• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN AJAR HUKUM ADAT LANJUTAN. Kode Mata Kuliah : BII 3220

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAHAN AJAR HUKUM ADAT LANJUTAN. Kode Mata Kuliah : BII 3220"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

i

BAHAN AJAR

HUKUM ADAT LANJUTAN Kode Mata Kuliah : BII 3220

PENYUSUN:

ANAK AGUNG ISTRI ARI ATU DEWI, S.H. M.H.

I GUSTI NGURAH DHARMA LAKSANA, SH., MKn I GUSTI AGUNG MAS RWA JAYANTIARI, SH., MKn

BAGIAN HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA 2016

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa proses penyelesaian buku bahan ajar Metode Penelitian dan Penulisan Hukum edisi revisi ini dapat diselesaikan sesuai harapan. Penyempurnaan buku bahan ajar ini dilakukan karena pentingnya panduan pe-ngajaran pada Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar berkaitan dengan mata kuliah metode penelitian dan penulisan hukum. Hal ini kita sadari bersama bahwa mengingat hingga saat ini belum banyak karya tulis yang secara komprehensif tentang metode penelitian dan penulisan hukum yang baku sebagai pedoman khususnya bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana yang tengah menempuh mata kuliah ini dan mempersiapkan penyusunan skripsi.Hadirnya buku bahan ajar ini diharapkan yang dapat memberikan gambaran yang jelas dan sistematis mengenai proses penelitian dari awal perencanaan dalam bentuk usulan proposal hingga penulisan laporan penelitian sesuai dengan kaidah penulisan akademik.

Buku bahan ajar ini memuat uraian intisari kuliah metode penelitian dan penulisan

hukum yang didasari oleh berbagai sumber referensi berupa literatur terkait sehingga terangkai menjadi satu kesatuan yang sistematis. Hal ini tentu akan mempermudah mahasiswa dalam mempelajarinya karena dapat mremahami secara utuh terhadap metode penelitian dan penulisan hukum yang nantinya dapat digunakan sebagai landasan dalam penyusunan skripsinya.

Dalam mewujudkan buku bahan ajar ini, tim penyusun telah berusaha maksimal agar hasil sesuai dengan harapan. Tetapi dengan segala keterbatasan yang ada, penyusun menyadari bahwa buku bahan ajar ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran dari berbagai pihak sangat membantu penyempurnaan hasil revisi ini. Atas kritik dan saran dari semua pihak tersebut kami ucapkan banyak terima kasih. Tidak lupa, Terimakasih kami sampaikan pula kepada teman-teman dan pada guru besar khususnya pada bagian hukum dan masyarakat yang telah memberikan masukan dalam penyusunan bahan ajar ini.

Akhir kata kami tujukan kepada para mahasiswa untuk mempelajari bahan ajar ini dengan baik sehingga dapat memperoleh pemahaman mengenai metode penelitian dan penulisan hukum ini dengan baik. Sehingga pada akhirnya akan

(3)

iii

mampu dan cakap dalam menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dengan menghasilkan skripsi yang baik dan berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Denpasar, Juli 2016 Penyusun

(4)

iv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iv

BAB I : HUKUM ADAT LANJUTAN SECARA UMUM 1

Pengertian Hukum Adat 1

Pengertian Hukum Adat Lanjutan 5

Sumber-Sumber Hukum Adat Lanjutan 6

Dasar Hukum Hukum Adat Lanjutan 8

BAB II : HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEMERINTAHAN 12 Masyarakat Hukum Adat 12

Pengertian Masyarakat Hukum Adat 12 Faktor-Faktor Pembentuk Masyarakat Hukum Adat 17 Struktur Pemerintahan Dalam Masyarakat Hukum Adat 19 Struktur Organisasi Tradisional Masyarakat Desa 20 BAB III : HK ADAT LANJUTAN TENTANG HUKUM KELUARGA 22 Hukum Perorangan - Istilah-Istilah Hukum Perorangan 22

Pengertian Hukum Perorangan 22

Subyek Hukum Menurut Hukum Adat 23

Badan Hukum Menurut Hukum Adat 25

Syarat-Syarat Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum 27 Bentuk-Bentuk Masyarakat Adat Sebagai Badan Hukum 29 BAB IV : HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG KEKELUARGAAN 30

Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan 30

Sistem Kekeluargaan di Indonesia 31

Keturunan 33

Pengertian Keturunan Menurut Hukum Adat Pada Umumnya 34

Jenis-Jenis Anak 35

Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Orang Tua 37 Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Kerabat Orang Tua 38

Pemeliharaan Anak Yatim Piatu 39

Pengangkatan Anak 40

Akibat Hukum Pengangkatan Anak 42

Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Bali 42

Pengangkatan Anak di Minangkabau 43

Pengangkatan Anak di Jawa 44

BAB V : HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PERKAWINAN 46

Pengertian Dan Sejarah Hukum Perkawinan 46

Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia 47

Sistem Perkawinan 49

Bentuk-Bentuk Perkawinan 49

Syarat-Syarat Dan Prosedur Pengesahan Perkawinan 52

Larangan-Larangan Perkawinan 55

(5)

v

Harta Benda Perkawinan 56

Pengertian Dan Alasan-Alasan Perceraian 57

Sahnya Perceraian Dan Akibat Hukum Dari Perceraian 59 BAB VI : HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEWARISAN 62

Pengertian Dan Unsur-Unsur Pewarisan 62

Pengertian Pewarisan Unsur-Unsur 62

Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris 64

Sifat Hukum Adat Waris 69

Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris 70

Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan 71

BAB VII : HK ADAT LANJUTAN TENTANG PEREKONOMIAN 73 Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Perekonomian 73

Hak Atas Benda 73

Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat 76

Hak Ulayat 76

Kedudukan Tanah Adat Dalam Perundang-Undangan 79

Hak Atas Benda Selain Tanah 81

Hak-Hak Immateriil 82

Transaksi-Transaksi Tanah 83

Hukum Perhutangan 85

BAB VIII : HK ADAT LANJUTAN TENTANG PELANGGARAN 91 Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran Adat 91

Jenis-Jenis Pelanggaran Adat 96

Reaksi Dan Koreksi Adat 98

Pelanggaran Adat Dalam Praktek Peradilan 101

DAFTAR PUSTAKA 106

(6)

vi

(7)

1

BAB I

HUKUM ADAT LANJUTAN SECARA UMUM

PENGERTIAN HUKUM ADAT

Untuk memahami pengertian Hukum Adat Lanjutan perlu terlebih dahulu memahami pengertian dari Hukum Adat secara umum, karena Hukum Adat Lanjutan adalah salah satu model atau bagian dari Hukum Adat Indonesia yang oleh Van Vollenhoven, Indonesia ini dibagi kedalam 19 lingkaran hukum (rechtskringen) dan masing-masing lingkaran hukum itu terbagi lagi ke dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgebouw), seperti Bali adalah merupakan satu lingkaran hukum bersama-sama dengan Lombok.

Perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu hukum. Hukum itu meliputi berbagai aspek yang multi dimensi. Karena itulah sampai saat ini para sarjana hukum belum dapat membuat definisi tentang hukum secara tepat dan lengkap yang mencakup segala aspek yang diinginkan (Ali Achmad, 2002, h.5).

pengertian sementara tentang hukum adat yang menyebut dengan norma, peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan sebutan lain. Yang jelas hukum itu mengatur hubungan antar manusia baik hubungan antar individu ataupun kelompok agar hubungan tersebut berjalan dengan baik aman dan damai.

Apabila dilihat dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, dan Hukum Adat termasuk ke dalam hukum tidak tertulis karena hidup, tumbuh dan berkembang berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

Kualifikasi ini dapat ditemukan dalam hasil kesimpulan Seminar Hukum Nasional dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta 17 Januari 1975 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah : Hukumnya orang Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini ada unsur agama (BPHN, 1976, h.250).

Tetapi walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa hukum adat yang

(8)

2

dicatatkan dan ada hukum adat yang ditulis, namun sifat dari hukum adat adalah tetap tidak tertulis.

Menurut pendapat beberapa sarjana seeperti Bushar muhammad (1961) dan Van Dijk (1960) yang dikutip dari Soleman Biasane Taneko (1981, h.13), mengatakan bahwa istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah asing (Belanda), yaitu “Adat Recht”. Istilah ini dikemukakan oleh Snouck Hurgronye yang dipopulerkan kemudian oleh Van Vollenhoven. Istilah seperti ini tidak dikenal dalam masyarakat sehingga istilah tersebut hanyalah merupakan istilah teknis ilmiah (Hilman Hadikusuma, 1977, h.14). Tetapi beliau tidak menyatakan dengan tegas apa yang dimaksud dengan teknis ilmiah tersebut.

