Ketiga: Muhammadiyah menghormati Ali bin Abi Thalib sebagaimana sahabat-sahabat yang lain, tetapi Muhammadiyah menolak kultus individu terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Ketika saya bertanya kepada seorang anggota Muhammadiyah tentang apa yang dimaksud dengan kultus individu, ia menjawab gamang, “Kultus individu ialah mengagung-agungkan orang lebih dari sewajarnya dan seharusnya. Kita harus menghormati Ali bin Abi Thalib, tetapi kita tidak boleh mengagung-agungkannya, lebih dari sahabat-sahabat yang lainnya.”
Jika itu yang dimaksud, bagaimana dengan orang-orang yang menghormati Abu Bakar dan Umar lebih dari Ali dan sahabat-sahabat yang lain? Adakah itu termasuk kultus individu juga?
Mari kita rujuk apa yang dimaksud kultus individu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: “kultus individu ialah penghormatan secara berlebihan kepada seseorang”. Kata kultus sendiri berarti: 1 penghormatan resmi dlm agama;
upacara keagamaan; ibadat; 2 sistem kepercayaan; 3 penghormatan secara berlebih-lebihan kpd orang, paham, atau benda.
156 Emilia Renita AZ
Jika Muhammadiyah menolak kultus individu terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, itu artinya Muhammadiyah tidak mau menghormati Ali bin Abi Thalib dan keturunannya secara berlebih-lebihan. Lalu, apa yang dimaksud dengan berlebih-lebihan? Sampai ke mana ukuran berlebihan? Ah, kita akhirnya jatuh pada perdebatan semantik.
Falnakun shuraha wa qad mallalna almujamalat. Marilah kita berterus-terang saja. Muhammadiyah dan juga MUI memperlakukan Abu Bakar, Umar, dan Usman di atas Ali dan sahabat-sahabat yang lain (lihat Kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, 7: 1347-1425). Para ahli hadis tidak sepakat ketika mereka mendefinisikan Syiah, tasyayyu’ dan rafidhi. Di sini, kita mengambil pandangan Ibn Hajar al-Asqalani dalam Huda al-Sari, h. 640, “Tasyayyu’
adalah mencintai Ali dan mendahulukannya di atas sahabat yang lain. Barangsiapa yang mendahulukannya di atas Abu Bakar dan Umar, ia keterlaluan dalam tasyayyu’-nya, dan dikenakan kepadanya istilah rafidhi. Jika digabungkan padanya mencaci, dan terang-terangan membenci, maka ia keterlaluan dalam rafidhah-nya. Jika ia berkeyakinan akan raj’ah, ia paling berlebihan dalam keterlaluannya.”
Jika begitu definisinya, Ibn Hajar harus menisbatkan nama Syiah kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut Ibn Hajar, diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, “Tidak pernah diriwayatkan dari seorang sahabat Nabi Saw mana pun tentang fadha'il (kemuliaan) seperti yang diriwayatkan dari Ali.” Begitu pula kata Al-Nasai dan yang lain-lainnya.
Tapi di tempat ini, cukuplah sekian saja.” (Lihat snapshot Tahdzib al-Tahdzib 7: 339). Dalam riwayat lain dari Ahmad, kalimatnya berbunyi, “Tidak pernah datang hadis tentang kemuliaan seorang pun di antara sahabat Nabi dari Rasulullah Saw lebih banyak daripada apa yang datang tentang kemuliaan Ali bin Abi Thalib.”1
1 Lihat Ibn Asakir, Tarikh Dimasyq, 38, hadis 1108; juga Al-Hakim dalam al-Mustadrak, Bab Manaqib Amir al-Mu’minin, 3: 107;
Al-158 Emilia Renita AZ
Snapshot Tahdzib al-Tahdzib 7: 339: Ali di atas Semua Sahabat:
Begitu pula Al-Nasai, salah seorang muhaddis di antara penulis Kutub al-Sittah. Ia harus dihitung Syiah karena mendahulukan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar.
Ia mengumpulkan 194 hadis tentang Khasha'ish Amir al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib, keutamaan Imam Ali di atas para sahabat lainnya. Kitab itu dimulai dengan hadis pertama: Dari Ali Ra, “Aku orang pertama yang salat bersama Rasulullah Saw,” diakhiri dengan hadis nomor 194, “Nabi Saw berkata kepada Ali: Anta minni, wa Ana
minka. Ia menjelaskan sebab mengapa ia menulis buku itu,
“Aku masuk Damaskus dan di sana banyak sekali orang yang meninggalkan Ali bin Abi Thalib. Karena itu, aku tulis Kitab al-Khasha'ish. Aku berharap Allah Swt memberikan hidayat kepada mereka.”
Niat yang tulus tidak menghalangi orang-orang Damaskus untuk mengeroyoknya, menginjak-injaknya, dan mengusirnya dari masjid jami'. Dalam keadaan luka parah, ia minta diantar ke Makkah, dan syahid dalam perjalanan pada 303 H, empat puluh tujuh tahun setelah meninggalnya Al-Bukhari. “Ini menunjukkan dengan jelas keberanian dan keperwiraannya,” kata Ahmad Mirin al-Balusyi, peneliti hadis mutakhir pada pengantar Khasha'ish Amiril Mu’minin, yang diterbitkan kembali oleh Maktabah al-Ma’la, Kuwait, pada 1406 H.
Kira-kira seratus tahun sebelumnya, seorang ahli fikih dan muhaddis besar, Imam Syafi’i rahimahullah, dituduh orang ramai-ramai sebagai Syiah. Ibn al-Nadim, dalam al-Fihrist, menulis, “Al-Syafi’i sangat berlebihan dalam tasyayyu’. Pada suatu hari, seseorang mengajukan masalah dan Al-Syafii menjawabnya. Orang itu berkata, 'Kau bertentangan dengan Ali bin Abi Thalib.' Imam al-Syafi’i segera menukas, 'Buktikan padaku bahwa aku bertentangan dengan Ali. Aku akan rebahkan pipiku di atas tanah dan aku akan berkata, 'Aku sungguh salah dan aku akan kembali dari pendapatku kepada ucapan Ali.'.” (Lihat Snapshot Ibn al-Nadim, al-Fihrist, al-Maqalah
160 Emilia Renita AZ
Snapshot Ibn Nadim, Fihrist, Maqalah al-Sadisah, h. 263
Terkenal puisi Al-Syafi'i:
Jika Rafidhi itu mencintai keluarga Muhammad Maka saksikanlah, wahai jin dan manusia, bahwa aku ini Rafidhi.
Aku berlepas diri kepada Tuhan Pelindung Pemurah Dari orang-orang yang merafidhahkan cinta keluarga Fathimah
Tuhanku, sampaikan salawat kepada keluarga Rasulullah
Dan laknatlah orang-orang yang berpaham jahiliyah Jalaluddin al-Suyuthi al-Syafi’i, al-hafizh yang melanjutkan kecintaan kepada Ahlulbait dari imam mazhabnya, bisa juga dinisbatkan Muhammadiyah kepada Syiah, karena ia mengutip beberapa hadis tentang Imam Ali dan Syiahnya.
Kami sedang berada bersama Nabi Saw, lalu datanglah Ali. Nabi Saw bersabda, “Demi yang diriku ada di tangan-Nya, dia ini dan Syiahnya menjadi
162 Emilia Renita AZ
Turunlah ayat, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk (Qs al-Bayyinah [98] 7). Maka para sahabat Nabi Saw (setelah itu) berkata, bila Ali datang. "Telah datang sebaik-baik makhluk.”
Ibn ‘Adi, Ibn Asakir, dari Abu Sa'id mengeluarkan hadis marfu’ (bersambung kepada Nabi Saw): "Ali adalah sebaik-baik makhluk.” Ibn Mardawaih dari Ibn Abbas berkata, “Ketika turun ayat, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk, Rasulullah Saw berkata kepada Ali, 'Dia adalah engkau dan Syiahmu pada hari kiamat dalam keadaan ridha kepada Allah dan diridhai.'.” (Lihat Snapshot al-Durr al-Mantsur 15: 577).
Dan jauh-jauh hari sebelumnya, ia juga harus menisbatkan Syiah kepada sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash.
