• Tidak ada hasil yang ditemukan

I am a Wound Care Specialist by Dhian Restika

Dalam dokumen KISAH SUKSES INDONESIAN NURSES DARI 5 BENUA (Halaman 77-87)

S

elesai kerjakan pasien kedua tadi pagi, aku duduk sebentar sambil menikmati segelas air putih yang sudah tersaji. Pagi itu setengah siang, selepas jaga malam dari rumah sakit, aku melanjutkan mengunjungi dua pasien dengan luka diabet di kaki dan punggungnya. Sebelumnya memang sudah ada janji untuk ini, seperti yang sebelumnya kami selalu lakukan.

Aku seorang perawat di sebuah rumah sakit jiwa di Surabaya, tapi menekuni bidang khusus perawatan luka.

Beberapa teman sering bertanya tentang pilihan yang menurut mereka aneh. Tapi, memang inilah yang aku ingin dan aku pilih. Sungguh, aku menikmatinya!

Aku lulusan diploma III keperawatan yang belum diberikan kesempatan untuk melanjutkan study karena kendala antrian di instansi. Ku mulai perjalanan pekerjaan dari sebuah klinik di Ilmiki Semarang-Salatiga Jawa Tengah, setelah dua minggu lulus kuliah. Kulanjutkan ke rumah sakit kota, kemudian pindah ke klinik swasta di Surabaya, Jawa Timur, di mana aku sebagai perawat pengelolanya.

Aku beli beberapa persen saham di klinik itu. Beberapa tahun mengalami peningkatan pesat dengan keuntungan yang lumayan tinggi menurutku pada tahun 2003-an. Sampai akhirnya usahaku ini juga harus gulung tikar, karena pesaing yang gila-gilaan memberikan harga murah.

Ya,..kami bangkrut dan tutup klinik!

Merawat Luka, Merawat Jiwa: I am a Wound Care Specialist | 61 Dalam masa-masa sulit itu, aku diterima sebagai perawat di rumah sakit swasta di Sidoarjo. Saat keluar rumah dulu, lepas dari orang tua, aku memang sudah berjanji dalam hati, tak akan membebani mereka lagi. Walau sebenarnya, keluarga kami adalah keluarga yang berkecukupan. Bapak dan ibu seorang pegawai negeri, guru di sekolah dasar di salah satu kota kecil di Jawa Tengah. Kabupaten Blora, sebuah kota cantik, di tengah rimba.

Alhamdulillah,…meski sedikit income dari tempat kerja di rumah sakit itu, setidaknya, membantu kebutuhan pemenuhan kebutuhan hidup.

Di sela-sela kerja, aku coba mengesampingkan rasa malu. Saat sedang tak bekerja, pasti aku akan membawa tensimeter dan alat cek gula darah ke pasar-pasar sekitar Sidoarjo.

Semua aku jalani demi menambah penghasilan yang rasanya kurang seiring dengan meningkatnya kebutuhan. Tidak aku pungkiri, ada tuntutan gaya hidup di tengah-tengah kehidupan sosial dan profesional. jadi, bukannya tanpa alasan, kalau kemudian aku tekuni ketrampilan yang satu ini. Sepanjang tidak melenceng dari profesionalisme yang sudah aku pelajari, aku pikir, mengapa mesti rendah diri?

Aku memulai pengalaman baru……..yakni menangani pasien-pasien di rumah dengan luka. Sebuah pengalaman unik tersendiri…….

Saat mengecek seorang pedagang beras di salah satu pasar, aku ditanya apakah bisa merawat luka ibunya di rumah. Tanpa pikir panjang, aku mengangguk mengiyakan. Aku pun menekuni hobi baru!

Saat itu sekitar tahun 2005-an, dengan menggunakan metode dan balutan-balutan konvensional. Serta berbekal pengetahuan dari senior-senior di rumah sakit yang sudah terbiasa menangani kasus-kasus itu di rumah. Kami masih belum mengenal modern dressing, seperti sekarang.