Di dalam masyarakat hanya dikenal kata “Adat” saja dan kata inipun berasal dari bahasa asing pula yaitu bahasa Arab yang telah di resepsi dan di masyarakat pun istilah ini sudah umum di kenal, yang diberi arti “kebiasaan”. Itu berarti dari kata “Adat Recht” secara sederhana dapat diartikan “Hukum kebiasaan”. Dari terjemahan tersebut akan muncul pertanyaan apakah hukum kebiasaan itu sama dengan hukum adat ?. Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa pendapat antara lain :

Van Dijk menyatakan bahwa sebenarnya antara hukum adat dengan hukum kebiasaan adalah berbeda, baik dilihat dari sumbernya maupun sifatnya. Dilihat dari sumbernya hukum kebiasaan tidak bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat, sedangkan hukum adat sumbernya adalah dari alat-alat perlengkapan masyarakat. Sedangkan dilihat dari sifatnya bahwa hukum kebiasaan itu sepenuhnya bersifat tidak tertulis tetapi hukum adat sebagian adat yang bersifat tertulis. Tetapi pendapat Van Dijk justru tidak konsisten, karena pada tulisannya yang lain beliau menyatakan pula bahwa hukum adat bersifat tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan. (dikutip dari Soleman Biasane Taneko, 1981, h.14).

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, justru menyamakan hukum adat itu dengan hukum kebiasaan, karena menurut beliau hukum adat itu adalah kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum, yang berbeda dengan

(9)

3

kebiasaan saja. Kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju pada “rechtvardigeordening der samenliving”. (dikutip dari Soleman Biasana Taneko,1981,h.14).

Soleman Biasane Taneko sendiri berkesimpulan bahwa sebenarnya antara pengertian hukum adat dengan hukum kebiasaan tidak ada perbedaan, alasannya :

1. Bahwa istilah atau kata “adat” apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi kebiasaan. Oleh karena itu “ adatrecht” dapat saja diterjemahkan menjadi hukum adat atau hukum kebiasaan.

2. Bahwa memang di dalam proses pelaksanaan hukum ini sering dikuatkan oleh atau melalui alat-alat perlengkapan masyarakat, namun tidak semua aturan akan bersumber atau mempunyai sumber dari alat perlengkapan masyarakat itu (Soleman Biasane Taneko,1981, h.15).

Sedangkan mengenai pengertian dari hukum adat itu sendiri juga ada pendapat beberapa sarjana antara lain:

Ter Haar yang dikutip dari Soekanto dan Soerjono Soekanto (1978, h.16) yang terkenal dengan Teori “beslissingenleer-nya” menyatakan bahwa hukum adat itu mencakup keseluruhan peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum adat yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut atau secara singkat dikatakan oleh Ter Haar bahwa hukum adat itu adalah keputusan yang dapat timbul dari suatu persengketaan yang berdasarkan kerukunan dan musyawarah atau timbul dari keputusan warga masyarakat. Jadi Ter Haar membedakan antara hukum adat dengan adat berdasarkan ada tidaknya “keputusan”.

(10)

4

Kusumadi Pudjosewojo berpendirian sama dengan Ter Haar, yaitu bahwa hukum adat adalah adat yang dihukumkan oleh yang berwajib di dalam putusan-putusan mereka (Kusumadi Pudjosewojo, 1961,h.16).

Menurut Soepomo bahwa hukum adat dikatakan hukum apabila diukur dari rasa hukum yang tradisional dan merupakan hukum yang hidup karena penjelmaan perasaan hukum yang nyata dari pada rakyat (Soepomo,1965,h.5). Sedangkan menurut Koesnoe bahwa tempat hukum adat itu adalah di dalam adat. Karena adat mengatur seluruh kehidupan, sedangkan hukum adat merupakan sebagian saja dari hukum adat yaitu bagian yang memancarkan kesadaran tentang apa yang adil dan patut, dalam rangka hubungan kemasyarakatan saja dengan berpedoman pada keadilan dan kepatutan (Koesnoe, h.11-12).

Selain dari perumusan-perumusan hukum adat seperti tersebut diatas, dalam seminar nasional hukum adat dan pembinaan hukum nasional di Yogyakarta tahun 1975 telah merumuskan hukum adat itu sebagai hukumnya Orang Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama (Soleman Biasane Taneko,1981,h23).

Dari beberapa pendapat para sarjana maupun menurut hasil seminar hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 dapatlah dikemukakan bahwa:

1) Sifat hukum adat adalah tidak tertulis, dalam arti hukum adat bukan merupakan hukum yang statutair (dikodifikasikan). Sedangkan apabila ada ditemukan hal-hal yang tertulis maka itu lebih baik disebut sebagai hukum yang tercatat atau dicatatkan (beschiven adatrecht) atau sebagai hukum yang didokumentasikan (gedocumenteer adatrecht).

2) Karena sifatnya yang tidak tertulis itu maka hukum adat mempunyai pula sifat yang mudah menyesuaikan diri atau hukum adat akan mengalami perubahan karena perubahan pola berfikir dan mengikuti perkembangan zaman. Sifat hukum adat seperti itu disebut pula dengan istilah dinamis dan elastis. Atau dapat dikatakan perubahan itu terjadi karena

(11)

5

pengaruh-pengaruh tertentu dalam proses kehidupan masyarakat yang terjadi tidak secara spontan (cepat).

3) Dilihat dari unsur-unsur hukum adat yang terdapat dalam pengertian hukum adat berdasarkan hasil seminar hukum adat di Yogya, maka unsur-unsur itu adalah unsur asli dan unsur agama. Jadi agama yang dianut oleh sesuatu masyarakat akan mempengaruhi pelaksanaan dari hukum adat atau prilaku dari masyarakat tersebut unsur asli atau unsur tradisional itu adalah turun temurun.

Sehubungan dengan adanya pengaruh agama dalam pelaksanaan hukum adat, pada dasarnya bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh Van den Berg yaitu Teori Receptio in complexu. Teori tersebut mengemukakan bahwa adat istiadat dan hukum adat suatu golongan masyarakat adalah hasil resepsi secara bulat atau keseluruhan dari agama yang dianutnya.

Adapun latar belakang dari teori tersebut bahwa apabila suatu masyarakat memeluk suatu agama maka hukum-hukum ataupun ajaran-ajarannya harus mengikuti secara konsekwen dan setia. Contohnya : Apabila suatu masyarakat memeluk agama Hindu maka adat istiadat dan hukum yang berlaku baginya adalah adat istiadat dan hukum dari mana agama Hindu itu berasal.

A. PENGERTIAN HUKUM ADAT LANJUTAN

Hukum Adat Lanjutan adalah komplek norma-norma baik dalam sifatnya yang tidak tertulis, tercatat atau didokumentasikan yang berisi perintah, larangan ataupun keharusan dan kebolehan yang mengatur kehidupan masyarakat hukum adat Indonesia pada umumnya yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan ataupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya atau manusia dengan manusia.

Hukum Adat Lanjutan adalah hukum adat yang berlaku bagi orang Indonesia yang beragama apapun dan dari suku apapun. Oleh karena agama akan berpengaruh dalam sistem sosial dan budaya masing-masing suku bangsa di

(12)

6

Indonesia dan sangat kuat dan kental dalam pelaksanaan tradisi dan adat istiadatnya. Kehidupan orang Indonesia sangat khas. Karena kehidupan bermasyarakat dalam kesehariannya dilandasi oleh sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan melalui kelompok-kelompok sosial religious, dan melalui kelompok-kelompok social yang berdasarkan kerena adanya hubungan genealogis atau hubungan darah maupun kelompok-kelompok social yang berdasaran kesatuan tempat tinggal atau karena kesamaan teritorial.

Bahan diskusi kelompok :

Diskusikan dalam kelompok mengapa mahasiswa hukum perlu belajar atau perlu mengetahui hukum adat lanjutan ? Padahal kita Bangsa Indonesia sudah memasuki era globalisasi atau memasuki abad 21 ?

Agama-Agama yang Diakui di Indonesia.

Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai etnis baik yang beragama Hindu, Islam, Kristen, Budha, atau yang lainnya. Karena penduduknya terdiri dari beragam agama maka pengaruh agama dalam sistem sosial dan budaya Indonesia sangat kuat, termasuk dalam pelaksanaan dari ajaran agama yang diakui di Indonesia, karena itulah kemudian Indonesia diberi julukan Negara yang Berbhineka Tunggal Ika Berbeda-beda tetapi satu dan keadaan seperti ini harus diakui dan diterima.

Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok dimana letak hubungan antara agama dengan hukum adat dan bagaimana penerapan Teori Receptio in Complexu dari Van den Berg di Bali ?

B. SUMBER-SUMBER HUKUM ADAT LANJUTAN

Sumber hukum dapat di ibaratkan sebagai sumber air yaitu dari mana air itu berasal. Jadi sumber hukum adalah tempat dimana hukum itu dapat ditemukan

(13)

7

serta apa yang mempengaruhi isi dari pada hukum tersebut. Sumber hukum ada 2 (dua) yaitu sumber hukum matriil dan sumber hukum formil :

1. Sumber hukum matriil dapat ditemukan pada perasaan hukum masyarakat yang menjadi determinan materiil yang membentuk hukum itu dan menentukan isi dari hukum itu.

2. Sumber hukum formal adalah sumber yang menjadi determinan formal membentuk hukum untuk menentukan berlakunya hukum.

Menurut Utrecht, sumber hukum formal adalah meliputi undang- undang, kebiasaan dan adat yang masih berlaku atau dipertahankan, traktat, yurisprudensi dan pendapat-pendapat pakar hukum (doktrin) (Utrecht, 1966, h.87).

Dimanakah dapat ditemukan Hukum Adat Lanjutan ?. Atau apakah yang dapat menjadi sumber Hukum Adat Lanjutan ?. Oleh karena Hukum Adat Lanjutan adalah Hukum Adat yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang banyak dipengaruhi oleh agama yang dianutnya, maka sumber untuk menentukan Hukum Adat Lanjutan dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Kenapa demikian ?

Seperti diketahui, bahwa Hukum Adat itu terdiri dari unsur asli dan unsur agama, maka sumber untuk menentukan Hukum Adat Lanjutan itu selain melalui hukum-hukum agama dapat pula dilakukan melalui unsur aslinya yaitu pada adat istiadat, kebiasaan atau tradisi yang telah lama hidup di dalam masyarakat Indonesia seperti “masyarakat Batak, Bali, Jawa dll”. Untuk mendapatkan materi ini haruslah terjun ke masyarakat melalui penelitian-penelitian, baik secara observasi, wawancara, atau dengan menyebarkan angket maupun kuisioner. Di samping dengan cara penelitian lapangan dapat pula dilakukan pencarian data elalui sumber kepustakaan seperti membaca tulisan-tulisan para sarjana, baik yang tercatat maupun yang didokumentasikan atau melalui peraturan-peraturan yang merupakan keputusan raja-raja.

(14)

8

C. DASAR HUKUM, HUKUM ADAT LANJUTAN

Hukum sebagai salah satu masalah manusia adalah merupakan suatu permasalahan yang akan dihadapi oleh umat manusia dimanapun dan kapanpun juga. Hukum dalam proses kehidupan manusia akan terwujud dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuknya yang tertulis, tidak tertulis, baik ia itu sebagai lembaga-lembaga hukum maupun sebagai suatu proses yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum adat sebagai salah satu bagian dari hukum pada umumnya juga akan menemui permasalahan yang akan dihadapi oleh Bangsa dan Negara Indonesia, khususnya dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional, tentang bagaimanakah perkembangan Hukum Adat Lanjutan di Negara ini ?

Sehubungan dengan permasalahan seperti tersebut diatas, para sarjana saling berbeda pendapat, ada yang pro dan ada yang kontra terhadap Hukum Adat. Bagi yang pro terhadap Hukum Adat memandang bahwa Hukum Adat itu adalah salah satu kebanggaan nasional yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia karena dalam Hukum Adat itulah akan dapat dilihat dan diketahui bentuk serta wajah dari kepribadian Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Nasroen Bahwa : Kesanggupan Bangsa Indonesia dalam soal kebudayaan ternyata dari Hukum Adat ini adalah tinggi mutunya dalam mengatur ketatanegaraan dan mengatur budi pekerti dan pergaulan hidup manusia. Karena Hukum Adat ini adalah asli kepunyaan dan ciptaan Bangsa Indonesia sendiri (Nasroen, 1967, h.14).

Walaupun demikian harus disadari bahwa Hukum Adat Lanjutan akan bereksistensi pula dalam suatu perubahan sosial yang sangat cepat, seperti telah dirasakan terjadinya perubahan yang sangat mencolok sejak Tahun 1945, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Memang perubahan tersebut tidak terjadi dengan seketika, tetapi disadari ataupun tidak proses perkembangan masyarakat telah berubah dari proses yang sifatnya spontan sesuai dengan perkembangan faktor-faktor sosial budaya dalam masyarakat kearah perubahan yang disengaja sesuai dengan keadaan masyarakat yang diinginkan. Sedangkan para sarjana yang kontra terhadap Hukum Adat menyatakan bahwa Hukum Adat

(15)

9

itu sudah Out of date alias ketinggalan zaman dan harus segera ditinggalkan.

Karena kalau masih tetap berpegang teguh pada Hukum adat, berarti langkah mundur dari gerak modernisasi, Hukum Adat akan banyak menghambat lajunya gerak perkembangan nasional di Indonesia. Hukum Adat neburut pandangan mereka hanyalah penting untuk bahan sejarah hukum saja. Harus disadari pula bahwa berdasarkan fakta ruang lingkup kuasa Hukum Adat sepakin dibatasi sebagai akibat tidak dapatnya lagi berperan dalam kehidupan yang modern dalam pelaksanaan pembangunan, demikian pula Hukum Adat Lanjutan pada khususnya ?

Untuk menjawab permasalahan tersebutlah perlu dicari dasar hukum berlakunya Hukum Adat umumnya maupun Hukum Adat Lanjutan pada khususnya. Hukum Adat maupun Hukum Adat Lanjutan mempunyai dasar berlaku baik secara sosiologis maupun secara yuridis. Secara sosiologis daya berlakunya suatu kaedah hukum dapat berarti dua yaitu : (1) apakah kaidah itu diketahui, diakui, dihargai dan ditaati oleh sebagian terbesar warga masyarakat ?.

Oleh karena Hukum Adat Maupun Hukum Adat Lanjutan timbul dari adat istiadat masyarakatnya, maka Hukum adat Maupun Hukum Adat Lanjutan mempunyai dasar hukum yang sah secara sosiologis. (2) apakah kaedah dari Hukum Adat maupun Hukum Adat Lanjutan itu dapat atau tidak dipaksakan ?.

Bahwa secara ideal kaedah-kaidah Hukum Adat mauun Hukum Adat Lanjutan dapat dipaksakan berlakunya sebagaimana dikatakan oleh Ter Haar dalam teorinya yang dikenal dengan eori “Besslisingenleer”.

Sekalipun berlakunya Hukum Adat Maupun Hukum Adat Lanjutan tidak tergantung dari ketentuan perundang-undangan atau seperti yang dicantumkan dalam hasil Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta Tahun 1975, antara lain berbunyi : bahwa Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam perundang-undangan Republik Indonesia.

Namun antara sistem perundang-undangan dengan Hukum Adat tidaklah dapat dipisahkan begitu saja, karena sebagaimana telah diamanatkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Tap MPR, bahwa dalam pembangunan dan pembinaan hukum akan diadakan usaha-usaha antara lain, untuk meningkatkan

(16)

10

dan demi penyempurnaan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum antara lain dengan mengadakan kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat, artinya bahwa dalam pembinaan hukum, azas- azas pembinaan hukum nasional harus sesuai dengan haluan negara dan berlandaskan pada Hukum Adat. Hukum Adat adalah merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional melalui pembuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan timbul, tumbuh dan berkembang hukum kebiasaan dalam keadilan dalam pembinaan hukum.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa istilah, atau nama apapun yang dipakai seperti kesadaran hukum rakyat, hukum adat, hukum kebiasaan dan lain sebagainya, maka azas-azas yang menjadi dasar dan landasan pembentukan hukum nasional itu tiada lain adalah hukum adat atau adat istiadat yang ada di Indonesia, dan sudah tentu termasuk pula Hukum Adat Lanjutan, yang merupakan kukuban hukum yang termasuk kedalam lingkaran hukum, sesuai dengan pembagian daerah di Indonesia yang dilakukan oleh Van Vollenhoven.

