• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Penulis-Pembaca dalam Novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

III.2 Struktur Penulis-Pembaca dalam Novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”

Sebagai suatu media komunikasi, novel ditulis dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada pembacanya. Maka posisi pembaca tentunya

diperhatikan oleh penulis. Sara Mills percaya bahwa suatu teks atau wacana tidak hanya bergantung pada proses produksinya saja, namun juga bagaimana teks tersebut dipersepsi oleh khalayak atau pembaca. Sara Mills berpandangan, dalam suatu teks posisi pembaca sangatlah penting dan haruslah diperhitungkan. Eriyanto menyatakan ‘teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca’ (2001, h.203). Pembaca tidak hanya menerima teks tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat di dalam teks.

Kelebihan dari model analisis seperti ini adalah: pertama, model secara ini komprehensif melihat teks bukan hanya berhubungan dengan faktor produksi saja tetapi juga resepsi. Kedua, posisi pembaca dianggap sebagai posisi yang penting, karena mau diakui atau tidak, pembuatan teks itu adalah untuk disampaikan atau dikomunikasikan kepada khalayak. Ketika penulis menulis sebuah teks, dia memperhitungkan keberadaan pembaca. Kehadiran yang diperhitungkan itu bisa untuk menarik dukungan, menekankan, atau untuk menarik simpati dari pembaca, dan bahkan meyakinkan pembaca. Di sini terjadi negosiasi antara penulis dengan khalayaknya (Eriyanto 2001).

Pemikiran tersebut didasarkan pada gagasan Althusser mengenai teori ideologi. Gagasan Althusser yang diambil adalah mengenai interpelasi dengan menggunakan unit yang disebut sebagai ISA (Ideological State Aparatus) dan juga gagasan mengenai kesadaran. Melalui interpelasi, seseorang ditempatkan posisinya dalam masyarakat, siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak. Sedangkan kesadaran merupakan tindak lanjut adanya interpelasi. Sesorang akan

Cara analisis Sara Mills yang memperhatikan posisi pembaca ini sejalan dengan sirkuit budaya yang diungkapkan oleh Hall, bahwa representasi juga berkaitan dengan proses konsumsi dan produksi makna, serta identitas dan juga regulasi. Jadi posisi pembaca yang melakukan proses resepsi sebenarnya juga harus diperhatikan.

Dalam keseluruhan penulisan novel, penulis sebenarnya telah memperhitungkan posisi pembaca dan melakukan penyapaan terhadap pembaca. Penulis melakukan penyapaan atau berusaha berinteraksi dengan pembaca baik secara langsung maupun tidak langsung.

Misalnya seperti potongan novel berikut:

Coba perhatikan! Setiap hari duta bangsa banyak datang dan pergi. Banyak pemerasan yang dialami para TKI. Mulai turun dari pesawat, pemerasan sudah dimulai: dari jasa pengambilan troli sampai jasa pembawa barang bawaan ke bus. TKI juga harus menunggu lama, bahkan sampai berhari- hari baru diberangkatkan. Harga makanan dan barang-barang kebutuhan lainnya yang ditawarkan jauh di atas harga standar. Belum lagi pemerasan yang dilakukan oleh travel yang mengantarkan TKI ke alamat masing-masing dan masih banyak lagi. (Triutami 2012, h.199-200).

Melalui kata “coba perhatikan”, penulis berusaha menyapa pembacanya, atau lebih tepatnya mensugesti pembaca agar mau untuk ikut memperhatikan tentang permasalahan yang selama ini menimpa para TKI. Penulis berusaha masuk dalam pemikiran atau bahakan perasaan pembaca agar turut berempati dengan peristiwa yang disajikan dalam novel. Penyapaan tersebut dilakukan secara langsung kepada pembaca. Begitu pula pada potongan tulisan berikut:

Bayangkan, majikan prianya melecehkannya secara seksual! ....aku teringat Sulastri, yang juga pernah mendapat perlakuan

serupa ketika ia bekerja di Timur Tengah (Triutami 2012, h.308).

Anda bisa mengerti perasaanku bukan? Tujuh bulan itu bukan waktu yang singkat. Benar apa yang pernah kudengar soal TKW selama ini. Sapi perah. (Triutami 2011, h.321).

Melalui kata-kata tersebut, penulis memerintahkan dan bertanya kepada pembaca. Walaupun dalam hal ini pembaca tidak memberikan respon atau umpan balik langsung kepada penulis, namun penulis berhasil menanamkan suatu diskurs kepada pembaca.

