• Tidak ada hasil yang ditemukan

ILMU USLUB BAB

F. Hubungan dengan ilmu lain 1p Ilmu al-Uslub dan Bahasa

Apa yang dikaji oleh al-Uslub, kaitan dalan hal makna, menurut Ibnu Khaldun (dalam Iyad, 1992: 24i bahwa al- Bunyah al-dzihniyah merupakan struktur makna yang bersumber pada syair dan natsar, sebagaimana diungkapkan oleh Noam Chomsky seorang linguis mentalis, bahwa di dalam bahasa terdapat struktur dalam atau deee structurep Hal serupa dikemukakan kembali oleh Sausure dalam (I’yad, 1992: 28-29i mengungkapkan dua konsep yaitu al-lugah dan al-qoul, beliau mengemukakan bahwa al- lugah merupakan sistem lambang berupa pengetahuan bahasa yang dipahami seseorang.

Adapun al-qoul adalah wujud bahasa yang sesungguhnya yaitu tuturan yang diucapkan seseorang, dalam berbagai keadaan. Setiap orang memiliki ciri yang khusus dalam menggunakan setiap bahasa, baik dari segi pelafalan dan struktur. Setiap orang juga memiliki institusi bahasa, yang membantu seseorang dalam memahami dan mengunakan bahasa. Setiap orang juga memiliki cara yang khusus dalam membuat kalimat-kalimat dan konjungsi diantara keduanya, hal tersebut merupakan sebuah gaya atau al-uslub yang dimiliki seseorang dalam berbahasa.

2p Ilmu al-Uslȗb dan Balâghah161

160 diakses dari http://pujanggatimurtengah.blogspot.com/2013/11/balaghah- dan-stilistika-dua-pendekatan.html tanggal 07 Mei 2014

161 diakses dari http://pujanggatimurtengah.blogspot.com/2013/11/balaghah- dan-stilistika-dua-pendekatan.html tanggal 07 Mei 2014

Sebagaimana kita ketahui bahwa hubungan ilmu uslȗb dan ilmu balâghah terdapat tanda kesamaan di antara keduanya. Jika kita telaah sebuah definisi dari ilmu ma’âni (al-Qizwâniy, t.t: 15i dan (Nurbayan dan Zaemudin, 2007: 1i yaitu; ملع فرعي هب لاوحأ ظفللا يبرعلا يتلا اهب حقباطي ىظتقم لاحلا

“Sebuah ilmu untuk mengetahui keadaan bahasa Arab sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi”. Lalu kita perhatikan dengan ungkapan muqtadha al-hâl dengan kalimat al-mauqif (afectivei terdapat perbedaan mendasar antara pandangan ilmu uslȗb terhadap al-mauqif dan muqtadha al-hâl dalam pandangan ilmu balâghahp I’yâd(1992: 43i mengemukakan bahwa dengan kedua aspek tersebut kita bisa menemukan beberapa cara lita’bîr al-ma’nap karena seorang penutur (mutakalimi bisa memilih satu dari berbagai cara, meskipun menurut pandangannya banyak cara yang sesuai, dan semuanya melalui afeksi.

Tujuan akhir dari ilmu uslȗb adalah mengungkap berbagai bentuk struktur secara komprehensif meliputi jens-jenis mufradat, struktur, dan secara khusus adalah makna, dan hal tersebut sebagaimana dideskripsikan di dalam ilmu balâghahp Dan ilmu balâghah juga menyajikan metode tertentu dalam penggunaan kata seperti dalam isti’ârah, majâz al-mursal, dan kinâyahp Pengkajian selanjutnya adalah meliputi nilai-nilai dari motede-metode ekspresi tersebut (Ali,1992: 43i.

