• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologi Agama dan Gerakan Politik

“I

deologi diartikan sebagai doktrin yang membimbing tindakan politik, idealitas-idealitas yang mesti diyakini sebagai gerbong politik, tujuan yang wajib dicapai, alasan yang wajib diperjuangkan, dan visi tentang masyarakat terbaik atau ideal yang harus diwujudkan dalam konteks kehidupan sosial masyarakat.38

Sebagai gerbong politik, ideologi akan mempengaruhi arah dan orientasi sebuah gerakan, kekuatan ideologi sangat menentukan apakah ia mampu menarik lokomotif-lokomotif kepentingan sampai pada tujuan yang diinginkan.” (Ian Adams).

Dalam menguak hubungan Yahudi dengan Jerusalem, penulis menggunakan istilah “ideologi Yahudi39 tentang       

38

Ian Adams, Polical Ideology Today (New York: Mancester University Press, 1993), 2-6, dalam pemaparannya tentang makna ideologi.

39

Ada yang berpendapat bahwa kata “Yahudi” bukanlah bahasa Arab, melainkan dinisbahkan kepada nama “Yahuza”, salah seorang pemimpin Bani Israel. Atau Negara Yahuza di Jerusalem setelah wafatnya Nabi Sulaiman. Pendapat inilah yang banyak didukung oleh para ilmuan, mengingat dalam kitab Perjanjian Lama tidak disebutkan kata-kata Yahudi kecuali dalam kitab Ezra, yaitu kitab yang bercerita tentang jatuhnya kerajaan Israel kepada Babilonia menjelang datangnya Nabi Isa as. Adapun kitab-kitab sebelumnya menyebut mereka dengan “Bani Israel”, dan setelah jatuhnya Bangsa Israel ke tangan

Jerusalem”, karena status Jerusalem dalam benak orang-orang Yahudi bukan hanya sekedar sebuah nilai keyakinan teologis, namun ia juga merupakan simbol hidup yang senantiasa dicita-citakan.40 Dengan melihat perkembangan Yahudi di abad modern, mulai sekitar awal abad ke tujuh belas sampai abad ke 21, adanya kombinasi nilai teologis dan politis Yahudi atas Jerusalem semakin nyata, ditandai dengan semakin kuatnya eksistensi bangsa Yahudi setelah mampu mendirikan negara Israel di Jerusalem (Palestina). Berdirinya negara Israel memiliki hubungan hiraskis dengan keyakinnya terhadap Jerusalem (al-Quds), dan langkah-langkah politik yang ditempuh untuk berdiam di wilayah tersebut adalah bersifat ideologis.

A. Makna dan Fungsi Ideologi

Pada dasarnya, ideologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri atas dua suku kata, yaitu ideo artinya pemikiran dan logis artinya logika, ilmu, dan pengetahuan. Dari sini dapat didefenisikan bahwa ideologi merupakan ilmu mengenai keyakinan, ide, dan cita-cita.41

Dalam Microsoft Encarte Encylopedia, ideologi didefinisikan sebagai suatu sistem kepercayaan yang memuat nilai-nilai dan ide-ide yang diorganisasikan secara rapi sebagai basis filsafat, sains, program sosial, ekonomi politik yang menjadi

      

Babilonia, barulah kata Yahudi dipakai. Livinia and Cohn-Sherbok. Judaism; A Short History. Cetakan II, (USA: Oneworld Publication, 1995), 78.

40 Terlebih dahulu perlu dijawab, kenapa penelitian yang mengkaji hubungan Yahudi dengan Jerusalem ini menggunakan istilah “ideologi”, bukan pandangan, akidah atau istilah lainnya. Dengan demikian, penulis di sini mengetengahkan pembahasan seputar “ideologi” dan pengaruhnya dalam kehidupan agama dan sosial kemasyarakatan. Studi ini pun perlu menelaah makna, arti filosofis term “ideologi”, dan pengaruhnya dalam ranah politik.

41

Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, ideologi dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 86. Mengutip dari Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1982), 145.

pandangan hidup, aturan berpikir, dan cara bertindak individu atau kelompok.42

Mengenai kedudukan antara ilmu, filsafat dan ideologi dalam hubungannya dengan perjuangan politik dan cita-cita politik, tentu berbeda. Ilmu dan filsafat yang subyeknya disebut ilmuan dan filsuf berbeda dengan sang ideolog. Seorang ilmuan tidak akan memaksakan atau mempengaruhi orang lain, ia hanya menjelaskan, mempresentasikan apa yang ditemui sebagai suatu karya dan secara moral perlu diketahui atau disampaikan kepada orang lain atau masyarakat. Ilmuan tidak membentuk suatu kelompok untuk melawan kecenderungan yang dianggap sebagai sesuatu yang merusak yang terjadi di masyarakat, dan secara politis bersentuhan dengan pemegang kekuasaan atau subjek politik. Oleh karena itu, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah melahirkan suatu revolusi. Adapun ideologi dan ideolog, senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengorganisasikan perlawanan, protes, dan penggugatan yang menakjubkan. Ideologi pada hakikatnya memiliki semangat tanggung jawab, keyakinan, dan keterlibatan serta komitmen.43

Ciri dari suatu ideologi adalah cita-cita yang dalam dan luas, bersifat jangka panjang, bahkan dalam hal dasar bersifat universal atau diyakini bersifat universal. Ia dirasakan milik dari suatu kelompok manusia yang dapat mengindentifikasikan dirinya dengan isi ajaran tersebut. Ia juga mengikat kelompok, sering pula membenarkan dan mempertahankan sikap perbuatan kelompok.44

Ali Syariati (1933-1977 M.) mengemukakan bahwa ideologi adalah sebuah kata ajaib yang menciptakan pemikiran dan semangat hidup di antara manusia, terutama di antara kaum muda, dan khususnya di antara para cendikiawan dan intelektual dalam suatu masyarakat.45 Dengan demikian, basis perjuangan kaum       

42

Deddy Ismatullah dan Asep. A. Sahid Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif; Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 92.

43

Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Terj. (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1982), 149.

44

Deliar Noer, Ideologi Politik dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Pekhidmatan, 1983), 31.

45

muda dan para cendikiawan dalam melakukan perbaikan terhadap sistem berbangsa dan menata ummat, harus dibangun atas preseden-preseden ideologis yang benar.

Sementara itu, Ian Adams (1937 M.) meletakkan istilah ideologi lebih ke dalam kerangka politik gerakan. Artinya, ideologi diartikan sebagai doktrin yang membimbing tindakan politik, idealitas-idealitas yang mesti diyakini sebagai gerbong politik, tujuan yang wajib dicapai, alasan yang wajib diperjuangkan, dan visi tentang masyarakat terbaik atau ideal yang harus diwujudkan dalam konteks kehidupan sosial masyarakat.46 Sebagai gerbong politik, ideologi akan mempengaruhi arah dan orientasi sebuah gerakan, kekuatan ideologi sangat menentukan apakah ia mampu menarik lokomotif-lokomotif kepentingan sampai pada tujuan yang diinginkan.

Menurut Frans Magnis Suseno (1936)47, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarah dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk

      

46

Ian Adams, Polical Ideology Today (New York: Mancester University Press, 1993), 2-6, dalam pemaparannya tentang makna ideologi.

47

Frans Magnis Suseno adalah seorang tokoh Katolik dan budayawan Indonesia. Lahir di Jerman pada 26 Mei 1936. Frans datang ke Indonesia pada usia 25 tahun, dan belajar filsafat dan teologi di Yogyakarta. Ia datang di Indonesia dengan motivasi berkarya melayani Gereja katolik di Indonesia, sebuah negeri yang diketahuinya sangat indah dan menyenangkan. Tahun 1977, ia menjadi warga Negara Indonesia setelah menunggu 7 tahun pengurusannya. Sejak 1 April 1996, ia resmi menjadi Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Diakses pada pada tanggal 25 Oktober 2010. http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/f/franz-maginis-suseno/index.shtml

menyikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah, kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.48

Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi.49 Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus ditata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve.

Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya, ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama.50 Dengan demikian, ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.

      

48

Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kansius, 1992), 230.

49

Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 232. 50

Di sini ada yang menyandingkan agama dengan ideologi. Agama adalah kesadaran-diri dan harga-diri manusia yang belum menemukan diri atau sudah kehilangan diri sendiri. Namun manusia bukanlah suatu makhluk yang berkedudukan di luar dunia. Manusia itu adalah dunia umat manusia, negara, masyarakat. Negara ini, masyarakat ini menghasilkan agama, sebuah kesadaran-dunia yang terbalik, karena mereka sendiri merupakan sebuah kesadaran-dunia terbalik. Agama merupakan teori umum tentang dunia itu. Agama merealisasi inti manusia dengan cara fantastis karena inti manusia itu belum memiliki realitas yang nyata. Maka perjuangan melawan agama menjadi perjuangan melawan sebuah dunia nyata yang aroma jiwanya adalah agama tersebut, dan ini ada kemiripan dengan konsep ideologi yang dibangun oleh para filsuf.

Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup di dalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan, namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu, seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.

Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.51

Istilah ideologi pertama kali digunakan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836 M.) 52 pada abad ke 18, meski akar-akar pengertiannya dapat ditarik jauh ke belakang, bahkan sampai kepada Plato. Ada juga yang mengkaitkannya dengan konsep idola dari Francis Bacon. Di tangan De Tracy, pengertian ideologi sudah jauh bergeser baik dari makna idea maupun idola. Destutt de Tracy memandang ideologi sebagai ilmu pengetahuan tentang ide. Di sini ideologi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang dianggap netral.53 Sebagai ilmu pengetahuan, ideologi dituntut obyektif dalam mempelajari tiap ide dalam arti mengesampingkan prasangka-prasangka metafisika dan agama. Bidang kajiannya meliputi asal-usul ide, mengapa suatu ide muncul, bagaimana       

51

Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 232. 52

Antoine Destutt de Tracy adalah seorang pemikir dan filsuf berkebangsaan Perancis. Ia adalah tokoh yang pertama kali memakai istilah ‘ideologi’. Dalam mengusung ide-ide filosofisnya, ia banyak terinspirasi oleh pemikiran John Locke. Ia adalah seorang bangsawan, ketika meletus Revolusi Perancis, ia banyak mengambil bagian dalam revolusi tersebut. Selain seorang filsuf, ia juga mendalami ilmu Psikologi.

53

Lihat dalam Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi (Bandung: Jalasutera, 2003), 34.

berkembangnya suatu ide, dan strategi-strategi apa yang dapat dilakukan untuk menyebarkan suatu ide.

Dari pemaparan di atas bisa dipahami bahwa istilah ideologi bisa berarti asal-usul ide, mengapa suatu ide muncul, bagaimana berkembangnya suatu ide, dan strategi-strategi apa yang dapat dilakukan untuk merealisasikan suatu ide. Ideologi juga bisa memberi konotasi politik, yaitu pertentangan untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu. Bisa juga dipahami, sebagaimana yang dipaparkan oleh Nurcholish Madjid54 bahwa agama dapat disejajarkan dengan ideologi, dan Ideologi dalam hal ini cukup dimengerti sebagai suatu sistem gagasan yang mengkaji keyakinan dan hal-hal ideal secara filosofis, ekonomis, politis, maupun sosial.

B. Ideologi dalam Pandangan Filsuf

Bagaimana sebuah ideologi berperan dan bagaimana ideologi terus dibangun dan dipertahankan. Louis Althusser (1918-1990)55, adalah seorang filsuf yang mempunyai pandangan tentang ideologi.

