• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agar pewarisan atau proses penerusan dan pengoperan harta warisan dapat berlangsung maka harus memenuhi unsur-unsur pewarisan yang meliputi 3 (tiga) unsur yaitu :

1. PEWARIS adalah : orang yang meninggalkan harta warisan, baik ia itu laki-laki, wanita, janda, duda maupun anak-anak.

Seperti halnya dalam hukum adat waris pada umumnya, bahwa untuk menentukan siapa yang dapat berkedudukan sebagai pewaris, maupun ahli waris pertama-tama haruslah dilihat dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh yang bersangkutan, sebelum mengetahui ketentuan yang lain-lainnya. Oleh karena sesuatu masyarakat hukum adat menganut sistem kekeluargaan patrilinial, maka yang berkedudukan sebagai ahli waris utama adalah anak laki-laki, sehingga dengan sendirinya anak laki-laki itulah juga yang akan berkedudukan sebagai pewaris.

Dalam hubungan ini, walaupun telah terkena pengaruh modernisasi dan telah memasuki era globalisasi, yang berkaitan dengan kedudukan pewaris ini dalam hukum adat waris belumlah mengalami perubahan.

2. AHLI WARIS adalah : orang-orang yang akan menerima warisan dari pewaris.

Pada prinsipnya ahli waris adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dimana orangnya bisa laki-laki atau bisa juga wanita tergantung dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Ahli waris bisa digaris menurun (anak, cucu dan seterisnya), bisa digaris mendaki (orang tua, kakek dan sebagainya) dan digaris menyamping (saudara pewaris, paman, keponakan).

Ahli waris digaris menurun pada prinsipnya anak. Anak dapat mempunyai pengertian yang bermacam-macam yang masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda-beda terhadap harta peninggalan seorang. Selain anak sebagai ahli waris, maka perlu juga dibicarakan kedudukan janda dan duda terhadap harta

65

warisan, karena janda dan duda disini sebenarnya tidak dalam ikatan pertalian darah dengan pewaris.

Seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko bahwa untuk memudahkan menentukan ataupun menetapkan siapa yang dapat berkedudukan sebagai ahli waris apabila ada seseorang yang meninggal, dipakailah 2 (dua) garis pokok yaitu :

1. Garis pokok keutamaan yang terdiri dari :

 Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris.

 Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris.

 Kelompok keutamaan III : saudara-saudara pewaris dan keturunannya.

 Kelompok keutamaan IV : kakek atau nenek.

2. Garis pokok penggantian yang terdiri dari :

 Orang yang tidak ada hubungannya dengan pewaris.

 Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris (selanjutnya baca Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko, 1981, h.286-287).

Ketentuan yang menyebutkan bahwa yang berhak mewaris dalam masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial seperti masyarakat hukum adat Bali ataupun batak adalah anak kandung laki-laki dari pewaris dapat diketahui dari beberapa putusan pengadilan (baca : Pangkat, 1972 dan Paneca, 1986). Demikian pula dalam yurisprudensi Makamah Agung No.32K/Sip/1971 tanggal 24 Maret 1971. Juga dalam laporan penelitian Fak.Hukum Unud, 1980/1981, serta Laporan Penelitian Fak.Hukum Unud, 1987/1988.

Jadi berdasarkan putusan-putusan pengadilan serta ditunjang oleh adanya laporan penelitian tersebut diatas maka tampak dengan jelas bahwa yang berkedudukan sebagai ahli waris adalah anak laki-laki sepanjang tidak melakukan perkawinan “keceburin” atau diangkat anak oleh orang lain. Sedangkan anak wanita, baru akan berkedudukan sebagai ahli waris apabila ia sudah berstatus

„sentana rajeg dan sudah melakukan perkawinan keceburin”.

Walaupun anak wanita ditegaskan tidak sebagai ahli waris, tetapi dalam kenyataannya anak wanita tetap dapat menikmati harta kekayaan orang tua

66

mereka selama ia belum kawin. Apabila anak wanita telah kawin dan keluar dari lingkungan orang tuanya secara mewaris ia tidak dapat tetapi orang tuanya akan memberikan bekal hidupna seperti di Bali : ada (pengupa jiwa) yang disebut dengan bekal yaitu berupa : “jiwadana” ataupun “ketipatan dan atau tetadtadan”.

Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kedudukan wanita dalam hukum adat waris Bali, lebih lanjut perlu diketahui terlebih dahulu kedudukan wanita terseebut dalam keluarganya apakah ia berkedudukan sebagai anak saja, sebagai istri atau janda (dalam perkawinan biasa atau dalam perkawinan nyeburin) sebagai

“sentana rajeg”, atau sebagai wanita yang “mulih dehe”, karena perbedaan kedudukan maupun status akan mempengaruhi terhadap kedudukannya sebagai ahli waris (Sagung Ngurah, 1992).

Untuk sementara ini ternyata berdasarkan penjelasan yang diungkapkan dari putusan pengadilan, yurisprudensi maupun dari laporan-laporan penelitian, bahwa hak janda, istri maupun anak perempuan terhadap harta warisan baik dari keluarga maupun suaminya masih terbatas dan bersyarat, seperti dalam hukum adat waris pada umumnya.