Merawat Luka, Merawat Jiwa: I am a Wound Care Specialist | 62 Penghasilan mulai nampak lumayan meningkat. Jumlah pasien merambat, semakin banyak. Dari keluarga kaya sampai keluarga tak mampu tak pernah kutolak. Tentunya dengan tarif yang berbeda. Malah sering gratis, untuk mereka yang sama sekali tak mampu.

Niatku, beramal saja! Percaya bahwa Allah akan membalasnya dengan memberikan rejeki yang lebih, berlipat lagi!

Sementara itu, karier di rumah sakit biasa-biasa saja. Menjadi perawat pelaksana di ruangan, hingga kemudian masuk ICU untuk memperkuat armadanya. Selebihnya aku dipercaya duduk di Bagian Diklatlitbang rumah sakit. Tentu saja, sambil tetap menggendong hobi merawat luka.

Beberapa jenis pelatihan selalu aku up date. PPGD, BLS. Pada tahun 2007, aku mengikuti sebuah pelatihan perawatan luka modern. Bersama beberapa teman, kami mengikuti pelatihan tersebut di Surabaya atas sponsor sebuah produsen dressing modern. Dari sana lah, awal perkenalanku dengan tehnik perawatan luka modern. Begitulah fondasi awal yang kubangun!

Suatu hari, di tengah terik panas Surabaya, segelas air habis ku minum, ponsel berdering, membuyarkan berbagai angan. Saat kuangkat, terdengar suara seorang lelaki menyapa. Meminta untuk merawat lukanya. Jam ditangan menunjukkan sudah hampir jam 11 siang.

Ada sedikit keraguan. Antara menerima atau menolak tawarannya. Maklumlah, terkadang seperti anda, rasa malas sempat menyerang. Apalagi jika suasana udara panas. Akhirnya saya kalah!

Rasanya tak mampu menolak untuk mengunjunginya sekarang juga. Ingat seorang teman pernah berkata, ”Kau ini jika sudah ketemu luka kok seperti ketemu pacar saja.” Sembari tersenyum pada diri sendiri, aku mengiyakan. Detik itu juga aku langkahkan kaki, menuju ke ‘tempat kejadian perkara’ (TKP).

Merawat Luka, Merawat Jiwa: I am a Wound Care Specialist | 63 Merawat luka, jadi bagian keseharian. Nikmat dan menyengkan. Ada banyak orang yang ogah. Sebagian lagi jijik melihatnya. Namun aku, tetap enjoy!

Setelah berpamitan, ku larikan lagi sepeda motor kearah Surabaya Utara. Kawasan Masjid Besar Sunan Ampel. Lumayan jauh dan macet. Terik matahari masih juga menemani journey sang Perawat Luka ini. Betapa panasnya siang itu.

Lagi-lagi, bukannya gerah. Alhamdulillah, aku tetap menikmatinya…….

Setelah lama mengabdikan diri di rumah sakit swasta itu, akhirnya aku harus mengundurkan diri. Tidak lain, aku ingin menjadi seorang pegawai negeri. Tepatnya, bukan itu sebenarnya alasan tulusku. Hanya karena itulah keinginan orang tuaku. Yang sangat menginginkan anaknya menjadi seorang PNS. Meski sebenarnya kurang begitu menyukainya.

Pandangan negatif tentang PNS ini masih kuat tertanam di otak. Entahlah, dalam pandanganku, banyak PNS yang kerjanya asal-asalan, malas-malasan. Belum lagi PNS di rumah sakit. Fenomena ini yang membuatku ragu. Aku tak mampu menyebutkan kekurangan, tepatnya budaya kerja di antara mereka. Ini semua karena sempat merasakannya saat dirawat disana.

Kering senyuman, hampa sapaan! Sungguh, sebuah prinsip yang bertentagan dengan panggilan jiwaku. Suatu landasan kepemilikan dasar profesional yang tidak diindahkan. Aku sangat tidak menyukainya.

Potret PNS yang ideal dalam pandanganku, hanya kedua orang tuaku. Sehari-hari aku lihat, bekerja selayaknya abdi negara, yang digaji walaupun itu sedang libur atau cuti. Tapi aku tahu, tak semua pegawai negeri seperti itu. Tak seluruh rumah sakit negeri seperti yang aku gambarkan dalam benakku.