Dalam cerita keseluruhan, penulis sebenarnya melakukan penetrasi nilai- nilai yang diyakininya kepada pembaca. Penulis berusaha menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi adalah sesuatu yang salah dan harus dikoreksi. Penulis berusaha menyisipkan nilai-nilai Pelibatan pembaca itu dilakukan secara tidak langsung sehingga pembaca tidak menyadarinya dan seakan hanya membaca cerita biasa. Dari awal hingga akhir novel, penulis menyajikan rangkaian cerita yang membuat pembaca ikut marah, ikut sedih, dan juga bahagia dengan peristiwa yang menimpa para TKW.

Lewat penceritaan pula, penulis berusaha menyampaikan gagasannya terkait protes terhadap sistem perekrutan dan penempatan TKW yang selama ini terjadi. Misalnya seperti yang terjadi pada dialog antara Astina dan Sulastri.

“Iya, Las. Seharusnya pemerintah kita mempunyai system pemantauan dan kerja sama yang baik dengan agen penempatan di negara-negara yang menerima pasokan TKW. Jadi, ada di mana dan bekerja di majikan mana si TKW itu bisa terlacak dan ada bukti-bukti” (Triutami 2012, h.174). Protes itu juga ditunjukkan melalui ungkapan pribadi penulis.

Aku mulai memprotes keadaan dalam hatiku. Bukankah seharusnya negara bertanggung jawab atas kesejahteraan kami? Bukankah dengan kerelaan kami untuk pergi jauh dari keluarga dan meninggalkan tanah air telah membantu beban Negara, mengurangi jumlah pengangguran yang membludak serta mencegah peningkatan angka buta huruf di antara generasi penerus bangsa di antara anak-anak TKW? Lalu kenapa dikenakan biaya setinggi itu untuk bekerja sebagai pembantu? (Triutami 2012, h.286).

Pengorbanan para TKW begitu besar untuk negara ini, selain untuk memperjuangkan nasib keluarganya sendiri. Mereka berjuang untuk menyekolahkan anak-anaknya, yang merupakan generasi penerus bangsa. Namun, di manakah perhatian dan janji pemerintah untuk meningkatkan pelayanan terhadap TKW? (Triutami 2012, h.131).

Lewat protes-protes inilah penulis mencoba melakukan pencerahan, atau setidaknya menunjukkan suatu bentuk perlawanan terhadap keadaan. Penulis berusaha mencerahkan pembacanya sehingga tidak berkutat dengan diskurs yang selama ini berkembang. Penulis tidak selalu mengikuti arus yang ada, yang hanya menceritakan TKW dari sisi negatifnya saja. Hal ini merupakan suatu bentuk protes terhadap negara yang selama ini kurang memperhatikan nasib TKW selama berada di luar negeri. Secara tidak langsung penulis juga mengajak agar pembaca agar turut untuk ikut memperhatikan mengenai kebijakan pemerintah mengenai penempatan dan perlindungan TKI/TKW.

Secara kesuluruhan, dalam struktur penulis-pembaca peneliti melihat bahwa tujuan penulisan kedua novel tersebut adalah untuk mensugesti pembaca, mencoba membuat pembaca simpati, atau empati dan seolah-oleh menempatkan dirinya pada posisi tokoh yang mengalami kisah menyedihkan. Pembaca coba di ditempatkan pada posisi integral atau tidak terpisah dari teks.

Dalam hal penyapaan kepada pembaca, Astina melakukannya dalam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Sedangkan penyapaan yang dilakukan Hanifa secara tidak langsung.

Melalui struktur penulis-pembaca ini, penulis juga menanamkan pemikirannya tentang protes-protes kepada pemerintah. Astina lebih sering memprotes secara langsung maupun melalui dialognya dengan tokoh lain. Protes secara langsung misalnya dia tunjukkan ketika dengan tegas dia memprotes para pegawai di terminal Selapajang. Sedangkan protes secara tidak langsung misalnya melalui gambaran mengenai betapa memprihatinkannya nasib TKW akibat kebijakan-kebijakan yang kurang tegas dari pemerintah.

Saat ini Astina aktif dalam perkumpulan yang mengadvokasi TKW agar mengetahui hak serta kewajibannya. Dia juga aktif dalam perkumpulan penulis. Sedangkan Ummuki sulit untuk diketahui eksistensinya saat ini. Sangat sulit untuk menemukan keberadaannya melalui online.

Namun dua novel ini menunjukkan bahwa TKW pun bisa berkarya. Ini merupakan suatu bentuk pematahan spekulasi yang berkembang di masyarakat selama ini yang mengira bahwa TKW adalah kaum kesekian yang eksistensinya hanya diperhatikan ketika mengalami penyiksaan saja.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN