• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

5.2.2 Karakteristik Petani .1 Umur

Petani pemilik lahan hutan rakyat di Desa Cikalong berdasarkan umur dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan umur tenaga kerjanya yaitu umur

15 – 55 tahun dan diatas umur 56 tahun (Tabel 10). Petani yang berumur 15 – 55 tahun sebanyak 73,00% (63 petani), sedangkan petani yang berada diatas umur 56 tahun sekitar 27,00% (27 petani). Dari informasi tersebut maka dapat diketahui bahwa minat terhadap usaha hutan rakyat tidak dipengaruhi oleh umur. Hal ini terlihat dari terdapat petani yang berumur tua atau sudah tidak produktif yang masih mengusahakan lahannya untuk ditanami tanaman kayu rakyat.

Tabel 10 Petani hutan rakyat Desa Cikalong berdasarkan umur

No Umur (tahun) Jumlah petani Persentase (%)

1 15-55 63 73.00

2 > 56 27 27.00

Total 90 100.00

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

5.2.2.2 Pendidikan

Apabila dilihat dari tingkat pendidikan, mayoritas petani masih tergolong berpendidikan rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11 yang menyatakan bahwa petani hutan rakyat paling banyak berpendidikan sampai tingkat SD (75,56%), sedangkan sekitar 14,44% petani berpendidikan SMP dan 8,89% berpendidikan SMA, hanya terdapat 1 orang petani (1,11%) yang berpendidikan sampai tingkat perguruan tinggi.

Tabel 11 Petani hutan rakyat Desa Cikalong berdasarkan pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Petani Presentase (%)

1 SD 68 75,56

2 SMP 13 14,44

3 SMU 8 8,89

4 Perguruan tinggi 1 1,11

Total 90 100,00

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Rendahnya tingkat pendidikan petani hutan rakyat Desa Cikalong dikarenakan oleh sarana dan prasarana sekolah yang tidak mendukung padahal pendidikan memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraannya. Walaupun tingkat pendidikan petani hutan rakyat tergolong rendah akan tetapi tidak mengurangi minat petani untuk mengusahakan hutan rakyat di lahan miliknya.

35

5.2.2.3 Mata Pencaharian

Petani hutan rakyat apabila dilihat berdasarkan mata pencahariannya, dibagi dua yaitu mata pencaharian utama dan sampingan. Mata pencaharian utama petani hutan rakyat Desa Cikalong beranekaragam, diantaranya sebagai petani, buruh tani, pedagang, PNS, aparat desa, polisi, buruh, dan peternak, sedangkan mata pencaharian sampingan petani meliputi petani, buruh tani, pedagang, pensiunan, aparat desa, dan peternak.

Berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan, diketahui bahwa mayoritas petani bermata pencaharian utama dan sampingan sebagai petani baik itu petani sawah maupun hutan rakyat yaitu sebanyak 62,22% dan 36,67%. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Petani hutan rakyat Desa Cikalong berdasarkan mata pencaharian Mata pencaharian Jenis Pekerjaan Jumlah Petani Presentase (%)

Utama Petani (sawah dan HR) 56 62,22

Buruh tani 5 5,56 Pedagang 16 17,78 PNS 4 4,44 Aparat desa 2 2,22 Polisi 1 1,11 Buruh 3 3,33 Peternak 3 3,33 Total 90 100,00

Sampingan Petani (sawah dan HR) 33 36,67

Buruh Tani 5 5,56 Pedagang 18 20,00 Pensiunan 2 2,22 Aparat Desa 1 1,22 Peternak 27 30,00 Tidak Ada 4 4,44 Total 90 100,00

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

5.2.3 Karakteristik Lahan

5.2.3.1 Status Kepemilikan Lahan

Status kepemilikan lahan hutan rakyat di Desa Cikalong 100% berada dalam status hak milik pribadi yang didapat secara turun menurun. Kepemilikan lahan pada umumnya menentukan status sosial ekonomi pemilik lahan di masyarakat. Semakin luas lahan maka akan semakin tinggi statusnya di masyarakat.

