• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISTILAH-ISTILAH HUKUM PERORANGAN

Istilah hukum perorangan dipakai sebagai terjemahan dari

“Personenrecht”, dan para ahli hukum adat atau sarjana hukum adat mempergunakan berbagai istilah untuk menterjemahkannya. Adapun istilah yang dipergunakan antara lain :

a. Hukum perseorangan (Personenrecht) : Ter Haar b. Pribadi hukum (Rechtspersoon) : Soekanto c. Hukum keorangan : Djojodiguno

d. Hukum perseorangan : Soerojo Wignyodipuro e. Hukum pribadi : Soerjono Soekanto

A. PENGERTIAN HUKUM PERORANGAN

Hukum perorangan maupun istilahnya hukum pribadi pada prinsipnya mengatur tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari subyek hukum. Yang menurut hukum adat subyek hukum itu adalah manusia atau pribadi kodrati dan badan hukum atau pribadi hukum (Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane, 1981, h.184). dan yang termasuk badan hukum/pribadi hukum menurut hukum adat antara lain : desa, suku, nagari, wakaf, subak, sekehe dan banjar (Soerojo Wignyodipuro, 1975, h.115). oleh karena setiap subyek hukum itu mempunyai hak, apakah setiap subyek hukum itu mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya di mata hukum ?

23

B. SUBYEK HUKUM MENURUT HUKUM ADAT

Siapakah yang merupakan subyek hukum menurut hukum adat ?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu pula terlebih dahulu mengerti dan memahami pengertian subyek hukum menurut hukum adat pada umumnya, karena hukum adat lanjutan adalah merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya, yang pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama.

Kalau mengikuti pendapat dari Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane taneko, maka yang dimaksud dengan subyek hukum menurut hukum adat adalah pribadi (natuurlijk persoon) dan juga pribadi hukum (rechtpersoon).

Dan pribadi hukum adalah pribadi (persoon) yang merupakan ciptaan hukum (Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko, 1981, h.184).

Yang dimaksud pribadi dalam pengertian diatas adalah manusia, sedangkan yang dimaksud dengan pribadi hukum adalah badan hukum.

Pada prinsipnya setiap manusia/pribadi kodrati (manusia karena kelahirannya) telah mempunyai hak dan juga kewajiban sejak lahir sampai meninggal dunia.

Dan menurut hukum adat dikatakan sebagai subyek hukum setiap manusia mempuyai kecakapan berhak atau wenang hukum, tetapi ketentuan ini tidak berlaku disemua wilayah hukum adat di Indonesia karena di daerah-daerah tertentu yang mengadakan perbedaan seperti di daerah Minangkabau bahwa orang perempuan tidak berhak menjadi mamak kepala waris atau menjadi penghulu andiko. Demikian pula halnya dengan hukum barat yang terdapat dalam Pasal 2 BW, bahwa anak yang masih berada dalam kandungan karena kepentingan-kepentingannya tertentu dianggap telah mulai mempunyai hak dan kewajiban. Namun dalam kenyataannya tidak demikian karena walaupun setiap pribadi kodrati itu dianggap mampu atau cakap bersikap atau mampu melakukan perbuatan hukum. Antara orang yang cakap hukum dan orang yang tidak cakap hukum atau orang yang dianggap mampu mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatan hukumnya dengan orang yang dianggap tidak mampu mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatan hukumnya dibedakan. Untuk membedakannya hukum adat memakai kriteria atau

24

ukuran yaitu kedewasaan atau mempergunakan ukuran menurut pandangan atau pengakuan masyarakat hukum adat itu sendiri yaitu ciri-ciri tertentu dan menurut beberapa sarjana berbeda :

Menurut Ter Haar : bahwa yang dianggap cakap hukum itu adalah lelaki atau perempuan yang sudah kawin dan memisahkan diri dari rumah tangga orang tuanya atau mertuanya dan mempelai tadi mempunyai rumah tangga yang berdiri sendiri (Ter Haar, 1960, h.166-167).

Sedangkan menurut Soerojo Wignyodipuro mengemukakan bahwa hukum adat menentukan orang yang dianggap cakap hukum adalah seseorang baik pria maupun wanita adalah yang sudah dewasa. Dan kedewasaan menurut hukum adat tradisional ini bukanlah umur tetapi menurut ciri-ciri tertentu seperti :

- Apabila sudah kuwat gawe (mampu bekerja sendiri);

- Apabila sudah cakap mengurus haeta benda dan segala keperluan sendiri;

- Apabila sudah cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mampu mempertanggung jawabkan sendiri segala-galanya (Soerojo Wignyodipuro, 1973, h.96).

Ciri-ciri sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka didalam struktur hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama sekali tidak cakap bertindak dalam salah satu perbuatan hukum dengan orang yang dapat melakukan berbagai perbuatan hukum. Peralihan dari keadaan tidak cakap sama sekali kepada keadaan cakap penuh berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan.