Perwujudan keinginan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) termasuk ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan dasar hukum berkenaan dengan persoalan Hukum Adat maupun Hukum Adat Lanjutan tersebut antara lain :

1. UUDN RI Tahun 1945 terutama Pasal 18 dan penjelasan umumnya.

2. Undang-Undang No.1 Drt 1951.

3. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 5 dan 6).

4. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (Undang-Undang Pokok Perkawinan, Pasal 2 ayat 1 dst) dan peraturan pelaksanaannya.

5. UU No.14 Tahun 1970 yang direvisi dengan UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 ayat 1).

6. UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU tentang KDRT).

(17)

11

7. UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

8. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bahan diskusi :

1. Diskusikan dalam kelompok bagaimana peranan Hukum Adat Maupun Hukum Adat Lanjutan dalam Pembentukan Hukum Nasional.

2. Dengan telah dimasukkannya azas-azas Hukum Adat maupun Hukum Adat Lanjutan dalam Hukum Nasional, apakah Hukum Adat tersebut akan menjadi hilang ?

(18)

12

BAB II

HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PEMERINTAHAN

MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pada dasarnya masyarakat itulah yang mewujudkan hukum adat dan masyarakat itu pulalah yang merupakan tempat berlakunya hukum adat tersebut.

A. PENGERTIAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Istilah masyarakat hukum adat sering juga disebut dengan persekutuan hukum adat yang pada hakekatnya merupakan terjemahan dari

“rechtsgemeenchap”. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai corak dan struktur kemasyarakatannya beraneka ragam dan sebagian terbesar penduduknya bermukim di pedesaan. Salah satu bentuk dari masyarakat hukum adat tersebut contohnya di Bali, dahulu disebut “Desa Adat” tetapi saat ini sudah diubah dengan sebutan “Desa Pakraman”.

Seperti diungkapkan oleh Van Vollenhoven yang dikutip dari bukunya Soepomo : Bab-Bab Tentang Hukum Adat menyatakan bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di daerah manapun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari (Soepomo, 1976, h.49).

Badan-badan persekutuan atau masyarakat hukum yang dimaksud diatas bukanlah didasarkan pada sesuatu yang bersifat dogmatik tetapi haruslah pada kehidupan yang nyata dari masyarakat hukum yang bersangkutan, dengan demikian akan dapat diketahui apakah telah ada perubahan ataukah masih ada dan terus hidup.?. Jadi untuk mempelajari dan mengetahui hukum dalam suatu masyarakat, haruslah mempelajari pula badan-badan yang ada dalam masyarakat hukum tersebut. Itu berarti bahwa untuk mempelajari Hukum Adat Lanjutan, perlu dan harus pula mempelajari badan-badan yang ada dalam masyarakat

(19)

13

hukum adat di Indonesia. Dengan demikian, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari masyarakat hukum adat pada umumnya.

Menurut Ter Haar dalam bukunya Beginseelen en stelsel van het adatrecht Tahun 1939, yang dikutip oleh Soepomo : bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan- golongan yang bertingkah laku sebaga kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan bhatin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagi hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pengurus sendiri, dan mempunyai harta benda milik keduniaan dan milik gaib. Golongan- golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum (Soepomo, 1979, h.50).

Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum itu sebagai kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang sifatnya materiil maupun immatriil, berada dalam suatu pergaulan hidup yang sama dengan kontinuitas hubungan dengan pola berulang tetap.

Dari pengertian persekutuan atau masyarakat hukum seperti tersebut diatas maka dapatlah ditarik beberapa unsur, agar sesuatu kelompok itu disebut dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum antara lain :

1. Terdiri dari orang-orang sebagai suatu kelompok/kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan bathin.

2. Kelompok tersebut mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal.

3. Adanya kekuasaan sediri sebagai kelompok yang otonom dan mempunyai pengurus sendiri.

4. Mempunyai harta kekayaan baik milik keduniawian dan milik gaib (matriil dan spirituil) yang terpisah antara harta kekayaan milik kelompok dengan harta kekayaan anggota.

(20)

14

5. Tidak ada seorangpun dari anggota kelompok yang mempunyai keinginan untuk melepaskan diri dari kelompoknya atau ingin membubarkan kelompoknya.

Dari unsur-unsur diatas sebetulnya belumlah dapat dinyatakan suatu kelompok itu sebagai suatu persekutuan hukum atau masyarakat hukum karena perlu ada faktor lain sebagai penentunya untuk membedakannya dengan kelompok-kelompok lain seperti kelompok-kelompok sosial biasa. Adapun faktor-faktor penentu itu adalah faktor teritorial dan faktor genealogis.

Sehubungan dengan hal ini Soekanto dalam bukunya, Meninjau Hukum Adat di Indonesia menyebutkan bahwa desa di Bali adalah persekutuan teritorial, dimana warganya bersama-sama mempunyai kewajiban dan kemampuan untuk membersihkan wilayah desa bagi keperluan-keperluan yang berhubungan dengan agama. Ini berarti bahwa desa-desa di Bali disamping memiliki unsur-unsur pembentuk (constituent element), juga memiliki unsur yang bersifat magis religius. Unsur pembentuk itu tampak pada adanya wilayah kekuasaan, warga, pemerintahan yang berwibawa dan harta kekayaan baik materiil maupun immateriil. Sedang unsur yang bersifat religio magis tampak dari keberadaan desa yang menjadi tempat persembahyangan bersama bagi warga desa secara keseluruhan dan pelaksanaan ritual-ritual lain berkenaan dengan kesejahteraan warganya (Soekanto, 1981, h.73).

Sesuai dengan uraian diatas maka jelaslah bahwa “Nagari di Minangkabau atau desa adat di Bali” merupakan suatu masyarakat hukum adat yang mempunyai bentuk dan corak tersendiri yang berbeda dengan desa-desa yang ada di Jawa dan Madura atau desa-desa lainnya di Indonesia.

B. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK MASYARAKAT HUKUM ADAT Agar suatu kriteria jelas dapat menunjukkan unsur-unsur dari suatu asyarakat hukum dapat membedakannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain yang bukan merupakan masyarakat hukum adat, perlu dicarikan kretiria lain sebagai identifikasi diluar unsur-unsur yang telah disebutkan diatas yang akan

(21)

15

mewujudkan kelompok tersebut sebagai persekutuan hukum atau masyarakat hukum adat. Sebagai kriteria tambahan yang akan dapat membedakannya dengan kelompok sosial yang lain yaitu berupa faktor-faktor pembentuknya yaitu :

1. Faktor Teritorial.

2. Faktor Genealogis.

Ad.1. Faktor Teritorial, apabila dilihat dari dasar teritorial semata sebagai dasar pembentukan suatu masyarakat hukum adat, yaitu adanya kesamaan wilayah atau tempat tinggal maka kelompok tersebut telah dapat diartikan sebagai suatu masyarakat hukum. Karena contoh dan jumlah masyarakat seperti itu banyak ada di indonesia antara lain di jawa dan bali (desa adat seperti yang dikemukakan oleh Soekanto, seperti tersebut diatas).

Ad.2. Faktor Genealogis, yaitu karena adanya hubungan darah.

Artinya bahwa kelompok dalam masyarakat hukum itu terbentuk karena anggotanya berasal dari adanya hubungan darah antara orang yang satu dengan orang yang lainnya.

Tetapi menurut Ter Haar, faktor genealogis semata tidaklah dapat mewujudkan kelompok tersebut sebagai persekutuan hukum. Karena tindakan keluar dari kelompok-kelompok tersebut hanyalah dalam hal-hal tertentu saja yaitu yang berkaitan dengan pemujaan leluhur. Atau kalau toh mereka dianggap persekutuan hukum maka itu hanyalah merupakan persekutuan hukum yang sangat terbelakang dalam pelaksanaan fungsi sosialnya (Ter haar, 1974, h.29).

Disamping kedua faktor sebagai pembentuk dari suatu masyarakat hukum adat terjadi pula campuran dari keduanya yaitu faktor teritorial genealogis atau genealogis teritorial yang bentuknya bermacam-macam (Soepomo, 1976, h.49).

Dari uraian diatas nampak bahwa masyarakat hukum adat terbentuk lebih banyak didasarkan atas faktor teritorial. Hal ini karena ada kaitannya dengan sifat hubungan hukum yang tampak dalam kelompok-kelompok tersebut, seperti sifat

“Patembayan” lebih menonjol dalam masyarakat hukum adat yang didasari oleh

(22)

16

faktor teritorial sedangkan sifat “paguyuban” lebih mendasari masyarakat hukum yang bersifat genealogis (Djojodiguno, 1964, h.5).

