• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH ORIENTALISME

Sebenarnya, telah beratus tahun lalu, kaum Yahudi dan Nasrani di Barat telah melakukan pengkajian terhadap Islam, dengan tujuan untuk memahami seluk beluk Islam dan kaum Muslim. Sejak lama mereka telah mengumpulkan kitab-kitab dan manuskrip karya ulama Islam, mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat. Tujuan mereka pada umumnya sangat jelas, yaitu untuk memahami Islam, sehingga mereka lebih mudah dapat menaklukkan kaum Muslim.

Dalam bukunya, Al-Mustasyriquna wa al-Tarikhul Islam, Prof. Dr. Ali Husny al-Kharbuthly, Guru Besar di Universitas Ain Syams, Mesir, mencatat, ada tiga tujuan kaum Orientalis dalam melakukan studi Islam, yaitu: (1) Untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam, (2) Untuk kepentingan penjajahan, (3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata. 79

Sejak Perang Salib berlangsung mulai tahun 1095, ada sebagian tokoh Kristen yang menilai Perang Salib merupakan cara yang tidak tepat untuk menaklukkan kaum Muslim. Salah satu tokoh terkenal adalah Peter The Venerable atau Petrus Venerabilis (1094-1156M). Peter adalah tokoh misionaris Kristen pertama di dunia Islam, yang merancang bagaimana menaklukkan umat Islam dengan pemikiran, bukan dengan senjata. Ketika itu, ia seorang kepala Biara Cluny, Perancis – sebuah biara yang sangat berpengaruh di Eropa Abad Pertengahan.

Sekitar tahun 1141-1142, Peter mengunjungi Toledo, Spanyol. Di situ ia menghimpun sejumlah cendekiawan untuk menerjemahkan karya-karya kaum Muslim ke dalam bahasa Latin. Terjemahan itu akan digunakan sebagai bahan untuk misionaris Kristen terhadap dunia Islam. Salah satu sukses usaha Peter adalah terjemahan Al-Qur‘an dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton (selesai tahun 1143), yang diberi judul, ‗Liber Legis Saracenorum quem Alcorant Vocant‟ (Kitab Hukum Islam yang disebut Qur‘an). Inilah terjemahan pertama Al-Qur‘an dalam bahasa Latin, yang selama beratus-ratus tahun menjadi rujukan

79

80 | S T U D I I S L A M I I I

kaum Kristen di Eropa dalam melihat Islam. Barulah pada tahun 1698, Ludovico Maracci, melakukan kritik terhadap terjemahan Robert of Ketton dan menerjemahkan Al-Qur‘an sekali lagi ke dalam bahasa Latin dengan judul “Alcorani Textus Receptus”.

Menurut Peter Venerabilis, pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu dilakukan oleh kaum Kristen, agar mereka dapat membaptis pemikiran kaum Muslimin. Jadi, kaum Muslim bukan saja perlu dikalahkan dengan ekspedisi militer, melainkan juga harus dikalahkan dalam pemikiran mereka. Di tengah berkecamuknya Perang Salib, Peter membuat pernyataan: ―...aku menyerangmu, bukan sebagaimana sebagian dari kami [orang-orang Kristen] sering melakukan, dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan, namun dengan pikiran; bukan dengan kebencian, namun dengan cinta.” (But I attack you not, as some of us [Christians] often do, by arms, but by words; not by force, but by reason; not in hatred, but in love…).

Petrus Venerabilis mengajak orang Islam ke jalan keselamatan Kristen dengan cara mengalahkan pemikiran Islam. Ia berangkat dari kepercayaan Kristen bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Islam, menurutnya, adalah sekte kafir terkutuk sekaligus berbahaya (execrable and noxious heresy), doktrin berbahaya (pestilential doctrine), ingkar (impious) dan sekte terlaknat (a damnable sect); dan Muhammad adalah orang jahat (an evil man).

Selain menugaskan para sarjana Kristen menerjemahkan naskah-naskah bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, Peter juga menulis dua buku yang menyerang pemikiran Islam. Tentang Qur‘an, Peter menyatakan, bahwa Al-Qur‘an tidak terlepas dari para setan. Setan telah mempersiapkan Muhammad, orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture). 80

Strategi Peter Venerabilis ini kemudian menjadi rujukan kaum misionaris Kristen terhadap kaum Muslimin. Henry Martyn, tokoh misionaris berikutnya, juga membuat pernyataan,

“Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta.”

Hal senada dikatakan tokoh misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya

80 Riset yang serius tentang Peter Venerabilis ini bisa dibaca dalam buku Adnin Armas, Metodologi Bibel

81 | S T U D I I S L A M I I I

dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.‖

Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (edisi pertama tahun 1907). Buku yang berisi resep untuk menaklukkan dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen. Zwemmer menyebut bukunya sebagai, ―Studies on the Mohammedan religion and the needs and opportunities of the Mohammedan World From the standpoint of Christian Missions”.

Di akhir penjelasannya tentang Al-Qur‘an, Zwemmer mencatat: “In this respect the Koran is inferior to the sacred books of ancient Egypt, India, and China, though, unlike them, it is monotheistic. It can not be compared with the Old or the New Testament.” (Dalam masalah ini, Al-Qur‘an adalah inferior dibandingkan dengan buku-buku suci Mesir Kuno, India, Cina. Meskipun, tidak seperti mereka, Al-Qur‘an adalah monoteistik. Ini tidak bisa dibandingkan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru).81

81

82 | S T U D I I S L A M I I I

Strategi penaklukan Islam melalui pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh para orientalis Barat. Sebagian dari mereka memang membawa semangat lama kaum misionaris, sebagian lagi melakukannya untuk kepentingan penjajahan (kolonialisme) dan sebagian lagi bermotifkan semata-mata untuk kajian ilmiah. Kini, setelah beratus-ratus tahun, kaum Orientalis telah berhasil meraih sukses besar dalam bidang studi Islam. Bukan saja mereka berhasil mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat dan menerbitkan ribuan buku tentang Islam, tetapi mereka juga berhasil menghimpun literatur-literatur Islam dalam jumlah yang sangat besar. Usaha-usaha mereka selama berabad-abad ini bisa dipahami, sebab Islam adalah satu-satunya agama yang secara tegas memberikan kritik-kritik yang mendasar terhadap basis kepercayaan Yahudi dan Nasrani. Hanya Al-Qur‘an-lah, satu-satunya Kitab Suci yang memberikan kritik-kritik tajam dan mendasar terhadap dasar-dasar kepercayaan agama Yahudi dan Kristen. 82

Tantangan besar yang diakibatkan oleh kaum orientalis diantaranya juga dalam bidang studi agama-agama, dengan mengembangkan epistemologi relativisme dalam memandang kebenaran agama-agama. Selama ratusan tahun, para ulama Islam telah mengembangkan studi perbandingan agama, yang berangkat dari keimanan Islam, bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang benar dan yang diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala. (QS 3:19, 85).

Metodologi studi semacam itu kini digugat, dipandang subjektif, menerapkan standar ganda, dan tidak objektif. Sarjana Muslim kini banyak yang mengambil metodologi para orientalis dalam studi agama-agama dengan menempatkan Islam sebagai objek kajian dan penelitian yang sejajar dengan semua agama yang ada.

Prof. Jacques Waardenburg menyatakan: ―Saya ingin menunjuk dua problem mendasar bagi berkembangnya studi agama-agama di dunia Islam. Problem yang pertama adalah sebuah adagium bahwa Islam adalah agama yang final dan benar.‖ Prof. Wilfred Cantwell Smith, pendiri Islamic Studies di McGill

82 Prof. SMN al-Attas mencatat dalam buku terkenalnya, Islam and Secularism: ―The confrontation between Western culture and civilization and Islam, from the historical religious and military levels, has now moved on to the intellectual level; and we must realize, then, that this confrontation is by nature a historically permanent one. Islam is seen by the West as posing a challenge to its very way of life; a challenge not only to Western Christianity, but also to Aristotelianism and the epistemological and philosophical principles deriving from Graeco-Roman thought which forms the dominant component integrating the key elements in dimensions of the Western worldview.‖ (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), hal.105.

83 | S T U D I I S L A M I I I

University menyatakan: ―Pernyataan tentang suatu agama tidaklah valid kecuali benar-benar diakui oleh pemeluk agama tersebut.‖83

Perubahan metodologi studi agama-agama di Perguruan Tinggi dengan memasukkan metode orientalis sudah dilakukan sejak tahun 1973. Berdasarkan hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit Bandung, Departemen Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (IDBA) karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai buku wajib rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam, mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN. Tokoh utama dalam hal ini adalah Prof. Dr. Harun Nasution. Karena ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang menjadi penaung dan penanggung jawab IAIN-IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu pun dijadikan bahan kuliah dan bahan ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.

Pada tanggal 3 Desember 1975, mantan guru besar di McGill University Prof. HM Rasjidi, yang juga Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya:

―Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.84

Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun. Maka, tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.

83

Dikutip dari artikel Dr. Anis Malik Thoha, ―Religionswisenschaft, antara Obyektivitas dan Subyektivitas Praktisinya‖, Majalah Islamia edisi 8/2006)

84 HM Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‗Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya‘, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal 13.

84 | S T U D I I S L A M I I I

Nasehat Prof. Rasjidi sangat penting untuk direnungkan saat ini, mengingat buku IDBA karya Harun Nasution itu memang penuh dengan berbagai kesalahan fatal, baik secara ilmiah maupun kebenaran Islam. Misalnya, tentang hadis Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, Harun menulis: ―Berlainan halnya dengan Al-Qur‘an, hadis tidak dikenal, dicatat, tidak dihafal di zaman Nabi… Karena hadis tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat… tidak ada kesepakatan kata antara umat Islam tentang keorisinilan semua hadis dari Nabi.‖85

Sekilas saja mencermati kata-kata tersebut, jelas sangat keliru, sebab banyak sahabat yang sejak awal sudah mencatat dan menghafal hadis Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Juga, tidak benar, bahwa umat Islam tidak pernah bersepakat tentang otentisitas hadits Nabi. Kata-kata Harun itu jelas hanya upaya meragu-ragukan hadis Nabi sebagai pedoman kaum Muslim setelah Al-Qur‘an. Sebenarnya, tidaklah benar, hadis Nabi sejak awal tidak dicatat oleh para sahabat. Prof. Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge, berjudul ―Studies in Early Hadith Literature‖ membuktikan proses pencatatan hadis sejak zaman Nabi, disamping proses hafalannya.

Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan tentang agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain, yang merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical dan cultural religion). Harun menyebut agama-agama monoteis – yang dia istilahkan juga sebagai ‗agama tauhid‘ ada empat, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama, kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini. Tetapi, Harun menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Kemurnian tauhid agama Kristen dengan adanya faham Trinitas, sudah tidak terpelihara lagi.86

Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi merupakan agama tauhid murni, mengapa dalam Al-Qur‘an dia dimasukkan kategori kafir Ahlul Kitab? Kesimpulan Harun itu jelas sangat

85 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, cet. ke-6, 1986), Jld 1, hal.29.

86

85 | S T U D I I S L A M I I I

mengada-ada. Sejak lama Prof. HM Rasjidi sudah memberikan kritik keras, bahwa: ―Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian ilmiyah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin dipudarkan keimanannya.‖87

Tetapi, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh petinggi Depag dan IAIN, sehingga selama 32 tahun, buku IDBA dijadikan buku wajib dalam mata kuliah pengantar Studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Padahal, kesalahannya begitu jelas dan fatal. Malah, bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan yang memuji-muji Harun Nasution secara tidak proporsional.88

Kini, metode kajian agama yang berbasis pada epistemologi relativisme kebenaran dikembangkan di berbagai kampus Islam. Sadar atau tidak. Sebagai contoh, sebuah buku berjudul ―Ilmu Studi Agama‖ untuk mahasiswa Fakultas Ushuluddin di UIN Bandung, ditulis:

―Setiap agama sudah pasti memiliki dan mengajarkan kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. (hal. 17)…Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain, dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah, terjadi perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu agama atas agama lain. (hal. 24) … Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif. (hal. 20).89

Dampak penggunaan epistemologi relativisme dalam pendekatan studi agama – dengan menghilangkan aspek keyakinan pada kebenaran agamanya sendiri – sangatlah besar dalam cara pikir dan cara pandang terhadap kebenaran. Epistemologi relatif ini telah cukup luas menyebar, sehingga banyak yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, semuanya jalan menuju kebenaran, dan jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Padahal,

87

HM Rasjidi, op.cit, hal.24.

88 Lihat, Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional, (Ciputat Press, 2005), hal.xvi-xvii.

89

86 | S T U D I I S L A M I I I

sebagaimana telah dikutip pernyataan penyair terkenal Pakistan, Moh. Iqbal, bahwa jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan (Lack of conviction is worse than slavery).

Karena itu, di tengah tantangan dan arus besar studi agama-agama yang berbasiskan pada relativisme epistemologis ini, para sarjana Muslim perlu mengkaji masalah ini dengan serius. Apalagi, kini berbagai negara-negara Barat – baik secara langsung maupun melalui LSM-LSM-nya seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation– sangat bersemangat untuk melakukan reformasi Islam, mengubah Islam, membentuk Islam baru, dengan memberikan dukungan kepada usaha-usaha liberalisasi Islam, penyebaran paham Pluralisme Agama, dekontsruksi Islam, dekontsruksi syariah, dan sebagainya.90

90

David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka kampenye untuk –bukan hanya mengubah masyarakat Muslim – tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS). (Washington

is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself…The white house has approved a classified strategy, dubbed Muslim world Outreach, that for the first time states that the US has a national security interest in influencing what happens within Islam… In at least two dozen countries, Washington has quietly funded Islamic radio, tv shows, coursework in Muslim schools, Muslim think tanks, political workshops, or other programs that promote moderate Islam). (David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars,

87 | S T U D I I S L A M I I I

BAB VI