• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM DAN PERADABAN

A. Islam dan Adab

42Lihat, misalnya, surat: Al-Baqarah: 41, 91, 97; Ali ‘Imran: 3, 39, 50; Al-Nisa’: 47; Al-Ma’idah: 46, 48; Fathir: 31; Al-Ahqaf: 30; Al-Shaff: 6.

59 | S T U D I I S L A M I I I

Masalah yang mendasar yang sedang dihadapi umat sekarang ini adalah masalah ilmu dan adab. Ilmu sudah mulai dijauhkan, bahkan dihilangkan dari nilai-nilai adab dalam arti luas. Akibatnya, terjadilah suatu keadaan yang oleh Al-Attas disebut the loss of adab (hilangnya adab). Efek buruk dari fenomena ini adalah terjadinya kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan, yang selanjutnya menciptakan ketiadaan adab dari masyarakat. Hasil akhirnya adalah ditandai dengan lahirnya para pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin umat, melainkan juga tidak memiliki akhlak yang luhur dan kapasitas intelektual dan spiritual mencukupi, sehingga itu semua akan membawa kerusakan dipelbagai sektor kehidupan, baik kerusakan individu, masyarakat, bangsa dan negara.43

Dalam Islam, ilmu dan adab adalah dua hal yang saling terintegrasi, yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Keduanya ibarat sebuah koin yang tak terpisahkan, di mana kebermaknaan yang satu tergantung pada yang lainnya.44 Ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa buah, adab tanpa ilmu ibarat orang yang berjalan tanpa petunjuk arah.45 Dengan demikian ilmu dan adab harus bersinergi, tidak boleh dipisah-pisahkan. Berilmu tanpa adab adalah dimurkai (al-maghdhubi alaihim), sementara beradab tanpa ilmu adalah kesesatan (al-Dhallin). Oleh karena itu, Islam selalu mendorong umatnya agar senantiasa menjadi manusia berilmu dan beradab. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadist berikut ini,

٘تبدأَ َٔ اًُٛعتؾ ضزأَا ٢ؾ للها ١بدأَ ٕآسكيا ارٖ ٕإ

―Sesungguhnya Al-Qur‘an ini adalah hidanganAllah di muka bumi, oleh karena itu belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya.‖46

43 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hlm. 117-118. Bandingkan dengan terjemahan Karsidjo Djowosuwarno, Islam dan Sekularisme SMN Al-Attas, Bandung: Penerbit Pustaka, 1981 hlm. 148-149, dan terjemahan Institute Pemikiran Islam dan Pembangunan Islam, Islǎm dan Sekularisme, Bandung: PIMPIN, 2010, hlm. 132. Al-Attas mengatakan sebagai berikut:

1. Confusion and error in knowledge, creating the condition for:

2. The loss of adab within the Community. The condition arising out of (1) and (2) is:

3. The rise of leaders who are not qualifield for valid leadership of the Muslim community, who do not possess the high moral, intellectual and spiritual standards required for Islamic leadership, who perpetuate the condition in (1) above and ensure the continued control of the affairs of the Community by leaders like them who dominate in all field.

44

Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,2000,hlm.1

45

Hisyam Ibn Abd Malik, Al-A’laqah Baina Al-Ilm Wa Al-Suluk, Riyadl: Jami’ah Muhammad Ibn Sa’ud,2009,hlm.21

46

60 | S T U D I I S L A M I I I

بيٜدأت ٔطذأؾ ٞبز نيبدأ

―Tuhanku telah mendidikku, dan telah membuat pendidikanku itu sebaik-baiknya.‖47

عاصب مدصتٜ ٕأ َٔ ْيرخ ٙديٚ ٌجسيا بدؤٜ ٕأَ

―Sungguh jika seorang ayah mendidik anaknya, maka hal itu lebih baik baginya dari pada sedekah satu sho‘.‖48

ِندلاٚأ اَٛسنأ

ِٗبدأ اٛٓطذأٚ

―Muliakan anak-anak kalian, dan perbaiki adab mereka.‖49

ٕدِعَض ٢َٔٓب ٢ٔؾ َُ ٞأَػََْٚ ٢ٚبَز ٢َٔٓبٖدٜأ

―Tuhanku telah mengajariku dan aku tumbuh besar di kalangan Bani Sa‘ad.‖50

٣َٔطَذ ٕبَدٜأ َِٔٔ اّسَِٝخ اّدٜيَٚ ْدٔياَٚ َثَزَٚ اََ

‗Tidak ada warisan yang lebih baik daripada pendidikan adabyang baik.‘‖

(HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath)51

ُُِٙٚسُحَِٗت ٜلاٜؾ ُٕآِسٝكٞيا ٔللها َبَدٜأ ٖٕ٢إَٚ َُ٘تَبَدٞأََ َٞٔتِؤُت ِٕٜأ ٗبٔرُٜ ٕبٔدِؤَُ ٌٗٝن

‖Setiap pendidik akan menyukai diberikan alat mendidik, dan sesungguhnya pendidikan dari Allah itu adalah Al-Qur‘an, maka janganlah kalian menjauhinya.‖52

47

Lihat Al-Suythí, al-Jâmi’ al- Shaghír fí Ahâdís al-Basyír al-Nazír Cet. I; al-Qâhirah: Dâr al-Fikr, t.t, hlm. 14

48 HR.Tirmidzi, no.1951

49

HR. Ibn Majah, no.1763

50

Jami’ al-Ahadits, Vol. II, hlm. 88, hadits no. 960 (dalam Maktabah Syamilah)

51 Al-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Ausath, Vol. XIII, hlm. 335, hadits no. 38000 (dalam Maktabah Syamilah)

52

61 | S T U D I I S L A M I I I

Dari keterangan hadist-hadist di atas tampak jelas urgensi adab dalam kehidupan, karena pada dasarnya adab merupakan pilar dari segala kebaikan. Lebih dari itu, adab juga merupakan inti dari ilmu nafi‘ yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu nafi‟ ini adalah ilmu yang pernah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam agar diminta dan dicari setiap saat. Allah Jalla wa „Alaa berfirman kepada Nabi-Nya,

اًُّٞٔع ِْٞٔد٢ش ٓٔبَز ٌِٝقَٚ

“Dan katakanlah, wahai Robbku tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Thoha:

114)

Melalui ayat ini, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam diperintahkan untuk senantiasa memohon kepada Allah tambahan ilmu yang bermanfaat. Ibn Uyainah berkata: ―Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak henti-hentinya memohon tambahan ilmu nafi‘ kepada Allah sampai beliau wafat‖.53 Ibn Katsir menambahkan, bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah diperintahkan untuk meminta tambahan apapun kecuali tambahan ilmu nafi‟ ini, oleh karena itu Rasulullah senantiasa istiqamah melantunkan do‘a ilmu nafi sebagaimana berikut ini:

٤ًيا " :ٍُٛٝكَٜ َِ٤ًَضَٚ ًَِٜٔ٘ٝع ُ٘٤ًيا ٢٤ًَص ٔ٘٤ًيا ٍُُٛضَز َٕاٜن :ٍَاٜق ، َُِ٘ٓع ُ٘٤ًيا َٞٔضَز ، ٜ٠َسَِٜسُٖ ٞٔبٜأ ِٔع

ُِٖٗ

٣ٍاَذ ٌٚٝن ٢ًَٜع ٔ٘٤ًٔي ُدَُِرٞياَٚ ، اًُّٞٔع ِْٞٔد٢شَٚ ، ُٞٔٓعٜؿَِٜٓ اََ ًَُِِّٞٔٓعَٚ ، َٞٔٓتُِ٤ًَع أَُب ِٞٔٓعٜؿِْا

َٚ

ُذُٛعٜأ

٢زآٖيا ٢ٌِٖٜأ ٢ٍاَذ َِٔٔ ٔ٘٤ًيأب

―Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam senantiasa membaca do‘a: ―ya Allah berikanlah manfaat terhadap apa yang telah engkau jarkan kepadaku, dan ajari aku apa yang bermanfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu, segala puji hanya milikmu atas segala keaadaan, dan aku berlindung dari perilaku ahli neraka.‖ (HR. Tirmidzi dan Bazzar)54

Ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi‟) akan mendatangkan iman. Realisasi iman akan membawa pada amal shaleh. Integrasi keduanya akan membawa ke jalan yang lurus (sirath mustaqim). Dengan demikian, bila ilmu didapatkan akan tetapi

53 Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Dar Al-Thaibah, 2002, Vol.5, hlm.319

54

62 | S T U D I I S L A M I I I

tidak diikuti dengan amal shaleh, bisa digolongkan kepada ilmu yang tidak bermanfaat (ghairu nafi‟) dan bahkan termasuk dalam perbuatan munafik atau seperti perbuatan Yahudi yang dilaknat (al-maghdub alaihim).

Amal tanpa ilmu akan mendatangkan kesesatan sebagaimana orang-orang Nasrani (al-dhallin). Inilah makna dari firman Allah: Ihdinasshirathal mustaqim, shirathalladzina an‟amta alaihim ghairil maghdhubi alaihim waladhallin. (Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-arang yang telah engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan pula jalan orang yang sesat). Dan juga firman Allah: “Bahwasanya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153).55

Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada umatnya agar belajar ilmu nafi‟ (ilmu bermanfaat) dan meninggalkan ilmu yang ghairu nafi‘ (tidak manfaat), sebagaimana terdapat dalam sabdanya:

ُعٜؿَِٜٓ اٜي ٣ًِٞٔع َِٔٔ ٔ٘٤ًيأب اُٚذَٖٛعَتَٚ اّعٔؾاَْ اًُّٞٔع َ٘٤ًيا اًَٛٝض

Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.56

Ilmu yang bermanfaat selanjutnya akan mendatangkan rasa takut kepada Allah (khasyah) sehingga dapat mendekatkan pemiliknyakepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan pemiliknya disebut alim atau ulama.Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS.Al-Fathir: 28

٢صَع َ٘٤ًيا ٖٕ٢إ ُ٤اًَُُٜعٞيا ٔٙٔداَبٔع َِٔٔ َ٘٤ًيا ٢َػِدَٜ اَُْٖ٢إ

ْزٛٝؿٜغ ْصٜ

“Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah dari hambanya adalah para ulama (orang yang berilmu), sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun.”

(QS. Al-Fathir: 28)

Menurut Ibn Jauzi ayat ini mengindikasikan bahwa ilmu yang bermanfaat akan mendatangkan khasyah (takut) kepada Allah, di mana pemiliknya senantiasa mengakui keagungan Allah, sehingga melahirkan tahqiq ubudiyah yaitu ketundukan dan penghambaan kepada-Nya. Sebaliknya ilmu yang tidak

55 Ibn Jauzi, Zad Al-Masir, Vol.I, hlm. 16,

56

63 | S T U D I I S L A M I I I

mendatangkan khasyah, tidak bisa disebut sebagai ilmu yang bermanfaat, dan pemiliknya tidak masuk dalam kategori alim. 57

Imam Syafi‘i, lebih lanjut membuat sebuah kaedah yang terkenal yaitu “laisal ilm makhufidza walakin Al-Ilm ma nafa‟a”. Artinya, tidaklah disebut ilmu, apa yang hanya dihapal, tetapi ilmu adalah apa yang diaktualisasikan dalam bentuk adab yang akan memberikan manfaat.58

Kaedah Imam Syafi‘i tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Hubaib ibn Syahid ketika memberikan nasihat kepada putranya:

عتٚ ٤اًُعيا ٚ ٤اٗكؿيا برصا ، نيباٜ

َٔ يرثن َٔ ٖٞيإ بذأ ويذ ٕإؾ ،ِٗبدأ رخٚ َِٗٓ ًِ

.ثٜدلحا

―Hai anakku, bergaullah (ikuti dan temani terus) dengan para ahli fiqih dan ulama, belajarlah dari mereka, dan ambil adab (pendidikan akhlak) dari mereka! Karena hal itu lebih aku sukai daripada hanya sekedar memperbanyak hadits.‖59

Hasyim Asy‘ari dalam karyanya “Adab Al-Alim Wa Al-Muta‟allim” merumuskankaedah penting akan urgensinya ilmu dan adab ”at-Tawhidu yujibul imana, faman la imana lahula tawhida lahu;wal-imanu yujibu al-syari‟ata, faman la syari‟ata lahu, la imana lahu wa la tawhida lahu; wa al-syari‟atu yujibu al-adaba, faman laadaba lahu, la syari‟ata lahu wa la imana lahu wa la tawhida lahu.” Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.60

Pentingnya ilmu dan adab dalam tradisi intelektual Islam, telah mendorong perhatian para ulama salaf untuk melahirkan sebuah karya abadi tentang konsep ilmu dan adab, dengan kajian yang mendalam dan komprehensip. Misalnya, Imam Bukhari (194-256) menulis tentang Adab Mufrad, Ibn Sahnun (202-256H) menulis Risalah Adab Mua‟llimin,

57 Ibn Jauzi, Zad Al-Masir, Vol.VI, hlm.486

58

Ibn Jama’ah, Tadzkirah Sami’ Wa Mutakallim Fii Adab A’lim Wa Muta’alim, Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyah, 1983, hlm.48

59 Abd al-Amir Syams ad-Din, Al-Madzhab at-Tarbawiy ‘inda Ibn Jama’ah, Beirut: Dar Iqra`, 1984, hlm. 62

60

64 | S T U D I I S L A M I I I

Rummani (w. 384 H) menulis tentang adab Al-Jadal, Al-Qabisi (324-403 H) menulis tentang Risalah Mufashilah Li Ahwal Muta‟allimin Wa Ahkam Mu‟Allimin Wa Muta‟allimin, Mawardi (w.450 H) menulis tentang Adab Al-Dunya Wa Al-Din dan Adab Al-Wazir, Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463H) menulis tentang Al-faqih Wa Al-Mutafaqih, Al-Ghazali (450-505 H) menulis Kitab Al-Ilm, Fatihah Al-Ulum dalam Ihya Ulum Al-Din, Al-Sam‘ani (506-562 H) menulis Adab Al-Imla‟ Wa Al-Istimla‟, Nashir Al-Din Al-Thusi (597-672 H) menulis Kitab Adab Al-Muta‟allimin, Al-Zarnuji (penghujung abad ke-6 H) telah menulis Ta‟lim Al-Muta‟allim, Muhyiddin Al-Nawawi (w. 676) menulis tentang Adab Daris Wa Mudarris, Ibn Jama‘ah (w. 733 H) menulis Tadzkirah Al-Sami‟ Wa Al-Mutakallim Fii Adab Al-A‟lim Wa Al-Muta‟allim, Al-Syirazi (w. 756 H) menulis tentang Adab Al-Bahs, Abd Lathif Al-Maqdisi (w. 856 H) menulis tentang Syifa‟ Al-Muta‟allim Fii Adab Al-Muta‟allimin, Al-Marsifi (w. 981 H) menulis tentang Ahsan titlab Fiima yalzam Syaikh Wa Mudarris Min Al-Adab, Ibn Hajar Al-Haysami (w. 974 H) menulis Tahrir Al-Maqal Fii Adab Wa Ahkam Wa Fawa‟id Yahtaj Ilaiha Mua‟ddib Al-Athfal, Al-Almawi (w. 981 H) menulis Al-Mu‟id Fii Adab Al-Mufid Wa Al-Mustafid, Badr Al-Din Al-Ghazzi (w. 984 H) menulis tentang Dur Nadid Fii Adab Mufid Wa Mustafid, Al-Astarabazi (w. 984 H) menulis tentang Adab Al-Munadzarah, Taj Al-Din Ibn Zakariyya Al-Utsmani (w. 1050) menulis tentang Adab Al-Muridin, Al-Syaukani (1173-1250 H) menulis Adab Al-Thalab, dan lain-lain.

Dari kajian para ulama tersebut menyimpulkan bahwa adab memiliki peran sentral dalam dunia pendidikan, tanpa adab dunia pendidikan berjalan tanpa ruh dan makna. Lebih dari itu, salah satu penyebab utama hilangnya keberkahan dalam dunia pendidikan adalah kurangnya perhatian civitas akademikanya dalam masalah adab.

Az-Zarnuji mengatakan: ―Banyak dari para pencari ilmu yang sebenarnya mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu, hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memperhatikan adab dalam menuntut ilmu.‖61

Oleh karena itu, adab harus menjadi perhatian utama bagi pencari ilmu, agar ilmu yang didapat kelak bermanfaat dan mendapat keberkahan. Ibn Jama‘ah mengatakan, ―Mengamalkan satu bab adab itu lebih baik daripada tujuh puluh

61 Ibrahim bin Isma’il, Syarh Ta’lim al-Muta’allim ‘ala Thariiqa Ta’allum, Semarang: Karya Toha Putra, hlm. 3

65 | S T U D I I S L A M I I I

bab ilmu yang hanya sekedar dijadikan sebagai pengetahuan‖.62 Artinya, ilmu sedikit yang diiringi dengan adab itu lebih baik daripada ilmu yang banyak tetapi kosong dari adab ( lost of adab).

Dengan demikian, sudah saatnya dunia pendidikan menekankan proses ta‟dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para peserta didiknya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika adab hilang dari diri seseorang, maka hilang pulalah fitrah kemanusiaanya. Jika fitrah telah hilang, maka akan mengakibatkan penyimpangan, kedzaliman, kebodohan, dan menuruti hawa nafsu yang merusak.