Soepomo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat juga menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat terbentuk karena faktor genealogis, maksudnya adalah karena orang-orang tersebut termasuk dalam suatu keturunan yang sama yaitu :

a. Garis keturunan menurut garis bapak (Patrilinial) seperti orang- orang Batak, Nias, Sumba dan Bali.

b. Pertalian darah menurut garis ibu (Matrilinial) seperti : famili di Minangkabau

c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (tata susunan parentil) seperti orang-orang Jawa, Sunda, Aceh dan Kalimantan.

Sedangkan persekutuan hukum atau masyarakat hukum yang terbentuk atas dasar faktor teritorial atau berdasar lingkungan daerah dapat dibagi dalam tiga jenis pula yaitu :

a. Persekutuan desa (dorp).

b. Persekutuan daerah (streek).

c. Persekutuan dari beberapa desa.

Terhadap persekutuan hukum atau masyarakat hukum teritorial ini orang dapat untuk sementara waktu meninggalkan tempat tinggalnya tanpa kehilangan keanggotaannya dari golongan tersebut. Orang yang dari luar yang masuk ke daerah persekutuan tersebut tidak dengan sendirinya menjadi teman segolongan.

Ia harus diterima sebagai teman segolongan menurut hukum adat (Soepomo, 1979, h.51-52).

Arti dari penjelasan diatas bahwa pendatang akan mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda dengan penduduk yang sejak awal nenek moyangnya sudah bertempat tinggal di dalam daerah persekutuan tersebut, oleh karenanyalah mereka pada umumnya mempunyai kedudukan lebih penting daripada penduduk pendatang.

(23)

17

Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok apakah faktor-faktor pembentuk maupun unsur- unsur dari masyarakat hukum adat pada umumnya dan berikan contoh-contoh dan dimana itu ada ?

C. STRUKTUR PEMERINTAHAN DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT

Untuk dapat memahami struktur pemerintahan maupun struktur organisasi dalam masyarakat hukum adat maka perlulah terlebih dahulu memahami struktur masyarakat hukum pada umumnya. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa ada dua faktor pengikat yang membentuk tumbuhnya suatu suatu masyarakat hukum yaitu faktor genealogis yaitu masyarakat hukum yang anggota-anggotanya merasa terikat karena berasal dari nenek moyang yang sama, masyarakat hukum teritorial yaitu masyarakat hukum terbentuk karena anggota-anggotanya merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama di tempat yang sama, dan tipe yang ketiga merupakan gabungan antara faktor genealogis dan teritorial sehingga masyarakat hukum tersebut terbentuk karena anggota-anggotanya merasa terikat atu sama lain dari kedua faktor tersebut.

Masyarakat hukum yang terbentuk karena faktor teritorial, dalam kepustakaan hukum adat dapat dibedakan lagi kedalam (3) tiga jenis antara lain :

1. Persekutuan desa yaitu segolongan orang yang terikat pada suatu tempat kediaman yang sama meliputi perkampungan- perkampungan yang jauh dari pusat pemerintahan dimana pejabat-pejabat desa bertempat tinggal. Contohnya : Banjar di Bali.

2. Persekutuan daerah yaitu kesatuan dari beberapa tempat kediaman yang masing-masing tempat kediaman itu mempunyai pimpinannya sendiri-sendiri, sejenis dan sederajat. Tetapi tempat

(24)

18

kediaman tadi merupakan bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yang mempunyai hak ulayat atas tanah-tanah yang ada dalam persekutuan hukum tersebut. Contohnya : desa pakraman di Bali.

3. Perserikatan dari beberapa desa yaitu gabungan dari beberapa persekutuan desa yang letaknya saling berdekatan satu sama lain, mengadakan permufakatan untuk saling bekerja sama memelihara kepentingan-kepentingan yang sama atau tujuan yang sama. Contohnya di Bali : kerja sama dibidang pengairan subak, atau kegiatan lain disebut dengan sekaa-sekaa antara lain sekaa manyi (menunai padi), sekaa gong, sekaa semal (tupai kelapa).

Indonesia yang merupakan negara kepulauan sejak 17 Agustus 1945 adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagai negara kesatuan yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dapat ditarik kesimpulan akan pengakuan secara konstitusionil adanya hukum yang tidak tertulis. Dengan demikian dari kesimpulan tersebut dapat diketahui hak hidup dan terpeliharanya aturan-aturan hukum adat di Indonesia baik secara kenyataan maupun secara yuridisnya mendapat tempat yang wajar (Tjokorda Raka Dherana, 1975, h.2).

Pengakuan terhadap hukum yang tidak tertulis seharusnya diterima dan diakui mengingat masyarakat adalah dalam proses kehidupan dan perkembangannya, dan aturan-aturan hidup yang ada diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan hidup dari masyarakat yang bersangkutan maka bentuk aturan-aturan yang tertulis tidak cukup mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan kepentingan masyarakat yang terus berkembang.

(25)

19

Menurut Koesnoe, secara tradisional masyarakat hukum adat mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dibedakan antara lain :

1. Fungsi pemerintahan yaitu sebagai fungsi untuk mempertahankan tertib adat dan kesejahteraan warganya.

2. Fungsi pemeliharaan roh yaitu sebagai fungsi untuk menjaga masyarakat dan warganya dalam hubungannya dengan alam gaib.

3. Fungsi pemeliharaan agama yaitu sebagai fungsi untuk merealisir apa yang ditetapkan oleh agama.

4. Fungsi pembinaan hukum adat yaitu sebagai fungsi untuk menampung segala tuntutan perkembangan hukum adat (Koesnoe, 1971, h.24-25).

Sedangkan Soepomo mencoba melihat fungsi-fungsi masyarakat hukum adat itu dari aktifitas-aktifitas kepala rakyat (kepala adat) dalam rangka menjaga tertib masyarakat hukum adat. Adapun aktifitas-aktifitas tersebut dapat dibedakan kedalam tiga kelompok yaitu :

1. Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian yang erat antara tanah dengan masyarakat hukum adat.

2. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah pelanggaran hukum, supaya hukum berjalan sebagaimana mestinya.

3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar (Soepomo, 1979, h.66).

D. STRUKTUR ORGANISASI TRADISIONAL MASYARAKAT DESA.

1. Struktur Organisasi Tradisional masyarakat Desa di Jawa

Masyarakat desa di Jawa termasuk masyarakat yang susunannya berdasarkan pada ikatan teritorial. Anggota masyarakat terdiri dari orang-orang yang satu sama lainnya tidak mempunyai hubungan keturunan (hubungan darah).

(26)

20

Kepala desa (lurah, petinggi) di Zaman dahulu ditunjuk dari orang-orang yang menjadi keturunan pembuka desa (pendiri desa). Cara seperti ini sekarang sudah ditinggalkan. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari didampingi oleh sebagai contoh :

- Di Garut, Jawa Barat

 Lurah (Kepla Desa);

 Juru tulis desa;

 Polisi desa (Jogo-boyo);

 Ulu-ulu (bidang pengairan);

 Tua-tua Kampung;

 Lebe atau amil (bidang keagamaan).

- Di Wonosobo Jawa Tengah

 Bekel (Kepala Desa);

 Carik (Panitera);

 Bahu (wakil Kepala Desa);

 Kami Tuo (Kepala Kampung);

 Kabayan (Pesuruh);

 Tamping (pesuruh);

 Kaum (bidang Keagamaan);

 Ulu-ulu (bidang pengairan).

2. Struktur Organisasi Tradisional Desa di Bali

Sama halnya dengan masyarakat desa di Jawa, masyarakat desa di Bali juga disusun berdasarkan ikatan teritoroal. Dewasa ini di Bali ada dua macam pengertian desa yaitu desa adat dan desa (disebut juga dengan desa otonom) dan desa dinas (disebut dengan desa administrative) (baca UU No.5 tahun 1979 tentang Undang-Undang Pemerintahan Desa dan perubahan-perubahannya).

Sebagai contoh struktur organisasi desa tua di Bali.

(27)

21

Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem Bali

 Luanan;

 Baha duluan;

 Baha tebenan;

 Penyalikan;

 Saya arah;

 Penyeluduhan.

LATIHAN :

1. Sebutkan jenis-jenis atau faktor-faktor pembentuk masyarakat hukum adat

?

2. Sebutkan pula contoh-contoh dari masing-masing bentuk masyarakat hukum!

Tugas mandiri (PR) : mahasiswa meringkas buku Soepomo : Bab-Bab Tentang Hukum Adat dan Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan Masyarakat Hukum Adat Bali masuk kedalam bentuk yang mana ?