Dengan demikian yang dimaksudkan kedalam golongan ahli waris adalah mereka-mereka yang berada digaris menurun, yang utama adalah anak (kelompok I), bila ini tidak ada barulah mereka yang berada digaris keatas yaitu ayah (kelompok keutamaan II), dan kalau ini tidak ada barulah digaris menyamping yaitu kelompok keutamaan III yaitu saudara-saudara pewaris dan keturunannya, kalau ini tidak ada barulah masuk ke kelompok keutamaan IV yaitu kakek/nenek.

Orang-orang yang berada pada kelompok keutamaan III dan IV itulah yang dimaksud dengan garis pokok penggantian atau cucu menggantikan ayahnya sebagai ahli waris karena ayah anak tersebut sudah meninggal dunia.

Selain dikenal anak kandung dan anak angkat, dalam hukum adat juga dikenal anak yang lain yaitu :

 Anak tiri yaitu anak yang dibawa oleh salah satu pihak kedalam perkawinan mereka yang baru. Anak ini bukanlah ahli waris dari orang tua tirinya tetapi tetap dari orang tua kandungnya saja.

67

 Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak pernah disahkan, yang dalam hukum adat Bali ada dua jenis.

2.1. Anak bebinjat, adalah anak yang tidak dikethui siapa bapak dari anak tersebut. Dalam asal 43 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 ditentukan bahwa anak yang demikian hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu. Tetapi dalam hubungan waris ia hanya mewarisi ibunya saja.

2.2. Anak astra, adalah anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang tidak pernah disahkan tetapi dapat diketahui siapa bapak dari anak tersebut. Dalam hukum waris maupun hukum keluarga ia adalah tetap keluarga ahli waris ibunya. Hanya saja kadang-kadang ayah biologisnya memberikan pula biaya-biaya hidup anak tersebut tetapi tidak sebagai ahli waris ayah biologisnya. Demikian pula sebaliknya si anak hanya mempunyai kewajiban moral terhadap ayah biologisnya tetapi tidak tehadap kewajiban hukum.

3. HARTA WARISAN adalah : semua harta yang ditinggalkan pewaris baik harta yang berwujug benda (matriil), harta yang dapat dibagi-bagi atau harta tidak berwujud benda (immatriil) atau harta yang tidak dapat dibagi-bagi dan hutang-hutang pwaris. Harta peninggalan yang termasuk harta benda yang tidak dapat dibagi-bagi ini adalah berdasarkan atas alasan kenapa tidak dibagi-bagi, dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi (misalnya barang milik suatu kerabat atau famili).

b. Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu tempat/jabatan tertentu (misalnya barang-barang keraton yang harus disimpan di Keraton).

c. Karena belum bebas dari persekutuan hukum (contoh di Bali Tanah Pekarangan Desa).

d. Karena pembagiannya untuk sementara ditunda.

e. Karena hanya diwariskan pada seseorang saja (sistem Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing pihak (suami-istri) kedalam

68

perkawinan yang disebut “harta bawaan”. Pada umumnya harta ini nantinya akan menjadi harta warisan bagi keturunannya. Tetapi kalau pasangan ini tidak memiliki keturunan, atau terjadi perceraian maka harta tersebut akan kembali kepada pemiliknya.

Harta perkawinan atau harta bersama adalah harta yang diperoleh selama atau dalam perkawinan, baik harta tersebut diperoleh istri sendiri, suami sendiri atau suami istri bersama-sama. Di Bali harta semacam ini disebut dengan istilah

“harta guna kaya atau druwe gabro”, di Jawa disebut dengan “harta gono gini”.

Dan terhadap harta ini, apabila terjadi perceraian sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan diatur menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Disamping harta-harta seperti tersebut diatas juga diwariskan seperti hutang-hutang pewaris, hak mempergunakan gelar (nama keluarga), kalau di Bali ada hak-hak yang belakunya terbatas yaitu hak untuk bersembahyang di tempat persembahyangan keluarga.

Disamping itu juga termasuk didalamnya hak-hak yang berkaitan dengan desa pakraman seperti mempergunakan kuburan, persembahyangan di pura milik desa dan hak-hak lainnya (berlaku bagi masyarakat hukum adat Bali). Tetapi semua harta yang berupa hak-hak ini haruslah diimbangi dengan kewajiban-kewajiban, baik berupa kewajiban hukum maupun kewajiban moral seperti

“ngaben”, menyembah orang tua sebagai leluhur, maupun membayar hutang-hutangnya (baca UU No.1 Tahun 1974 antara lain Pasal 35, 36 dan 37).

Masing-masing unsur ini pada pelaksanaan proses penerusan serta pengoperan kepada orang yang berhak menerima harta kekayaan itu, selalu menimbulkan persoalan sebagai berikut :

1. Unsur utama menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang meninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaannya dimana si meninggal warisan itu berada.

69

2. Unsur kedua menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dengan ahli waris.

3. Unsur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada (Wirjono Prodjodikoro, 1978, h.9).

B. PRINSIP-PRINSIP PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT WARIS Apabila diteliti lebih seksama, maka secara prinsip dapat diketahui bahwa hukum adat waris adalah mengikuti pula prinsip-prinsip pewarisan yang berlaku pada masyarakat kekhususan-kekhususan yang harus diperhatikan, seperti sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan karena hukum adat waris seperti halnya Bali yang dalam hukum kekeluargaannya dilandasi oleh hukum agama Hindu, maka dalam hukum warispun dilandasi oleh hukum agama Hindu.