• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSAKSI-TRANSAKSI TANAH Transaksi-transaksi tanah

D. HUKUM PERHUTANGAN

Hukum perhutangan adalah keseuruhan peraturan-peraturan hukum menguasai hak-hak mengenai barang-barang selain dari pada tanah dan perpindahan dari pada hak-hak itu dan hukum mengenai jasa-jasa (Van Dijk, 1971, h.55).

Jenis-jenis perbuatan hukum perhutangan dibagi menjadi dua yakni : 1. Hukum perjanjian. 2. Hukum perikatan lainnya.

86

Ad.1. Bentuk-Bentuk dari Perjanjian

Bentuk-bentuk perjanjian dalam hukum adat lanjutan ada bermacam-macam seperti perjanjian kredit, perjanjian kempitan, perjanjian tebasan (ijon), perjanjian perburuhan, perjanjian pemegangan, perjanjian pemeliharaan, perjanjian pertanggungan, gaduh ternak (deelwinning). Tetapi dalam uraian berikut ini tidak semua bentuk itu akan dijelaskan disini karena kemungkinan dari beberapa bentuk itu sudah tidak sesuai lagi dengan zamannya.

Yang akan dijelaskan berikut ini antara lain :

- Perjanjian kredit adalah ama dengan perbuatan kredit perseorangan yaitu perjanjian uang dengan atau tanpa bunga atau barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai dengan nilainya masing-masing pada saat yang telah ditentukan.

- Perjanjian kempitan yang mungkin saat ini dapat disamakan dengan perjanjian membeli atau menjual dengan cara mencicil. Perjanjian kempitan mengandung syarat :

 Harus ada musyawarah terlebih dahulu;

 Kepercayaan;

 Surat perjanjian ada batas waktu;

 Tentang harga; dan

 Jika barang hilang ada komisi.

- Perjanjian tebasan (ijon), adalah penjanjian untuk menjual padi yang masih muda, karena pemilik padi sangat membutuhkan uang. Dalam perjanjian ini tidak saja padi sebagai obyeknya tetapi juga bisa palawija atau buah-buahan.

Dengan perjanjian tebasan atau ijon ini hak dari pemilik tanaman sudah berpindah kepada pemilik uang, tetapi pemilik tanaman tetap berkewajiban menjaga tanaman tersebut sampai tanaman siap untuk dipetik. Perjanjian pemeliharaan, ngaranan atau mangara anak. Perjanjian seperti ini di Bali lebih dikenal dalam serah diri (mekidihang-raga), dimana antara dua pihak baik yang akan memelihara maupun yang akan dipelihara saling berjanji untuk memenuhi hak dan kewajiban mereka masing-masing.

87

- Perjanjian pemeliharaan hewan/ternak/gaduh ternak/deelwining. Perjanjian ini berupa pemberian hewan atau ternak kepada pihak lain untuk dipelihara atau ditingkatkan nilai dari hewan/ternak tersebut, untuk selanjutnya dibagi hasilnya. Istilahnya yang umum dikenal di Bali adalah “mekadasang”. Dan aturan-aturan yang diterapkan dalam perjanjian ini dalam kenyataannya berbeda-beda, tergantung jenis hewan atau ternaknya dan juga sesuai dengan kesepakatan bersama para pihak yang membuat perjanjian, apakah dibagi anaknya kalau beranak atau kalau di jual uangnya di bagi setelah dikurangi biaya untuk pembelian bibit ternak atau mungkin biaya-biaya yang lain. (Beni I Wayan Cs : 1983 : 45 – 49). Perjanjian gaduh ternak atau di Bali disebut dengan “mekadasang” itu dalam PERDA No. 4 Tahun 1974 telah dimodifikasi dengan istilah “PIR yaitu Pola Inti Rakyat”, yang sifatnya memberikan pembinaan pada petani peternak yang terbentuk dalam “TRI TEMU, yaitu : Inti “perusahaan atau pemilik modal, Plasma = peternak dan Dinas Peternakan = pembina). Jadi PERDA No. 4 Tahun 1974 mengatur tentang Kadas Mengadas Ternak.

Ad. 2. PERJANJIAN DAN PERIKATAN LAINNYA

Perbuatan yang berbentuk perjanjian atau disebut pula dengan perikatan lainnya meliputi kegiatan tolong-menolong, gotang royong dan panjer.

Perbuatan tolong menolong dapat pula diartikan sebagai perbuatan kredit dalam arti luas, karena dengan perbuatan tersebut disatu pihak ada orang atau kelompok orang yang memberikan tenaga yang diperlukan (kredit) dan pihak lain ada orang atau sekelompok orang yang menerima bantuan tenaga tersebut, dengan suatu konsekwensi bahwa orang yang menerima bantuan tenaga itu pada suatu saat dituntut pula (secara moral) untuk membantu pihak lain yang telah pernah membantunya (Tim Peneliti Fak.Hukum Unud, 1980/1981, h.73).

Sedangkan mengenai aturan-aturan yang diterapkan dalam kegiatan tolong-menolong ini tampak menunjukkan keseragaman, baik sebagai wujud nyata dari sifat kebersamaan maupun hal-hal yang melekat pada diri mereka yang memperoleh pertolongan untuk memenuhi imbalan bagi mereka yang menolongnya.