(28)

22

BAB III

HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG HUKUM KELUARGA

HUKUM PERORANGAN

ISTILAH-ISTILAH HUKUM PERORANGAN

Istilah hukum perorangan dipakai sebagai terjemahan dari

“Personenrecht”, dan para ahli hukum adat atau sarjana hukum adat mempergunakan berbagai istilah untuk menterjemahkannya. Adapun istilah yang dipergunakan antara lain :

a. Hukum perseorangan (Personenrecht) : Ter Haar b. Pribadi hukum (Rechtspersoon) : Soekanto c. Hukum keorangan : Djojodiguno

d. Hukum perseorangan : Soerojo Wignyodipuro e. Hukum pribadi : Soerjono Soekanto

A. PENGERTIAN HUKUM PERORANGAN

Hukum perorangan maupun istilahnya hukum pribadi pada prinsipnya mengatur tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari subyek hukum. Yang menurut hukum adat subyek hukum itu adalah manusia atau pribadi kodrati dan badan hukum atau pribadi hukum (Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane, 1981, h.184). dan yang termasuk badan hukum/pribadi hukum menurut hukum adat antara lain : desa, suku, nagari, wakaf, subak, sekehe dan banjar (Soerojo Wignyodipuro, 1975, h.115). oleh karena setiap subyek hukum itu mempunyai hak, apakah setiap subyek hukum itu mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya di mata hukum ?

(29)

23

B. SUBYEK HUKUM MENURUT HUKUM ADAT

Siapakah yang merupakan subyek hukum menurut hukum adat ?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu pula terlebih dahulu mengerti dan memahami pengertian subyek hukum menurut hukum adat pada umumnya, karena hukum adat lanjutan adalah merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya, yang pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama.

Kalau mengikuti pendapat dari Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane taneko, maka yang dimaksud dengan subyek hukum menurut hukum adat adalah pribadi (natuurlijk persoon) dan juga pribadi hukum (rechtpersoon).

Dan pribadi hukum adalah pribadi (persoon) yang merupakan ciptaan hukum (Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko, 1981, h.184).

Yang dimaksud pribadi dalam pengertian diatas adalah manusia, sedangkan yang dimaksud dengan pribadi hukum adalah badan hukum.

Pada prinsipnya setiap manusia/pribadi kodrati (manusia karena kelahirannya) telah mempunyai hak dan juga kewajiban sejak lahir sampai meninggal dunia.

Dan menurut hukum adat dikatakan sebagai subyek hukum setiap manusia mempuyai kecakapan berhak atau wenang hukum, tetapi ketentuan ini tidak berlaku disemua wilayah hukum adat di Indonesia karena di daerah-daerah tertentu yang mengadakan perbedaan seperti di daerah Minangkabau bahwa orang perempuan tidak berhak menjadi mamak kepala waris atau menjadi penghulu andiko. Demikian pula halnya dengan hukum barat yang terdapat dalam Pasal 2 BW, bahwa anak yang masih berada dalam kandungan karena kepentingan-kepentingannya tertentu dianggap telah mulai mempunyai hak dan kewajiban. Namun dalam kenyataannya tidak demikian karena walaupun setiap pribadi kodrati itu dianggap mampu atau cakap bersikap atau mampu melakukan perbuatan hukum. Antara orang yang cakap hukum dan orang yang tidak cakap hukum atau orang yang dianggap mampu mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatan hukumnya dengan orang yang dianggap tidak mampu mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatan hukumnya dibedakan. Untuk membedakannya hukum adat memakai kriteria atau

(30)

24

ukuran yaitu kedewasaan atau mempergunakan ukuran menurut pandangan atau pengakuan masyarakat hukum adat itu sendiri yaitu ciri-ciri tertentu dan menurut beberapa sarjana berbeda :

Menurut Ter Haar : bahwa yang dianggap cakap hukum itu adalah lelaki atau perempuan yang sudah kawin dan memisahkan diri dari rumah tangga orang tuanya atau mertuanya dan mempelai tadi mempunyai rumah tangga yang berdiri sendiri (Ter Haar, 1960, h.166-167).

Sedangkan menurut Soerojo Wignyodipuro mengemukakan bahwa hukum adat menentukan orang yang dianggap cakap hukum adalah seseorang baik pria maupun wanita adalah yang sudah dewasa. Dan kedewasaan menurut hukum adat tradisional ini bukanlah umur tetapi menurut ciri-ciri tertentu seperti :

- Apabila sudah kuwat gawe (mampu bekerja sendiri);

- Apabila sudah cakap mengurus haeta benda dan segala keperluan sendiri;

- Apabila sudah cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mampu mempertanggung jawabkan sendiri segala-galanya (Soerojo Wignyodipuro, 1973, h.96).

Ciri-ciri sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka didalam struktur hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama sekali tidak cakap bertindak dalam salah satu perbuatan hukum dengan orang yang dapat melakukan berbagai perbuatan hukum. Peralihan dari keadaan tidak cakap sama sekali kepada keadaan cakap penuh berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan.

Menurut hukum adat seperti telah dijelaskan diatas, bahwa semua orang mempunyai hak yang sama yang sifatnya keperdataan tetapi hak-hak berkaitan dengan masyarakat hukum adat apakah namanya desa, nagari, kampong, maupun subak adalah tergantung pada status orang tersebut di dalam kelompok-kelompok tersebut, karena hak-hak yang berhubungan dengan desa timbul atau diperoleh

(31)

25

seiring dengan diperolehnya status sebagai anggota dalam kelompok tersebut setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan.

Pandangan masyarakat hukum adat tentang kretiria yang disebutkan diatas pada mulanya disebabkan karena ketidak tahuan mereka bahwa secara umum menurut hukum setiap orang adalah subyek hukum khususnya dibidang keperdataan, yang artinya bahwa setiap orang yang hidup dapat memiliki sesuatu hak. Tetapi di dalam perkembangan selanjutnya kriteria yang dipakai untuk menentukan kedewasaan seseorang tidak lagi berdasarkan kriteria ataupun ciri-ciri seperti tersebut diatas melainkan telah berubah karena dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Hukum Perdata yaitu berdasarkan umur atau status yaitu sudah atau belum kawin. Seperti contohnya : pada UU No.1 Tahun 1974, Undang-Undang Pokok Perkawinan, umur untuk kawin, 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanitanya dan bagi mereka yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin untuk kawin.

Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok mengenai kriteria untuk menentukan berhak dan tidaknya seseorang bertindak dalam hukum menurut hukum adat !

C. BADAN HUKUM MENURUT HUKUM ADAT

Telah dikemukakan diatas bahwa pribadi hukum yang merupakan pribadi ciptaan hukum lebih umum dikenal dengan sebutan Badan Hukum. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyatakan bahwa alasan dibentuknya pribadi hukum atau badan hukum tersebut antara lain :

- Adanya kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu atas dasar kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama oleh pribadi kodrati (manusia).

- Adanya tujuan-tujuan idiil yang perlu dicapai tanpa senantiasa tergantung pada pribadi-pribadi kodrati secara perseorangan (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, h.74-75).

(32)

26

Sebagai subyek hukum pribadi hukum atau badan hukum haruslah mempunyai tujuan dan harta kekayaan sendiri terlepas dari harta kekayaan pribadi dari para pelaksananya.

Menurut Djoyodiguno, hukum adat mengenal pula badan hukum sebagai subyek hukum seperti desa, nagari, subak bahkan perkumpulan- perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas dan rapi diakui sebagai badan hukum (Djoyodiguno, 1964, h.23).

Demikian pula halnya di Bali, yang dimasukkan kedalam bentuk suatu badan hukum antara lain : sekaa-sekaa, banjar dan subak. Pengakuan bentuk-bentuk ini sebagai badan hukum terlepas dari pengakuan undang- undang. Berbeda halnya dengan badan hukum menurut hukum Barat yang keberadaannya harus dengan pengakuan undang-undang. Badan hukum atau pribadi hukum sebagai subyek hukum menurut hukum adat seperti desa pakraman, subak, banjar, sekaa-sekaa dan lain sebagainya dapat melakukan perbuatan atau tindakan hukum dan itu diakui dan ditaati oleh anggotanya. Badan- badan hukum sebagai subyek hukum tersebut didalam melakukan perbuatan atau tindakan hukum diwakili oleh kepala adat atau pengurusnya. Tetapi tidak semua perbuatan atau tindakan hukum dapat dilakukan atau dilaksanakan oleh badan hukum sebagai subyek hukum seperti misalnya kewajiban sebagai orang tua, suami, istri, karena badan hukum sebagai subyek hukum tidak mengenal kecakapan berhak ataupun kecakapan bertindak seperti halnya yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum. Badan hukum atau pribadi hukum.