5.2.3.2 Luas Lahan

Luas lahan kepemilikan hutan rakyat di Desa Cikalong rata-rata 0,38 ha dengan rata-rata luas lahan kepemilikan paling tinggi berada di Dusun Sindanghurip yaitu 0,71 ha sedangkan rata-rata luas lahan kepemilikan paling rendah berada di Dusun Cipondoh. Secara lebih rinci luas rata-rata kepemilikan lahan pada setiap dusun dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Rata-rata luas lahan kepemilikan hutan rakyat di Desa Cikalong

No Dusun Rata-rata kepemilikan lahan tiap petani (ha)

1 Cilutung 0.42 2 Desakolot 0.44 3 Borosole 0.35 4 Cikalong 0.32 5 Pangapekan 0.24 6 Sindanghurip 0.71 7 Cisodong 0.28 8 Cikaret 0.33 9 Cipondoh 0.29 Jumlah 0.38

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Adapun total luas lahan hutan rakyat sengon yang berhasil diinventarisasi pada penelitian ini adalah seluas 33,75 ha dari luas hutan rakyat 542,5 ha. Berikut pada Tabel 14 dirinci luas lahan yang telah diinventarisasi pada setiap dusun. Tabel 14 Luas lahan hutan rakyat sengon yang telah diinventarisasi

No Dusun Jumlah (ha)

1 Cilutung 4.24 2 Desakolot 4.35 3 Borosole 3.46 4 Cikalong 3.15 5 Pangapekan 2.44 6 Sindanghurip 7.07 7 Cisodong 2.82 8 Cikaret 3.34 9 Cipondoh 2.88 Jumlah 33.75

Sumber: Hasil pengolahan data primer (2010)

Berdasarkan hasil inventarisasi, luas lahan hutan rakyat Desa Cikalong yang didalamnya terdapat sengon seluas 33,75 ha dari luas kebun 542,5 ha, dengan IS (Intensitas Sampling ) 6%.

37

5.2.3.3 Batas Kepemilikan Lahan

Batas kepemilikan dapat diketahui di lapangan, yaitu dengan melihat batas yang telah ada di lapangan berupa pagar. Berdasarkan bahan yang digunakan sebagai pembatas, batas kepemilikan di Desa Cikalong dibedakan menjadi empat jenis pagar yaitu pagar bambu, pagar kawat, pagar beton, dan pagar tanaman.

Gambar 9 Bentuk batas kepemilikan lahan hutan rakyat. Ket: (A) Pagar bambu; (B) Pagar kawat; (C) Pagar beton; (D) Pagar tanaman.

Pagar tanaman paling sering dijumpai pada keseluruhan daerah penelitian dikarenakan ongkosnya yang murah. Tanaman yang sering dijadikan sebagai pagar pembatas antara kebun pemilik satu dengan kebun pemilik lainnya adalah kaliandra (Caliandra callothyrsus). Pagar bambu dan pagar kawat sering ditemukan pada kebun yang berdekatan dengan sawah. Hal ini diyakini bertujuan untuk menjaga tanaman yang ada di dalam kebun dari hewan pemamah biak seperti kerbau dan kambing. Sedangkan pagar beton ditemukan pada kebun yang berada di daerah pemukiman. Hal ini juga berkaitan dengan status sosial pemilik kebun itu sendiri. Pagar dari beton ini ditemukan pada kebun dengan pemilik yang berpenghasilan menengah ke atas.

A B

5.2.3.4 Jenis Tanaman

Jenis tanaman yang terdapat di hutan rakyat beranekaragam terdiri dari jenis tanaman kehutanan, tanaman pertanian, dan tanaman perkebunan. Jenis tanaman kehutanan yang banyak dikembangkan di Desa Cikalong yaitu jenis kayu-kayuan dan pohon-pohon MPTs (multiple purpose tree species). Pohon-pohon MPTs atau pohon serbaguna adalah jenis pohon yang memiliki beragam kegunaan selain dapat dimanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan lain-lainnya, pohon ini memiliki manfaat lain sebagai makanan (buah, biji, daun, atau kulitnya), pakan ternak bahkan dapat dijadikan obat-obatan.