Berdasarkan pemaparan di atas bisa kita ketahui beberapa perbedaan ilmu balaghah dan ilmu uslub:

Tabel 1. Perbedaan pendekatan No . ملع ةغللا ةميدقلا و ملع ةالبلا بولسلا ملع و ةثيدحلا ةغللا ملع 1. Pendekatan terhadap bahasa, ilmu bahasa klasik (prespektifi memandang bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tetap atau tidak berubah

Sedangkan, pandangan ilmu bahasa modern (deskriptifi memandang bahasa sesuatu yang

berubah dan

berkembang. 2. Pandangan Ilmu balâghah,

mengkaji perbedaan tharîqah al-ta’bîr dengan mempertimbangkan

muqtadha al-hâl,

perbedaan tersebut tidak keluar dari probabilitas yang tetap. Sebagai contoh, apakah penyajian tentang al-taqdîm dan al- ta’khîr di dalam al-natsar memiliki kesamaan dengan syair. Dan apakah penyajian al-taqdîm dan al-ta’khîr pada saat ini masih sama dengan penyajian pada abad ke 2

Ilmu al-uslȗb, berpandangan seperti halnya ilmu bahasa modern, yang mengkaji fenomena kebahasaan. Dengan dua metode utamanya;

Afqiyah, yaitu kajian secara horizontal,

mengkaji sebuah

fenomena kesusastraan pada masa tertentu.

Ra’siyah, metode kajian secara vertical. Mengkaji fenomena kesusastraan dari masa ke masa.

atau ke3 H. lalu bagaimana perkembangan penyajian saja’ pada masa pra Islam hingga abad ke 10 H. mengapa para penulis mengabaikan hal tersebut, padahal terdapat peralihan waktu dan situasi.

Jika kita melihat pandangan tersebut, terdapat persamaan dengan kajian linguistic modern, yaitu kajian sinkronik yang pada masa tertentu, dan diakronik kajian bahasa dari masa kemasa.

3p Stilistika dan Kritik Sastra

Sebagian yang lain mengatakan bahwa kata kritik dari kritikos yang berarti hakimnya karya sastra. Kata ini muncul pada abad ke-IV SM, ketika seorang bernama Philitas dari pulau Kos diundang untuk menjadi guru raja Ptolomy II di Alexandaria (Yudiono KS:1990;9i. Secara etimologis kritik berarti membedakan yang baik dari yang jelek, dan cacat dan kurang (M. ‘Abd al-Mun’im Khafaji, 1995: 9i.162

Stilistika dan kritik sastra memiliki persamaan, keduanya sama-sama mengkaji berbagai ragam karya sastra. Namun demikian, perbedaan di antara keduanya perlu diketahui agar tidak terjadi kerancuan. Stilistika mengkaji karya sastra pada aspek yang tampak, seperti pemilihan kata, kalimat, fonologi dan sebagainya. Sementara kritik sastra bukan saja mengkaji aspek-aspek

162 Akhmad Muzakki, Stilistika Al-Qur’an Gaya Bahasa al-Qur’an dalam konteks Komunikasi, (Malang: UIN Malang Press, 2009i, h. 27

yang tampak, tetapi aspek aspek yang tidak tampak juga menjadi perhatian.163

Menurut Andre Hardjana, kritik sastra mencakup tiga aspek, yaitu aspek historis, aspek rekreatif dan aspek penghakiman (Atar Semi 1990: 11i. Kritik historis mempunyai tugas mencari dan menentukan hakikat dan ketajaman pengungkapan suatu karya sastra di dalam jalinan historisnya. Rekreatif mempunyai tugas menciptakan kembali atau merekonstruksi karya sastra.

Penjelasan di atas kiranya mempertegas perbedaan antara stilistika dan kritik sastra. Kalau stilistika lebih memfokuskan aspek- aspek intrinstik, misalnya masalah fonologi, pemilih kata atau kalimat, penyimpangan pemakaian bahasa dan sebagainya, yang berdampak pada perubahan mana, tanpa menghakimi atau memberikan penilaia terhadap sebuah karya. Sementara kritik sastra tidak mengkaji aspek-aspek intrinstik, seperti persoalan atifah (emosi/rasai, Khayal (imajinasii, fikrah (gagasani, dan uslub (gaya bahasai, tetapi juga aspek-aspek ekstrinsik pun juga menjadi perhatian. Oleh karena itu, kritik sastra lebih luas kajiannya daripada stilistika, sekalipun stilistika tidak menafikan faktor-faktor yang berada di luar teks.164

