berada di pusat kota, terjadi ketidakadilan bagi yang berada di daerah pinggiran karena tidak memiliki akses. Terjadi persebaran informasi yang tidak merata. Hal ini merugikan bagi mereka yang tidak memiliki informasi karena bisa terjerumus dalam penipuan bahkan perdagangan manusia (human trafficking).

Wahyu Susilo dari Migrant Care mengungkapkan PJTKI merupakan akar dari permasalahan eksploitasi TKI. Keharusan proses kerja melalui PJTKI ini merupakan salah satu bentuk tindakan monopoli pihak swasta. Hal tersebut diskriminatif karena CTKW tidak mempunyai pilihan atau mencari cara lain yang lebih efisien dan murah (dalam Wijaya 2013). CTKW yang berangkat melalui PJTKI dianggap legal sedangkan yang tidak, dianggap ilegal. Penetapan legal dan ilegalnya itu tentu berada di tangan pemerintah. Hal tersebut bahkan dijadikan lahan bisnis oleh pihak PJTKI. Mereka seringkali menampung CTKW melebihi kapasitas BLK. Beberapa pejabat publik juga diketahui memiliki bisnis berupa PJTKI dan travel pemulangan TKI (Trianita 2014). Padahal hal tersebut tidak diperbolehkan, karena pejabat publik tersebut bisa mempengaruhi kebijakan yang

ada. Mereka bisa saja mempengaruhi kebijakan yang berujung pada keuntungan bisnis pribadi sedangkan permasalahan mengenai TKI/TKW terus berlanjut.

Saat berada di luar negeri pun, para TKW ini juga terkesan ditelantarkan oleh negara. Seperti yang digambarkan dalam novel “Aku Bukan Budak”, ketika mereka mengalami permasalahan dengan majikan atau dengan mitra kerja PT, mereka harus mengurusnya sendiri. Pihak KJRI yang seharusnya bertanggung jawab seakan tidak peduli dan bahkan menyalahkan para TKW karena tidak membaca perjanjian kerja dengan benar. Hal tersebut juga dirasakan oleh Astina ketika mengadu pada Bu Sri, salah satu pegawai di KJRI Hongkong. Astina malah disuruh untuk mengurus permasalahannya sendiri, karena itu adalah masalah antara TKW dengan agen (halaman 90). Padahal di sini TKW seringkali merasa tidak berdaya jika berhadapan dengan agen, untuk itulah diperlukan institusi yang berlandaskan hukum, yaitu Negara, untuk melindungi mereka.

Tidak hanya pra dan saat masih menjadi TKW, paska menjadi TKW atau sepulangnya mereka dari negara tempat bekerja, Astina dan para TKW lainnya masih mengalami berbagai diskriminasi dan pemerasan oleh petugas negara. Salah satu bentuk diskriminasi yang diterima para TKW adalah adanya suatu peraturan yang mengharuskan para TKW melewati gate berbeda dengan penumpang umum dengan alasan akan dilakukan pendataan terlebih dahulu. Sedangkan pemerasan yang diterima para TKW misalnya terjadi di Terminal Selapajang di Bandara Soekarno-Hatta maupun di beberapa bandara yang lain.

Bentuk dari pemerasan tersebut beragam, mulai dari pemaksaan pulang ke daerah asal menggunakan travel dari terminal yang harga tiketnya lebih mahal dari travel umumnya, adanya penipuan jasa penukaran uang dengan harga tukar yang murah, penjualan barang kebutuhan (pulsa, makanan, dll) dengan harga sangat mahal, jasa pengambilan troli dan pengangkatan barang, dan lain sebagainya. Kedua tokoh utama dari kedua novel mengalami hal tersebut.

Kasus pemerasan di bandara tersebut baru mulai dikuak akhir-akhir ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pemerasan tenaga kerja Indonesia (TKI) bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Adnan Pandu Praja, Wakil Ketua KPK, mengatakan pemerasan itu terstruktur karena pegawai yang seharusnya pensiun dipekerjakan lagi oleh BNP2TKI, berlangsung secara sistemik karena prosesnya bermasalah dan ada pembiaran dari pemerintah, serta masif karena pemerasan terjadi di banyak tempat Bandara Juanda, Surabaya, Lombok, dan bandara besar lainnya (dalam Trianita, 2014).