Penanaman campuran antara tanaman tanaman kehutanan dengan tanaman jenis lainnya yang berumur pendek dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup petani sambil menunggu dan memelihara tanaman berkayu yang umumnya dipanen setelah 5-6 tahun. Jenis tanaman pertanian yang berada pada hutan rakyat Desa Cikalong dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Jenis tanaman pertanian penyusun hutan rakyat Desa Cikalong

No Nama Jenis Nama ilmiah

1 Kelapa Cocos nucifera

2 Pisang Musa paradisica

3 Pepaya Carica papaya

4 Salak Salacca zalacca

5 Jambu Eugenia aquea

6 Sawo Zapota sp

7 Mangga Mangifera indica

8 Cengkeh Syzygium aromaticum

Sumber: Data primer (2010)

5.2.3.5 Pola Tanam

Hutan rakyat Desa Cikalong termasuk ke dalam tegakan hutan buatan atau tanaman. Hutan buatan atau hutan tanaman pada umumnya merupakan tegakan murni, monokultur serta terdiri atas satu jenis pohon utama dan berumur sama karena ditanam pada waktu yang bersamaan (Kadri dkk 1992 dalam Indriyanto 2008). Akan tetapi, hutan tanaman dapat juga dibangun dalam bentuk hutan campuran, mengingat berbagai pertimbangan bahwa jika suatu areal hutan ditinjau dari berbagai segi baik segi ekologi maupun segi ekonomi tidak menguntungkan untuk dibangun hutan murni, maka hutan campuran menjadi alternatif pilihannya (Indriyanto 2008).

39

Pola tanam hutan rakyat yang terdapat di Desa Cikalong dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu monokultur dan agroforestri. Pola monokultur hanya menanam satu jenis pohon dalam suatu hamparan lahan sedangkan pola agroforestry (campuran) dilakukan dengan mengkombinasikan antara tanaman kehutanan (jangka panjang) dengan tanaman pertanian (jangka pendek) dalam suatu hamparan lahan.

Petani hutan rakyat sebagian besar menerapkan pola tanam agroforestry, sisanya menerapkan pola tanam monokultur jenis sengon. Pola tanam agroforestry yang terdapat di Desa Cikalong mengkombinasikan tanaman kehutanan jenis sengon dengan tanaman pertanian seperti jenis singkong, pisang, pepaya, nanas, dan kelapa.

Gambar 10 Presentase petani hutan rakyat Desa Cikalong berdasarkan pola tanam.

Jenis tanaman sengon dipilih karena jenis ini mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, mudah dalam pemasaran, dan cepat tumbuh sehingga waktu penebangan tidak terlalu lama, sedangkan tanaman pertanian yang paling banyak dipilih antara lain singkong, pisang, dan kelapa karena jenis tersebut mudah tumbuh pada kondisi tanah yang kering, tidak terlalu banyak menuntut perawatan, dan mudah dalam pemasarannya.

Menurut Awang (2001), pola monokultur memiliki beberapa kekurangan, yaitu diantaranya tegakan rentan terhadap gangguan hama dan penyakit, fungsi perlindungan terhadap lingkungan berkurang, dan tidak dapat memaksimumkan produktivitas kawasan hutan karena sistem pengelolaan seragam.

Bila dibandingkan antara pola monokultur dan pola agroforestri, jelas bahwa pola agroforestri memiliki keuntungan lebih dibanding dengan pola

monokultur 8,99%

agroforestri 91,11%

monokultur. Beberapa keuntungannya yaitu tegakan lebih tahan terhadap gangguan hama dan penyakit, dapat menikmati hasil lahan dalam waktu dekat yang diperoleh dengan memanen jenis tanaman pertanian atau perkebunan dimana buahnya dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga tidak perlu hanya menunggu kayu siap panen.

Gambar 11 Gambaran Pola tanam di Desa Cikalong. Ket: (A) Pola monokultur; (B) Pola agroforestri.

5.2.4 Pola Pengelolaan

Pola pengelolaan hutan rakyat Desa Cikalong termasuk pola swadaya karena hutan rakyat dikelola oleh perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga kerja sendiri. Modal yang dimaksud adalah biaya mulai dari penyediaan bibit sampai penebangan, sedangkan tenaga kerja dalam pengelolaan hutan rakyat adalah manusia sebagai pengelola langsung atau pelaku utama hutan rakyat.

5.2.5 Kelembagaan

Desa Cikalong belum memiliki organisasi atau kelembagaan khusus yang berperan dalam pengelolaan hutan rakyat. Masyarakat mengelola hutan rakyat secara perseorangan sehingga permasalahan yang terjadi terhadap lahan hutan rakyat akan diselesaikan secara perseorangan. Kelompok tani yang terdapat di Desa Cikalong hanya sebagai wadah kelompok tani sawah bukan kelompok tani hutan.

