2 Emilia Renita AZ
dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan- jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Qs al-An'âm [6]:
153)
Wahai pemimpin kaum mukmin Wahai penghulu para washi Wahai yang mulia
kami dan keluarga kami telah ditimpa derita dan kami datang membawa barang tak berharga sempurnakan sukatan bagi kami,
tapi dengan pemberianmu, lebihkan kami sungguh Allah melimpahkan pahala kepada orang-orang yang banyak memberi
Inilah JalanKu yang Lurus!: 10 Kriteria Aliran Sesat Emilia Renita AZ
Editor: Irwan Kurniawan Desain cover: Sofyan Muttaqin
Desain isi: Sofyan Muttaqin
Sumber gambar cover: ikhtishaf.deviantart.com Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Cetakan I, Maret 2014/Jumada al-Ula 1435 Diterbitkan oleh:
Penerbit MARJA Komplek Sukup Baru No. 23 Ujungberung - Bandung 40619 Telp: 022-76883000, Fax: 022-7801410
[email protected] www.nuansacendekia.co.id
Anggota IKAPI Kerjasama dengan:
OASE (Organization for Ahlulbait Social Support and Education) 200 hlm.; 13,5 x 20 cm; Premium bookpaper 52 gram
Kode Penerbitan: PM-193-01-14 ISBN: 979-24-579-3
EMILIA RENITA AZ
Inilah jalanKu yang lurus!: 10 kriteria aliran sesat / Emilia Renita AZ;
editor Irwan Kurniawan — Cet. I — Bandung: Penerbit Marja, 2014 200 hlm : 13,5 x 20 cm.
ISBN : 979-24-579-3
1. Agama 2. Agama Islam Judul
II. Irwan Kurniawan 204
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Daftar Isi
Mukadimah — 7
BAGIAN 1 JAWABAN UNTUK MUI — 13
1 Mengingkari Salah Satu Rukun Iman dan Rukun Islam — 13 2 Meyakini atau Mengikuti Akidah yang tidak Sesuai dengan Dalil
Syar'i (Al-Quran dan Sunnah) — 23
3 Meyakini Turunnya Wahyu sesudah Al-Quran — 33 4 Mengingkari Otentisitas dan Kebenaran Al-Quran — 42
5 Menafsirkan Al-Quran yang tidak Berdasar Kaidah-kaidah Tafsir
— 60
6 Mengingkari Kedudukan Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam — 66
7 Melecehkan dan Mendustakan Nabi dan Rasul (Saw) — 72 8 Mengingkari Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul
Terakhir — 96
9 Mengurangi/Menambah Pokok-pokok Ibadah yang tidak Ditetapkan Syariat — 106
10 Mengkafirkan Sesama Muslim hanya karena bukan Kelompoknya
— 122
BAGIAN 2 JAWABAN UNTUK MUHAMMADIYAH — 128 Tanggapan atas Sikap Resmi Muhammadiyah terhadap Syi'ah
Imamiyah — 128
Pertama: Kemaksuman Nabi Saw dan Ahlulbaitnya — 130 Kedua: Nabi Saw Menunjuk Penggantinya (Washi) — 152
Ketiga: Imam Ali tidak Sama dengan Sahabat-sahabat Nabi Saw yang Lain — 155
Keempat: Syiah Menerima Hadis dari Jalur Mana pun yang Shahih — 169
LAMPIRAN 1 Syiah secara Singkat — 173
LAMPIRAN 2 Sahabat Nabi Saw Menurut Al-Quran dan Syiah — 181 LAMPIRAN 3 Kedha'ifan Hadis Wasiat Nabi Saw "Al-Qur'an wa
Sunnati" — 192 Sumber Rujukan — 197
Jika rumahmu dari kaca, jangan lempari orang dengan batu.
Peribahasa Arab
S
egera setelah Ahmadiyah dianggap sesat, saya mendengar sekelompok orang di Majelis Ulama Indonesia sedang bekerja keras untuk meneliti dan menetapkan kriteria aliran sesat. Mereka adalah ulama-Mukadimah
8 Emilia Renita AZ
mengeluarkan orang dari Islam daripada memasukkan orang ke dalamnya. Mereka lebih tertarik untuk mengafirkan orang Islam daripada mengislamkan orang kafir.
Dari hasil kerja keras mereka, lahirlah Sepuluh Kriteria Aliran Sesat yang bisa kita lihat dalam berbagai media, terutama media sosial. Dengan kriteria itu, jelas sekali Ahmadiyah termasuk aliran sesat, karena
“Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir”. Sepuluh kriteria itu muncul kembali ketika tim ulama muda yang sama menerbitkan buku yang dinisbatkan kepada Majlis Ulama Indonesia tanpa persetujuan resmi dari mereka (tetapi dibiarkan mereka), Buku Panduan Majelis Ulama Indonesia (lihat halaman 121). Untuk selanjutnya, apabila di sini disebut MUI, maka yang dimaksud adalah Tim Penulis MUI Pusat dan Tim Khusus Komisi Fatwa dan Komisi Pengkajian MUI untuk buku Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia.