Dalam lingkungan masyarakat hukum adat selain desa pakraman, subak maupun banjar dikenal pula perkumpulan-perkumpulan yang lebih cenderung kearah yang bersifat sosial antara anggota-anggotanya pada satu bidang usaha atau kegiatan yang tertentu. Sebagai perkumpulan yang bergerak dibidang sosial mereka mempunyai pengurus sendiri, harta kekayaan sendiri untuk keperluan kelompok itu sendiri. Selain perkumpulan seperti itu ada pula suatu perkumpulan sebagai suatu organisasi yang telah melembaga seperti “ SUBAK” di Bali. Subak yaitu suatu perkumpulan dari pemilik sawah yang mempunyai kegiatan dibidang pengairan.

(33)

27

Perkumpulan ini dipimpin oleh Kelian Subak yang disebut “Pekaseh”, mempunyai aturan-aturan tersendiri yaitu “awig-awig subak”, yang berisi aturan- aturan pokok yang menetapkan hak dan kewajiban kerama subak (anggota), mempunyai harta kekayaan sendiri sebagai milik bersama dari krama subak yang bersangkutan dan juga mempunyai satu tempat persembahyangan atau tempat pemujaan bersama yang disebut dengan “bedugul atau ulun sui”.

D. SYARAT-SYARAT BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEK HUKUM Mengenai syarat-syarat manusia sebagai subyek hukum telah dijelaskan diatas, selanjutnya dibawah ini akan dijelaskan mengenai syarat-syarat badan hukum sebagai subyek hukum. Badan hukum atau pribadi hukum yang diakui oleh hukum adat sebagai subyek hukum haruslah memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh hukum adat. Adapun syarat-syarat yang dipakai sebagai kriteria oleh hukum adat antara lain :

1. Merupakan kesatuan yang memiliki tata peraturan yang rapi;

2. Memiliki pengurus sendiri;

3. Memiliki harta kekayaan sendiri;

4. Bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar dan batin (Surojo Wignyodipuro, 1973, h.103).

Dalam perkembangan selanjutnya keberadaan dari badan-badan hukum menurut hukum adat ini mendapat pertanyaan sejauh mana badan-badan hukum ini mendapat pengakuan dari perundang-undangan Republik Indonesia ?

Untuk menjawab permasalahan ini perlu dilihat dari beberapa paraturan antara lain peraturan-peraturan sebelum keluarnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) atara lain dapat disimpulkan :

1. Tidak diatur secara tegas;

2. Kedudukan masyarakat hukum adat seperti : Nagari, Desa diakui dalam Pasal 18 UUDRI Tahun 1945, penjelasan umum No.6 UU No5 Tahun 1979.

(34)

28

3. Pengakuan masyarakat hukum sebagai badan hukum secara tidak langsung dilihat atau diketahui dari beberapa putusan Makamah Agung antara lain : Putusan MA No.39 K/Sip/1956 tanggal 19 September 1956 yang pada intinya tentang peralihan hak desa atas sebidang tanah desa yang dipegang oleh warga desa atas dasar pinjaman dapat dialihkan kepada pihak ketiga apabila ada persetujuan dari desa di daerah Lamongan.

Keputusan MA tersebut setelah keluarnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) perlu dipertanyakan juga karena apakah UUPA mengakui masyarakat hukum adat seperti desa, nagari dan lain-lain sebagai badan hukum ?. Karena pada azasnya menurut UUPA badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik dan dalam Pasal 21 ayat 2 UUPA telah menentukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah melalui Menteri Agraria yaitu Peraturan Menteri No.2 Tahun 1960 yo No.5 Tahun 1960 yang isinya antara lain bahwa : desa, nagari, huta dan lain sebagainya tidak tercantum atau tidak disebutkan sebagai badan hukum yang boleh mempunyai hak milik. Selanjutnya bila dihubungkan dengan Pasal II ayat 1 ketentuan-ketentuan tentang Konversi yang menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 seperi yang disebutkan dengan nama dibawah ini yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini yaitu : yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa dan seterusnya, sejak berlaunya undang-undang ini, menjadi hak milik seperti tersebut dalam Pasal 20 (1) dan seterusnya (Beni I Wayan, Cs, 1983, h.62).

Jadi berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa nagari maupun huta tidak lagi mempunyai wewenang untuk mengatur hak-hak atas tanah. Itu berarti sebagai subyek hukum telah kehilangan kewenangannya, demikian pula dengan badan-badan hukum adat yang pada mulanya mempunyai hak-hak tertentu dalam perkembangannya sekarang menjadi terbatas bahkan terhapus sama sekali.

(35)

29

Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok tentang kedudukan desa maupun subak sebagai masyarakat hukum adat yang berbentuk badan hukum saat ini ?

E. BENTUK-BENTUK MASYARAKT HUKUM ADAT SEBAGAI BADAN HUKUM

Dimuka telah dijelaskan bahwa pribadi hukum yang merupakan pribadi yang diciptakan oleh hukum ada berbagai bentuk sesuai dengan kepentingan maupun tujuan dibentuknya badan-badan hukum tersebut.

Seperti misalnya :

1. Pribadi hukum menurut hukum adat yaitu masyarakat hukum adat seperti desa pakraman. Desa pakraman sebagai subyek hukum walaupun wewenangnya terbatas tidak seperti manusia sebagai subyek hukum akan diwakili oleh kepala adat yang di Bali apakah namanya “Bendesa Adat atau Kelian Adat”, karena masyarakat hukum adat merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai kesatuan lingkungan hidup, mempunyai kekuasaan sendiri serta harta kekayaan sendiri harta benda yang tampak maupun yang tidak tampak.

2. Pribadi hukum yang cenderung lebih berupa perkumpulan- perkumpulan sosial yang bergerak dalam bidang usaha sebagai contoh perkumpulan suka-duka.

3. Pribadi hukum yang khusus bergerak dibidang pengairan di sawah yang di Bali lebih umum dikenal dengan “Subak”.

Sedangkan badan-badan hukum dari masyarakat hukum adat yang lebih bersifat modern karena terbentuk berdasarkan peraturan-peraturan baik pusat maupun daerah seperti : KUD, LPD dan lain sebagainya.

Tugas mandiri (PR): Mahasiswa ditugaskan mendapatkan informasi tentang kriteria yang dijadikan ukuran untuk menentukan kedewasaan seseorang saat ini di desa masing-masing dengan berpedoman pada kriteria yang ada pada Bahan Ajar Hukum Adat Lanjutan.

(36)

30

BAB IV

HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG KEKELUARGAAN

A. PENGERTIAN HUKUM ADAT KEKELUARGAAN

Istilah hukum kekeluargaan diantara para sarjana hukum adat tidak ada kesatuan istilah seperti Ter Haar memakai istilah hukum kesanak saudaraan, Soerjono Soekanto memakai istilah Hukum Keluarga, sedangkan Djaren Saragih maupun Soerojo Wignyodipuro memakai istilah Hukum kekeluargaan. Untuk mengetahui lebih lanjut apa yang dimaksud dengan Hukum Adat Kekeluargaan itu, perlu mencari beberapa pendapat sarjana. Secara umum pengertian yang terkandung dalam hukum adat kekeluargaan itu antara lain :

Menurut Djaren Saragih : Hukum keluarga adalah sekumpulan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang ditimbulkan oleh hubungan biologis (Djaren Saragih, 1980, h.123).

Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan biologis akan beraneka ragam tergantung dari bentuk perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita atau orang tua mereka. Apabila hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita tanpa dilakukan secara sah maka anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut akan menjadi anak tidak sah. Hal seperti ini akan menjadi berbeda apabila hubungan biologis itu dilakukan secara saah maka anak-anak yang dilahirpun akan menjadi anak-anak yang sah.

Sedangkan di Bali, kedudukan seorang anak dalam keluarga dan keluarga besarnya selain ditentukan oleh sah tidaknya perkawinan orang tuanya, juga ditentukan oleh bentuk perkawinan orang tuanya, apakah dalam bentuk perkawinan biasa atau dalam bentuk perkawinan nyeburin. Karena bentuk perkawinan tersebut akan mempengaruhi pula hubungan-hubungan hukum yang akan timbul baik dengan orang tua maupun keluarga besarnya (kerabatnya).

