• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELANGGARAN ADAT DALAM PRAKTEK PERADILAN Hukum Pelanggaran Adat Dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

HUKUM ADAT LANJUTAN TENTANG PELANGGARAN

D. PELANGGARAN ADAT DALAM PRAKTEK PERADILAN Hukum Pelanggaran Adat Dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Untuk mengetahui bagaimanakah pelanggaran adat dalam praktek peradilan, perlu terlebih dahulu mengetahui sifat-sifat dari pelanggaran adat tersebut :

1. Pelanggaran adat yang murni pelanggaran adat, artinya bahwa pelanggaran tersebut benar-benar melanggar peraturan-peraturan adat. Misalnya tentang peraturan mengenai panjer, pelanggaran peraturan Exogami.

2. Pelanggaran adat yang juga merupakan pelanggaran atau delik menurut KUHP. Misalnya delik yang menyangkut harta kekayaan seseorang, menghina seseorang (Soerojo Wignyodipuro, 1979, h.293).

Adapun ketentuan hukum pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pelanggaran adat terdapat perbedaan, sebagai berikut:

a. Sistem pemidanaan.

Berbeda halnya dengan hukum pidana Barat, hukum adat pelanggaran tidak mengenal pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu (disebut dengan prae existebte regels). Hukum adat pelanggaran tidak menganut azas legalitas seperti yang tertuang dalam Pasal 1 KUHP. Pelanggaran adat baru akan menjadi hukum setelah para fungsionaris hukum menjatuhkan sanksi terhadap pelakunya. Hal ini sesuai pula dengan apa yang disampaikan oleh Ter Haar, bahwa adat baru akan menjadi hukum adat setelah diputuskan oleh para fungsionaris hukum (kepala adat, tetua-tetua adat, dan lain-lain). Dan azas ini lebih dikenal dengan “teori keputusan atau beslissingen leer”.

102

Sedangkan menurut hukum Barat (KUHP) untuk menentukan bahwa seseorang itu melakukan suatu pelanggaran adat atau delik haruslah ada aturannya terlebih dahulu yang akan menyatakan perbuatannya tersebut melanggar atau bertentangan dengan peraturan tersebut. Apabila peraturannya belum ada maka akan sulit menyatakan bahwa seseorang itu melakukan pelanggaran atau tidak. Jadi KUHP dikatakan menganut azas “legalitas” seperti yang diatur dalam Pasal 1 KUHP, yang bunyinya : tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum melaikan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan tersebut.

b. Perbuatan Salah

KUHP menyatakan bahwa perbuatan salah yang berakibat dapat dijatuhi hukuman ditujukan kepada orang yang berbuat atau orang yang melakukan kesalahan dan perbuatannya tersebut dilakukan dengan sengaja (opzet) atau karena kelalaian (culpa). Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat tidak membedakan apakah perbuatannya itu dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian, tetapi lebih memperhatikan pada akibat dari perbuatannya yaitu apakah akibat perbuatannya itu mengganggu keseimbangan magis dalam masyarakat atau tidak.

c. Kesalahan Yang Berulang (Residivise).

KUHP menentukan bahwa seseorang yang melakukan kesalahan beberapa kali henya dapat dihukum atas perbuatannya yang terakhir dan atau terberat ancaman hukumannya (disini berlaku Prinsip “ne bis in idem”). Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat memperhitungkan keseluruhan dari perbuatan yang dilakukannya karena perhitungan ini akan menjadi dasar pertimbangan apakah perbuatannya itu dapat dimaafkan atau tidak. Apabila “perbuatan salah itu telah dilakukan berkali-kali maka dalam hukum pelanggaran adat dapat dikenakan sanksi antara lain “diusir” atau kalau di Bali disebut “katundung dari desa” atau

“kerampag”. (prinsip ne bis in idem tidak berlaku).

d. Berat ringannya hukuman

103

Penghilangan atau pengurangan hukuman ataupun penambahan hukuman dalam KUHP ditentukan atas dasar Pasal 44 – 52 KUHP dan Hakim tidak boleh mempergunakan dasar yuridis yang lain dalam pertimbangan hukumnya.

Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat justru permintaan maaf dan pengakuan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku menjadi pertimbangan dalam pengenaan hukumannya. Hal ini didasarkan atas azas kekeluargaan, kedamaian, kerukunan dan rasa keadilan masyarakat.

e. Pertanggung jawaban kesalahan

KUHP berdasarkan pertanggung jawaban pada kondisi fisik si pelaku, artinya orang yang dapat dihukum hanyalah orang secara jasmani dan rohani sehat. Orang yang tidak waras (gila) tidak dapat dipidana karena jiwanya tidak dapat dijatuhi sanksi sebagai akibat dari perbuatannya. Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat, kesalahan tidak hanya dapat dijatuhkan kepada pelakunya tetapi juga pada orang tua, sanak saudara atau bahkan pada masyarakat hukum adatnya. Karena hukum adat membedakan kedudukan seseorang di masyarakat adat. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, apabila melakukan kesalahan maka hukumannyapun akan lebih berat. Demikian pula dalam KUHP membedakan antara pelaku (dader) dengan orang yang membantu melakukan (mede plichtigheid) dan orang yang ikut berbuat (mede daderchap), membujuk berbuat (uitlokking), dan usaha percobaan (strafbare poging) dalam suatu perbuatan pidana. Tetapi dalam hukum pelanggaran adat semua perbuatan dan pelaku dipandang sebagai satu kesatuan dan diperlakukan sama sejauh itu menimbulkan gangguan keseimbangan dalam masyarakat (I Gede A.B.Wiranata, 2005, h.213-216).

