• Tidak ada hasil yang ditemukan

PIHAK YANG TERKAIT DENGAN KONFLIK DI GAMPONG KEUDE SEUNUDDON

5.6. Ikhtisar Evaluasi Program

Berdasarkan hasil evaluasi program diatas, ternyataan program pemberdayaan ekonomi mikro oleh LKM bagi komunitas korban tsunami dan konflik belum membawa perubahan yang signifikan terhadap komunitas korban. Program ini merupakan visi dan misi BRR Aceh-Nias Deputi Ekonomi dan pemerintah daerah yang diterjemahkan ke dalam kegiatan untuk meningkatkan keberdayaan korban tsunami. Mengikuti konsepsi kebijakan sosial yang terkait erat dengan perencanaan sosial, maka program LKM merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan guna menanggulangi ketidakberdayaan komunitas korban tsunami. Program LKM dilakukan secara terarah, terencana dan sistematik yang bertujuan untuk membantu meningkatkan keberdayaan kehidupan sosial, psikologis dan ekonomi keluarga melalui penguatan motivasi dan kemampuannya dalam mendayagunakan sumber-sumber dan potensi yang dimiliki, sehingga kemandiriannya bagi korban tsunami secara cepat dapat diwujudkan. LKM seunuddon finance aktif sejak tahun 2005, data awal diperoleh bahwa jumlah komunitas korban mendapat modal usaha 350 jiwa lebih dengan berbagai profesi. Profesi dominan adalah perikanan laut/nelayan dan petani tambak. Namun dua tahun pasca program dikucurkan, komunitas korban tsunami Keude Simpang Jalan Seunuddon masih belum terberdaya.

Dalam konteks strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban, LKM seunuddon finance memiliki pendekatan sendiri selain aturan yang sudah diformalkan oleh BRR Aceh-Nias. Menurut managernya, keterlibatan sasaran menjadi hal utama. Mereka tidak hanya sekedar menyalurkan dana. Pola yang diterapkan sesuai dengan makanisme yang sudah dibuat dalam buku induk BRR Aceh-Nias, namun dibeberapa tempat ada perlakuan khusus.

Dalam pelaksanaannya, diharapkan setiap anggota kelompok saling berelasi, berinteraksi satu sama lain secara timbal balik atas dasar kepercayaan, hak dan kewajiban. Setiap anggota kelompok ini juga mengembangkan modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan aktif, partisipasi, dan demokrasi dalam wadah kelompok usaha bersama. Koperasi/LKM berupaya untuk mengembangkan aspek lokalitas dan mengembangkan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dan sumber-sumber terkait sehingga program dilaksanakan secara terpadu, saling mengisi dan memperkuat dalam mewujudkan tujuan bersama untuk meningkatkan keberdayaan komunitas.

Namun realitas lapangan menunjukkan modal sosial tidak berkembang dengan baik.

LKM Seunuddon Finance di bentuk tahun 2005 berdasarkan Badan Hukum Koperasi Pasantren Bungong Laot No.134/BH/KWK I/XII/1995/ 14 Desember 1995. Bermula ketika BRR Aceh-Nias meluncurkan program pemberdayaan dan pengembangan LKM dan Koperasi untuk keberdayaan komunitas korban tsunami. Pilihan terhadap Koperasi Bungoeng laot sebagai salah satu Koperasi peserta program BRR adalah pilihan yang dilematis. Di Kecamatan Seunuddon sebagai daerah tsunami sangat sulit untuk mendapatkan lembaga keuangan yang sehat, baik lembaga perbankan sekalipun apalagi koperasi.

Berpijak pada realita tersebut sangat sulit menentukan LKM-LKM peserta program BRR Aceh-Nias, yang mempunyai tingkat kesehatan keuangan yang baik, karena pada kenyataannya LKM Seunuddon Finance tidak memiliki simpanan pokok maupun simpanan wajib. Ditambah lagi tidak tersedia Sumber Daya Manusia yang dilengkapi dengan pengalaman dan kemampuan yang optimal.

Jenis pembiayaan LKM ada beberapa jenis, antara lain: Konsep Pinjaman Qardhul Hasan (QH), adalah pinjaman (maximal 2 juta) yang hanya mengembalikan pinjaman pokoknya saja dengan cara mencicil (maximal 1 tahun) tanpa harus memberikan bagi hasil keuntungan. Sifat pinjaman ini adalah pinjaman lunak yang diperuntukkan bagi masyarakat korban gempa dan tsunami yang punya motivasi ingin usaha tapi tidak mempunyai asset produktif. Dari studi ini ditemukan bahwa warga masyarakat yang menerima pinjaman QH ini hampir sebagian besar tidak mengembalikan pinjaman sesuai rencana (sesuai petunjuk teknis). Pada temuan yang lainnya pada masyarakat yang menerima pinjaman QH walaupun usaha mereka telah berjalan kembali dengan baik, tapi mereka masih enggan mengembalikan dana QH tersebut sesuai dengan rencana angsuran. Konsep Pembiayaan Mudharabah/Bagi Hasil (MH) adalah pembiayaan (maximal 5 Juta) yang diperuntukkan bagi masyarakat yang telah mempunyai usaha kembali setelah bencana gempa dan tsunami. Pola yang digunakan adalah bagi hasil dari keuntungan sesuai dengan penyertaan yang diberikan LKM kepada masyarakat, dan LKM hanya berhak mendapatkan keuntungan dari penyertaan modalnya sebesar (20 persen – 80 persen) 20 persen untuk LKM dan 80 persen untuk peminjam.

Namun bagi hasil ini tidak harus dibagikan apabila usaha yang dikelola tidak memperoleh keuntungan. Dan pola Ritel yaitu bantuan bagi hasil bagi pedagang maksimal Rp. 20.000.000,-. Hanya 4 keluarga/individu. Semua stimulan ekonomi mikro ini disalurkan mulai Desember 2005.

Ekonomi lokal komunitas korban tsunami belum menunjukkan perubahan yang signifikan setalah mendapat modal usaha dari LKM Seunuddon Finance. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a) strategi penyaluran modal bantuan LKM, banyak yang belum tepat sasaran. Pengurus LKM tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan verifikasi lapangan terhadap kelayakan calon penerima bantuan. b) modal usaha yang diterima oleh masyarakat lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari. c) kerjasama dalam komunitas juga belum berjalan dengan baik. d) Kejujuran pengelola dan penerima bantuan masih dipertanyakan.

Hasil praktek lapangan tentang evaluasi program diperoleh informasi bahwa setelah dikucurkan dana bantuan dari BRR Aceh-Nias selain tingkat keberdayaan, keberlanjutan program dalam masyarakat yang masih terabaikan. Juga memunculkan konflik baru. Konflik tersebut dipicu oleh pihak-pihak yang tidak mendapat bantuan modal dari LKM sedangkan mereka sudah mengumpulkan KTP sejak awal program yaitu bulan Juni tahun 2005. KTP yang terkumpulkan melebihi dari kapasitas dana yang ada. Selain itu, ada pihak-pihak yang dikatagorikan sebagai provokator atau pihak yang tidak senang dengan kepengurusan koperasi dan LKM. Mereka menjadi salah satu penghambat dalam keberlanjutan program. Mereka menghembuskan wacana bahwa dana bantuan LKM tidak perlu dikembalikan karena bersifat hibah dari BRR Aceh-Nias. Konflik bertambah besar ketika perangkat Muspika yang mendapatkan modal bantuan dari LKM sedangkan mereka tidak berhak mendapat dana tersebut. Ada juga warga masyarakat yang dikatagorikan mampu dan tidak mengalami musibah stunami dan konflik mendapat bantuan. Pengurus LKM/koperasi pilih kasih, tidak transparan masyarakat menuduh ada indikasi korupsi dana LKM, dan memunculkan kecemburuan sosial. Konflik juga terjadi dalam interen pengurus koperasi dan LKM. Konflik interen ini muncul sejak awal program implementasikan berkaitan dengan memilih kepengurusan LKM (manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan/debitor).

Selain itu, banyak warga masyarakat yang mendapat bantuan ketika diundang tidak mau hadir, menghindari bertemu dengan pengurus LKM dan

koperasi, bahkan menjelek-jelekkan pengurus LKM. Untuk mengatasi konflik tersebut, dari FGD dan wawancara yang pengkaji lakukan didapatkan solusi bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut mesti bermusyawarah dan juga pemahaman ulang tentang program yang sedang berjalan.

Evaluasi terhadap gagasan, ide, arah, kebijakan dan kebijakan program merupakan sebuah konsep yang komprehensif dalam menata kembali perekonomian rakyat Aceh pada pasca bencana gempa dan tsunami mulai tahun 2005 sampai dengan selesainya masa bakti BRR NAD-Nias pada tahun 2009. Akhir masa tugas BRR tahun 2009, semua tugas, fungsi, seluruh asset yang tetap dan bergerak diserahkan kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu aset penting dengan dana triliyunan rupiah adalah program pemberdayaan dan pengembangan koperasi/LKM untuk keberdayaan komunitas korban tsunami. Program yang dikucurkan sejak tahun 2005 oleh BRR Aceh-Nias telah membawa pro dan kontra dalam dinamika masyarakat NAD. Pilihan terhadap lembaga berbadan-hukum Koperasi/LKM sebagai alat mediasi pengelolaan fasilitas dana BRR yang harus disalurkan ke komunitas korban, pada satu sisi merupakan langkah yang paling aman ditilik dari aspek legalitas-formal sebuah lembaga yang akan menerima dana pemerintah. Namun pada sisi yang lain ternyata mengundang banyak tanggapan khususnya dari pihak institusi atau individu yang memiliki pandangan terhadap koperasi/LKM sebagai sebuah lembaga yang bercitra kurang positif.

Evaluasi terhadap keterlibatan komunitas korban menunjukkan bahwa komunitas korban karena kondisi dan situasi musibah, keterlibatan mereka terabaikan. Penerapan prinsip keterlibatan komunitas korban dalam konteks pemberdayaan ekonomi mikro di NAD masih sangat kurang.

Prospek keberlanjutan program belum jelas. Besarnya dana yang dikucurkan oleh BRR Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi belum menjadi jaminan program tersebut akan bertahan dan berlanjut. Hasil observasi dan wawancara serta diskusi fokus group yang dilakukan pengkaji, menunjukkan indikasi tersebut. Keberlanjutan program tersebut masih menjadi pertanyaan. Artinya mesti dilakukan penelitian, pengkajian dan evaluasi ulang secara menyeluruh berkaitan dengan program penguatan ekonomi mikro tersebut. Walaupun demikian nada optimis muncul dari Deputi Ekonomi BRR Aceh Nias. Optimisme ini muncul, menurut pengkaji lebih kepada keberhasilan bidang ekonomi dalam

upaya menghabiskan anggaran, tanpa dilandasi evaluasi dan monitoring mendalam tentang keberhasilan dan keberlanjutan program.

Beberapa hasil evaluasi secara umum terhadap program pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami oleh LKM sebagai berikut: a) sumber Daya Manusia pengelola LKM masih kurang. b) pola koordinasi antara BRR, Pemda/Dinas terkait, AMFC dan Koperasi-LKM belum berjalan. c) belum terciptanya dukungan yang memadai dari pelaku-pelaku pembangunan lokal seperti pemda, pengusaha, kelompok peduli, NGOs (Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat, ulama, KPA dll) sehingga kerjasama belum terwujud dalam penanggulangan keluarga miskin melalui kelompok usaha bersama. d) belum terciptanya jalinan kerjasama dengan kelembagaan ekonomi yang disebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan bagaimana cara mengakses sumber dan pihak mana yang dapat diakses, maka dalam hal ini pendamping sosial perlu melakukan perannya secara optimal yaitu sebagai pemberi informasi, perencana, fasilitator, partisipator, mobilisator, edukator dan advokator. e) bantuan modal usaha pergulirannya terjadi kemacetan karena pada umumnya masyarakat menganggap bahwa setiap bantuan dari pemerintah dan BRR sebagai hibah yang tidak perlu dikembalikan. f). kejujuran pengelola dan penerima bantuan masih rendah. g) Sosialiasi program kurang dilakukan. h) pendataan dan verifikasi lapangan kurang dilakukan.

Lebih lanjut secara khusus dapat di evaluasikan sesuai dengan temuan lapangan, berikut.

1. Dari segi sebaran lokasi keberadaan koperasi/LKM; keberadaan LKM Seunuddon Finance masih mudah dijangkau dengan roda dua atapun roda empat. Transportasi sudah tersedia, jalan sudah diaspal walaupun sudah mengalami rusak berat, jarak dengan kecamatan hanya 1 kilometer, dengan jalan negara 10 kilometer, dengan Ibu kota Kabupaten 60 kilometer.

2. Pengelola berdasarkan biodata yang ditemukan bahwa LKM Seunuddon Finance, yang terdiri dari manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan semua tamatan SMU. Sehingga mereka memenuhi persyaratan minimal sebagai pengelola LKM. Namun tingkat pendidikan tidak menjamin program berjalan lancar. Banyak faktor lain seperti sosial budaya, situasi dan kondisi korban yang masih trauma.

3. Kemandirian LKM, bahwa LKM belum dapat mengelola dana fasilitas BRR (rata-rata per LKM 900 juta) yang pada kenyataannya dengan dana sebesar

itu seharusnya LKM yang mendapat Bantuan/suntikan dana dari BRR, sudah dapat mandiri. Hal ini dikarenakan, LKM Seunuddon Finance mengalami konflik dengan masyarakat maupun dalam tubuh lembaga LKM atau koperasi itu sendiri. Sehingga semua dana yang sudah dikucurkan sulit dikembalikan. 4. Penguatan kelembagaan Koperasi/LKM tidak dilakukan sejak awal. Mestinya

BRR Aceh-Nias, pemerintah dan lembaga donor lain melakukan penguatan

capacity building terhadap lembaga dan pengurus koperasi/LKM, setelah itu

selesai, baru kemudian dana dikucurkan.

5. Dari segi masyarakat, pada saat manusia tertimpa bencana sehingga kehilangan hampir semua yang dimilikinya, maka secara umum mereka belum siap untuk melakukan pekerjaan/usaha seperti ketika belum terjadi bencana. Kebanyakan para korban gempa ketika program diluncurkan pertama sekali, prioritas utama mereka adalah memenuhi kebutuhan makan dan rumah (barak). Karena pada dasarnya kondisi dan lingkungan disekitar tempat tinggal masyarakat lokasi bencana tidak dapat berfungsi atau belum saatnya berfungsi secara normal. Sehingga yang terjadi adalah semua dana bantuan modal usaha dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, bukan untuk modal usaha.

6. Di tilik dari kondisi infrastruktur seperti media transportasi, sarana komunikasi, dan sarana listrik, semuanya masih belum berfungsi normal pada saat program diluncurkan. Faktor tersebut sangat berpengaruh pada tingkat pelayanan lembaga yang bergerak di pelayanan publik termasuk koperasi. Ketika kondisi ini diabaikan dan program tetap berjalan, akibatnya adalah terjadi gangguan (disfungsi) terhadap pelayanan publik. Untuk lembaga koperasi/LKM di temukan kondisi sebagai berikut: kesulitan menjangkau koperasi pada daerah bencana karena belum ditemukan sarana, sehingga fungsi pengendalian dan supervisi terlambat dilakukan. Arus listrik yang cenderung tidak stabil setiap hari, hal ini berakibat pada tidak berfungsinya atau kerusakan pada perangkat lunak dan keras yang menjadi alat kerja utama lembaga pelayanan publik seperti koperasi/LKM. Sehingga administrasi awal dari LKM Seunuddon Finance bersifat manual. Semua dicatat secara manual yang menyulitkan proses kerja dilapangan. Akibat lain yang ditentukan adalah pencatatan administrasi dan keuangan dilakukan secara manual yang cenderung memiliki kelemahan dalam keakuratan data

keuangan dalam penerapannya. Akhir tahun 2006 baru tersedia perangkat lunak dan keras LKM.

7. LKM Seunuddon Finance, baru diaktifkan ketika program BRR Aceh-Nias diluncurkan.

8. Dinilai dari jenis bantuan pola bantuan yang diterapkan sudah cukup baik, baik itu dinilai untuk kepentingan masyarakat sebagai pemetik manfaat ataupun LKM, karena jenis bantuan yang ada bervariasi disesuaikan dengan kondisi dari masyarakat/pemetik manfaat yang ada. Namun dalam prakteknya dilapangan semua jenis bantuan tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan, pemahaman masyarakat tentang pola bantuan sosial, mudharabah/bagi hasil dan ritel masih lemah, termasuk pengurus LKM/koperasi itu sendiri.

9. LKM dituntut dalam waktu yang singkat mesti dapat menyeleksi masyarakat untuk menjadi penerima bantuan dalam jumlah yang besar. Pada kenyataannya dalam waktu yang singkat tidak bisa dilakukan penyeleksian yang akurat terhadap penerimarima bantuan yang layak.

10. Hasil evaluasi program melalui observasi dan wawancara serta diskusi fokus

group (FGD) yang dilakukan pengkaji, menunjukkan bahwa prospek

keberlanjutan program tersebut tidak berlansung atau tidak berhasil. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa sebab antara lain: Pertama, kurang percaya masyarakat terhadap lembaga BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi yang terjadi dalam berbagai lembaga penyedia layanan dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami termasuk koperasi/LKM serta AMF, NGO lokal, nasional maupun internasional. Kedua, faktor sosioculture masyarakat yang kurang memahami arti penting swadaya dan dana bergulir. Ketiga, pendataan yang masih simpang siur serta diketahui masyarakat yang baru keluar dari situasi dan kondisi musibah tsunami dan konflik berkepanjangan masih menyimpan traumatik secara psikologis, sosiologis. Keempat, kredit macet mencapai 65 persen di LKM Seunuddon Finance. Kelima, pola dana bergulir atau pola kredit masih relatif baru bagi komunitas di Keude Simpang Jalan. Keenam, komunitas terbiasa menerima dana bantuan secara percuma dari beberapa NGO dan lembaga donor lainnya, sehingga kesadaran untuk mengembalikan dana bantuan dari LKM kurang. Ketujuh, lemahnya kesadaran komunitas dalam program semacam ini. Kedelapan, dari 350 individu yang mendapat dana dari LKM Seunuddon Finance hanya beberapa

orang saja yang dana bantuan tersebut digunakan sesuai dengan usahanya, lainnya hanya digunakan untuk kebutuhan konsumtif.

Komunitas korban yang mendapat bantuan dari program LKM, tidak mengalami perubahan secara signifikan, ditilik dari jenis perekrajaan sebelum dan sesudah tsunami. Seperti petani tambak, setelah tambak dinormalisasikan oleh BRR Aceh-Nias, mereka kembali bekerja seperti sediakala. Bagi petani tambak yang sempat ditemui, mereka rata-rata tidak ada jenis pekerjaan lain yang sesuai dengan keahliannya. Pekerjaan di tambak sudah dijalankan dari turun temurun.

Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang nyata atau signifikan pada ekonomi komunitas. Penyebab tidak adanya perubahan ekonomi komunitas yang signifikan dapat dilihat dalam dua segi yaitu segi kelembagaan LKM/koperasi dan segi komunitas itu sendiri. Pertama, penyebabnya dari segi kelembagaan LKM/koperasi bahwa LKM tidak memiliki sumber daya manusia yang profesional dalam mengelola dana bergulir secara berkelanjutan termasuk waktu yang dimiliki pengurus LKM untuk memverefikasi komunitas calon penerima modal usaha terbatas sehingga modal usaha yang dikucurkan banyak yang tidak tepat sasaran. Keterlibatan komunitas sebagai penerima manfaat tidak ada sama sekali. Lembaga LKM/koperasi masih dipandang pesimis oleh komunitas, citra koperasi/LKM yang buruk mengurangi kepercayaan komunitas. Secara ekternal dan internal lembaga koperasi/LKM masih terjadi konflik.

Kedua, dari segi komunitas, modal bantuan yang di dapat dari LKM

dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, hal ini dikarenakan tidak ada sumber pendapatan lain pasca tsunami dan konflik, juga anggapan jumlah modal usaha yang disalurkan terlalu kecil untuk modal usaha. Pengembalian modal usaha sampai dengan 2 tahun pencairan masih terjadi kredit macet mencapai 65 persen. Pemanfaatan Lahan tambak, persawahan, kehidupan nelayan, kios/dagang masih belum dapat difungsikan secara maksimal karena kekurangan modal usaha.

Perubahan ekonomi komunitas korban, hanya terlihat saat menerima bantuan untuk keperluan usahanya. Seperti yang terjadi bagi komunitas tambak, mereka dapat menggunkana dana bantuan tersebut untuk kebutuhan tambaknya 1 kali panen, namun ketika panen tambak tidak bagus mereka kehabisan modal untuk memulai lagi. Hal serupa juga berlaku bagi nelayan, ketika mereka turun laut dan mendapat hasil yang bagus, nampak terlihat perubahan ekonomi

keluarganya. Mereka dapat melanjutkan sekolah anaknya, kebutuhan pokok keluarga tidak perlu berhutang diwarung-warung. Namun ketika hasil tangkapan tidak maksimal, maka mereka kehabisan modal untuk melaut lagi. Dan pilihan kemudian adalah pada rentenir. Namun, bukan berarti tidak ada komunitas korban yang tidak ada perubahan ekonomi. Ada beberapa orang yang pengkaji temui, menurunya mengalami perubahan ekonomi dalam kehidupan keluarganya.

Kehadiran LKM Seunuddon Finance tidak membawa dampak perubahan yang signifikan pada kehidupan dan keberdayaan komunitas yang mendapat bantuan dari LKM. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, strategi penyaluran bantuan modal usaha tidak melibatkan komunitas secara langsung. Komunitas tidak tahu tentang program LKM yang sebenarnya, mereka hanya mengetahui bahwa ada bantuan modal usaha dari koperasi/LKM secara cuma-cuma sehingga semua mengajukan permohonan tanpa berpikir untuk mengembalikan modal bantuan tersebut. Kedua, pendampingan terhadap komunitas termasuk kelembagaan LKM tidak dilakukan secara maksimal, sehingga mengakibatkan tidak adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif baik dengan komunitas maupun lembaga yang terkait. Ketiga, dari 350 orang yang mendapat bantuan modal usaha hanya segelintir yang mampu mengembalikan modal tersebut, selebihnya modal usaha digunakan untuk kebutuhan konsumtif sesaat.

Keempat, hanya terdapat 5 orang yang memdapat modal usaha dari LKM untuk

penambahan modal warung kopi dan toko yang lancar pengembalian sedangkan komunitas lain dengan jenis usaha tambak, sawah, dan nelayan rata-rata tidak mampu mengembalikan, hal ini disebabkan bantuan modal usaha tidak digunakan untuk kepentingan usaha. Keenam, kelompok nelayan yang mendapat modal bantuan yang rata-rata hanya 1 juta sampai 3 juta habis digunakan untuk kebutuhan rumah tangga hanya sisa untuk kebutuhan kapal bermotor seperti untuk BBM dan kebutuhan melaut. Sedangkan komunitas tambak, sawah, petani garam yang sempat menggunakan modalnya untuk usaha tersebut akibat musibah pasang laut yang terjadi tahun 2007 telah menenggelam tambak, sawah, dan lahan garam sehingga gagal panen.

Keberdayaan komunitas korban seperti yang tergambarkan diatas, tentu saja tidak berhenti hanya sampai disitu. Tapi prinsip dalam proses komunikasi dialektika dan interaksi antar stakeholders akan terus berlangsung dalam proses pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami. Kenyataan sosial

ekonomi yang terbentuk dalam komunitas secara objektif ini kemudian dihadapkan pada individu, yang pada tahap selanjutnya bersifat mempengaruhi dan memaksa pembentukan pola fikir, sikap, tindakan dan perilaku-perilaku individu. Kenyataan sosial ekonomi objektif yang dimiliki, dialami dan dirasakan bersama tersebut kemudian menjadi bagian-bagian dari individu yang sebut kenyataan sosial ekonomi subjektif yang mendasari pola fikir, sikap, dan tindakan serta perilaku individu. Mulai disini proses pembentukan kenyataan sosial ekonomi kembali dilakukan oleh individu dari awal dan oleh karenanya disebut sebagai proses dialektika. Proses inilah yang sedang berlansung di gampong Keude simpang jalan Seunuddon dalam proses rehabilitasi ekonomi mikro oleh Koperasi/LKM dan lembaga lembaga lain.

Gambaran diatas, menunjukkan bahwa hanya segelintir orang dalam komunitas korban tsunami yang mampu kembali hidup normal artinya mereka relatif telah terberdaya. Namun kebanyakan anggota komunitas korban tsunami di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon belum terberdaya. Minimnya tingkat keberdayaan ekonomi komunitas korban tsunami tidak signifikan dengan dana yang dikucurkan ratusan milyar rupiah.