Keluar dari rumah sakit swasta, aku diterima sebagai tenaga kontrak di dinas kesehatan, dan ditempatkan di sebuah Puskesmas.

Merawat Luka, Merawat Jiwa: I am a Wound Care Specialist | 64 Bulan-bulan awal bekerja, terasa sangat tidak pas dihati. Biasa,…keluhan klasiknya adalah kualitas pelayanannya. Menurutku sangat tak sesuai standard. Contoh kecilnya, saat di depan kita sudah ada pasien, ternyata perawat dan dokternya masih saja melanjutkan obrolannya. Kontan, pasien melongo mendengarkan cerita dulu.

Yang paling aku tak suka, jika ada kasus yang lumayan sulit (menurut mereka) luka yang perlu jahitan agak rumit, atau kemasukan benda asing ditelinga atau hidung, dengan segera mereka akan merujuk ke rumah sakit tanpa berusaha dulu mengerjakan. Padahal peralatan lumayan lengkap!

Lama-lama aku tidak tahan!

Sebelum teman-teman memberikan rujukan, aku minta agar diperbolehkan untuk mengerjakannya. Hasilnya, aku selalu berhasil melakukan pekerjaan yang menurut mereka sulit. Sebutan baru juga sempat ku sandang, spesialis corpus alienum, spesialis pengambil sample darah bayi, spesialis memasang infuse anak, dan sebutan-sebuatan lain yang menurutku bisa digunakan sebagai penyemangat memperbaiki diri.

Juga dengan pasien-pasien yang bisa dilakukan satu hari perawatan, aku mencoba membuatkan lembar observasi. Tentunya seijin dan dengan persetujuan dokter. Teman- temanpun ku rasa dari hari ke hari kinerjanya semakin membaik.

Alhamdulillah……

Aku dipercaya membantu kerja di Poliklinik Lansia. Sebuah pekerjaan baru yang identik dengan uji kesabaran. Teman-teman di poli umum sudah selesai mengerjakan 100 pasien, sementara aku, 8 pasien saja gak kelar-kelar.

Bagaimana mungkin, para kakek dan nenek sebelum memberitahukan keluhannya apa, mereka selalu saja terlebih dahulu bercerita kronologisnya seminggu yang lalu. Belum lagi jika ada yang kurang pendengaran. Tapi semua aku lakukan dengan senang hati.

Merawat Luka, Merawat Jiwa: I am a Wound Care Specialist | 65 Pekerjaan baru, belajar menjadi pendengar dan konsultan yang baik. Aku pun, seperti biasa, mulai enjoy keterlibatan di dalamnya.

Tak sedikit para lansia yang hanya mau diperiksa olehku. Mereka setia menunggu berlama- lama, hingga aku selesaikan pekerjaan di IGD, jika pas ada pasien yang membutuhkan tenagaku setelah teman-teman merasa tak mampu lagi menanganinya. Sampai saat inipun, masih ada yang menelpon menanyakan kabarku. Rindu juga kadang- kadang menyentakku. Serasa ingin bertemu lagi!

Puskesmas mengajariku sebagai seorang perawat pintar. Di sana, kami dituntut menguasai kasus apapun. Pasien yang datang ,tak mau pandang bulu saat bertanya. Mulai tentang penyakit, hasil laborat, KB, laktasi, gizi, obat dan masih banyak lagi. Mau tak mau harus belajar banyak tentang semuanya. Belum lagi saat penyuluhan. Harus PD tampil di depan masyarakat.

Ringkasnya, perawat Puskesmas adalah perawat paling lengkap ilmunya!

Hingga pada suatu ketika……..ada pendaftaran PNS.

Aku mengikutinya. Memang itu tujuan awal, ingin menyenangkan hati orang tua. Alhamdulillah, diterima. Ada sedikit bangga,…karena mampu menyisihkan ribuan pesaing saat itu.