5.2.6 Kegiatan Pengelolaan

Pola pengelolaan hutan rakyat Desa Cikalong yaitu pola swadaya. Hutan rakyat dikelola dengan modal sendiri, masing-masing petani hutan rakyat. Adapun

41

kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang sudah dan sedang berlangsung saat ini meliputi:

5.2.6.1 Pengadaan bibit

Masyarakat Desa Cikalong mendapatkan bibit sengon dengan cara membeli dari penjual bibit sengon keliling ataupun toko penjual bibit. Tempat pembelian bibit sengon terdapat di Desa Karanunggal, sedangkan penjual bibit sengon keliling menggunakan truk dan alat pengeras suara untuk menjualnya.Bibit dibeli dengan harga Rp 800,00 per pollybag. Menurut penuturan penjual sengon, bibit sengon yang dijual berasal dari Purwokerto yang merupakan lokasi pembibitan berbagai jenis tanaman kehutanan.

5.2.6.2 Persiapan Lahan dan Penanaman

Sebelum kegiatan penanaman dimulai, kegiatan yang dilakukan adalah persiapan lahan. Persiapan lahan dilakukan dengan cara membersihkan alang-alang dan semak belukar yang berada di sekitar lahan yang akan ditanami. Selanjutnya tanah digemburkan dengan cara dicangkul-cangkul.

Gambar 12 Kegiatan persiapan lahan.

Selanjutnya kegiatan pemasangan ajir, yang dimaksudkan sebagai patok sebelum membuat lubang tanam. Pemasangan ajir dapat menunjukkan jarak tanam yang digunakan oleh setiap petani. Variasi jarak tanam yang digunakan diantaranya 2 m x 2 m, 3 m x 2 m, 3 m x 3 m, 3 m x 4 m, 4 m x 4 m dan 5 m x 5 m. setelah pemasangan ajir, petani membuat lubang tanam dengan menggunakan alat cangkul dengan ukuran yaitu 30 cm x 20 cm x 20 cm. Lubang tanam yang telah siap diberi pupuk kandang atau pupuk urea, ditimbun kembali dan dibiarkan selama 1-2 bulan sampai musim hujan tiba dan lahan baru siap tanam setelah 1-2

minggu kemudian. Pupuk yang digunakan berupa pupuk kompos dan pupuk kandang.

5.2.6.3 Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan yang terdapat di Desa Cikalong meliputi kegiatan pemupukan, pemangkasan, penjarangan, dan pengendalian hama penyakit. Pemupukan dilakukan pada masa-masa awal penanaman atau sekitar 1-2 tahun, dilakukan pada awal dan akhir musim hujan dengan menggunakan pupuk kandang dan pupuk anorganik jenis urea.

Pemangkasan dan penjarangan tidak dilakukan secara berkala melainkan hanya dilakukan jika tanaman terkena hama dan atau penyakit saja. Pemangkasan dan penjarangan dilakukan dengan tujuan pemberantasan hama dan penyakit.

Penyakit yang banyak menyerang tanaman sengon di Desa Cikalong adalah penyakit karat puru. Pencegahan penyakit karat puru dapat dilakukan dengan cara menanam tanaman secara campuran dengan jenis tanaman lain.

Gambar 13 Batang pohon sengon yang terkena penyakit karat puru.

5.2.6.4 Pemanenan

Kegiatan pemanenan atau penebangan dilakukan oleh pemborong dengan sistem borongan. Pemborong membeli seluruh atau sebagian tegakan selanjutnya melakukan penebangan. Dalam melakukan kegiatan penebangan, petani hutan rakyat tidak perlu meminta izin kepada aparat desa atau dinas terkait karena hutan rakyat Desa Cikalong sepenuhnya hak milik petani sehingga ketika kegiatan penebangan berlangsung tidak dikenakan iuran atau pajak. Pajak sudah dibayarkan oleh petani atas tanahnya berupa pajak bumi.

43

Gambar 14 Kegiatan penebangan kayu pada lahan pola tanam agroforestri.