Dalam peristiwa ini, negara dengan segala bentuk landasan hukumnya merasa legitimate. Sedangkan para TKW didelegitimasi. Delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Apakah ada dasar pembenar tertentu ketika melakukan suatu tindakan. Delegitimasi ini merupakan salah satu bentuk dari misrepresentasi atau pemarjinalan terhadap suatu kelompok (Eriyanto 2001). Kelompok yang mengalami delegitimasi dilabeli predikat bersalah jika tidak tunduk pada aturan hukum yang ada.

Motivasi sesorang untuk menjadi TKW biasanya disebabkan dorongan keluarga. Keluarga ini umumnya bersifat patriarkal dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan ayah, suami, atau anak laki-laki tertua. Dalam novel juga ditunjukkan bahwa ayah dan suami memiliki kuasa terhadap perempuan yang mau mencalonkan diri sebagai TKW. Hal tersebut juga disahkan oleh peraturan PJTKI dan negara. Diceritakan bahwa Astina harus mempunyai surat izin yang ditandatangani suami atau orang tua ketika menanyakan perihal persyaratan untuk menjadi TKW pada sponsor.

“Kalau sudah menikah harus ada izin dari suami. Kalau belum, surat izin dari orang tua dan RT/RW setempat” (Triutami 2012, h.39).

Kejadian yang sama juga dialami Hanifa dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Dia harus memiliki surat izin yang ditandatangani oleh suaminya.

Keluarga merupakan kelompok terkecil dan pertama yang mensosialisasikan serta melanggenggengkan nilai-nilai patriarki. Sedari kecil seorang anak telah diajarkan mengenai posisi-posisinya berdasarkan jenis kelamin/gender yang dia miliki. Keluarga ini pulalah yang kadang melakukan penindasan terhadap perempuan yang menjadi TKW. Seperti contoh kasus yang dialami oleh Tauriyah, salah satu CTKW kenalan Astina.

“Saya ndak bisa senyum Mbak, karena suami saya itu kawin lagi dengan tetangga saya. Uang saya dihabiskan. Capek- capek saya bekerja di Arab, Mbak. Saya ndak bisa senyum,” ujar Tauriyah serius (Triutami 2012, h.119).

Hal tersebut pula yang menjadi ketakutan Hanifa dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”.

Aku takut bernasib sama dengan teman-temanku di sini. Ketika mereka kembali ke tanah air ternyata suami mereka telah menikah dengan perempuan lain. (Ummuki 2013, h.100).

Di sini terlihat bahwa perempuan seakan tidak memiliki kuasa. Bahkan ketika seorang perempuan itu telah bekerja keras demi memperbaiki perekonomian keluarga, sang suami dengan seenaknya saja menikah lagi. Uang hasil jerih payahnya dihabiskan oleh suaminya. Di sisi lain, beberapa TKW justru menerima jika suaminya melakukan kawin kontrak karena merasa hal tersebut adalah wajar. Mereka bisa menerima karena merasa sang suami pastilah membutuhkan seorang perempuan untuk melayaninya ketika mereka, yang memiliki peran sebagai istri, sedang tidak berada di rumah. Biasanya kawin kontrak ini berakhir saat seorang TKW telah menyelesaikan kontrak kerjanya selama 2 tahun (Sibaweh 2010). Padahal hal-hal semacam itu merupakan suatu bentuk penjajahan laki-laki terhadap perempuan.

Fenomena hancurnya hubungan rumah tangga yang tidak jarang berujung pada perceraian ini juga menjadi salah satu permasalahan TKI/ TKW. Menurut data yang ada di lapangan, lebih dari 80% TKI telah berkeluarga pada saat berangkat ke luar negeri. Sekitar 9% dari mereka akhirnya mengalami masalah dalam perkawinannya, atau yang kemudian berubah statusnya dari kawin ke cerai (Iskandar, 2014). Bahkan di daerah Jember pada 2008, sebanyak 50 keluarga TKI bercerai tiap bulan (Djunaidy 2008). Di Tulungagung juga terjadi hal demikian.

Sepanjang 2009 terdapat kasus perceraian tidak tanggungjawab sebanyak 1117 kasus yang didominasi perselingkuhan suami TKW (Tim 2010).

Penjabaran hal-hal diatas sesuai dengan pendapat Kate Millet. Millet (2000) dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics mengungkapkan adanya tiga institusi patriarkal yang saling berhubungan erat, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Karena bersifat patriarkal, negara dalam pembuatan kebijakannya cenderung menguntungkan pihak laki-laki. Pengiriman TKI maupun TKW ke luar negeri juga merupakan suatu potret ketidakmampuan negara Indonesia untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Sehingga sebenarnya apa yang menimpa para warga negaranya yang menjadi TKW di luar negeri harusnya juga