Althusser menyatakan bahwa ideologi tidaklah mencerminkan dunia realitas, alasannya adalah bahwa seseorang dibatasi oleh konteks bahasa, di mana dengan bahasa ia susah menangkap realitas sebenarnya. Manusia hanya dapat merasakan       

54

Di sini Nurcholish Majid tidak secara eksplisit memberikan batasan-batasan tentang agama dan ideologi. Akan tetapi, dari paparannya dapatlah diketahui bahwa agama dalam tulisannya dimengerti sebagai sistem ‘budi-daya’. Dalam arti ini, agama dapat disejajarkan dengan ideologi. Hanya saja, berbeda dari ideologi, agama justru ditempatkan oleh Cak Nur sebagai suatu sumber dinamika perubahan sosial, bukan sebagai pelanggeng struktur masyarakat. Di sini kata ideologi dapat bermakna peyoratif sebagai pemutlakan suatu gagasan yang ternyata tidak sesuai dengan realitas tertentu. Selain itu, agama juga, seperti diungkapkan Max Weber, memberi kerangka makna pada dunia dan perilaku manusia. Kajian atas Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 169.

55

Louis Althusser adalah seorang filsuf abad ke-20 berkebangsaan Perancis, seorang yang beraliran Marxis struktiralis dan sangat berpengaruh pada periode tahun 1960 sampai 1970an.

berbagai fenomena dengan cara-cara di mana ia dibentuk dalam ideologi melalui suatu aktivitas pengenalan dengan proses yang panjang. Dalam pandangan Althusser, ideologi tidaklah memberikan sebuah kenyataan, ia hanya merepresentasikan hubungan dan proses imajinasi seseorang terhadap dunia nyata. Bagi Althusser ideologi merupakan komponen yang sangat dibutuhkan umat manusia karena mampu memberikan inspirasi untuk membentuk suatu komunitas dan mendesain lingkungan keberadaannya untuk dapat bertahan hidup sesuai dengan kepercayaannya. Namun dalam pemandangan sehari-hari, manusia terkadang menyembunyikan ideologi yang membentuknya untuk keperluan efektivitas pencapaian-pencapain ideologi yang dianut.56

Untuk bisa hidup dan bertahan seperti yang dinginkan oleh para penganutnya, Ideologi harus ditopang oleh sebuah sistem yang nyata dan melembaga. Dalam suatu komunitas atau lembaga yang dibangun atas suatu ideologi, hendaknya masing-masing individu dalam komunitas tersebut secara keseluruhan menghayati dan meyakini ideologinya untuk menciptakan tatanan dan sistem yang berjalan sesuai dengan ide-ide dan pandangan-pandangan yang dianut. Dalam pandangan Althusser, agar dapat diterima, suatu ideologi harus bisa diabstraksikan dalam bentuk nyata.57 Oleh karena itu, ideologi secara nyata akan membentuk pola interaksi masyarakat mulai dari yang terkecil sampai yang umum, baik dalam komunitas akademik, keluarga, organisasi kekeluargaan, media, institusi penegakan hukum, partai politik, dan seterusnya.

Menanamkan sebuah ideologi dalam praktek kehidupan sosial politik menurut Althusser merupakan cara dan pendekatan yang paling efektif untuk mempertahankan sebuah kekuasaan. Ideologi banyak dipakai untuk melestarikan sebuah dominasi terhadap sebuah komunitas masyarakat tertentu. Adapun metode yang digunakan adalah bahwa semua elemen yang tergabung dalam suatu sistem kekuasaan, baik masyarakat ataupun yang berkuasa, harus memiliki ideolgi yang sama.58

      

56

Lihat John B. Thompson, Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia, (terj.) (Yogyakarta: IRCISOD, 2003) 134.

