• Tidak ada hasil yang ditemukan

I WITNESS MIRACLES

Dalam dokumen KISAH SUKSES INDONESIAN NURSES DARI 5 BENUA (Halaman 39-46)

I WITNESS MIRACLES

by Dwi Retna Heruningtyas

S

aya saksikan keajaiban dalam kehidupan profesi ini. Bukan mereka-reka. Apalagi harus memanipulasi kejadian!

Sungguh, hanya ‘kekayaan hati’ barangkali yang bisa saya bagi, saya kemukakan dalam catatan ini.

Sebelum menjadi perawat pelaksana di RS Soetomo, saya mengajar di BP (Balai Pengobatan) swasta di Kediri-Jatim, yang mencetak lulusannya menjadi asisten perawat.

Gaji yang cukup bagi saya waktu itu, karena kebetulan masih belum banyak kebutuhan hidup. Beberapa bulan di sana mendapat panggilan kerja di Soetomo, apa boleh buat meskipun dengan gaji 5x lebih kecil, I accepted this job coz suggestion of my parents.

Anak penurut “stempel’ yang sudah melekat. Jika sesuatu sudah diterima segala konsekuensinya harus saya lakukan dengan sepenuh hati, itu yang menjadi prinsip. Alhasil, bergelut dengan dunia kesehatan yang berbasis pelayanan masyarakat ‘menengah ke bawah’ dan yang berbau askes pegawai negeri. Stigma awam yang sudah melekat pada institusi kami. Yup, it’s our hospital.

Ada beberapa kisah yang bagi saya jadi inspirasi guru kehidupan khususnya bagi saya sendiri.

1. Lukman, sebut saja begitu, anak 10 tahun, putra tunggal asli Kalimantan. Anak yang overweight, sedikit manja maklum anak tunggal di rujuk dari RS setempat dengan all grade I disertai dengan gangguan jantung.

I Witness Miracles | 23 Perawatan di UPI (Unit Perawatan Intensif) yang mengharuskan kami tim jaga (dokter, perawat, dan mahasiswa kedokteran) untuk mengobservasi tanda-tanda vital minimal tiap jam. Di saat kondisinya yang menurun cukup drastic kami memanggil kedua orangtuanya untuk konseling tentang kondisi putra tercintanya dan memungkinkan prognosa yang terburuk.

Entah kenapa, Lukman memanggil saya untuk mendekat beserta kedua orangtuanya di antara jerit tangisnya yang cukup menyentuh perasaan.

Ternyata, di penghujung hidupnya dia menjadi guru kami, menasehati ibunya melalui saya dengan lirih dia berkata, “Suster tolong katakan kepada ibu agar membaca sholawat Nabi Yusuf” (Subhanallah, kesabaran yang luar biasa di tengah sakaratul mautnya).

I Witness Miracles | 24 Entah kenapa saya yang dipanggilnya. Dengan menahan haru saya mengatakan “Insyaallah, Nak..Allah sangat menyayangimu”. Dia pejamkan mata untuk selamanya.

Ya Rabb, sudah bisa ditebak ibunya menjerit-jerit depresi, maklum beliau sudah mendekati 50. Hanya istighfar yang bisa saya sarankan.

Bagaimanapun proses grieving itu biarlah mengalir. Salutnya ketegaran ayahnya yang luar biasa.

2. Bergelut dengan keganasan lagi, Thomas sebut saja namanya seperti itu. Anak 4 tahun, dari keluarga Nasrani yang taat dan dirawat di kelas I, tentunya dipegang oleh dokter Sp.A.

Di atas kertas prognosanya memang buruk, tapi kami tetap mengutamakan yang terbaik. Kemoterapi, transfusi, hidrasi cairan bergantian dialaminya. Tentu saja sebagai perawat harus sering melakukan pendekatan interpersonal padanya. Bagaimanapun, kemoterapi efeknya dahsyat dan cukup prihatin jika melihatnya secara langsung.

Suatu saat ANCnya 0, berarti dalam kondisi anak itu benar-benar menurun. Leukemia memang imunodepresi tapi waspada tingkat dewa diperlukan terutama saat ANC 0 (Absolut Neutrophil Count).

Kekhawatiran ini terbukti, meski dengan berbagai cara untuk menaikkan ANCnya, kondisi Thomas terus menurun. Proses grieving dengan keluarga pun harus kami jalani. Respon yang mengejutkan terjadi, ya Rabb kenapa anak itu melambaikan tangan ke saya lagi untuk mendekat (padahal dulu benci banget karena saya selalu pasang IV line yang berarti menusuknya). Ada apa Thomas, badannya sakit semua ya Nak. Dia cuman tersenyum, saya bisikkan, ayo Nak sebut nama Tuhanmu biar Tuhan meringankan rasa sakitnya ya sayang.

Subhanallah justru kata-kata takbir Allahu Akbar yang keluar dari mulutnya. Saya ulangi lagi permintaan saya disertai doa-doa dari keluarga tercintanya. Tetap kata-kata takbir dan syahadat yang keluar dari mulut mungilnya.

I Witness Miracles | 25 Ya Rabb, inilah kuasaMu, saya hanya menjalankan tugas ini sebaik-baiknya. Tentu permintaan maaf pun meluncur dari bibir saya karena menyangkut prinsip hidup. Whatever- lah akhirnya.

3. Kali ini bukan pasien, tetapi the trully teacher Pak Ihsan (Alm) tahmir masjid di dekat kos saya di daerah Dharmawangsa, Surabaya. Very simple person but great personality, pensiunan tentara.

Orang yang sangat saleh dan selalu mendermakan kekayaannya untuk fakir miskin. Istrinya guru di SD Muhammadiyah, didiagnosa lumpuh seumur hidup karena cidera tulang belakang. Beliau marah dan berteriak, Dokter bukan Tuhan, mengapa menghakimi istri saya seperti itu.

Beliau selalu tahajud dan alhamdullillah diberi petunjuk yang very simple yaitu rebusan air daun jambu. Subhanallah, di luar analisa medis, istrinya bisa berjalan dengan normal. Beliau tertawa saja ketika saya dengan polosnya mengatakan koq bisa? Allah-lah segalanya Dwi (maturnuwun Pak, Allahlah Maha segalanya, kita sebagai umatNya hanya bisa berusaha).

Bahkan professor pun juga terheran-heran dan secara personal sering konsultasi secara pribadi ke beliau. Beliau dianugerahi honoris causa dari UNAIR. Saya terkejut saat menyaksikan dengan tegasnya beliau mengembalikan gelar kehormatan tersebut seraya berkata penghargaan dari manusia sebesar apapun tidak saya butuhkan, saya hanya membutuhkan penghargaan Allah.

Beliau meninggal karena hepatitis, menolak di rawat di ruang VVIP dan meminta hanya di rawat dibangsal biasa hanya karena ingin dekat dengan rakyat. Para petinggi yang besuk bahkan ada yang mengirimkan beliau bantuan financial, tetapi lagi-lagi uang itu mengalir ke pasien yang lain yang kurang mampu (dulu JPS tidak seleluasa sekarang, kemoterapi pun harus bayar).

Hal yang saya ingat dari beliau, jadilah muslim yang kaaffah, hormati ibumu dan jangan jadikan materi sebagai tolak ukurmu. Hadiah orang-orang tercintamu dengan Al-Fatihah.

I Witness Miracles | 26 Sugeng tindak Pak Ihsan, semoga Allah memberi panjenengan FirdausNya. Aamiin Allohuma Aamiin.

4. Gizi buruk. Masih juga terjadi di Indonesia tercinta ini. Akhir tahun 90-an, asuransi untuk masyarakat yang kurang mampu belumlah seleluasa saat ini. Dimana kemoterapi pun benar- benar jadi barang yang sangat eksklusif.

Seseorang datang dengan kondisi anaknya yang benar-benar drop karena gizi buruk. Mohon maaf aroma tubuh yang khas, maklum tempat tinggal tidak tetap. Gizi buruk yang kronis, dirawat di UPI Anak (Unit Perawatan Intensif) dengan harapan hidup yang sangat tipis.

Prosedur awal anamnesa dilakukan oleh dokter jaga. Ada yang perlu ‘disesali’, ternyata anak ini hanya mengkonsumsi air putih dan makanan sekedarnya. Tumbuh kembang yang memprihatinkan.

