• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat .1 Pengertian

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50% (Kemenhut 369/Kpts-V/2003 dalam Winarto 2006). Dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999 dijelaskan mengenai hutan rakyat yang didekati dengan pengertian hutan hak yaitu hutan yang dibebani hak atas tanah. Istilah hutan rakyat oleh berbagai pihak diungkapkan dengan istilah hutan kemasyarakatan atau kebun rakyat atau hutan milik (Hardjanto 2003).

Hardjanto (2000) menjelaskan mengenai hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Simon (1995) dalam Awang (2001) membatasi hutan rakyat sebagai hutan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat, ditujukan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya yang secara ekonomis bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

2.1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan utama usaha hutan rakyat yakni meningkatkan kesejahteraan para petani, disamping manfaat lain seperti kayu dan hasil hutan lainnya; pengawetan tanah dan air; perlindungan tanaman-tanaman pertanian; dan perlindungan satwa liar (Bashar 1964 dalam Hardjanto 2003). Menurut Jaffar (1993) dalam Awang (2001), tujuan pembangunan hutan rakyat diantaranya meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari; membantu meningkatkan keanekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat; membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan, bahan baku industri dan kayu bakar; meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya; dan memperbaiki tata air dan

lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.

Hutan rakyat mempunyai manfaat positif baik secara ekonomi maupun ekologi. Hutan rakyat secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan pemilik hutan rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan memacu pembangunan ekonomi daerah, sedangkan secara ekologi hutan rakyat mampu berperan positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah, dan menjaga keseimbangan tata air (Mustari 2000).

2.1.3 Karakteristik

Hardjanto (2000) mengemukakan beberapa ciri atau karakteristik pengusahaan hutan rakyat, sebagai berikut:

1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah.

2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.

3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total.

2.1.4 Bentuk atau Pola

Rahmawaty (2004) menjelaskan bahwa dalam rangka pengembangan hutan rakyat dikenal tiga pola hutan rakyat, sebagai berikut:

1. Pola Swadaya

Hutan rakyat dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri, melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu untuk melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan.

5

2. Pola subsidi

Hutan rakyat dibangun melalui subsidi atau bantuan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya dan dana bantuan lainnya atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.

3. Pola kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat)

Hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan masyarakat membutuhkan bantuan modal kerja. Pola kemitraan ini dilakukan dengan memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana sesuai kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat.

Menurut LP IPB (1983) dalam Hardjanto (2003), pola pengembangan hutan rakyat terdiri dari dua, sebagai berikut:

1. Hutan rakyat tradisional, yaitu hutan rakyat dengan penanaman tanaman kehutanan di lahan kering pada status lahan milik yang diusahakan oleh masyarakat tanpa campur tangan pemerintah. Pola tanamnya yaitu campuran antara buah-buahan, misalnya durian (Durio zibethinus), melinjo (Gnetum gnemon) dengan tanaman lainnya. Bentuk tersebut lebih dikenal dengan pola usaha tani lahan kering.

2. Hutan rakyat inpres, yaitu hutan rakyat yang penanamannya dilakukan di tanah terlantar yang diprakarsai oleh proyek bantuan penghijauan.

Michon (1983) dalam Hardjanto (2003) menjelaskan mengenai hutan rakyat yang dibedakan menjadi tiga tipe atau bentuk hutan rakyat yaitu pekarangan, talun, dan kebun campuran. Perbedaan diantara ketiganya dijelaskan sebagai berikut:

1. Pekarangan mempunyai sistem pengaturan tanaman yang jelas dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 ha dipagari mulai dari jenis sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dengan tinggi mencapai 20 meter.

2. Talun mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon-pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba dan liana.

3. Kebun campuran mempunyai jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan satu jenis tanaman pokok seperti cengkeh atau papaya dengan berbagai macam jenis tanaman herba.

2.2 Potensi Hutan Rakyat

Potensi hutan adalah jumlah pohon jenis niagawi tiap hektar menurut kelas diameter pada suatu lokasi hutan tertentu yang dihitung berdasarkan rata-rata jumlah pohon pada suatu tegakan hutan (Kemenhut 88/Kpts-II/2003 dalam Winarto 2006).

Pertimbangan-pertimbangan yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi hutan/kayu rakyat (Lembaga Penelitian IPB 1990) adalah sebagai berikut: 1. Jenis-jenis kayu yang dianalisis adalah jenis kayu pokok pada setiap desa

(pensuplai).

2. Potensi dihitung pada umur daur, diperoleh dari tabel volume lokal yang dibuat di lapangan.

3. Daur ditentukan berdasarkan daur nyata di lapangan.

4. Apabila umur tanaman tidak diketahui, maka daur diganti dengan diameter pohon pada saat ditebang.

2.3 Pemetaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Dokumen terkait