Tapi entahlah, apa memang aku memiliki nilai bagus saat ujian, atau factor keberuntungan saja. Tetap saja aku syukuri!

Aku mendapatkan penempatan di sebuah rumah sakit jiwa. Mengembalikan kepada cita-cita 15 tahun lalu. Ingin bekerja di RSJ. Kesempatan itu, kini datang juga. Dari 10 orang perawat, hanya aku yang ikhlas masuk ditempatkan di sana.

Sesuai prediksi, begitulah kinerja pegawai negeri. Walau pasti, ada beberapa orang yang sadar akan peran dan tanggung-jawabnya. Lagi-lagi, aku menikmatinya!

Merawat Luka, Merawat Jiwa: I am a Wound Care Specialist | 66 Santai kerja di RSJ. Tingkatan stressornya jauh jika dibandingkan bekerja di RSU atau Puskesmas. Kita tak berpacu dengan nyawa manusia.

Saking santainya, banyak teman yang ngobyek. Ada yang jualan baju, makanan, mobil, burung, dan masih banyak lagi. Tapi aku tak tertarik dengan bisnis yang seperti itu!

Suatu hari, aku menerima informasi dari seorang teman. Tentang pelatihan perawatan luka modern. Lumayan mahal sebenarnya. Bisa dibilang sangat mahal untuk mendapatkan kompetensi ini bagi kami perawat-perawat biasa yang hidup pas-pasan.

Seperti ada dorongan, aku mengambil kompetensi itu. Sungguh aku ingin memperdalamnya. Ingat beberapa waktu lalu aku pernah menekuninya, dan ingin mendapatkannya lagi.

Merawat Luka, Merawat Jiwa: I am a Wound Care Specialist | 67 Aku mencoba menekuni lagi. Bahkan berkeinginan memiliki klinik perawatan luka sendiri. Sudah ku kantongi ijin praktik mandiri dari tahun 2008.

Berbekal itu, aku mulai merintis lagi sebuah usaha bersama beberapa teman sepeminatan dan sejurusan. Wound home care.

Satu, dua, tiga pasien kami tangani. Hingga kini, entah sudah berapa puluh pasien kami bantu perawatan lukanya dirumah. Aku menikmatinya, bahkan senang bisa sedikit membuka ruang kerja untuk teman-teman.

Pasien kami dari segala kalangan dan tingkatan ekonomi. Sudah ada perjanjian di awal dengan teman-teman, kami tak akan menolak pasien dari kalangan bawah sekalipun. Langkahku tak sampai disitu! Aku mencoba menyebarkan ilmu baru itu keteman-teman melalui seminar dan pelatihan-pelatihan sederhana bersama tim yang kami rintis. Tak semata materi yang ingin aku dapat. Tapi lebih bangga dan ikhlas lagi jika banyak yang tahu dan mau menerima ilmu baru itu.

Selain itu, tujuan utamanya adalah kesembuhan pasien-pasien kami. Terjun di bidang luka juga mempertemukanku dengan orang-orang hebat. Perawat-perawat yang super dan penuh semangat untuk mengabdi, mengembangkan diri, meneliti, menyebarkan ilmu yang dimiliki. Walau belum apa-apa jika dibanding dengan mereka, aku selalu berusaha untuk belajar lebih baik lagi.

Kesembuhan lebih cepat dari luka pasien kami, adalah kebahagiaan dan kebanggaan kami mampu melayani mereka. Selalu aku berusaha terus menyebarkan ilmu itu.

Kepada teman-teman didaerah juga. Walau kadang sulit memberikan penjelasan kepada mereka, jika ini adalah salah satu kompetensi legal yang bisa kita pergunakan praktek mandiri.

Merawat Luka, Merawat Jiwa: I am a Wound Care Specialist | 68 Kendalanya,…kebanyakan teman-teman masih enjoy denga praktik di rumah sebagai “dokter kecil”. Meski demikian, tak pernah putus asa. Aku selalu berusaha untuk tetap menyebarkan yang aku punya.