4p Stilistika dan Nahwu165

163ibid, h.33

164 Akhmad Muzakki, Stilistika Al-Qur’an Gaya Bahasa al-Qur’an dalam konteks Komunikasi, h. 35.

Para ahli nahwu memperhatikan pengkaidahan bagi suatu bahasa demi memelihara keberadaan bahasa itu. Mereka juga sangat memperhatikan pengawasan sejauh mana konsistensi kaidah-kaidah ini. Bahasa, dalam pandangan mereka, adalah memiliki struktur tertentu. Penulis adalah orang yang menggunakan bahasa ini. Oleh karena itu ia harus mengikuti strukturnya yang telah ditetapkan, sesungguhnya menurut pandangan ahli nahwu, penting sekali untuk meneliti persoalan “keluar” nya dari kaidah itu. Seperti taqdir (memperkirakan kalimat yang dibuangi, takwil (interpretasii, pembuangan asal tutur, kata-kata ganti dan sebagainya dari perkara-perkara yang menunjukkan perhatian mereka terhadap terwujudnya keselamatan (kebenarani sintaksis dan kebahasaan. Strukturasi syarat imajinatif termasuk salah satu alat syarat. Contoh: املع ددزتت أرقا. Para ahli nahwu tidak akan menerima tanpa takwil,, dan menurutnya perkiraan sebumnya adalah: املع ددزت أرقت نإف ، أرقا

Alat syarat dan fi’ilnya dibuang. Sementara para ahli uslub berpendapat bahwa tidaklah penting memper-kirakan yang dibuang pada susunan kalimat terdahulu, secara esensial makna ungkapan yang sudah sempurna, dan boleh mengatakan bahwa kalimat jawab didahulukan dari pada kalimat syarat dengan tujuan memberikan kesan logis dan memberikan kesan lebiih jauh pada pikiran receiver, sambil menanti sisa dari susunannya. Kadang hal itu didahulukan

karena makna yang dikandungnya lebih penting dari pada makna yang ditampakkan oleh kalimat syarat.

Nahwu dan stilistika dari sudut ini dapat dirumuskan bahwa nahwu adalah medan ikatan-ikatan, sedangkan stilistika adalah kebahasaan. Hal demikian itu berarti bahwa nahwu meletakkan kaidah-kaidah yang di atas landasannya tegak bangunan pembentuk tutur, dan ia adalah kaidah- kaidah yang paten yang seyogianya-dari segi nahwu ini- pengarang tidak boleh melanggarnya. Adapun stilistika membolehkan kepada pengarang untuk menyatakan – mengikuti tuntutan proses kreatif mengarang– tanpa ada ikatan yang mengharuskannya selain pada hal-hal yang berhungan dengan kerangka pokok bahasa.166

BAB III KESIMPULAN

Uslub merupakan cara mengungkapkan fikiran melalui gaya bahasa, sehingga digunakanlah berbagai gaya bahasa yang sesuai dengan apa yang ingin di ungkapkan, seperti gaya kalimat berita, kalimat pertanyaan, perintah atau gaya bahasa lain sesuai dengan situasi dan kondisi.

Uslub yang baik adalah uslub yang dapat menimbulkan efek psikologis bahkan efek artistic (keindahani sehingga dapat menggerakkan jiwa mukhattab untuk memberikan respon perkataan atau reaksi perbuatan. Uslub ini juga disebut ilmu stalistika dimana ilmu ini mengkaji seluruh fenomena bahasa, mulai dari fonologi hingga semantic. Dalam perkembangnnya ilmu stalistika ini juga digunakan untuk mengkaji berbagai macam wacana, tidak hanya terbatas untuk mengkaji teks-teks sastra saja.

Ilmu ini berawal dari tersebar luasnya bahasa Arab dan perkembangan ilmu balaghahp Kemudian orang-orang muslim menjaga kemurnian bahasa Arab yang original guna

memantapkan secara umum terhadap pemahaman al- Qur’an, sastra Arab dan cita rasa unsur-unsur estetika yang terkandung didalamnya.

Tujuan akhir dari ilmu uslȗb adalah mengungkap berbagai bentuk struktur secara komprehensif meliputi jens-jenis mufradat, struktur, dan secara khusus adalah makna, dan hal tersebut sebagaimana dideskripsikan di dalam ilmu balâghahp

Kelompok 11 Putri Ema Lizza Ihsan Handra Nuraman Sanusi

ILMU AL – MA’AJIM