5.2.6.5 Pengangkutan

Kegiatan pengangkutan mulai dari dalam lahan setelah penebangan sampai dengan tempat pengumpulan kayu dilakukan oleh pemborong. Pemborong berperan dalam mengangkut kayu rakyat dari dalam lahan ke industri pengolahan kayu rakyat.

Alat angkut kayu di Desa Cikalong berupa sepeda motor dan truk besar. Kayu hasil penebangan dari dalam hutan diangkut ke tempat pengumpulan di pinggir-pinggir jalan dengan menggunakan sepeda.

Gambar 15 Lokasi pengumpulan kayu rakyat.

Selanjutnya kayu diangkut dengan truk menuju industri pengolahan kayu yang ada di Desa Cikalong maupun Kota Tasikmalaya. Industri pengolahan kayu rakyat adalah badan usaha yang mengolah kayu bulat dari hutan rakyat menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

Gambar 16 Kegiatan pengangkutan kayu rakyat. Ket: (A) Motor; (B) Truk.

5.2.6.6 Pemasaran

Kegiatan pemasaran hasil hutan rakyat melalui pemborong. Pemborong adalah orang atau sekelompok orang yang membeli hasil hutan rakyat berupa kayu langsung dari petani hutan rakyat. Dalam hal ini, pemborong mendatangi lahan milik petani untuk menaksir volume, jumlah, dan keadaan tegakan serta menentukan harga.

Dalam proses penetapan harga kayu terjadi tawar menawar antara pemborong dan petani. Harga sengon bervariasi tergantung ukuran batang dan kemudahan dalam pengangkutan. Jarak lahan dengan angkutan berpengaruh terhadap harga sengon dengan tujuan mengimbangi biaya pengangkutan.

Posisi tawar dari petani hutan rakyat pada kenyataannya sangat rendah karena kurangnya informasi yang dimiliki petani terhadap harga sengon di pasaran, sehingga jelas keuntungan lebih besar diperoleh pemborong dibandingkan petani. Sampai saat ini sistem borongan masih dilakukan karena tidak adanya keinginan petani untuk melakukan penebangan dan penjualan kayu sendiri.

Kondisi tersebut didasarkan pada pertimbangan kepraktisan bila dibandingkan harus menanggung biaya penebangan dan pengangkutan. Besarnya biaya alat dan tenaga kerja sebagai buruh tebang apabila menebang sendiri, menyebabkan petani mempertahan sistem borongan. Dengan sistem borongan, petani lebih menganggap diuntungkan karena tidak perlu mengeluarkan biaya penebangan, pengangkutan, dan pemasaran karena semuanya sudah ditanggung oleh pemborong. Sistem ini sebenarnya justru merugikan petani karena harga yang ditawarkan oleh pemborong cenderung sangat rendah.

45

Selain melibatkan pemborong, kegiatan pemasaran kayu rakyat juga melibatkan pihak industri dalam hal ini industri penggergajian kayu. Alur pemasaran dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 17 Alur kegiatan pemasaran kayu rakyat. Keterangan:

1. Petani – masyarakat setempat

2. Petani – pemborong – industri penggergajian (skala kecil) – konsumen 3. Petani – pemborong – industri penggergajian (skala besar) – konsumen

Pada jalur pemasaran pertama merupakan saluran pemasaran yang paling sederhana karena kayu dari dalam lahan tebangan langsung untuk dijual ke masyarakat setempat sebagai bahan bangunan.

Gambar 18 Penggunaan kayu untuk membangun rumah.

Jalur pemasaran kedua dan ketiga dapat dikatakan sama yang berbeda hanya untuk memenuhi bahan baku industri penggergajiannya saja yang berada pada industri skala kecil atau skala besar. Petani menjual kayu dalam keadaan pohon berdiri kepada pemborong, selanjutnya ditebang menjadi kayu gelondongan yang

Petani Pemborong Industri Penggergajian (skala kecil) Industri Penggergajian (skala besar)

akan dibawa ke industri penggergajian kayu pada tingkat desa (skala kecil) atau tingkat kota (skala besar). Kayu sengon sebagai bahan baku industri bukan hanya berasal dari Desa Cikalong tetapi juga dari desa lainnya di Kecamatan Cikalong.

Gambar 19 Industri penggergajian kayu. ket: (A) industri skala kecil di Desa Cikalong; (B) industri skala besar di Tasikmalaya.

5.3 Permasalahan Hutan Rakyat

Dokumen terkait