57

John B. Thompson, Analisis Ideologi, 135. 58

Ideologi politik harus dibangun atas teori-teori mengenai masyarakat, negara, masalah sosial dan kebijakan, karena semuanya saling terkait. Pandangan

Sehubungan dengan pandangan di atas, di Indonesia misalnya, penguasa dan masyarakat Indonesia telah meyakini sebuah kesatuan ideologis bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi yang benar dan mewakili kepentingan semua elemen masyarakat Indonesia.59 Ideologi yang dibangun oleh suatu sistem pemerintahan berperan pada langgengnya sebuah kekuasaan. Tetapi banyak sekali realitas menunjukkan bahwa masyarakat dieksploitasi oleh kepentingan penguasa karena sebuah ideologi yang dibangun oleh sang penguasa.

Teori ideologi ini memperlihatkan bahwa ideologi sangat besar peranannya dalam sebuah kekuasaan, bahkan karena sebuah ideologi suatu layakan bisa jadi layak, atau suatu ketidak-benaran bisa dianggap menjadi benar. Penindasan bisa dinggap sah-sah saja karena adanya sebuah ideologi. Ataukah ketidak-adailan sebuah kekuasaan yang merugikan suatu komunitas boleh-boleh saja karena menggunakan acuan legitimasi ideologis. Oleh karenya, kehidupan sosial-politik atau suatu bentuk kekuasaan tidak akan pernah luput dari landasan ideologis yang menjalankannya. Ideologi yang diamini oleh berbagai lapisan masyarakat dalam suatu struktur politik bisa membuat kekuasaan yang timpang mampu bertahan. Althusser memberikan sebuah contoh, penjajahan bangsa eropa terhadapat bangsa lainnya dianggap legal oleh mereka karena percaya bahwa akan membangun tatanan sosial dan memperbaiki sistem politik bangsa yang dijajah. Itu adalah sebuah ideologi imperialisme.60

Dengan demikian, menurut Althusser ideologi berfungsi menghubungkan pikiran manusia dengan dunia nyata, sehingga suatu masyarakat yang menganut ideologi tertentu akan tercermin pada sebuah identitas tertentu. Dalam konteks keagamaan       

seorang ilmuan sosial tentang organisasi kemasyarakatan dan pembagian kekuasaan politik dan ekonomi akan mempengaruhi penjelasan yang diberikannya mengenai sifat masalah-masalah sosial dan tanggapan pemerintah yang membentuk langkah-langkah kebijakan sosial yang dinentuk. Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat, (terj.) (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), v.

59

John B. Thompson, Analisis Ideologi, 143. 60

Louis Althusser, For Marx, Harmondsworth (Midlesex: Penguin, 1969), 232.

misalnya, orang yang percaya kepada Tuhan dan taat melakukan peribadatan kepada Tuhan, dan mendirikan ritus-ritus keagamaan, dengan jelas menunjukkan bahwa suatu gagasan memuat suatu tindakan, perilaku, dan menentukan model dari tindakan itu. Gagasan-gagasan itu hidup dalam tindakan-tindakan. Tindakan ini lalu menjadi praktek sehari-hari yang dikendalikan oleh ritual yang dia lakukan. Tiga hal ini (gagasan, praktek dan ritual) merupakan aspek material ideologis. Dalam pandangannya, ideologi bekerja, memproduksi subyektifitas, dan menegaskan identitas tentang siapa kita sesungguhnya. Itulah pandangan Louis Althusser tentang Ideologi.61

Seorang filsuf modern yang juga memiliki pandangan tentang Ideologi adalah Michel Foucault (1926-1984 M.)62. Dalam pandangannya, kebenaran atau pengetahuan adalah sesuatu yang bebas dari segala macam bantahan. Ia juga tidak melihat bahwa agama adalah bersifat ideologis karena agama adalah true knowledge, yaitu bahwa gagasan atau pengetahuan yang mencerminkan realitaslah yang benar. Di sini ia menganggap realitas lebih prior dari gagasan dan kehidupan mental bersifat sekunder dari determinan ekonomi material. Sedangkan baginya ideologi harus dipertentangkan dengan apa yang dianggap sebagai kebenaran.63