Hukum Pelanggaran Adat dan Reaksi atau Koreksi Adat Dalam Praktek Peradilan

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No.1 Tahun 1946 yang mengatur tentang Wetboek van Strafrecht (WVS)”

yang lebih dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

104

(KUHP)”. Ketentuan ini dinyatakan berlaku untuk wilayah Republik Proklamasi.

Dan selanjutnya berdasarkan UU No.73 Tahun 1958 barulah dinyatakan berlaku untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti diketahui bersama KUHP ini berasal dari Code Penal Prancis yang berlaku di Negeri Belanda sejak Tahun 1810, dan atas perintah Gubernur Jendral Hindia Belanda dibuatlah kodifikasi Tahun 1915 dan kemudian dinyatakan berlaku di Indonesia Tahun 1918.

Kemudian berdasarkan usaha untuk pembentukan KUHP Nasional pada masa yang akan datang, hukum pelanggaran adat masih relevan untuk dikaji, dan peluang ini telah ditunjukkan oleh UU Darurat No.1 Tahun 1951 terutama Pasal 1 ayat 3 yang menunjukkan pada Pasal 3a RO, yang menyatakan bahwa di bekas wilayah Pengadilan Adat Indonesia, hukum pelanggaran adat masih tetap diakui berlaku di daerah tersebut dengan catatan bahwa asas-asas hukum pelanggaran adat dan sanksi-sanksinya tidak boleh ditetapkan lagi. Sanksi yang digunakan adalah sanksi delik yang serupa atau mirip dengan yang terdapat dalam KUHP.

Selain itu dalam rancangan KUHP Nasional telah dicantumkan beberapa pasal yang memberikan peluang pada huum pelanggaran adat, seperti Pasal 1 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), Pasal 93 ayat (2), Pasal 93 ayat (3) dan Penjelasan Umum Buku 1 huruf 1 (Selanjutnya baca I Gede A.B Wiranata, 2005, h.220-221)

Selanjutnya dilihat dari praktek peradilan, bahwa peluang berlakunya hukum adat pada umumnya dan hukum pelanggaran adat pada khususnya dapat diketahui dari UU No.4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman terutama Pasal 16 ayat (1) yang dengan tegas menyatakan bahwa : Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Sedangkan dalam Pasal 28 ditegaskan pula bahwa : Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Undang-undang ini tampaknya menjembatani asas legalitas dalam hukum pidana dari legalitas formal ke arah asas legalitas formal dan material (Wayan P. Windia dan Sudantra I Ketut, 2004, h.153-154).

105

Jadi seolah-olah hukum adat maupun hukum pelanggaran akan mendapat tempat dalam Hukum Pidana nasional yang baru nanti.

LATIHAN :

a. Antara ketentuan hukum pidana menurut KUHP dengan hukum adat pelanggaran dikatakan berbeda. Sebut dan jelaskan dimana letak perbedaannya !

b. Jelaskan bagaimanakah eksistensi hukum adat pelanggaran dalam KUHP Nasional nanti ?

c. Jelaskan, sejak kapan dapat dikatakan timbulnya suatu pelanggaran adat ?

Tugas mandiri (PR) : Mahasiswa membahas satu kasus baru pelanggaran adat yang termasuk ke Pengadilan dan memberikan komentar terhadap keputusan hakim atas kasus tersebut ditinjau dari KUHP dan Hukum Adat Pelanggaran

106

DAFTAR PUSTAKA

AB Wiranata I Gede,2005 , Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hazairin, 1987 , Hukum Kekeluargaan Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta.

Koesnoe Moch.1979 , Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga Universitas Press, Surabaya.

Soepomo R., 1976 , Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, PT. Media Sarana Press, Jakarta.

Abdurrahman, 1985 , Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo, Jakarta.

Soerjono Soekanto, dan Soleman B Taneko, 1981 : Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.

Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

Wantjik Saleh,K, 1976 , Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Wiryono Prodjodikoro, 1981 , Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.

Wiryono Prodjodikoro, 1981 , Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung.

Chidir Ali, 1979 , Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.

Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan Adat , Alumni, Bandung.

Bushar Muhammad, 1983 , Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987 , Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.

Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak.Hukum, Universitas Udayana.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.

Undang-Undang RI No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

107

UU RI No.23 Tahun 2002 Undang-Undang Tentang Perlindungan anak.

PP No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP No. 45 tahun 1990.

UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA.

Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).

UU Kekuasaan kehakiman.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

UU No. 10 Tahun 1998 tentang Peruahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa.