• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nabi dan Rasul (Saw)

Dalam dokumen Inilah JalanKu yang Lurus! (Halaman 72-86)

M

elecehkan atau meruntuhkan kehormatan Nabi Saw. Tidak ada keterangan dari Buku Panduan yang menyebutkan pelecehan yang dilakukan Syiah pada Nabi Saw. Syiah begitu memuliakan Nabi Saw sehingga mereka dituduh melakukan kultus individu. Syiah membela kehormatan Nabi Saw beserta keluarganya yang suci sehingga mereka dituduh sesat. Syiah mencintai Nabi Saw begitu besar, sehingga setiap kali disebut namanya, mereka menggemakan salawat dan salam kepadanya.

Syiah merindukan Nabi Saw begitu hangat sehingga airmata mereka berlinang ketika berziarah kepadanya;

sehingga lantaran itu mereka dituduh musyrik!

Syiah meletakkan Nabi Saw dalam posisi tak pernah salah dalam segala hal, sehingga mereka marah sekali jika ada orang atau paham yang melecehkan Nabi Saw; sehingga mereka juga sangat kritis terhadap hadis-hadis yang mendiskreditkan, merendahkan, dan menggambarkan perilaku buruk Rasulullah Saw. Berikut

ini—termasuk tapi tidak terbatas—pada dua buah contoh bagaimana Nabi Saw digambarkan dalam kitab-kitab hadis (seharusnya menyakitkan semua kaum Muslim, bukan hanya Syiah):

Nabi Saw tidur siang di rumah seorang perempuan yang bukan muhrim.1 Dari Ishaq bin Abi Abdillah bin Abi Talhah dari Anas bin Malik Ra, ia mendengarnya berkata:

Rasulullah Saw masuk ke (rumah) Umm Haram binti Milhan yang kemudian memberinya makan. Waktu itu, Umm Haram adalah isteri ‘Ubadah bin al-Shamit. Rasulullah Saw masuk ke dalamnya. Maka ia pun memberikan makan kepadanya dan lalu mencari kutu di kepalanya.2 Ia terbangun sambil tertawa. Umm Milhan bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau tertawa, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Sekelompok umatku diperlihatkan kepadaku sedang berperang di jalan Allah. Mereka mengarungi lautan sebagai raja-raja di atas singgasananya—atau seperti raja di atas singgasananya (Abu Ishaq ragu). Ummu

1 Dikutip sepenuhnya dari arsip artikel Ustad Jalaluddin Rakhmat yang belum diterbitkan.

2 Lidwa.com menerjemahkan kata dengan “mencari kutu” (terjemahan yang benar seperti dapat kita baca pada kamus-kamus Arab atau syarah hadis) pada Shahih al-Bukhari, tetapi dengan “menahan kepala” pada Sunan al-Tirmidzi 1569,

“membersihkan kepala” pada Sunan al-Nasa'i, dan “menyangga kepala” pada Muwaththa’ Malik. Mungkin para penerjemah ingin menghindari kemusykilan perilaku Nabi Saw di rumah istri orang yang bukan muhrim, walaupun terjemahan tersebut

74 Emilia Renita AZ

Haram berkata, "Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah supaya Dia jadikan aku salah seorang di antara mereka."

Rasulullah Saw pun mendoakannya. Kemudian beliau meletakkan kepalanya. Lalu beliau bangun lagi sambil tertawa. Aku bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau tertawa, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Sekelompok umatku diperlihatkan kepadaku sedang berperang di jalan Allah—beliau berkata seperti yang pertama." Aku berkata,

"Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah supaya Dia jadikan aku salah seorang di antara mereka." Beliau bersabda,

"Kamu akan berada pada kelompok yang pertama." (Kelak) Umm Haram mengarungi lautan pada zaman Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia terbanting dari kendaraannya ketika keluar dari laut dan meninggal dunia.”1 (Lihat snapshot Shahih al-Bukhari 6486).

Dalam hitungan Ibn Hajar al-Asqalani, hadis ini disebut sampai enam kali pada nomor-nomor hadis berikut: 2788, 2799, 2877, 2894, 6282, 7001 (Al-`Asqalani, 6:

10). Sunnahnya dapat dilihat pada judul-judul bab dalam Shahih al-Bukhari.

Ketika sampai pada ulasan tentang Kitab al-Isti’dzan, Ibn Hajar al-Asqalani memasukkan pembahasan terperinci tentang al-fawa'id yang belum disebutkan oleh Al-Bukhari

1 Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ta’bir, Bab Al-Ru`ya bi al-Nahar, hadis 6486; Shahih Muslim 3535, Sunan al-Tirmidzi 1569, Sunan al-Nasai 3120, Sunan Ibn Majah 2766, Musnad Ahmad 13290.

dengan judul-judul bab di atas. Kata Ibn Hajar, hadis ini menunjukkan :

• Dibolehkannya berharap untuk mati syahid dan bahwa yang mati dalam keadaan berperang akan bergabung dengan orang yang terbunuh dalam perang itu.

• Dibolehkan mengeluarkan dari badan apa yang mengganggu badan, seperti kutu dan sejenisnya.

• Dibolehkan seorang tamu tidur bukan di rumahnya asalkan ada izin dan terjaga dari fitnah (godaan).

• Dibolehkan bagi seorang perempuan untuk melayani tamunya yang bukan muhrim dengan mencari kutunya.

Ketika sampai pada bagian terakhir, Ibn Hajar menceritakan kemusykilan yang berkaitan dengan perilaku Rasulullah Saw di rumah perempuan yang bukan istrinya, bahkan ketika suaminya tidak ada. Ada yang mengatakan bahwa Umm Haram itu saudara sesusuan dengan Nabi Saw, sehingga

76 Emilia Renita AZ

Snapshot Shahih Bukhari 6486

Nabi Saw tidur siang di sisinya dan tidur di atas pangkuannya serta Umm Haram mencari kutu di kepala Nabi Saw.

Pada riwayat Abu Dawud, Kitab al-Jihad, Bab Fadhl al-Ghazw fī al-Bahr, dari `Atha bin Yasar, dari saudara Umm Sulaim, Al-Rumaisa, ia berkata:

Apa yang dilakukan oleh Nabi Saw itu bisa diterima apabīla beliau memang bermuhrim dengan Umm Haram.

Tetapi Ibn Hajar menolak ihtimal mahramiyah. Artinya, Umm Haram bukan mahram Nabi Saw. Ia istri ‘Ubadah bin Shamit. Kalau benar seperti itu, apakah yang dilakukan Nabi Saw itu teladan yang baik?

Bukankah dalam hadis-hadis sahih lainnya ditunjukkan bahwa Nabi Saw sangat mememelihara kehormatan dirinya bahkan ketika menghadapi istrinya.

Nabi Saw tidur kemudian bangun dan Umm Haram sedang mencuci kepalanya, dan bangunlah Nabi Saw sambil tertawa. Umm Haram berkata,

"Ya Rasulullah, apakah engkau menertawakan kepalaku." Beliau menjawab, "Tidak."

78 Emilia Renita AZ

Mana mungkin beliau tidak menjaga ‘iffah-nya ketika bergaul dengan isteri orang lain. Walhasil, menurut Ibn Hajar:

Lamanya Nabi Saw bersentuhan dengan Umm Haram ketika ia mencari kutunya dan Nabi Saw tidur di pangkuannya, tetap saja sesuatu yang musykil.

Jawaban yang paling bagus ialah pernyataan kekhususan (al-khushushiyyah) yang tidak ditolak hanya karena tidak ada dalil (Al-Asqalani, 11: 70-79).

Daripada ikut musykil bersama Ibn Hajar al-Asqalani, orang Syiah menolaknya, karena hadis itu melecehkan kemuliaan akhlak Nabi Saw.

Nabi Saw hakim yang tidak berbelas kasihan.

Hadis berikut ini juga ditolak oleh Syiah, hanya karena mereka tidak meyakini bahwa Nabi Saw dapat bertindak sekejam itu. Bukankah Qs al-Taubah [9]: 128 telah mengatakan, Sungguh telah datang kepadamu seorang

Rasulullah Saw dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Hadis berikut ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Kitab Wudhu, Bab: Kencing unta, binatang ternak dan kambing serta kandangnya (disalin langsung dari (d)da’wahrights 2010| http://abinyazahid.multiply.com izin terbuka untuk menyebarluaskan dalam rangka dakwah. Sumber konten dari: http://telkom-hadits9imam.com):

226. Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik berkata, “Beberapa orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air seni dan susunya.

80 Emilia Renita AZ

(zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh penggembala unta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka. Ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke padang pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi.” Abu Qilabah mengatakan,

“Mereka semua telah mencuri, membunuh, murtad setelah keimanan, dan memerangi Allah dan Rasul-Nya.”

Hadis yang dikutip di atas meriwayatkan peristiwa itu lebih lembut. Di atas hanya dikatakan bahwa setelah tangan dan kaki mereka dimutilasi, mata mereka dicungkil, terjemahan dari kata sumirat. Sumirat satu akar kata dengan mismar, atau paku besi. Jadi, mata mereka dicungkil dengan paku besi.

Dalam Shahih al-Bukhari, hadis 2795, disebutkan,

“Maka beliau mengutus orang untuk mencari mereka dan akhirnya sebelum matahari meninggi pada siang hari itu mereka didatangkan. Maka tangan-tangan dan kaki-kaki mereka dipotong lalu beliau memerintahkan agar dibawakan paku yang dipanaskan lalu mereka dipaku

dengannya dan dijemur di bawah panas terik hingga mereka meminta minum namun tidak diberi hingga mereka mati.” Kalimat “dipaku dengannya” (kahalahum biha) adalah terjemahan yang halus dari penerjemah. Arti sebenarnya ialah “matanya dipaku dengannya”.

Dalam Shahih al-Bukhari, hadis 6304 disebutkan bahwa Nabi Saw tidak lagi menyuruh orang, tetapi beliau melakukannya sendiri: “Kemudian Nabi memotong tangan dan kaki mereka serta mencongkel mata mereka, dan Nabi tidak menghentikan penghukuman terhadap mereka hingga mereka tewas.” Di sini, digunakan kalimat samala a’yunahum, yang artinya “mencongkel matanya dengan besi panas.” (Lihat Tajul ‘Arus, al-Qamus, Mishbah, Shihah). Kalimat yang sama disebut dua kali dalam dua hadis pada Shahih Muslim, Kitab Qasamah, Bab Hukm al-Muharibin.

Hadis ini diriwayatkan berkali-kali dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Menurut Syiah, hadis ini pasti dibuat oleh musuh-musuh Islam untuk menggambarkan Nabi Saw dengan akhlak yang sangat bertentangan dengan Al-Quran, ra'uf rahim, sangat santun dan penuh kasih. Demi kebenaran Al-Quran, demi keagungan akhlak Nabi Saw (kana khuluquhu al-Qur'an), Syiah menolak hadis-hadis di atas. Untuk penolakan terhadap hadis-hadis dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim yang semacam itu, Syiah telah dituduh melakukan penistaan kepada agama dan dilaporkan kepada polisi. Apakah Tim Penulis Panduan

82 Emilia Renita AZ

dari ulama mutakhir seperti Al-Albani terhadap Shahih al-Bukhari? Where have you been?

Tidakkah lebih baik orang-orang pinter di MUI itu berkenan untuk menerapkan kriteria ini, kriteria ketujuh:

Melecehkan Nabi dan Rasul (Saw),1 pada hadis-hadis Shahih al-Bukhari semacam ini dan pada orang-orang yang menerima kebenaran hadis-hadis tersebut.

Mendustakan Nabi Saw. Seperti telah ditegaskan di atas, harus kita masukkan ke dalam kategori mendustakan Nabi Saw ialah menolak atau menganggap bohong terhadap hadis-hadis yang sudah dinyatakan shahih mutawatir oleh para ulama hadis. Jalaluddin al-Suyuthi, dalam Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi al-Sunnah, h. 2, menulis,

“Ketahuilah oleh kalian, semoga Allah menyayangi kalian, bahwa barangsiapa mengingkari adanya hadis Nabi Saw dengan ucapan atau perbuatan (padahal hadis itu dengan syarat-syaratnya sudah kuat sebagai hujjah) maka ia kafir dan keluar dari lingkungan Islam. Ia akan dihimpunkan dengan kehendak Allah bersama Yahudi, Nashara, dan kelompok-kelompok kafir.”

Apakah mungkin ada mukmin yang menolak hadis mutawatir atau menafikannya? Marilah kita lihat kasus hadis Ghadir Khum. Menurut Buku Panduan, h. 72, hadis Ghadir Khum “konon isinya, Nabi telah melantik Ali sebagai khalifah setelah pulang dari haji wada’ pada 10 H tanggal 18 Dzulhijah”. Pada waktu itu, bukan konon lagi,

1 Contoh-contoh yang lain dapat diikuti pada Jalaluddin Rakhmat, Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan. Bandung:

Simbiosa 2008.

Nabi Saw bersabda, Man kuntu maulah, fa ‘Aliyyun maulah (Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, jadikan pula Ali sebagai maula-nya).

Hadis Ghadir Khum diriwayatkan oleh 110 sahabat dan 84 tabi’in, dan ratusan lagi ulama sesudahnya. Al-Amini mengumpulkan periwayat hadis Ghadir Khum sejak abad kedua sampai abad keempat belas dan mencapai jumlah 360 orang periwayat hadis. Banyak di antara mereka yang menulis kitab khusus dan mengumpulkan di dalamnya hadis-hadis Ghadir Khum. Di antara mereka adalah Ibn Jarir al-Thabari dan Ibn ‘Uqdah.

Menurut Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah, Ibn Jarir al-Thabari menulis dua jilid tebal perihal hadis Ghadir Khum dengan jalan dan matan yang banyak, bercampur antara yang bagus dan yang buruk. Ia juga menyebutkan bahwa Ibn ‘Asakir meriwayatkan hadis yang banyak tentang Ghadir Khum (Al-Bidayah wa al-Nihayah 7:

666). Dalam kitab tarikhnya, ia meriwayatkan hadis Ghadir Khum melalui 130 thariq. Semua hadis ini dikumpulkan dalam satu kitab Thuruq Hadits al-Ghadir bi Riwayat Ibn

‘Asakir, ditahqiq oleh Amir al-Taqaddumi.

Begitu pula hadis-hadis al-Ghadir yang bertebaran dalam berbagai jilid Tarikh Ibn Katsir, Tarikh Madinat Dimasyq, dikumpulkan dan diberi nomor sampai pas 100 oleh Syaikh Nazzar al-Qathifi dengan judul Hadits al-Ghadir bi Riwayat Ibn Katsir. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, “Ibn Jarir al-Thabari mengumpul hadis al-Muwalat (al-Ghadir)

84 Emilia Renita AZ

Turut mensahihkan dan memusatkan perhatian pada semua jalan (thariq) adalah Abu al-‘Abbas bin ‘Uqdah. Ia mengutip hadis itu dari 70 sahabat atau lebih.” (Tahdzib al-Tahdzib 3: 171). Ibn ‘Uqdah menulis satu kitab yang sampai kepada kita sekarang Hadits al-Wilayah wa man Rawa Ghadir Khum min al-Shahabah.

Snapshot dari Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib 3:171

Inilah ahli-ahli hadis yang mensahihkan hadis Ghadir Khum: Tirmidzi dalam shahih-nya 2:298; Al-Thahawi dalam Musykil al-Atsar 2: 308; Al-Hakim dalam mustadrak-nya; Ibn Abd al-Barr dalam al-Isti’ab 2: 373; Ibn al-Maghazili al-Syafi’i dalam al-Manaqib; Al-Dzahabi dalam Talkhish al-Mustadrak; Ibn Katsir dalam tarikhnya 5: 209; Al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawa'id 9: 104-109; Syams al-Din al-Jazari dalam Asnaa al-Mathalib; Ibn Hajar al-Asqalani dalam Tahdzib al-Tahdzib 7: 337-339; Al-Qasthulani dalam al-Mawahib al-Laduniyyah 7: 13; Ibn Hajar al-Haitami dalam Shawaiq Muhriqah 25; Al-Badkhasyi dalam Nuzul al-Abrar 21; Syaikh Muhammad Shadr al-Alim dalam Ma’arij al-‘Ula.

Sumber-sumber berikut sebagaimana Anda lihat dalam snapshot-nya menegaskan hadis ini mutawatir:

Al-Munawi dalam Faidh al-Qadir mengutip al-Mushannif (yakni Jalaluddin Suyuthi) yang menyatakan hadis al-Ghadir mutawatir, (lihat snapshot Faidh al-Qadir 6:218);

Al-Suyuthi dalam Qathf al-Azhar, h. 102; Sayyid al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani mengutip pendapat Al-Dzahabi bahwa hadis ini mutawatir, bisa diyakini bahwa Nabi Saw mengatakannya (lihat snapshot dari Ruh al-Ma’ani, 6:195).

Snapshot dari Faidh Qadir 6: 218 bahwa menurut al-Suyuthi hadis ini mutawatir

W ALHASIL hadis al-Ghadir itu

Dalam dokumen Inilah JalanKu yang Lurus! (Halaman 72-86)