Menurut hukum adat seperti telah dijelaskan diatas, bahwa semua orang mempunyai hak yang sama yang sifatnya keperdataan tetapi hak-hak berkaitan dengan masyarakat hukum adat apakah namanya desa, nagari, kampong, maupun subak adalah tergantung pada status orang tersebut di dalam kelompok-kelompok tersebut, karena hak-hak yang berhubungan dengan desa timbul atau diperoleh

25

seiring dengan diperolehnya status sebagai anggota dalam kelompok tersebut setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan.

Pandangan masyarakat hukum adat tentang kretiria yang disebutkan diatas pada mulanya disebabkan karena ketidak tahuan mereka bahwa secara umum menurut hukum setiap orang adalah subyek hukum khususnya dibidang keperdataan, yang artinya bahwa setiap orang yang hidup dapat memiliki sesuatu hak. Tetapi di dalam perkembangan selanjutnya kriteria yang dipakai untuk menentukan kedewasaan seseorang tidak lagi berdasarkan kriteria ataupun ciri-ciri seperti tersebut diatas melainkan telah berubah karena dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Hukum Perdata yaitu berdasarkan umur atau status yaitu sudah atau belum kawin. Seperti contohnya : pada UU No.1 Tahun 1974, Undang-Undang Pokok Perkawinan, umur untuk kawin, 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanitanya dan bagi mereka yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin untuk kawin.

Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok mengenai kriteria untuk menentukan berhak dan tidaknya seseorang bertindak dalam hukum menurut hukum adat !

C. BADAN HUKUM MENURUT HUKUM ADAT

Telah dikemukakan diatas bahwa pribadi hukum yang merupakan pribadi ciptaan hukum lebih umum dikenal dengan sebutan Badan Hukum. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyatakan bahwa alasan dibentuknya pribadi hukum atau badan hukum tersebut antara lain :

- Adanya kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu atas dasar kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama oleh pribadi kodrati (manusia).

- Adanya tujuan-tujuan idiil yang perlu dicapai tanpa senantiasa tergantung pada pribadi-pribadi kodrati secara perseorangan (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, h.74-75).

26

Sebagai subyek hukum pribadi hukum atau badan hukum haruslah mempunyai tujuan dan harta kekayaan sendiri terlepas dari harta kekayaan pribadi dari para pelaksananya.

Menurut Djoyodiguno, hukum adat mengenal pula badan hukum sebagai subyek hukum seperti desa, nagari, subak bahkan perkumpulan-perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas dan rapi diakui sebagai badan hukum (Djoyodiguno, 1964, h.23).

Demikian pula halnya di Bali, yang dimasukkan kedalam bentuk suatu badan hukum antara lain : sekaa-sekaa, banjar dan subak. Pengakuan bentuk-bentuk ini sebagai badan hukum terlepas dari pengakuan undang-undang. Berbeda halnya dengan badan hukum menurut hukum Barat yang keberadaannya harus dengan pengakuan undang-undang. Badan hukum atau pribadi hukum sebagai subyek hukum menurut hukum adat seperti desa pakraman, subak, banjar, sekaa-sekaa dan lain sebagainya dapat melakukan perbuatan atau tindakan hukum dan itu diakui dan ditaati oleh anggotanya. Badan-badan hukum sebagai subyek hukum tersebut didalam melakukan perbuatan atau tindakan hukum diwakili oleh kepala adat atau pengurusnya. Tetapi tidak semua perbuatan atau tindakan hukum dapat dilakukan atau dilaksanakan oleh badan hukum sebagai subyek hukum seperti misalnya kewajiban sebagai orang tua, suami, istri, karena badan hukum sebagai subyek hukum tidak mengenal kecakapan berhak ataupun kecakapan bertindak seperti halnya yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum. Badan hukum atau pribadi hukum.

Dalam lingkungan masyarakat hukum adat selain desa pakraman, subak maupun banjar dikenal pula perkumpulan-perkumpulan yang lebih cenderung kearah yang bersifat sosial antara anggota-anggotanya pada satu bidang usaha atau kegiatan yang tertentu. Sebagai perkumpulan yang bergerak dibidang sosial mereka mempunyai pengurus sendiri, harta kekayaan sendiri untuk keperluan kelompok itu sendiri. Selain perkumpulan seperti itu ada pula suatu perkumpulan sebagai suatu organisasi yang telah melembaga seperti “ SUBAK” di Bali. Subak yaitu suatu perkumpulan dari pemilik sawah yang mempunyai kegiatan dibidang pengairan.

27

Perkumpulan ini dipimpin oleh Kelian Subak yang disebut “Pekaseh”, mempunyai aturan tersendiri yaitu “awig-awig subak”, yang berisi aturan-aturan pokok yang menetapkan hak dan kewajiban kerama subak (anggota), mempunyai harta kekayaan sendiri sebagai milik bersama dari krama subak yang bersangkutan dan juga mempunyai satu tempat persembahyangan atau tempat pemujaan bersama yang disebut dengan “bedugul atau ulun sui”.

D. SYARAT-SYARAT BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEK HUKUM Mengenai syarat-syarat manusia sebagai subyek hukum telah dijelaskan diatas, selanjutnya dibawah ini akan dijelaskan mengenai syarat-syarat badan hukum sebagai subyek hukum. Badan hukum atau pribadi hukum yang diakui oleh hukum adat sebagai subyek hukum haruslah memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh hukum adat. Adapun syarat-syarat yang dipakai sebagai kriteria oleh hukum adat antara lain :

1. Merupakan kesatuan yang memiliki tata peraturan yang rapi;

2. Memiliki pengurus sendiri;

3. Memiliki harta kekayaan sendiri;

4. Bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar dan batin (Surojo Wignyodipuro, 1973, h.103).

Dalam perkembangan selanjutnya keberadaan dari badan-badan hukum menurut hukum adat ini mendapat pertanyaan sejauh mana badan-badan hukum ini mendapat pengakuan dari perundang-undangan Republik Indonesia ?

Untuk menjawab permasalahan ini perlu dilihat dari beberapa paraturan antara lain peraturan-peraturan sebelum keluarnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) atara lain dapat disimpulkan :

1. Tidak diatur secara tegas;

2. Kedudukan masyarakat hukum adat seperti : Nagari, Desa diakui dalam Pasal 18 UUDRI Tahun 1945, penjelasan umum No.6 UU No5 Tahun 1979.

28

3. Pengakuan masyarakat hukum sebagai badan hukum secara tidak langsung dilihat atau diketahui dari beberapa putusan Makamah Agung antara lain : Putusan MA No.39 K/Sip/1956 tanggal 19 September 1956 yang pada intinya tentang peralihan hak desa atas sebidang tanah desa yang dipegang oleh warga desa atas dasar pinjaman dapat dialihkan kepada pihak ketiga apabila ada persetujuan dari desa di daerah Lamongan.

Keputusan MA tersebut setelah keluarnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) perlu dipertanyakan juga karena apakah UUPA mengakui masyarakat hukum adat seperti desa, nagari dan lain-lain sebagai badan hukum ?. Karena pada azasnya menurut UUPA badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik dan dalam Pasal 21 ayat 2 UUPA telah menentukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah melalui Menteri Agraria yaitu Peraturan Menteri No.2 Tahun 1960 yo No.5 Tahun 1960 yang isinya antara lain bahwa : desa, nagari, huta dan lain sebagainya tidak tercantum atau tidak disebutkan sebagai badan hukum yang boleh mempunyai hak milik. Selanjutnya bila dihubungkan dengan Pasal II ayat 1 ketentuan-ketentuan tentang Konversi yang menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 seperi yang disebutkan dengan nama dibawah ini yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini yaitu : yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa dan seterusnya, sejak berlaunya undang-undang ini, menjadi hak milik seperti tersebut dalam Pasal 20 (1) dan seterusnya (Beni I Wayan, Cs, 1983, h.62).

Jadi berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa nagari maupun huta tidak lagi mempunyai wewenang untuk mengatur hak-hak atas tanah. Itu berarti sebagai subyek hukum telah kehilangan kewenangannya, demikian pula dengan badan-badan hukum adat yang pada mulanya mempunyai hak-hak tertentu dalam perkembangannya sekarang menjadi terbatas bahkan terhapus sama sekali.

29

Bahan diskusi :

Diskusikan dalam kelompok tentang kedudukan desa maupun subak sebagai masyarakat hukum adat yang berbentuk badan hukum saat ini ?

E. BENTUK-BENTUK MASYARAKT HUKUM ADAT SEBAGAI BADAN HUKUM

Dimuka telah dijelaskan bahwa pribadi hukum yang merupakan pribadi yang diciptakan oleh hukum ada berbagai bentuk sesuai dengan kepentingan maupun tujuan dibentuknya badan-badan hukum tersebut.

Seperti misalnya :

1. Pribadi hukum menurut hukum adat yaitu masyarakat hukum adat seperti desa pakraman. Desa pakraman sebagai subyek hukum walaupun wewenangnya terbatas tidak seperti manusia sebagai subyek hukum akan diwakili oleh kepala adat yang di Bali apakah namanya “Bendesa Adat atau Kelian Adat”, karena masyarakat hukum adat merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai kesatuan lingkungan hidup, mempunyai kekuasaan sendiri serta harta kekayaan sendiri harta benda yang tampak maupun yang tidak tampak.

2. Pribadi hukum yang cenderung lebih berupa perkumpulan-perkumpulan sosial yang bergerak dalam bidang usaha sebagai contoh perkumpulan suka-duka.

3. Pribadi hukum yang khusus bergerak dibidang pengairan di sawah yang di Bali lebih umum dikenal dengan “Subak”.

Sedangkan badan-badan hukum dari masyarakat hukum adat yang lebih bersifat modern karena terbentuk berdasarkan peraturan-peraturan baik pusat maupun daerah seperti : KUD, LPD dan lain sebagainya.

Tugas mandiri (PR): Mahasiswa ditugaskan mendapatkan informasi tentang kriteria yang dijadikan ukuran untuk menentukan kedewasaan seseorang saat ini di desa masing-masing dengan berpedoman pada kriteria yang ada pada Bahan Ajar Hukum Adat Lanjutan.

30

BAB IV