2.2 Idiom yang Bertataran Kata
2.2.2 Idiom yang Bertataran Kata Majemuk
Idiom yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dapat digolongkan ke dalam bentuk kata majemuk jika gabungan dari dua kata atau lebih
yang menyusunnya membentuk suatu kesatuan arti. Berikut ini dipaparkan
contohnya.
(29) Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama sekali! Jimbron mau kauapakan??!! (Sang Pemimpi, hlm.3)
(30) Abrakadabara! Sim salabim! Tak tau karena campur tangan jin,
ilmu hitam, berkah sajen pada raja setan atau sugesti rasa sakit pada gigi itu lenyap saat itu juga. (Sang Pemimpi, hlm.57) (31) Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh kejadian ini, lebih
menyedihkan. (Sang Pemimpi, hlm.2)
(32) Abrakadabara! Sim salabim! Tak tau karena campur tangan jin, ilmu hitam, berkah sajen pada raja setan atau sugesti rasa sakit pada gigi itu lenyap saat itu juga. (Sang Pemimpi, hlm.57) (33) “Jangan, Bron. Kau kerja keras untuk tabungan itu?” (Sang Pemimpi, hlm.218)
(34) Sejak pertama kali melihatnya waktu hari pendaftaran di SMA Arai telah jatuh hati pada Nurmala. (Sang Pemimpi, hlm.187) (35) “Di sekitar peti tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan
pedagang Minang yang menjual baju di kaki lima. (Sang Pemimpi, hlm.20)
(36) Nasib kami di ujung tanduk. (Sang Pemimpi, hlm.18)
(37) Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. (Sang Pemimpi, hlm.1)
(38) Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung terperangkap, mati kutu. (Sang Pemimpi, hlm.1)
(39) Ratusan tahun mereka menanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. (Sang Pemimpi, hlm. 3)
(40) Bayangan tiga orang pria berkelebat, memutus sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa keping papan tipis. (Sang Pemimpi, hlm. 4)
(41) Ayahku, yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha membekap telingaku dan telinga Arai, anak angkat keluarga kami, agar tak mendengar pertengkaran yang sungguh tak patut ini. (Sang Pemimpi, hlm.8)
(42) Dalam sandiwara memerangi kaum Quraish pada acara di balai desa, aku berperan selaku Khalifah Abu Bakar, Arai berkeras ingin menjadi panglima besar Hamzah. (Sang Pemimpi, hlm.31) (43) Aku menyesal telah mengubah sisiranku dan di ambang pintu itu
aku demam panggung. (Sang Pemimpi, hlm.35)
(44) Mak Cik menerimanya dengan canggung dan berat hati. (Sang Pemimpi, hlm.39)
(45) Tubuhku yang dari tadi kaku karena tegang mengantisipasi rencana Arai kini pelan-pelan merosot sehingga aku terduduk di balik daun pintu. (Sang Pemimpi, hlm.51)
(46) Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai, ia menjadi anak asuh
sang pendeta. (Sang Pemimpi, hlm.60)
(47) Ia berusaha sekuat tenaga, panik, dan jatuh bangun terseok-seok membonceng ayahnya yang sesak napas sembil kesusahan memeganginya. (Sang Pemimpi, hlm.61)
(48) Kami tak bisa menahan cekikikan sampai perut kaku. (Sang Pemimpi, hlm.65)
(49) Sehebat muslihat Casanova, kenyataannya, setiap melirik Arai, Nurmala tampak seperti orang terserang penyakit angin duduk. (Sang Pemimpi, hlm. 76)
(50) Di televisi balai desa kami menyimak ulasan Ibu Toeti Adhitama tentang sepak terjang seorang patriot muda Mujahiddin yang baru saja menumbangkan komandan resien utara Tentara Merah Rusia. (Sang Pemimpi, hlm.83)
(51) Arai sudah tak bisa lagi merasakan sakit, ia mati rasa. (Sang Pemimpi, hlm.98)
(52) Lalu suatu pagi buta, kami merasa lelah setelah pontang-panting memikul ikan. (Sang Pemimpi, hlm.99)
(53) Ia memang tidak dilahirkan ke muka bumi ini untuk banyak-banyak mengunakan akal. (Sang Pemimpi, hlm.100)
(54) Berapa di antara mereka sampai berdiri perang mulut. (Sang Pemimpi, hlm.111)
(55) Aku juga sakit hati pada pak Mustar yang ketet mengawasi pekerjaan kami. (Sang Pemimpi, hlm.129)
(56) Setiap ia angkat bicara , para pedagang ikan di stanplat melepaskan apa pun yang sedang dikerjakan. (Sang Pemimpi, hlm.164)
(57) Seorang kuli yang buta nada, yang sadar betul dirinya tak’kan pernah bisa main gitar, ternyata mampu mendedikasikan dirinya sepenuh hati pada musik hanya untuk bisa membawakan satu lagu, satu lagu saja, demi menyampaikan jeritan hatinya pada belahan hati. (Sang Pemimpi, hlm.201)
(58) Istrinya itu hitam manis, bergelora, masih seperti anak SMP, dan sibuk mengunyah permen lolly pop. (hlm.190)
(59) Seorang kuli yang buta nada, yang sadar betul dirinya tak’kan pernah bisa main gitar, ternyata mampu mendedikasikan dirinya sepenuh hati pada musik hanya untuk bisa membawakan satu lagu, satu lagu saja, demi menyampaikan jeritan hatinya pada
belahan hati. (Sang Pemimpi, hlm.201)
(60) Salut juga ia dengan kami yang tahan banting. (Sang Pemimpi, hlm.223)
(61) Kapal merapat ke bibir dermaga lalu kelasi tadi menebar jalinan jala yang disambut dua orang di bawah. (Sang Pemimpi, hlm.226)
(62) Namun, kini hanya tertinggal untuk kami di tengah malam buta
ini hanya sebaris pesan dari orang tua. (Sang Pemimpi, hlm.234) (63) .Aku menjadi kurus tapi keras berisi, hitam legam seperti aspal. (Sang Pemimpi, hlm.242)
(64) Aku merasa besar hati pada kekuatan mental Arai. (Sang Pemimpi, hlm. 209)
(65) Dengan mudah, ia merengut carik-carik pertahanan terakhir babunya itu dan saat itu pula dengan amat jeli menghindari gunting tajam Badan Sensor, sang sutradara lemah iman itu menalihkan kamera dari adegan yang tidak pantas itu. (Sang Pemimpi, hlm.110)
Idiom masuk akal (29) ‘dapat diterima oleh akal; tidak aneh; wajar’ (Chaer, 1986:117), ilmu hitam (30) ‘pengetahuan / kepandaian yang dipakai untuk berbuat kejahatan’ (Chaer, 1986:74), campur tangan (31) ‘ikut memasuki perkara atau urusan orang lain’ (keikutsertaan) (Chaer, 1986:45), biang keladi (32) ‘orang yang menjadi pemimpin (penganjur, dsb) suatu tindakan kejahatan (keributan, keonaran,
dsb) (Chaer, 1986:34), kerja keras (33) ‘melakukan suatu pekerjaan dengan bersungguh-sungguh’ (susah payah) (Badudu, 1975:145), jatuh hati (34) ‘menaruh cinta kasih’ (Chaer, 1986:79), kaki lima (35) ‘ pedagang yang menjajakan
membahayakan (mengkhawatirkan, gawat) (KBBI, 2008:1519), perut bumi (37) ‘bagian bumi yang di tengah-tengah (di dalam)’ (Badudu, 1975:138), mati kutu (38) ‘tidak dapat berbuat apa-apa lagi (karena malu, takut tidak mempunyai kekuatan lagi,
dsb)’ (Chaer, 1986:119), sakit hati (39) ‘merasa tidak senang, dendam, benci, dsb’ (Chaer, 1986:151), nasib buruk (40) ‘kemalangan’ (Chaer, 1986:125), anak angkat
(41) ‘anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai
anak sendiri’ (KBBI, 2008:56), panglima besar (42) ‘pemimpin dalam kemiliteran yang tinggi’ (Chaer, 1986:132), demam panggung (43) ‘rasa takut atau gentar untuk naik ke atas panggung’ (Chaer, 1986:54), berat hati (44) ‘merasa segan’ (Chaer, 1986:32), daun pintu (45) ‘papan penutup pintu’ (KBBI, 2008:298), anak asuh (46) ‘anak yang diberi biaya pendidikan (oleh seseorang)’ (KBBI, 2008:56),
jatuh bangun (47) ‘susah payah’ (Chaer, 1986:78), perut kaku (48) ‘sakit perut’ ,
angin duduk (49) ‘penyakit masuk angin yang tetap’ (Chaer, 1986:20), sepak terjang
(50) ‘tingkah laku; perbuatan’ (Chaer, 1986:157), mati rasa (51) ‘tidak mempunyai perasaan lagi’ (Chaer, 1986:119), pagi buta (52) ‘pagi-pagi sekali’ (Chaer, 1986:129), muka bumi (53) ‘alam tempat tinggal manusia’ (Chaer, 1986:121),
perang mulut (54) ‘berbantah dengan kata-kata yang kasar dan keras’ (Chaer,
1986:138), sakit hati (55) ‘merasa tidak senang (dendam, benci, dsb) karena dihinakan, dsb’ (Chaer, 1986:151), angkat bicara (56) ‘mulai berbicara’ (Chaer, 1986:20), buta nada (57) ‘tidak tahu sedikit pun tentang nada musik’ hitam manis
(58) ‘hitam tetapi bersih dan elok’ (Chaer, 1986:72), belahan hati (59) ‘kekasih; kesayangan’ (Chaer, 1986:31), tahan banting (60) ‘kuat’ (Chaer, 1986:165), bibir
dermaga (61) ‘tepi dermaga’ (KBBI, 2008:187), malam buta (62) ‘malam yang gelap sekali tanpa bulan dan bintang’ (Chaer, 1986:115), hitam legam (63) ‘hitam sekali’ (Chaer, 1986:72), besar hati (64) ‘merasa bangga’ (Chaer, 1986:34), lemah iman (65) ‘mudah tergiur (tergoda) dengan bujuk rayu’ (Chaer, 1986:107) merupakan idiom yang berbentuk kata majemuk.