(37)

31

B. SISTEM KEKELUARGAAN DI INDONESIA

Untuk mengetahui sistem hukum kekeluargaan yang berlaku, perlu terlebih dahulu mengerti dan memahami sistem kekeluargaan yang secara umum dikenal di Indonesia.

Sistem kekeluargaan ini perlu dipahami karena sistem kekeluargaan merupakan kunci untuk dapat memahami persoalan-persoalan yang akan muncul kemudian antara lain seberapa jauh ada hubungan hukum maupun hubungan kekeluargaan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya sehingga dengan mengetahui hubungan-hubungan itu akan dapat diketahui pula apakah ada halangan atau larangan diantara mereka apabila mereka ingin melangsungkan perkawinan, serta untuk dapat mengetahui apakah mereka mempunyai hak atau tidak sebagai ahli waris.

Pada prinsipnya di seluruh Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem kekeluargaan, yaitu cara melihat atau menarik keturunan sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang itu mempunyai hubungan hukum kekeluargaan atau keturunan siapa mereka serta dapat pula diketahui batas-batas hubungan tersebut. Apakah mereka merupakan hubungan sedarah, bukan sedarah atau pada derajat ke berapa mereka berada ?

Adapun ketiga cara menarik garis keturunan itu di indonesia antara lain : 1. Keturunan semata-mata dihitung menurut garis laki-laki saja

(garis patrilinial), seperti pada masyarakat suku Batak, Nias, Sumba, Bali.

2. Keturunan semata-mata dihitung menurut garis wanita (ibu) saja (garis matrilinial), seperti masyarakat suku minangkabau.

3. Keturunan yang dilihat baik garis laki-laki maupun garis wanita (garis keturunan yang bersifat parental), seperti suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak dan lain-lain.

(38)

32

Perbedaan sistem kekeluargaan seperti tersebut diatas hanyalah berfungsi untuk menunjukkan adanya suatu perbedaan kadar hubungan kekeluargaan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya yang ada antara kedua belah pihak yaitu garis bapak dan garis ibu, tetapi antara hubungan kedua belah pihak itu tidak terputus sama sekali.

Sebagai contoh : masyarakat hukum adat di Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial yang menghitung garis keturunan melalui garis ayah, walaupun perkawinannya mungkin berbeda kasta tetap saja hubungan dengan keluarga ibu juga dijaga. Hanya saja porsi hubungan itu lebih tinggi kekeluarga ayah dari pada kekeluarga ibu apalagi dalam peristiwa-peristiwa yang penting seperti dalam upacara dan upacara “Pitra Yadnya”.

Itu berarti keluarga dari pancar laki-laki lebih utama dari keluarga pancar wanita kecuali keluarga dari pancar laki-laki sudah tidak ada lagi, barulah keluarga dari pancar wanita mendapat perhatian baik mengenai penerimaan warisan maupun pemeliharaan anak. Dalam masyarakat yang berhukum kekeluargaan patrilinial pada umumnya terdapat cara perkawinan, dimana si wanita sesudahnya kawin akan tinggal pada kelompok keluarga suami, demikian pula si anak masuk golongan keluarga (clan) bapaknya. Sebagai corak kedua dalam susunan kekeluargaan di Indonesia pada umumnya yang bersifat

“klasifikatoris”, artinya bahwa seluruh generasi dari bapak (dan ibu), seorang anak dari beberapa hal mempunyai kedudukan yang sama dengan bapak serta ibunya, tanpa memperhatikan umur yang bersangkutan (Gde Panetja, 1986, h.41).

Hal diatas adalah berkaitan dengan istilah menyapa dan menyebut atau cara memanggil seseorang dalam keluarga baik keluarga dari bapak maupun dari keluarga ibu tanpa memandang umur dari mereka yang disapa atau disebut tersebut.

Bahan diskusi :

a. Apakah ada perbedaan kedudukan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya sebagai akibat adanya hubungan biologis atau karena perbuatan hukum lainnya di Indonesia ?

(39)

33

b. Jelaskan perbedaan konsep dan akibat hukumnya antara patrilinial Batak dengan patrilinial Bali ?

c. Jelaskan pengertian unilateral, bilateral, patrilinial beralih-alih !

C. KETURUNAN

Pengertian keturunan menurut hukum adat pada umumnya

Berdasarkan pendapat dari Surojo Wignyodipuro yang dimaksud dengan keturunan adalah ketunggalan leluhur, yang artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain (Surojo Wignyodipuro, 1979, h,128).

Sedangkan menurut T I P. Astiti, Cs : dikatakan bahwa keturunan itu adalah orang-orang laki dan perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan orang yang menurunkannya (T.I.P. Astiti, Cs, 1984, h.2).

Dari kedua pendapat tersbut dapat dikatakan bahwa : keturunan adalah merupakan unsur yang mutlak harus ada jika satu keluarga tidak menginginkan dirinya dikatakan tidak ada generasi penerusnya.

Oleh karena itu, jika khawatir akan menghadapi kenyataan tidak mempunyai keturunan maka dapat melakukan pengangkatan anak untuk menghindari kepunahan. Orang yang satu sebagai keturunan dari orang yang lainnya mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu sesuai dengan kedudukan dalam keluarga yang bersangkutan.

Keluarga wajib saling membantu, saling mewakili, saling pelihara- memelihara, boleh mempergunakan nama keluarga mereka yang menjadi keturunan seorang bapak akan menjadi anggota pula dari clan bapak.

(40)

34

SIFAT-SIFAT KETURUNAN

Menurut sifatnya keturunan ada dua (2), yaitu :

1. Keturunan menurut garis lurus keatas dan kebawah, maksudnya adalah keturunan langsung keatas yaitu apabila rangkaiannya dilihat dari bawah keatas yaitu dari : anak, bapak, kakek. Sedangkan sebaliknya apabila rangkaian itu dilihat dari atas kebawah yang disebut lurus kebawah yaitu dari : kakek, bapak, anak.

2. Keturunan menurut garis menyimpang, menyamping atau bercabang yaitu : apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, yang disebut dengan “sepupu”.

3. Hubungan darah antara seseorang dengan orang lainnya.

Menurut T.I.P. Astiti, dapat pula dilihat dari jauh dekatnya hubungan tersebut, karena jauh dekatnya hubungan darah ini akan membawa akibat hukum yang berbeda. Jadi harus dibedakan antara hubungan darah yang sangat dekat dengan hubungan darah yang cukup dekat. Terhadap hubungan darah yang sangat dekat mengakibatkan adanya larangan yang sangat mutlak bahwa diantara mereka ada larangan perkawinan, seperti antara : bapak dengan anak atau antara kakek dengan cucunya, atau antara saudara kandung.

Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah cukup jauh secara relatif masih dimungkinkan untuk melangsungkan perkawinan. Dan mereka yang mempunyai hubungan darah yang jauh, diantara mereka sudah tidak ada lagi istilah untuk menyebutkan hubungan itu (T.I.P. Astiti, Cs, 1984, h.3).

Selain ada istilah melihat garis keturunan melalui sifat-sifatnya, maka keturunan dapat pula dilihat melalui derajat atau tingkatannya yang disebut dengan derajat keturunan. Hal ini juga untuk menentukan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang akan bermanfaat dalam menentukan siapa yang akan muncul sebagai ahli waris pertama apabila ada seseorang yang meninggal, apakah dia berada pada derajat I (anak), pada derajat II (kakek), pada derajat III (cucu). Dan seterusnya.

Referensi

Dokumen terkait

755 Yohanes SMP Bunda Hati Kudus DKI Jakarta srt baptis 756 Giovanie Anggasta Yogg SMP Katolik RICCI II Banten lengkap 757 Agustinus Dimas Riyandi SMP YPPK Santu

[r]

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Pada kegiatan pembelajaran anak usia dini, penggunaan media pembelajaran menjadi sesuatu hal yang penting terhadap pencapaian tujuan dari pembelajaran untuk

Totalindo merupakan salah satu dari sedikit kontraktor swasta nasional yang telah memperoleh Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi dengan kualifikasi Besar 2

Petir/kilat merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer Bumi yang tidak dapat dicegah (Pabla, 1981 dan Hidayat, 1991) yang terjadi akibat lepasnya muatan listrik baik

Pengaruh penambahan karaginan terhadap karakteristik pasta tepung garut dan kecambah kacang tunggak sebagai bahan baku bihun.. Jurnal Pangan

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan