• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM DAN PERADABAN

B. Ilmu dan Peradaban

Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting dan memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Hal itu bisa kita lihat dengan jelas dalam Al-Qur‘an, bahwaayat Al-Qur‘an yang pertama kali diturunkan kepada umat ini adalahberkaitan dengan ilmu. Yaitu sebuah ayat yang diawali dengan kata “Iqra” yang mengandung perintah untuk membaca dan menulis, karena membaca dan menulis merupakan kunci utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

ٕاطْلإا ًِع ٟريا ،ّسنأَا وبزٚ أسقا ، لًع َٔ ٕاطْلإا لًخ ،لًخ ٟريا وبز ِضاب أسقا

ًِعٜ لماَ ٕاطْلإا ًِع ،ًِكياب

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” ( QS. Al-Alaq: 1-5 )

Dalam menafsirkan kelima ayat di atas, Ibn Katsir menyoroti pentingnya ilmu bagi manusia. Ibn Katsir menulis:

ع ٘ٝبٓتيا اٗٝؾٚ

لم اَ ٕاطْلإا ِ١ًَع ٕأ لىاعت ََ٘سٜن َٔ ٕأٚ ،١كًع َٔ ٕاطْلإا لًخ ٤ادتبا ٢ً

١ه٥لالما ٢ًع ّدآ ١ٜبريا ٛبأ ٘ب شاتَا ٟريا زدكيا ٖٛٚ ،ًِعياب َ٘سنٚ ٘ؾسػؾ ،ًِعٜ

62 Ibn Jama’ah, Tadzkirah Sami’ wa Mutakallim fii Adab A’lim wa Muta’alim, Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyah, 2008, hlm.28

66 | S T U D I I S L A M I I I

―Dalam ayat-ayat ini terdapat peringatan bahwasanya manusia diciptakan dari segumpal darah. Dan di antara bentuk anugerah Allah ta‘ala adalah mengajarkan manusia apa yang semula tidak diketahuinya. Maka kemuliaan dan keagungan manusia terletak pada ilmu. Dan inilah kemampuan yang membuat bapak manusia, Adam lebih istimewa daripada malaikat.‖63

Imam Ibn Katsir, dalam penafsirannya di atas, mengingatkan kepada kita bahwa dari sejak awal penciptaan manusia, status kemuliaan manusia terletak pada ilmunya. Hal tersebutlah yang menjadi penjelas atas pertanyaan malaikat yang sempat menyangsikan keberadaan manusia di bumi untuk dijadikan khalîfah oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal tersebut jugalah yang menjadi penyebab selanjutnya kenapa malaikat diintsruksikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk sujud kepada Adam selaku bapak manusia. Semua itu disebabkan oleh ilmu.64

Maka dari itu, mencari Ilmu dalam pandangan Islam adalah keharusan yang tidak mungkin untuk dipisahkan dari kehidupan seorang muslim. Pelbagai keterangan menjelaskan wajibnya mencari ilmu. Mulai hadits sampai nash Al-Qur‘an, sudah cukup dijadikan landasan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Baihaqi misalnya, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menegaskan:

٣ًِِٔطَُ ٌٚٝن ٢ًَٜع ٠١َطٜ٢سٜؾ ٢ًِٞٔعٞيا ُبًٜٜط

―Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.‖ (HR. Muslim dan

Baihaqi)

Firman Allah, juga secara tegas memerintahkan nabi-Nya untuk berdoa memohon tambahan ilmu, sebagaimana firmanNya,

ٟاًُٞٔع ِْٞٔد٢ش ٚبٖز ٌٝقَٚ

“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”

(QS. Thaha: 114)

63

Abu al-Fida` Isma'il ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azîm, Kairo: Dar al-Hadits, 1423 H/2003 M, hlm. 647-648.

64 Dialog seputar pengukuhan Adam sebagai khalîfah di bumi dapat dilihat di antaranya dalam al-Qur`an surat al-Baqarah [2]: 30-34.

67 | S T U D I I S L A M I I I

Al hafidz Ibnu Hajar berkata: ―Firman Allah Azza wa Jalla

sangat jelas menunjukkan tentangkeutamaan ilmu.Karena Allah tidak pernah memerintahkan nabi-Nya untuk meminta (berdoa) atas tambahan sesuatu kecuali ilmu‖.

Bahkan, mencari ilmu disamakan kedudukannya dengan orang yang berjihad di jalan Allah.

اٚزرٓٝيٚ ٜٔديا في اٛٗكؿتٝي ١ؿ٥اط َِٗٓ ١قسؾ ٌن َٔ سؿْ لاًٛؾ ،١ؾان اٚسؿٓٝي َٕٛٓؤلما ٕان اَٚ

ٕٚزريح ًِٗعي ِٗٝيإ اٛعجز اذإ َِٗٛق

―Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.‖

Dalam rentang sejarah umat Islam, tradisi ―Iqra‖ menginspirasikan lahirnya peradaban ilmu pengetahun dalam berbagai aspek kehidupan. Kitab dan buku-bukupun lahir dengan jumlah sangat fantastis jika dibandingkan dengan peradaban lain yang muncul di kancah dunia pada saat itu.Ulama seperti Imam Jalal ad-Dîn as-Suyuthi (w. 911H), telah menulis lebih dari 300 kitab dalam berbagai bidang, Karena itu, dia memperoleh gelar Ibn al-Kutub (Anak Buku); demikian juga Ibn Jauzi (w. 597H) telah menulis lebih dari 500 kitab, karena itu Ia mendapat julukan Syaihk Al-Ummah (Guru Umat).Ibn Sina menuliskan hasil penelitian filosofisnya dalam ratusan karya, di antaranya al-Syifâ` yang terdiri dari 15 jilid yang membahas ilmu-ilmu metafisika, matematika, fisika, dan logika. Karya-karya filosofis lainnya dapat dilihat dari komentar-komentar Ibn Rusyd (w. 1198 M) atas karya-karya Aristoteles dan Plato. Sementara Ibn Haitsam yang di Barat dikenal dengan Alhazen (dari kata al-Hasan, nama depannya) telah menulis sebuah karya besar di bidang optik sebanyak tujuh jilid dengan judul al-Manâzir. Karya-karya tersebut telah banyak menyumbang khazanah intelektual Muslim.65

Ini semua mengisaratkan bahwa peradaban Islam dibangun di atas tradisi keilmuan yang sangat kuat, melalui buah karya yang telah dihasilkan oleh para

65

68 | S T U D I I S L A M I I I

ulama. Maka benar ketika Rasulallah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menegaskan, bahwa ulama itulah pewaris para Nabi, dan warisan itu tidak lain adalah berupa warisan ilmu.

٤اٝبْأَا ١ثزٚ ٤اًُعيا ٕإٚ

.

انمإٚ ،اُّٖزد لاٚ اّزآٜد اٛثٚزَُٜٛ لم ٤اٝبْأَا ٕإٚ

ُٔؾ ،ًِعيا اٛثٖزَٚ

سؾاٚ غبح رخأ ٙرخأ

.

―Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At-Tirmidi, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim

dan Ibnu Hibban)

Tradisi keilmuwan telah mengantarkan umat Islam pada masa keemasan. Eropa menjadi saksi bisu dari kemajuan peradaban Islam kala itu. Renaissance (kebangkitan) Eropa setelah berabad-abad berada dalam kegelapan, tak dipungkiri telah diantar oleh kemajuan sains ilmuan-ilmuan Muslim sebelumnya. Hal itu sebagaimana diakui oleh Sigrid Honka (1913-1999), seorang orientalis Jerman yang moderat. Dia mengatakan: "Setiap rumah sakit dengan management dan labolatoriumnya; setiap apotek dengan sistem penyimpanan obatnya di hari ini, pada hakikatnya adalah cenderamata kejeniusan Arab (Islam).‖ Lebih lanjut Ia mengatakan: "Islam dengan universitas-iniversitas mereka telah menyuguhkan kepada Barat contoh yang hidup dalam mempersiapkan para sarjana yang terlatih dalam berbagi keahlian hidup dan penelitian ilmiah. Universitas-universitas itu dengan strata-strata ilmiah dan pembagian kepakarannya kedalam berbagai fakultas dengan berbagai konsentrasinya telah menyuguhkan kepada Barat percontohan yang sangat mengagumkan‖. Hal yang sama juga dikemukakan oleh George Sarton yang melalui karyanya, Introduction to the History of Science menyebutkan beberapa ilmuwan Muslim yang tidak tertandingi di masa itu oleh seorang pun di Barat. Mereka adalah Jabir ibn Hayyan, al-Kindi, al-Khawarizmi, al-Farghani, al-Razi, Sabit ibn Qurra, al-Battani, al-Farabi, Ibrahim ibn Sinan, al-Mas‘udi, al-Tabari, al-Biruni, Ibn Sina, Ibn Haitam, dan Umar Khayyam. Menurut George Sarton, jika seseorang mengatakan kepada anda bahwa abad pertengahan sama sekali steril dari kegiatan ilmiah, kutiplah nama-nama ilmuwan di atas. Mereka semua

69 | S T U D I I S L A M I I I

hidup dan berkarya dalam periode yang amat singkat, dari 750 hingga 1100 M.66

Ilmuwan lainnya yang secara jujur mengakui konstribusi peradaban Islam ini adalah Tim Wallace-Murphy lewat karyanya What Islam Did for Us: Understanding Islam‟s Contribution to Western Civilization. Ilmuwan Barat tersebut dalam salah satu bab karyanya itu menuliskan The West‟s Debt to Islam (utang Barat terhadap Islam). Dalam tulisannya, Murphy banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada Zaman Pertengahan. Transfer ilmu pengetahuan itu terjadi dengan usaha belajar Barat kepada Islam di antaranya melalui penerjemahan. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dicapai Barat hari ini dengan keunggulan sains dan ipteknya adalah berkat konstribusi umat Islam kepada mereka.67

Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium transformasi sejak awal sekali dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Shuffah. Dari sinilah dan dari murid-murid ashab al-Suffah kemudian lahir generasi ulama dan cendekiawan, baik kalangan sahabat dan tabi‘in yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Menurut Hamid Zarkasy, kelahiran ilmu dalam Islam dibagi ke dalam empat periode. Pertama, turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam. Turunnya wahyu pada periode Makkah merupakan pembentukan struktur konsep dunia dan akhirat sekaligus yang merupakan sebuah struktur konsep tentang dunia (world structure) yang baru. Seperti konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepada-Nya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, hari pembalasan, konsep 'ilm, nubuwwah, dîn, 'ibâdah, dan lain-lain. Sementara turunnya wahyu pada periode Madinah merupakan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme). Itu ditandakan dengan tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, dan sistem hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Periode kedua adalah lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun tersebut mengandung struktur ilmu pengetahuan. Seperti struktur konsep tentang kehidupan, struktur konsep tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual yang terdapat dalam wahyu seperti

66

Armahedi Mahzar dan Yuliani Liputo, Tradisi Sains dan Teknologi dalam Taufik Abdulah, et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th., hlm. 237.

67 Tim Wallace-Murphy, What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization, London: Watkins Publishing, 2006, hlm. 115-127.

70 | S T U D I I S L A M I I I

'ilm, îmân, ushûl, kalâm, nazar, wujûd, tafsîr, ta`wîl, fiqh, khalq, halâl, harâm, irâdah, dan lain-lain mulai dipahami secara intens. Konsep-konsep ini telah memadai untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan, yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar.

Atas dasar framework ini, Hamid menegaskan, maka dapat diklaim bahwa embrio ilmu (sains) dan pengetahuan ilmiah dalam Islam adalah struktur keilmuan dalam worldview Islam yang terdapat dalam Al-Qur`an. Hal ini bertentangan secara diametris dengan klaim para penulis sejarah Islam kawakan dari Barat, seperti De Boer, Eugene Myers, Alfrend Gullimaune, O'Leary, dan banyak lagi yang menganggap sains dalam Islam tidak ada asal-usulnya. Dari kalangan penulis modern mereka adalah Radhakrishnan, Majid Fakhry, W. Montgomery Watt, dan lain-lain.

Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam yang ditunjukkan dengan adanya komunitas ilmuwan. Bukti adanya masyarakat ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuan dalam Islam adalah berdirinya kelompok belajar atau sekolah Ashhâb al-Shuffah di Madinah. Di sini kandungan wahyu dan hadits-hadits Nabi dikaji dalam kegiatan belajar-mengajar yang efektif, yang tentunya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia yang melahirkan tradisi intelektual Yunani. Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya para pakar hadits seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, 'Abdullah ibn Mas'ud, yang kemudian diikuti oleh generasi berikutnya seperti Qadi Syuraih (w. 699), Muhammad ibn al-Hanafiyyah (w. 700), Ma'bad al-Juhani (w. 703), 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz (w. 720), Wahb ibn Munabbih (w. 719/723), Hasan al-Bashri (w. 728), Ghailan al-Dimasyqi (w. 740), Ja'far al-Shadiq (w. 765), Abu Hanifah (w. 767), Malik ibn Anas (w. 796), Abu Yusuf (w. 799), al-Syafi'i (w. 819), dan lain-lain.

Menurut Hamid, framework yang dipakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu adalah kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme). Indikasi adanya kerangka konseptual ini adalah usaha-usaha para ilmuwan untuk menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang rumit dan canggih. Istilah-istilah yang diderivasi dari kosakata Al-Qur`an dan hadits Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam termasuk di antaranya: 'ilm, fiqh, ushûl, ijtihâd, ijmâ', qiyâs, 'aql, idrâk, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqîn, wahy, tafsîr, ta`wîl, 'âlam, kalâm, nutq, zann, haqq, bâtil, haqîqah, 'adam, wujûd, sabab, khalq, khulq, dahr, sarmad, zamân, azal, abad, fitrah, kasb, khair, ikhtiyâr, syarr, halâl, harâm, wâjib,

71 | S T U D I I S L A M I I I

mumkin, irâdah, dan lain sebagainya, menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.

Periode keempat adalah lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam. Dalam hal ini, Hamid dengan mengutip Alparslan, mengemukakan bahwa kelahiran disiplin ilmu-ilmu Islam tersebut melalui tiga tahap, yaitu: (1) Tahap problematik (problematic stage) yaitu tahap di mana berbagai problem subjek kajian dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian tertentu. (2) Tahap disipliner (disciplinary stage) yaitu tahap di mana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan sesuai dengan bidang masing-masing. (3) Tahap penamaan (naming stage), pada tahap ini bidang yang telah memiliki materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.68

Seperti telah dijelaskan di atas oleh Hamid Fahmy Zarkasyi berkaitan dengan framework Islam yang mampu melahirkan embrio ilmu (sains), dalam praktik nyatanya umat Islam memang tidak hanya melakukan pengkajian dan pengembangan dalam bidang al-„ulûm al-syar‟iyyah saja, akan tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan secara umum. Hal ini dapat juga dipahami karena Al-Qur`an memberikan perhatian yang banyak pada hal-hal yang berkenaan dengan fenomena alam, sejarah, sosial dan hidup bermasyarakat, politik dan masalah kenegaraan.69

Dapat ditegaskan bahwa peradaban Islam di masa lalu dibangun di atas tradisi ilmu yang berdasarkan konsep-konsep seminal dalam Al-Qur‘an dan Sunnah. Konsep-konsep itu kemudian ditafsirkan, dijelaskan dan dikembangkan menjadi tradisi intelektual yang mampu melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu untuk membangun kembali peradaban Islam ke depan, kata kuncinya adalah dengan ilmu pengetahuan, yakni dengan membangun tradisi Iqra yang dipandu dengan wahyu, karena tradisi ilmu yang tidak dipandu oleh wahyu akan melahirkan peradaban yang sekuler, sedangkan tradisi ilmu yang dipandu oleh wahyu akan melahirkan peradaban Islami yang kaffah. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur‘an surat Ibrahim ayat 24-25.

68

Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. II No. 5, April-Juni 2005, hlm. 9-18.

69

72 | S T U D I I S L A M I I I

ٔ٤آَُٖطيا ٞٔؾ اَُٗعِسٜؾَٚ ْتٔباَث اًَِٗٝصٜأ ٕ١َبٜٚٝط ٕ٠َسَحَػٜن ٟ١َبٜٚٝط ٟ١ًَُٜٔن ٟلاَثََ ٝللها َبَسَض َـِٜٝن َسَت ِِٜيٜأ

ٞٔتِؤُت

ٔب ٣ينٔذ ٌٖٝن اًَٜٗٝنٝأ

َُٕٚس٤نَرَتَٜ ُِِٗ٤ًَعٜي ٢عآًٖٔي ٍَاَثَِٜأَٞا ٝللها ُب٢سِطََٜٚ اَٗٚبَز ٢ِٕذ٢إ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”

(QS. Ibrahim: 24-25)

Dalam ayat di atas, tampak jelas dan nyata bahwa peradaban Islam disimbolkan dengan sebuah pohon yang kokoh. Yang didasarkan atas kalimat thoyyibah (kalimat yang baik) yang merupakan epistemologi Islam yang menjadi sumber kajian peradaban Islam. Sedangkan ashluha tsabitun (akarnya teguh) bersifat absolut, artinya peradaban Islam tidak berubah-ubah dan akan selalu kokoh, dan far‘uha fissama‘ (cabangnya ke langit) sebagai gambaran bahwa tidak ada yang mampu menandingi ketinggian peradaban Islam.

73 | S T U D I I S L A M I I I

BAB IV