Bangun tidur, buka HP, email, inbox, BB,…tak jarang isinya gambar luka dan sederet pertanyaan dari teman-teman di berbagai daerah. Tak ada rasa berat di hati untuk membantu memecahkan kasus mereka. Aku selalu menyempatkan diri menjawab semua pertanyaan mereka tentang luka. Walau kadang aku harus mencari referensi atau second opinion dari teman yang lebih ahli. Aku tetap ikhlas melakukannya.

Ilmu memang mahal, tapi bagi yang sudah memilikinya, dia diberikan kewajiban untuk menyebar luaskannya.

Beberapa waktu lalu bertemu dengan sejawat yang luar biasa semangatnya. Dia memiliki keinginan suatu saat akan mendirikan rumah sakit khusus luka, stoma dan kontinensia. Yang di dalamnya terdapat perawat-perawat hebat yang tiap hari melakukan kunjungan kepada pasien-pasiennya di sana. Impian luar biasa yang semoga segera bisa kami wujudkan.

Beberapa waktu lalu, kami juga membentuk sebuah himpunan perawat khusus luka di Jawa Timur. Semoga menjadi awal yang baik untuk perjuangan selanjutnya…

Sepeda motorku berhenti di depan gang kecil di sudut Utara Surabaya. Agak ragu aku memasuki kawasan itu. Nampak seperti bangunan lama. Sebuah rumah sakit jaman dulu(?).

Beberapa meter masuk, aku disambut dengan beberapa lansia dengan senyum ramahnya. Ku sapa mereka dan aku menanyakan alamat yang ingin aku tuju. Mudah menemukan alamat itu.

Dugaanku benar. Itu sebuah bangunan rumah sakit jaman dulu, yang sekarang oleh pemerintah provinsi dialih-fungsikan sebagai rumah tinggal para pensiunan dan pegawai negeri. Bangunan itu disekat-sekat. Berisikan 28 kepala keluarga. Baik yang sudah pensiun

Merawat Luka, Merawat Jiwa: I am a Wound Care Specialist | 69 atau masih aktif. Bayar sewanyapun murah, cukup dua puluh dua ribu limaratus rupiah per bulan. Tentunya listrik dan air tanggungjawab sendiri. Itu sudah sangat membantu.

Sedikit cerita dari pasienku yang baru. Namanya pak Suroto, pensiunan perawat juga ternyata. Dulu beliau lulusan SPK. Entah tahun berapa aku tak menanyakannya. Sambil ku kerjakan luka dibahunya, pak Roto menceritakan sedikit kisah masa lalunya.

Yang aku ingat beliau berpesan,”Jangan berhenti mencari ilmu, karena ilmu yang akan membawamu menuju kejayaan. Lihatlah kehidupan tuaku, jauh dari layak. Rumahpun tak punya. Masih beruntung diberikan dana pensiun dan tempat kontrakan murah.”

Agak merinding aku mendengar ungkapan pak Roto. Masih sambil aku merawat lukanya, pak Roto melanjutkan cerita dan keinginan-keinginannya untuk generasi penerusnya. Bangga rasanya, aku termasuk orang yang diharapkannya. Dia menyemangatiku untuk terus mengembangkan apa yang aku punya.

Siang itu aku tak jadi lelah, walau akhirnya baru sore hari aku sampai rumah.

Semangat dan cita-cita pak Suroto, ingin aku wujudkan. Menjadi seorang perawat yang mandiri, sukses, tak meninggalkan hati saat bekerja, berusaha membuka usaha yang berguna untuk orang banyak, dan yang pasti tak pernah lelah untuk berlari, mengejar ilmu yang tiap detik selalu bertambah maju.

Banggalah berdiri sebagai perawat! Berbaris di garda depan penentu derajat kesehatan bangsa.

Akhirnya, aku mantapkan pilihan sebagai seorang perawat khusus luka. Aku bangga dan selalu menikmatinya!

Sidoarjo-Indonesia, 22-12-2012

Email: dhian.munir@facebook.com FB: www.facebook.com/dhian.munir

Dalam dokumen KISAH SUKSES INDONESIAN NURSES DARI 5 BENUA (Halaman 77-87)