Kategori suatu kebenaran atau hal yang salah bukanlah dilihat dari suatu pengetahuan ataukah persepsi yang sama antara satu dengan yang lainnya, ataukah dari suatu masa ke masa yang lainnya. Itu tidak bisa dijadikan sebuah standar karena persepsi dan       

61

John B. Thompson, Analisis Ideologi, 144. 62

Paul Michel Foucault, seorang yang berkebangsaan Perancis, filsuf, sejarawan dan sosiologis. Menyelesaikan studi di Ecole Normanle Superiore tahun 1946, lalu memperdalam filsafat hingga meraih lisensi tahun 1948. Ia juga meraih lisensi bidang psikologi dan diploma dalam psikopatologi. Ia pernah bergabung dengan Partai Komunis Perancis hingga 1951. Karya-karyanya adalah

Maladie Mentale et Personnalitte (Penyakit Mental dan Kepribadian) terbit tahun 1954, Histoire De la Folie (Sejarah Kegilaan), The Birth of Clinic, Archeology of Knowledge, Disciplines and Punish serta The History of Sexuality.

Ia meninggal tahun 1984 dalam usia 57 karena penyakit AIDS. 63

Michel Foucault, Power and Knowledge: Selected Interview with Michel Foucault” ed. By Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 94.

pandangan setiap masyarakat dan setiap zaman memiliki bentuk-bentuknya sendiri yang membangun kebenaran-kebenaran yang ia inginkan. Sebuah kebenaran adalah bangunan sistem pengetahuan yang membentuk tatanan sosial dan memiliki prosedur nilai, tipe wacana, dan corak keilmuan yang dianut.64

Hubungannya dengan politik atau sistem kekuasaan misalnya, atau dalam suatu ranah sosial, kebenaran selalu diidentikkan dengan relatifitas. Dalam artian, kebenaran mempunyai beraneka ragam cara dan metode dalam kehidupan manusia, untuk mengatur dirinya, orang lain, masyarakat secara keseluruhan. Dalam sebuah peraturan atau perundang-undangan bisa saja terdapat dua versi, yaitu versi kebenaran dan versi yang keliru, sehingga suatu hukum atau ilmu pengetahuan memiliki perspektif kebenarannya masing-masing.

Dalam memperjuangkan suatu kebenaran agar bisa diterapkan dalam sebuah kekuasaan, ideologi memainkan peran yang signifikan untuk mengawal berjalannya sebuah kekuasaan yang benar. Menurut Foucault, praktek-praktek kekuasaan merupakan tindakan, aturan, kebijakan yang diambil dengan ide dan alasan yang benar. Walaupun benar dan salah banyak ditemukan dalam suatu praktek kekuasan, namun ide kebenaranlah yang harus mendominasi.65 Melalui penalaran dan penyelidikan terhadap nilai-nilai idelogis, dan pentingnya true knowledge, Foucault melihat bahwa praktek hukum, atau penerapan kebijakan ekonomi bersifat fleksibel, dalam artian sebuah hukum bisa saja benar atau salah, karena tidak ada teori yang mengikat. Lamanya sebuah hukuman penjara misalnya tidak disamakan karena kesamaan pelanggaran hukum yang terjadi antara satu dengan lainnya, lagi-lagi ideologi kebenaran yang menentukannya. Melalui pendekatan ini, Foucault menunjukkan bahwa ideologi kebenaran bersifat relatif, namun itu adalah kemestian.66

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi adalah sebuah paradigma yang tidak dipisahkan dari konsep kehidupan       

64

Michel Foucault, Power and Knowledge, 95. 65

Jeremy Carrette, (ed.) Religion and culture: Michel Foucault

(London: Routledge, 1999), 109. 66

sosial dan politik masyarak, karena ia senantiasa mempengaruhi

Dokumen terkait