Ketika Muawiyah menyuruh Sa’ad untuk memaki dan melaknat Imam Ali, Sa’ad berkata, “Aku teringat pada tiga hal tentang kedudukan Ali yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku selamanya tidak akan mencelanya karena tiga hal tersebut.
Sesungguhnya salah satu dari tiga hal tersebut lebih aku sukai daripada seekor unta yang mahal.
"Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ali ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah) dalam beberapa
peperangan beliau. Ali bertanya, 'Apakah engkau meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak?' Beliau menjawab, 'Wahai Ali , tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa? Hanya saja tidak ada Nabi setelahku.'
"Dan aku juga mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar, 'Sungguh, aku akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya.' Maka kami semuanya saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda, 'Panggilllah Ali!' Kemudian dia dihadirkan dalam keadaan sakit matanya. Lantas beliau meludahi matanya dan menyerahkan bendera tersebut kepadanya, kemudian Allah memberi kemenangan kepadanya. Tatkala turun ayat: Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak-anak-anak kamu, Rasulullah Saw memanggil Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, dan bersabda, 'Ya Allah, mereka adalah keluargaku.'.” (Shahih Muslim 4420).
Ada tiga keistimewaan Ali di atas sahabat-sahabat yang lain, menurut Sa’ad: (1) kedudukan Ali bagi Rasulullah Saw sama dengan kedudukan Harun bagi Musa as; sebagaimana Harun adalah wazir Musa As, begitu pula Ali adalah wazir Nabi Saw, sebagaimana Harun adalah pengganti Musa, ketika Musa tiada, begitu pula Ali; (2) Ali dinyatakan sebagai orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Rasul-Nya mencintainya;
164 Emilia Renita AZ
(3) Ali, bersama Fathimah, Hasan dan Husain, termasuk Ahlulbait yang disucikan (lihat perihal dalil ishmah di atas). Sedangkan Nabi Saw berpesan agar kaum Muslim berpegang teguh pada Al-Quran dan Ahlulbaitnya.
Artinya, kita diperintahkan untuk mengikuti Rasulullah Saw dan Ali, yang adalah salah satu di antara Ahlulbait.
Snapshot al-Durr al-Mantsur 15: 577, Ali dan Syiahnya:
Hadis Manzilah. Hadis pertama yang disebut Sa’ad terkenal sebagai hadis Manzilah, hadis kedudukan. Terlalu banyak mengambil tempat jika kita harus mencantumkan kitab-kitab yang meriwayatkan hadis ini selain dari Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Cukuplah di sini dikutipkan komentar Ibn Taimiyah—yang biasanya melemahkan hadis-hadis keutamaan Ali, “Hadis ini shahih tidak meragukan lagi. Telah kokoh sanadnya dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan yang selain dari keduanya.”
(Minhaj al-Sunnah 7: 320).
Di sini dikutipkan hadis itu sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari 4064: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menugasi Ali bin Abi Thalib untuk menjaga kaum Muslim ketika terjadi Perang Tabuk. Ali berkata, “Ya Rasulullah, mengapa engkau hanya menugasi saya untuk menjaga kaum wanita dan anak-anak?”
166 Emilia Renita AZ
di sisiku seperti posisi Harun di sisi Musa, padahal sesudahku tidak akan ada nabi lagi?”
Hadis Khaibar. Hadis kedua–dikenal sebagai hadis Khaibar karena Ali ditunjuk sebagai komandan dalam Perang Khaibar; juga disebut hadis al-Rayah, hadis bendera, karena ke tangan Ali diberikan bendera. Di samping hadis ini ssahih karena disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim (lihat Shahih al-Bukhari, 2724, 3425, 3888; dan Shahih Muslim, 4420, 4422, 4423, 4424) muttafaqun ‘alaih, banyak muhaddisin yang juga melaporkannya. Di sini, dikutip salah satu periwayat di luar al-Shahihain, Musnad Ahmad 23639, 9: 415: Dari Abi Buraidah, ia berkata, “Kami mengepung Khaibar. Mula-mula Abu Bakar mengambil bendera. Tetapi ia dipukul mundur, dan tidak diberi kemenangan. Kemudian ia (dalam hadis Musnad Ahmad 23677, 9:425, orang itu Umar) mengambil bendera itu pada hari berikutnya, ia keluar, kembali, dan tidak beroleh kemenangan. Maka orang banyak menderita kesulitan dan kesusahan. Rasulullah Saw berkata, 'Besok akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya dan mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak akan mundur sebelum beroleh kemenangan.' Waktu itu, kami tidur sambil berharap bahwa besok kami akan beroleh kemenangan. Keesokan harinya pada waktu pagi, Rasulullah Saw berdiri dan meminta bendera. Orang-orang menunggu dalam barisan mereka. Kemudian beliau memanggil Ali yang sedang sakit mata. Nabi Saw meludahi kedua matanya dan menyerahkan bendera kepadanya
dan akhirnya kemenangan diberikan kepadanya. Kata Buraidah, "Aku termasuk yang mengangankannya.”
(Tuhfah 1969, Mu’tala 1244, Majma’ 6: 151).
Hadis al-Tsaqalain. Hadis perintah berpegang teguh kepada Ahlulbait terkenal dengan sebutan hadis al-tsaqalain, dua pusaka. Dalam Shahih Muslim 4425, hadis al-tsaqalain diriwayatkan sebagai berikut: “Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan berpidato di suatu tempat air yang di sebut Khumm, yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan serta berkata; Ketahuilah hai saudara-saudara, bahwasanya aku adalah manusia biasa seperti kalian. Sebentar lagi utusan Tuhanku, malaikat pencabut nyawa, akan datang kepadaku dan aku pun siap menyambutnya. Sesungguhnya aku akan meninggalkan dua hal yang berat (al-tsaqalain) kepada kalian, yaitu: Pertama, Al-Quran yang berisi petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu, laksanakanlah isi Al-Quran dan peganglah. Sepertinya Rasulullah sangat mendorong dan menghimbau pengamalan Al-Quran. Kedua, keluargaku.
Aku ingatkan kepada kalian semua agar berpedoman kepada hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku.”
(Beliau ucapkan sebanyak tiga kali.)”
Penerjemah bahasa Indonesia menuliskan “Aku ingatkan kepada kalian semua agar berpedoman kepada hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku”. “Ahli baiti” adalah teks Arab untuk “keluargaku”. Di sini
168
Selain Muslim, ada banyak muhaddisin meriwayatkan hadis ini, sehingga tidak cukup ruang untuk mengutipkan semua kitab itu di sini. Ibn Hajar menyebut hadis ini “hadis tamassuk”, atau hadis berpegang teguh. Perhatikan komentar Ibn Hajar tentang hadis ini,
“Ketahuilah bahwa hadis tamassuk mempunyai jalan-jalan sanad yang banyak, diriwayatkan oleh lebih dari 20 sahabat, dan jalan-jalan sanadnya luas. Dalam sebagaian sanad, Nabi Saw mengatakannya pada haji Wada’, menurut yang lainnya, di Madinah pada waktu sakit menjelang wafatnya dan kamarnya dipenuhi sahabatnya, pada jalan yang lainnya ia bersabda begitu pada waktu Ghadir Khum, pada yang lain, ia berkata demikian ketika ia meninggalkan Thaif. Tidak saling manafikan, karena boleh jadi Nabi Saw mengulanginya berkali-kali pada berbagai tempat agar orang memperhatikan Al-Quran yang mulia dan Keluarganya yang suci berkali-kali pada berbagai tempat “ (al-Shawaiq al-Muhriqah 148; Lihat lampiran 2).
Walhasil, perbedaan antara Muhammadiyah dan Syiah hanyalah pemilihan pengganti setelah Nabi Saw.
Muhammadiyah memilih Abu Bakar, tentu dengan dasar hadis-hadis (yang tidak kita ketahui atau tidak disampaikan kepada kita). Syiah memilih mengikuti Ali, paling sedikit berdasarkan tiga hadis yang disebut oleh Sa’ad bin Abi Waqqash. Bukankah perbedaan NU dengan Muhammadiyah juga hanya karena perbedaan memilih hadis. Mengapa Syiah harus dikafirkan?
Emilia Renita AZ