• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tokoh Hermeneutika

KRITIK TERHADAP HERMENEUTIKA

E. Tokoh Hermeneutika

Diantara para tokoh penggagas hermeneutika yang paling popular, dan dijadikan rujukan oleh para aktifis Islam Liberal di Indonesia, mereka adalah: 1. Muhammad Shahrur218

Shahrur lahir di Syria. Ia aktif berkarya dalam pemikiran Islam meskipun dengan modal latar belakang pendidikan sebagai insinyur sipil dan doktor mekanika tanah dan teknik bangunan.

Metodologi interpretasi Shahrur mengakibatkan dekontruksi metodologi fikih. Pandangan teologisnya bisa dilihat dari beberapa pemikiran berikut:

a. Karena teks Al-Qur‘an sendiri adalah wahyu dan mukjizat, berarti mengajarkan bahwa manusia harus bergantung kepada akal dan tidak diperlukan lagi wahyu atau mukjizat lebih lanjut. Intinya adalah interpertasi yang berubah (berkembang), nash yang tsabit, dan relativitas pemahaman. Kedinamisan dalam menginterperetasikan itulah yang Shahrur sebut sebagai mukjizat yang dibuat manusia.

218

Lebih jauh tentang pemikiran Shahrur dan bantahannya lihat “Tela’ah Kritis ‘Pembaharuan’ Tafsir

Ayat-Ayat Hukum M. Shahrur”, Mahasiswa Pasca Sarjana ISID-Gontor, dalam Jurnal Islamia, Vol. VI, No. 1, 2012,

165 | S T U D I I S L A M I I I

b. Memandang Al-Qur‘an sebagai makhluk, bukan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia berargumentasi keyakinan ini akan melahirkan pemahaman teks dengan metode lain.

c. Terdapat ragam istilah yang digunakan untuk Al-Qur‘an. Ragam istilah tersebut menuntut ragam makna dan maksud, karena menurutnya tidak ada sinonim dalam Al-Qur‘an.

d. Sunnah Nabi bukanlah wahyu kedua setelah Al-Qur‘an. Bahkan menurutnya, meyakini sunnah qauliyah sebagai wahyu kedua adalah bentuk penyekutuan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia menegasikan sunnah sebagai wahyu.

e. Shahrur membedakan iman kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai nabi yang membawa misi kenabian, dan sebagai rasul yang membawa misi kerasulan. Misi kerasulan meliputi tiga hal, yaitu (1) ritual-ritual, seperti shalat, zakat, dan lain-lain, (2) akhlak, dan (3) perundang-undangan atau ayat-ayat hukum. Untuk misi kerasulan yang ketiga, Shahrur menyimpulkan bahwa untuk menentukan hukum-hukum yang terkandung dalam perundang-undangan atau ayat-ayat hukum, manusia sekarang jauh lebih matang, karena pada masa nabi merupakan fase pembentukan risalah, sedang manusia-manusia sekarang adalah fase sesudah pembentukan nurani.

f. Mengenai konsep iman dan Islam atau mukmin dan muslim. Shahrur berpandangan bahwa Islam mendahului iman. Islam atau muslim tidak hanya digunakan untuk pengikut nabi Muhammad saja, tetapi umat yang lain juga. Mukmin adalah julukan bagi orang-orang yang mengikuti contoh nabi dalam ritual-ritual seperti shalat.

2. Mohammed Arkoun219

Arkoun berpandangan bahwa banyak hal yang terdapat dalam Islam yang unthinkable (tak terpikirkan) karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Sebagai contohnya adalah mushaf Utsmani yang ia anggap sebagai representasi unthinkable. Arkoun menganjurkan freethinking (berpikir liberal) untuk mengubah unthinkable menjadi thinkable. Ia beralasan bahwa freethinking merupakan respon terhadap dua kebutuhan utama, pertama, umat Islam perlu memikirkan masalah-masalah yang tak terpikirkan sebelumnya dan kedua, umat

219Lebih tentang pemikiran Arkoun dan bantahannya lihat “Kritik Terhadap ‘Kritik Nalar Islam’ Arkoun”, Irwan Malik Marpaung, dalam Jurnal Islamia, Vol. VI, No. 1, 2012, hal. 83-95.

166 | S T U D I I S L A M I I I

Islam Islam perlu membuka wawasan baru melalui pendekatan sistematis lintas budaya terhadap masalah-masalah fundamental.

Dalam konteks Al-Qur‘an, Arkoun melihat bahwa penolakan umat Islam terhadap biblical criticism karena alasan politis dan psikologis. Alasan politis karena mekanisme demokratis belum berlaku dan psikologis karena pandangan ―khalq al-Qur‟ân‖ Mu‘tazilah tertolak.

Arkoun juga membagi wahyu menjadi dua tingkatan:

a. Umm al-kitâb. Wahyu jenis ini berada di Lauh Al-Mahfûzh, bersifat abadi, tak terikat waktu dan mengandung kebenaran tertinggi

b. Apa yang disebut Arkoun sebagai wahyu edisi dunia (terrestres edition). Termasuk dalam wahyu ini adalah Al-Qur‘an dan Bibel. Menurutnya wahyu edisi dunia ini telah mengalami modifikasi, revisidan substitusi. Selain itu, Arkoun juga membagi sejarah Al-Qur‘an dalam tiga periode: a. Masa Prophetic Discourse (610-632 M). Al-Qur‘an periode ini lebih suci

dan otentik dibanding periode-periode lain. Sebabnya Al-Qur‘an periode ini berbentuk lisan yang terbuka untuk semua arti yang mungkin.

b. Masa Official Closed Corpus (12-324 H/632-936 M). Arkoun berpendapat bahwa Al-Qur‘an di masa ini telah tereduksi dari al-kitâbal-mûhâ menjadi tak lebih dari buku biasa. Karena itu mushaf menurutnya tak patut untuk disucikan.

c. Masa Ortodoks (324 H/936 M) 3. Nasr Hamid Abu Zayd220

Jika Arkoun menggunakan pendekatan historis terhadap Al-Qur‘an, Nasr Hâmid Abû Zaid memilih untuk mengaplikasikan metode analisis teks bahasa-sastra. Abû Zaid berpijak pada pendapat bahwa Al-Qur‘an walaupun ia merupakan kalam Ilahi, namun Al-Qur‘an menggunakan bahasa manusia. Karena itu ia tak lebih dari teks-teks karangan manusia biasa.

Menurut Abû Zaid, Al-Qur‘an telah terbentuk oleh realitas dan budaya Arab selama kurang lebih 20 tahun. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa Al-Qur‘an merupakan produk budaya (muntaj tsaqâfî). Al-Al-Qur‘an yang terbentuk melalui realitas, budaya dan terungkapkan dalam bahasa menjadikan Al-Qur‘an

220 Lebih jauh tentang pemikiran Shahrur dan bantahannyalihat “Kritik Terhadap al-Qur’an Nasr Hamid

167 | S T U D I I S L A M I I I

sebagai teks bahasa. Sedang realitas,budaya dan bahasa itu sendiri tak lepas dari sisi historis yang melingkupinya, karena itu Al-Qur‘an juga merupakan teks historis. Ia juga mengkritik paradigma penafsiran yang dipakai oleh para ulama,menurutnya muatan metafisis yang selalu tercamkan dalam benak mereka tidak mendorong pada sikap ilmiah.

168 | S T U D I I S L A M I I I

BAB XIII