Setelah beberapa jam dirawat, akhirnya berpulang juga si mungil. Tentu ada billing yang harus diselesaikan tugas perawat bertambah sebagai administrasi dan juga customer service.

Dengan hubungan interpersonal yang Alhamdulillah baik karena perawatlah ujung tombak dan bukan sasaran tembak. Kasir juga bilang tidak bisa jika meninggal karena tidak punya KTP (lah ini T4 mas bro, bagaimana ini!). Dari pada berurusan dengan birokrasi yang berbelit (buat apa dipermudah) dan pelaksana memang kerapkali terbentur sistem kebijaksanaan, akhirnya saya pribadi menghubungi beberapa teman agar membantu melunasi.

Singkat kata lunaslah administrasinya (kami yang berangkat sendiri menyelesaikannya) dan mendapat permintaan maaf dari teman kasir yang sangat kami maklumi.

Problem belum berakhir, kami tidak ada uang lagi akhirnya nembak juga dokter jaga untuk membayar taksi (bayar ambulans, kami tidak mampu) dan membelikan beberapa untuk konsumsi ibu dan neneknya (memprihatinkan mereka belum makan sejak pagi hingga jam 20.00 WIB, waktu opname hingga si mungil meninggal dunia).

I Witness Miracles | 27 Meski sedih dengan minuman dan makanan yang kami belikan, mereka makan sampai tandas. Tak terasa air mata mengalir perlahan.

Ya Rabb, ampuni kami. Mereka tanggung jawab kami, mereka saudara kami, belum banyak yang bisa kami lakukan.

5. HIV mungkin hal yang terdengar menyeramkan. Pelatihan HIV tingkat nasional yang diadakan di rumah sakit kami kurang mendapat respon. Bisa ditebak saya diutus mewakili ruangan. Do it the best, only that was in My mind.

Berbekal ilmu tersebut, Alhamdulillah semoga ada kebaikan di dalamnya.

Sebut saja Gadis, 4 tahun. Terlahir dengan B20, dengan ARV yang harus dikonsumsinya selama beberapa kurun waktu. Ternyata dia memiliki orangtua yang berusia produktif kurang lebih yang berusia 25 tahun akibat penyalahgunaan NAPZA.

Tentu saja secara awam orang pantas marah, tapi sebagai perawat, jika kita cuma marah apa bedanya kita dengan orang awam.

Ternyata nenek pasien yang kebetulan juga midwife heran mengapa saya bisa dekat secara personal dengan ayah pasien yang sangat menarik diri dari pergaulan.

Yang saya lakukan hanya mengamati beberapa kali waktu adzan berkumandang, dia bergegas ke musholla dekat ruangan dan bermunajat kepadaNya. Subhannallah hanya Engkau yang Maha Mengetahui ya Rabb, saya tanya apakah dia masih ingin mempunyai keturunan lagi. Dia jawab “Apakah saya pantas, mbak?”.

Konseling informal pun saya lakukan, Allah Maha Pemaaf, itu saja yang perlu dipikirkan. Subhanalllah, dengan berbagai aplikasi ilmu yang saya dapatkan di pelatihan HIV tersebut saya mendapatkan dia mempunyai semangat yang luar biasa untuk bergaul dan berkarya lagi dan ucapan terima kasih berulang-ulang keluar dari mulutnya.

I Witness Miracles | 28 HIV tidak menular melalui jabat tangan dan penderitapun masih mempunyai peluang untuk mempunyai keturunan meski hanya sekian persen tanpa tertular virus mematikan tersebut. Subhanallah, indahnya berbagi.

Demikian juga dengan dua pasien lain dengan B20 yang positif yang dirawat di ruangan waktu saya bertugas sampai pada saat terakhir putranya dirawat bersikukuh tidak mau dipindahkan hanya karena takut dikucilkan oleh petugas dan kebetulan sekali kok ya meninggalnya waktu shift jaga saya.

Semua memang sudah diatur olehNya!

Surabaya-Indonesia, 06 Desember 2012

Email: dwiretnaheruningtyas@gmail.com FB: www.facebook.com/dwiretna.ary

Dalam dokumen KISAH SUKSES INDONESIAN NURSES DARI 5 BENUA (Halaman 39-46)