88

Kegiatan tolong-menolong ini dapat terjadi dalam hal yang menyangkut kegiatan orang perorangan yang bersifat fisik (membuat rumah, menanam padi) atau yang bersifat non fisik atau bersifat keagamaan dan yang berkaitan dengan suka dan duka.

Perbuatan tolong-menolong ini nampaknya masih dikenal dan dilaksanakan sampai saai ini, walaupun tidak semua kegiatan dilakukan dengan sistem ini, mengingat terbatasnya waktu dan dana yang harus dikeluarkan oleh masing-masing pihak.

Disamping itu juga tergantung dari besar kecilnya atau tinggi rendahnya tingkatan suatu upacara yang akan diambil. Jadi dalam tolong-menolong tergantung keterikatan secara tidak langsung antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Sedangkan dalam pengertian gotong royong lebih mengarah kepada pembangunan fisik misalnya : membangun rumah, membuat jalan desa, membangun balai desa dan lain sebagainya. Konsep gotong royong erat kaitannya dengan kehidupan rakyat kecil, maupun kehidupan dalam masyarakat pedesaan. Jadi gotong royong adalah merupakan sistem pengerahan tenaga yang tidak hanya terjadi dilingkungan keluarga tetapi dapat pula terjadi dengan orang lain diluar lingkungan keluarga.

Kompensasi lain dari sistem gotong royong ini tidak ada, yang ada hanya unsur pengembalian bantuan. Dalam perkembangan selanjutnya sistem gotong royong dianggap kurang praktis, karena kalau ada uang semuanya dapat dianggap beres alias selesai (Koentjaraningrat, 1982, h.62-67).

Perbuatan Dalam Bentuk Perjanjian atau Perikatan Lainnnya

Perbuatan perhutangan yang berpangkal pada suatu perjanjian atau dalam bentuk perikatan lainnya, jelas belum merupakan perbuatan yang tunai menurut hukum adat. Tetapi walaupun demikian perbuatan tersebut telah merupakan perbuatan perhutangan yang telah mengikat para pihak untuk melaksanakannya.

Adapun tanda pengikat itu biasanya dapat berupa uang, yang disebut dengan “panjer”. Dengan telah diterimanya tanda ikatan tersebut baik bagi penerima maupun pemberi sama-sama terikat dengan persetujuan yang telah

89

mereka buat atau sepakati. Jadi bentuk perbuatan perikatan lainnya adalah berupa

“panjer”.

Panjer adalah sebagai penjelmaan dari corak hukum perhutangan yang riil dan visuil, karena merupakan satuan pengikat dan sebagai tanda lahir untuk memberikan daya pengikat pada persetujuan atau persesuaian kehendak belaka.

Menurut Van Vollenhoven, bahwa : kewajiban tidak timbul karena konsensus semata. Untuk itu diperlukan bergeser atau berpindahnya sesuatu benda, harus ada perbuatan hukum lain lagi. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa

“panjer” bukan persekot, karena ia tidak mengurangi harga pembelian, kadang-kadang ia berupa surat yang diberikan secara sepihak (sebagai tanda bukti adanya perjanjian).

Walaupun penting : “panjer” tidak merupakan syarat “hakiki atau mutlak”

untuk adanya suatu hubungan hukum. Ia hanya sebagai alat bukti atau cambuk pendorong bagi suatu itikad baik (dikutip dari Hilman Hadikusuma, 1984, h.35).

Panjer dalam hukum adat mempunyai dua fungsi yaitu :

a. Sebagai bukti atau tanda yang kelihatan bahwa antara pihak-pihak yang bersangkutan telah terjadi suatu perjanjian jual beli.

b. Sebagai pengikat bagi kedua belah pihak yang diharapkan dalam waktu dekat setelah itu akan segera melaksanakan transaksi jual beli yang dimaksud.

Demikian pula dalam hukum adat “panjer” tidak semata-mata pada perbuatan transaksi jual beli, tetapi mencakup pula aspek yang lebih luas misalnya : tanda pengikat dalam pertunangan, yang disebut peningset (Jawa, base penglarang (Bali).

Panjer juga mengandung konsekwensi atau akibat hukum yaitu : apabila memberikan panjer itu ingkar janji atau tidak menepati kesepakatan maka panjer itu akan dianggap hilang. Sedangkan apabila yang menerima panjer itu yang inngkar janji atau tidak menepati kesepakatan mereka maka ia harus

90

mengembalikan panjer itu ditambah dengan membayar lagi (sebagai denda) sebesar panjer yang telah diterimanya (Beni I Wayan, 1983, h.52).

LATIHAN :

a. Diskusikan apakah sistem tolong menolong maupun gotong royong itu menghambat jalannya pembangunan ?

b. Jelaskan apakah sistem “gaduh ternak” itu masih relevan untuk dipertahankan ?

c. Sebut dan jelaskan apakah fungsi dari “panjer” ?

Tugas Mandiri (PR) : Mahasiswa meresume/meringkas buku Surojo Wignyodipuro, 1968 dan Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, tentang Hukum Perhutangan dan bagian-bagian dari Hukum Perhutangan tersebut.

BAB VIII

91