Di antara alasan-alasan untuk “mewaspadai penyimpangan SYI’AH di Indonesia”, mereka menampilkan kembali sepuluh kriteria itu, tanpa menyebutkan secara rinci pelanggaran Syiah pada setiap kriteria itu. Syiah dinaikkan statusnya dari aliran yang harus diwaspadai menjadi “aliran yang sangat berpeluang untuk menimbulkan ketidakstabilan yang dapat mengancam keutuhan NKRI”.
Mengikuti atau barangkali mendahului genderang yang ditabuh MUI, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid menerbitkan Sikap Resmi Muhammadiyah terhadap Syi’ah Imamiyah.
Buku ini ditulis tidak untuk membela Syiah, tetapi sekadar menunjukkan penggunaan Sepuluh Kriteria Aliran Sesat pada beberapa ajaran yang kita temukan pada kitab- kitab umat Islam yang dianut dan diikuti oleh umat Islam di banyak tempat. Dengan kriteria yang sama, kita akan terkejut menemukan kenyataan bahwa Tim Penulis MUI Pusat justru memenuhi kriteria tersebut. Tetapi beranikah kita melakukan dekonstruksi hegemoni makna agama seperti yang dipegang teguh MUI? Beranikah kita mengatakan bahwa pahaman agama seperti yang ditunjukkan dalam kitab-kitab referensi (yang dikutip di dalam buku ini) dan dianut para pengikutnya adalah sesat dan menyesatkan, dan bahwa bukan saja kaum Muslim harus mewaspadai tetapi Pemerintah juga didesak untuk
“tidak memberikan peluang” pada “penyebaran faham”
tersebut.
Di samping itu, buku ini juga ingin menanggapi pilihan yang diambil oleh Muhammadiyah dan pilihan yang diambil oleh Syiah Imamiyah. Mengapa Syiah memilih Ali, misalnya, dan mengapa Muhammadiyah tidak. Untuk itu, saya kemukakan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Akhirnya, terserah pilihan Anda.
Buku ini diharapkan tidak untuk mengafirkan
10 Emilia Renita AZ
mengajari kita semua bahwa kita harus berhati-hati membuat kriteria untuk mengafirkan orang lain, sehingga tidak menjadi 'senjata makan tuan'. Buku kecil ini—dengan tidak mencantumkan semua burhan di dalamnya—ingin memperingatkan diri saya dan saudara-saudaraku kaum mukmin untuk tidak gampang menuduh orang lain sesat, menghindari apa yang diperingatkan Nabi Saw pada haji wada’, “Janganlah kamu kembali kafir sepeninggalku, yaitu saling berperang di antara kamu.” (Hr Al-Bukhari dan Muslim)
Karena orang Syiah seringkali dituduh berbohong mengenai dalil-dalil (burhan) yang mereka kemukakan, di sini saya cantumkan al-watsâ'iq, snapshot dari halaman- halaman dalam kitab-kitab yang bersangkutan. Pembaca dapat memeriksanya dengan segera pada kitab-kitab tersebut. Untuk membantu pembaca juga, khusus untuk rujukan yang sangat penting, Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, nomor hadis dan terjemahan seluruhnya diambil dari (d) da’wahrights 2010| http://abinyazahid.multiply.
com izin terbuka untuk menyebarluaskan dalam rangka da’wah. Sumber konten dari: http://telkom-hadits9imam.
com. Pembaca juga dapat melihatnya pada aplikasi android Google Play—Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahasa Indonesia.
Juga, untuk membantu pembaca yang baik, tetapi sebenarnya membantu penulis, transkripsi teks Arab ditulis secara umum, dengan begitu tidak akurat. Sebagai contoh, ditulis Shahih al-Bukhari, tidak ditulis, al-Ṣaḥīḥ
al-Bukhāri. Panjang dan pendek pembacaan hanya bisa diketahui oleh orang yang mengerti Bahasa Arab.
Buku ini ditulis, praktisnya hanya dalam waktu tiga minggu, oleh seorang penulis tanpa bantuan tim kecuali dari orang-orang terdekat dengan penulis. Karena itu, bila di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan editing atau proofreading, inilah tempatnya penulis meminta maaf. Bandingkan lamanya penulisan buku ini, yang ditulis dalam tempo sesingkat-singkatnya, dengan proses penulisan Buku Panduan MUI, yang terbit, menurut Tim Penulis MUI, “setelah bekerja menyiapkan bahan-bahan, menyusun dan merumuskan naskah buku ini selama kurang lebih 6 bulan dalam beberapa kali pertemuan konsinyering yang intensif.” Anyway, lamanya penulisan buku—semua makhluk berakal tahu—tidak menunjukkan ukuran kebenaran.
Akhirnya, buku ini kupersembahkan kepada semua pecinta persaudaraan yang tulus, kepada semua orang yang meneteskan air-mata bukan hanya ketika merintih di hadapan Tuhan di tengah keheningan malam, tetapi juga kepada semua orang yang ditumpahkan darahnya karena kezaliman triumvirat arogansi, fanatisme, dan kejahilan.
12 Emilia Renita AZ
telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah engkau lekatkan dalam hati kami kedengkian kepada orang-orang yang beriman. Tuhan kami, Sungguh Engkau Mahasantun dan Mahasayang. (Qs al-Hasyr [59]: 10)
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan di antara kamu. Mereka itulah orang-orang yang Allah melaknat mereka, menulikan mereka dan membuatakan penglihatan mereka. (Qs Muhammad [47]: 22-23)
Mengingkari Salah Satu Rukun Iman 1 dan Rukun Islam
S
yiah telah dianggap sesat karena punya perumusan rukun iman—Tauhid, Nubuwwah, Imamah, al-Adl, al-Ma’ad—yang berbeda dengan Ahlussunnah. Syiah dituding mengingkari iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta qadha dan qadar.Sekiranya Tim Penulis MUI Pusat membaca buku- buku penjelasan tentang rukun iman Syiah tersebut, mereka akan segera tahu bahwa iman kepada Allah—
yang membedakan umat Islam dengan umat yang lain—
diungkapkan dalam konsep tauhid; bahwa iman kepada malaikat, kitab-kitab, dan para rasul tercakup dalam nubuwwah; bahwa iman kepada hari akhir berada dalam lingkup al-ma’ad (hari kembali). Mungkin dibandingkan dengan Ahlussunnah, rukun iman Syiah tidak menyebutkan iman kepada qadha dan qadar. Itu bukan karena mereka tidak percaya, tetapi iman kepada qadha dan qadar tidak jadi bagian rukun iman. Sama seperti
Bagian 1
Jawaban untuk MUI
14 Emilia Renita AZ
Ahlussunnah. Mereka percaya bahwa ada kehidupan di alam barzakh, bahwa ada iblis beserta warga setannya, bahwa ada alam malakut di samping alam “mulk”. Tetapi mereka tidak memasukkannya ke dalam rukun iman.
Seperti rukun iman, rukun Islam Ahlussunnah dan Syiah juga hanya berbeda perumusan. Sama-sama lima (sepanjang pengetahuan Tim Penulis MUI Pusat). Ahlus snnah punya syahadatain dan Syiah punya wilayah. Lainnya sama.
Menurut ulama Ahlussunnah, rukun iman diambil dari Qs al-Baqarah [2]: 285):
Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.Semuanya beriman kepada Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.
(Mereka mengatakan), “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul- Nya,” dan mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami ta’at.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Dari ayat ini dirumuskanlah rukun iman sebagai berikut:
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada malaikat-Nya 3. Iman kepada kitab-kitab-Nya 4. Iman kepada rasul-rasul-Nya
K ITA hanya menyebutkan lima rukun Islam berdasarkan hadis dari ‘Umar bin Khattab. Dari para sahabat lainnya, kita menyaksikan rukun-rukun Islam lainnya,
selain yang lima tersebut. Bahkan pada awalnya, Nabi Saw menyebutkan rukun Islam sebagai tanda-tanda keimanan. Di bawah ini ada rukun-rukun Islam lainnya yang disebutkan Nabi Saw tetapi tidak ada
pada ‘’rukun Islam kita”.
16 Emilia Renita AZ
Jika ada orang yang kemudian menambahkan iman kepada hari akhir dan iman kepada “qadha dan qadar”
yang tidak tercantum dalam ayat tersebut, jangan sebut dia mengingkari dua rukun iman, karena ia mempunyai dalil dari ayat-ayat Al-Quran yang lain. Misalnya, untuk hari akhirat, lihat ayat al-Baqarah [2]: 4; untuk qadha dan qadar, lihat al-Taubah [9]: 151, Katakan, "Tidak akan menimpa kami musibah kecuali yang telah Allah tentukan bagi kami.”
Jika ada orang Mu’tazilah tidak menerima rukun iman yang keenam—iman kepada qadha dan qadar—
jangan Anda sebut dia orang sesat, karena ia berpegang kepada ayat al-Syura: 30, Tidakkah menimpa kamu musibah, kecuali karena perbuatan tangan-tangan kamu. Jika rukun iman yang Anda rumuskan berbeda dengan kaum Mu’tazilah, apakah Anda akan mengafirkan mereka?
Inilah rukun iman menurut Mu’tazilah (al-Ushul al- Khamsah):
1. Al-Tawhid 2. Al-‘Adl
3. Al-Manzilah bain al-Manzilatain 4. Al-Wa’d wa al-Wa’id
5. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Maka menurut rukun iman Mu’tazilah, Ahlussunnah mengingkari semua rukun imannya.
Menurut Ahlussunnah, Mu’tazilah mengingkari semua rukun imannya. Menurut Mu’tazilah, Ahlussunnah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Begitu pula sebaliknya,
hanya karena mereka punya perumusan rukun iman yang berbeda. Itu, kalau kita gunakan Sepuluh Kriteria.
Rukun Islam. Rukun Islam Ahlussunnah dirumuskan dari hadits ‘Umar bin al-Khattab:
Rasulullah Saw bersabda, “Islam itu ditegakkan di atas lima perkara: bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan Muhammad utusan Allah; menegakkan salat; mengeluarkan zakat; melakukan haji dan puasa di bulan Ramadhan.”
Dari hadis ini disusunlah rukun Islam seperti yang kita ketahui.
Kita HANYA menyebutkan lima rukun Islam berdasarkan hadis dari ‘Umar bin Khattab. Dari para sahabat lainnya, kita menyaksikan rukun-rukun Islam lainnya, selain yang lima tersebut. Bahkan pada awalnya, Nabi Saw menyebutkan rukun Islam sebagai tanda-tanda keimanan. Di bawah ini ada rukun-rukun Islam lainnya yang disebutkan Nabi Saw tetapi tidak ada pada ‘’rukun Islam kita”.
18 Emilia Renita AZ
Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan ketika Rabi’ah beserta kabilahnya mengunjungi Nabi Saw dan bertanya tentang berbagai masalah agama, Nabi Saw bersabda:
“Tahukah kamu apakah iman kepada Allah yang Maha Esa itu?" Mereka berkata, "Allah dan Rasul- Nya lebih tahu." Beliau berkata, "(Iman kepada Allah itu) ialah kau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan mengeluarkan khumus (seperlima) dari kelebihan penghasilanmu.”
(Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Ada' al- Khumus min al-Iman; lihat juga, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Sunnah, Bab fi Radd al-Irja; Sunan al-Nasai, Kitab al-Asyribah; Musnad al-Imam Ahmad, Baqi Musnad al-Anshar).
Menurut hadis ini, rukun Islam itu lima: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan khumus. Apakah Al-Bukhari
J IKA mengingkari rukun iman dan rukun islam itu diartikan mengingkari rukun
Iman dan rukun Islam seperti dirumuskan oleh penulis buku Panduan, maka sesatlah aliran yang dianut oleh al-Bukhari, Muslim,
dari ulama salaf, dan juga Al-Syaikh Yahya bin ‘Abd al-Rahman, Profesor Sa’d bin Turki
Al-Khatslan, ‘Abd al-Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz dan ulama khalaf lainnya.
20 Emilia Renita AZ
sesat karena tidak menyebutkan haji dan menambah lagi satu rukun, yaitu khumus?
Masih dalam Al-Bukhari, dari Abu Ayyub al- Anshari, seorang lelaki berkata kepada Nabi Saw,
“Beritahukan daku tentang amal yang membawa aku ke surga!" Beliau bersabda, "Kausembah Allah tanpa menyekutukan Dia dengan apa pun, kaudirikan salat, kaukeluarkan zakat, dan kausambungkan silaturahmi."
Jika berdasarkan hadis ini, orang yang menyimpulkan bahwa silaturahmi termasuk rukun Islam, dan bukan haji, maka apakah ia orang sesat dan menyesatkan? Apakah kita akan mengatakan Al-Bukhari pengikut aliran sesat berdasarkan 10 kriteria aliran sesat karena ia mengingkari salah satu (yakni, haji) dan menambahkan satu lagi (yakni, silaturahmi) dalam bagian rukun Islam?
Last but not least, berikut ini adalah daftar tokoh- tokoh “yang sesat”, menurut Sepuluh Kriteria, karena mereka menambahkan rukun Islam yang keenam.
Rukun Islam yang Keenam: Amar Makruf Nahi Munkar. Al-Syaikh Yahya bin ‘Abd al-Rahman Imam Masjid al- Imam Ahmad, di daerah al-Salam, ustaz Al-Qur'an di Madrasah penghapal Al-Qur'an di al-Riyadh, Madrasah Abu ‘Umar al- Bashri berkata:
“Sesungguhnya amar makruf nahi munkar termasuk fardhu yang paling wajib dalam Islam, syiarnya yang paling utama.Sungguh, sebagian ulama telah menyebutkan bahwa kewajiban amar makruf nahi munkar adalah rukun Islam yang keenam.” Lihat http://www.al-forqan.net/articles/
print-2138.html, diunduh pada 30 November 2013.
Profesor Sa’d bin Turki Al-Khatslan adalah guru besar dalam ilmu Fiqh di Fakultas Syariah, di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud. Inilah fatwanya tentang rukun Islam yang keenam:
“Amar makruf nahi munkar adalah syiar agung agama Islam. Dengan syiar ini umat Islam mencapai kemuliaan.
Sebagaimana firman Allah swt, “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia, melakukan amar makruf nahi munkar dan beriman kepada Allah (Ali Imran 110). Sebagian ahli ilmu menganggapnya sebagai rukun Islam yang keenam.”
Lihat http://www.dd-sunnah.net/forum/showthread.php?
t=120497, diunduh pada 30 November 2013.
22 Emilia Renita AZ
Rukun Islam yang Keenam: Jihad fi Sabilillah.
‘Abd al-Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, grand mufti Saudi Arabia sejak 1993 sampai 1999, pemuka gerakan Salafi, berkata dalam blog resminya, “Sudah diketahui bahwa jihad adalah cabang iman, sehingga sebagian ahli ilmu memasukkan jihad sebagai rukun Islam yang keenam.” Lihat http://www.
binbaz.org.sa/mat/8376; diunduh pada 30 November 2013.
Jika mengingkari rukun iman dan rukun Islam diartikan mengingkari rukun iman dan rukun Islam seperti dirumuskan oleh penulis buku Panduan, maka sesatlah aliran yang dianut oleh Al-Bukhari, Muslim, dari ulama salaf, dan juga Al-Syaikh Yahya bin ‘Abd al- Rahman, Profesor Sa’d bin Turki al-Khatslan, ‘Abd al-Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, dan ulama khalaf lainnya.
Meyakini atau Mengikuti Akidah 2 yang tidak Sesuai dengan Dalil Syar'i
(Al-Quran dan Sunnah)
M
enurut dua mazhab yang besar—Ahlussunnah dan Syiah—salah satu tonggak utama dari akidah Islam ialah keyakinan bahwa Allah tidak setara, tidak serupa dengan apa pun dan siapa pun (Qs al-Syura [42]: 11); dan tidak ada seorang pun yang setara dengan dia (Qs al-Ikhlash [112]:4). Anak-anak madrasah dan sekolah menghapalkan salah satu sifat Allah yang wajib diketahui, ialah mukhālafatu lil- hawādits. Artinya:
“Sifat wajib pada zat Allah subhanahu wa ta’ala yang keempat adalah mukhalafatu lil hawadits. Mukhalafah artinya berbeda, sedangkan hawadits maksudnya adalah seluruh makhluk. Pengertian mukhalafatuhu lil hawadits adalah Allah subhanahu wa ta’ala berbeda (tiada serupa) dengan seluruh makhluk, baik manusia, jin, malaikat maupun makhluk yang lain seperti benda mati dan makhluk hidup lainnya. Dengan sifat ini dapat dipahami bahwa Allah ta’ala tidak sah (mustahil) bersifat
24 Emilia Renita AZ
dengan sifat-sifat makhluk, seperti berjalan dan duduk, misalnya, serta mustahil pula Dia mempunyai anggota badan, seperti mulut, mata, telinga dan anggota lainnya.”
(Lihat Blog Kaum Sarungan, http://kaum-sarungan.blogspot.
com/2011/04/4-mukhalafatuhu-lil-hawaditsi.html; diunduh 12 Desember 2013).
Akidah ini ditunjang baik oleh dalil aqli maupun naqli. Bagaimana kalau kita menemukan dewasa ini orang yang mempunyai keyakinan yang bercanggah dengan mukhalafatu lil hawadits. MUI—atau yang menyatakan mewakili MUI—pasti akan berkata bahwa orang itu sesat dan menyesatkan, sesuai dengan Sepuluh Kriteria Aliran Sesat.
Sekarang, ada aliran yang menegakkan akidahnya di atas pahaman yang bertentangan dengan mukhalafatu lil hawadits. Pahamannya disebut tasybih dan tajsim. Tasybih artinya menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dalam sifat-sifat-Nya, misalnya Allah bernapas, tertawa, duduk di atas kursi, turun dari Arasy ke langit dunia, dibatasi oleh ruang dan waktu. Tajsim artinya menganggap bahwa Allah Swt mempunyai tubuh—ada tangan lengkap dengan jari-jarinya, mata, kaki, dan rambut. Aliran yang berakidah tasybih disebut musyabbihah dan yang berakidah tajsim disebut mujassimah.
Jika mereka menemukan ayat-ayat atau hadis-hadis yang menunjukkan anggota badan Tuhan atau gerakan Tuhan, mereka melarang kita menakwilnya tapi harus menerima kata-kata itu dalam makna lahiriahnya. Mereka
M UI—atau yang menistahkan dirinya kepada MUI—tidak menganggap aliran ini
sesat, padahal mereka sudah mengajarkan akidah yang tidak sesuai dengan akidah
Al-Asy’ariyah yang menjadi pegangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Apalagi mereka menganggap orang yang melakukan takwil seperti Al-Asy’ariyah sebagai kafir dan wajib
dibunuh. Dalam akidahnya ada pengkafiran
dan terorisme sekaligus.
26 Emilia Renita AZ
melarang kita menafsirkannya sebagai kiasan. Tangan harus diartikan tangan, jari harus diartikan jari, dan seterusnya.
Ibn Khuzaimah, ulama besar abad ke-3 Hijriah, Syafi’i dalam fiqih dan Salafi dalam akidah, menulis Kitab al-Tauhid yang menegaskan sifat-sifat Allah yang serupa dengan makhluk-Nya. Kitabnya berisi bab-bab, seperti bab bahwa Allah berbentuk (Bab 8), tentang mata Allah (Bab 10), tangan Allah (Bab 13, 15, 16), jari-jari Allah (Bab 28), kaki Allah (Bab 29), dan Allah turun dari tempat atas ke tempat bawah (Bab 34).
Tokoh lain yang menolak takwil dan jatuh pada tajsim dan tasybih adalah Abu Ya’la bin al-Fura. Ia menulis kitab Ibthal al-Ta’wilat li Akhbar al-Shifat pada pertengahan abad kelima Hijriah. Buku ini tidak beredar sampai tahun 429 H. Gemparlah para ulama Baghdad, sebagaimana diceritakan ahli sejarah Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fi al- Tarikh, 8: 16, peristiwa tahun 459 H:
“Maka para ulama sudah mengingkari Abu Ya’la bin al-Fura al-Hanbali karena kitabnya yang menerangkan sifat-sifat Allah Swt yang menunjukkan bahwa ia berakidah tajsim.”
Ia menisbatkan dirinya pada mazhab Hanbali, tetapi para ulama mazhab Hanbali marah karenanya.
Muhammad Rizq Allah al-Tamimi al-Hanbali, sezaman dengan Ibn al-Fura, berkata, “Ia telah menimbulkan cacat
yang buruk pada mazhab Hanbali yang tidak bisa dicuci sampai hari kiamat.”
Anda dapat menemukan komentar ini pada kitab Daf’ Syubah al-Tasybih, (Tahqiq al-Kawtsari. Kairo: al- Maktabah al-Azhariah, tt, h. 9), yang ditulis semata-mata untuk membohongkan penisbatan mazhab tajsim kepada Imam Ahmad.
Bertahun-tahun kitab Ibthal al-Ta’wilat tersembunyi dan tidak disebut-sebut para ulama. Ulama semua mazhab—terutama pengikut Al-Asy’ari—menganggap buku ini sesat dan menyesatkan. Pada 1407 H, Muhammad bin Hamd al-Hamud al-Najdi, ulama besar Wahabi/
Salafi, menerbitkan buku ini dengan—sekelumit—kata pengantar: “Inilah kitab yang sangat istimewa dari segi pembahasannya, karena berisi penolakan kepada ta’wilat pengikut Al-Asy’ari, Mu’tazilah, dan Jahmiyah tentang hadis-hadis yang berkenaan dengan sifat...” (Ibthal al- Ta'wilat, h.4). Dari sini, perlahan tapi pasti, mazhab tajsim dan tasybih berkembang ke Indonesia melalui penyebaran Wahabi/Salafi.
MUI—atau yang menisbatkan dirinya kepada MUI—
tidak menganggap aliran ini sesat, padahal mereka sudah mengajarkan akidah yang tidak sesuai dengan akidah Al-Asy’ariyah yang menjadi pegangan Ahlussunnah wal-Jama’ah. Apalagi mereka menganggap orang yang melakukan takwil, seperti Al-Asy’ariyah, sebagai kafir dan wajib dibunuh. Dalam akidahnya, ada pengkafiran dan
28 Emilia Renita AZ
Perhatikan snapshot yang diambil dari Kitab Itsbat Shifat al-‘Uluw, tulisan Ibn Qudamah (Al-Madinah al-Munawwarah: Muassasah Ulum al-Qur'an, 1409, h.
185):
Terjemahan untuk yang digaris-bawahi (mengutip ucapan Ibn Khuzaimah):
Barangsiapa tidak meyakini bahwa Allah berada di atas Arasy-Nya, bahwa ia bersemayam di atas tujuh langit- Nya, ia kafir, harus diminta bertobat. Jika ia bertobat;
kalau tidak, lehernya ditebas dan dilemparkan ke tempat pembuangan sampah, sehingga kaum Muslim dan kafir dzimmi tidak terganggu dengan bau bangkainya.
Hartanya dijadikan rampasan perang, tidak boleh diwarisi oleh satu orang Muslim pun, karena Muslim tidak boleh mewarisi orang kafir, seperti sabda Nabi Saw.
Banyak sekali hadis yang aneh, yang ujung-ujungnya menyerupakan Tuhan dengan manusia. Di bawah ini kami kutipkan sebagian kecil saja, dan kami sertakan snapshot dari kitab-kitab rujukan kaum Wahabi/Salafi. Jika Anda menolaknya atau menakwilkannya, Anda dihitung kafir dan leher Anda harus ditebas.
Suara Tuhan bising seperti bunyi besi. Dari Abdullah bin Ahmad, ia berkata, “Jika Allah berkata-kata menyampaikan wahyu, para penduduk langit mendengar suara bising tidak ubahnya suara bising besi di suasana yang hening. Lihat snapshot yang diambil dari Kitab as- Sunnah, h. 71.
Tuhan dipikul empat malaikat. Abdullah bin Umar bin Khattab Ra mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas Ra. Abdullah bin Umar bertanya, "Apakah Muhammad Saw telah melihat Tuhannya?" Maka Abdullah bin Abbas pun mengutus orang untuk menjawabnya. Abdullah bin
30 Emilia Renita AZ
utusan itu bertanya lagi, "Bagaimana Rasulullah Saw melihat Tuhannya?" Abdullah bin Abbas mengirim surat jawaban, "Rasulullah Saw melihat Tuhannya di sebuah taman yang hijau dengan permadani dari emas; duduk di atas kursi yang terbuat dari emas, yang dipikul oleh empat malaikat. Satu malaikat dalam rupa seorang laki-laki, satu lagi dalam rupa seekor sapi jantan, satu lagi dalam rupa seekor burung elang, dan satu lagi dalam rupa seekor singa.”
Snapshot yang diambil dari Ibn Khuzaimah, Kitab al-Tauhid, h. 482 dan 483:
Tuhan seperti pemuda ganteng kelimis berambut keriting. Ibn Taimiyah menjawab orang yang mentakwil
K ITA ingin mengetahui apakah orang- orang yang menulis Buku Panduan setuju dengan tajsim? Apakah mereka mengikuti para ulama Wahabi/Salafi yang menolak
takwil? Jika jawabannya “ya”, maka 10 Kriteria itu harus dikenakan juga pada
mereka.
32 Emilia Renita AZ
melihat Tuhan dengan mengatakan bahwa Nabi Saw melihat-Nya ru’yat al-‘ain, dengan matanya sendiri. Sambil menyatakan hadis ini sahih, Ibn Taimiyah mengutip hadis yang meriwayatkan Nabi Saw bersabda, “Aku melihat Tuhanku dalam rupa pemuda kelimis (tidak berkumis dan tidak berjanggut) dengan rambut pendek yang banyak keritingnya di taman yang hijau.” (Lihat snapshot yang diambil dari Kitab Bayan Talbis al-Jahmiyyah, h. 290).
Kami ingin mengetahui apakah orang-orang yang menulis Buku Panduan setuju dengan tajsim? Apakah mereka mengikuti para ulama Wahabi/Salafi yang menolak takwil? Jika jawabannya “ya”, maka 10 Kriteria itu harus dikenakan juga pada mereka.
Snapshot dari Kitab Bayan Talbis al-Jahmiyyah, h. 290 :
Meyakini Turunnya Wahyu 3
sesudah Al-Quran
K
elompok Wahabi/Salafi pasti akan mengatakan bahwa mereka tidak meyakini adanya wahyu sesudah Al-Quran, tetapi mereka percaya bahwa (1) Umar mendapat “berita ilahi” (tahdits ilahi) langsung dari Allah Swt tanpa perantaraan Nabi; dan (2) sebagian di antara berita ilahi itu yang diperoleh Umar bertentangan dengan perbuatan dan perkataan Nabi Saw, tetapi bersesuaian dengan wahyu yang turun sesudah itu. Artinya, Umar dibenarkan dan Rasulullah disalahkan. Berikut ini adalah bukti-buktinya:Wahyu membenarkan ra'yu Umar dan menyalahkan Nabi Saw. Nabi Saw diriwayatkan bersabda,
“Sesungguhnya pada umat sebelum kalian ada orang-orang yang mendapat berita dari langit (muhaddatsun), maka jika ada seseorang di tengah umatku, orang itu adalah Umar.”
Lisan al-Arab, pada entri muhaddats, mengartikannya sebagai mulham, yaitu “orang yang dimasukkan ke dalam
34 Emilia Renita AZ
dan firasat. Inilah yang diberikan Allah secara khusus kepada orang yang dikehendaki-Nya di antara hamba- hamba pilihan-Nya semisal Umar.”
Ibn Taimiyah al-Harrani, embah-nya Salafi, mempertegas makna mulham dan muhaddats dengan mengatakan, “Tidak seorang pun di antara para wali umat ini yang mengambil sesuatu dari Allah langsung tanpa perantara Nabi lebih utama daripada Umar. Walaupun begitu, ia selalu memeriksakannya kepada Nabi Saw. Jika sesuai dengannya, ia terima. Jika bertentangan, ia tolak.”
Selanjutnya, Ibn Taimiyah berkata, “Yang dimaksud bahwa Umar bin al-Khattab adalah wali yang paling utama ialah ia mendapatkan informasi atau pemberitaan ilahi (tahdits ilahi) tanpa perantaraan Nabi, sebagaimana sudah diriwayatkan dalam Al-Tirmizi dari Nabi Saw. Beliau bersabda, 'Sekiranya aku tidak dibangkitkan sebagai nabi, pasti Umarlah yang akan dibangkitkan.'.”
Snapshot yang diambil dari Ibn Taimiyyah, Kitab al- Risalah al-Shafadiyah, h. 162 dan h. 163:
Tetapi anehnya, seperti yang sebentar lagi akan disampaikan, beberapa kali “ilham” itu datang kepada Umar, dan ilham itu bertentangan dengan ilham yang datang kepada Nabi Saw. Nabi Saw—bahkan Tuhan menurunkan wahyu—disesuaikan dengan pendapat Umar.
Ibn Qayyim al-Jauziyah, dalam Miftah Dar al-Sa’adah, 3: 328, mengutip dari Al-Bukhari dan Muslim, hadis berikut—terjemahannya di sini dan sesudahnya adalah snapshot dari kitab tersebut:
Ketika Nabi Saw bermaksud untuk mensalatkan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik, Umar berdiri dan merenggut pakaian Nabi Saw. Ia berkata, "Ya Rasulullah, kenapa engkau mensalatkan dia padahal Allah telah melarang kamu untuk mensalatkannya!" Rasulullah Saw bersabda, “Allah memberikan pilihan kepadaku. Dia berfirman, Kamu mintakan ampun bagi mereka atau tidak memintakan ampun bagi mereka, bahkan jika kamu meminta ampun kepada mereka 70 kali, Tuhan tidak akan mengampuni mereka (Qs al-Taubah [9]: 80)." Lalu, Nabi Saw menurunkan ayat, Janganlah kamu mensalatkan seorang pun di antara mereka yang mati selama-lamanya.
36 Emilia Renita AZ
(Qs al-Taubah [9]: 84). Setelah itu, Nabi pun tidak mensalatkan mereka lagi.
Lalu Ibn Qayim berkata, “Jika ini adalah kesesuaian Umar dengan Tuhannya dalam syara' dan agamanya, maka jika ia (yakni Umar) mengatakan sesuatu, apa yang dikatakannya itu akan menjadi perintah dan syariat. Tidak jauh dari itu ialah kesesuaian Umar dengan qadha dan qadar Allah Swt. Jika ia berbicara tentang sesuatu, ia akan menjadi apa yang diqadhakan dan ditakdirkan Allah Swt.”
(h. 328).
S ELANJUTNYA, Ibn Taimiyah berkata,
“Yang dimaksud bahwa Umar bin al-Khattab adalah wali yang paling utama ialah ia mendapatkan informasi atau pemberitaan
ilahi (tahdits ilahi) tanpa perantaraan Nabi, sebagaimana sudah diriwayatkan dalam Al-Tirmidzi dari Nabi Saw. Beliau bersabda, 'Sekiranya aku tidak dibangkitkan
sebagai nabi, pasti Umarlah yang akan
dibangkitkan.'.”
38 Emilia Renita AZ
Snapshot dari Miftah Dar al-Sa’adah, h. 327-328:
Dalam terjemahan bahasa Indonesia, untuk kalimat Umar waafaqtullah fi tsalatsin aw waafaqanii Rabbii fii tsalaatsin, penerjemah menulis, “Aku telah menepati Rabb-ku dalam tiga hal, atau Rabb-ku telah menyetujuiku dalam tiga hal”
(Shahih al-Bukhari). Jadi, ada dua muwafaqah, kesesuaian atau persetujuan. Muwafaqat Umar bin al-Khattab li al-Qur'an dan Muwafaqat Al-Qur'an li Kalam Umar bin al-Khattab. Pada muwafaqat yang pertama, ucapan Umar sesuai dengan Al-Quran yang datang kemudian. Pada yang muwafaqat kedua, ada ucapan Umar, kemudian Al-Quran mengutip ucapan Umar.
Pada kedua-duanya, Umar selalu dibenarkan Al-Quran, seperti dalam hadis dari Ibn Umar, “Tidak diturunkan pada manusia sesuatu perkara lalu mereka berkata dan Umar berkata, kecuali Al-Quran turun seperti apa yang dikatakan Umar.” Ibn Mardawaih dalam tafsirnya dari Mujahid berkata, “Umar mempunyai ra'yu, kemudian Al-Quran turun membenarkan ra'yunya.”
Abu Dawud meriwayatkan hadis dari Abu Dzar: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah Swt meletakkan kebenaran pada lidah Umar, (sehingga) Dia berfirman sesuai dengan ucapannya.”
(Lihat Jalaluddin al-Suyuthi, Natsr al-Durar Syarh Qathf al- Tsamar fii Muwaafaqaat Umar, h. 18).
Dr. Muhammad Ruwas Qal’ah Ji menutup Kitab Mawsu’ah Fiqh ‘Umar bin al-Khattab dengan Bab Muwafaqat
‘Umar menyebutkan 11 pendapat Umar yang disetujui
J IKA Tim Penulis MUI percaya bahwa ucapan ‘Umar menjadi bagian dari Al- Quran, jika 'Umar menerima langsung
ilham dari Tuhan tanpa perantaraan Nabi Saw, jika ra'yu 'Umar dibenarkan wahyu dan “pendapat” Rasulullah Saw disalahkan Tuhan, bukankah itu berarti bahwa MUI MEYAKINI TURUNNYA WAHYU SESUDAH AL-QURAN. Jadi, MUI
memenuhi kriteria ketiga aliran sesat.
Sebagian di antara pendapat Umar itu bertentangan dengan “pendapat” Nabi Saw dan bersesuaian dengan wahyu, seperti dalam kasus mensalatkan orang munafik dan tawanan Badar. Lebih menakjubkan lagi, disebutkan dalam kitab yang sama bahwa ‘Umar melengkapi kalimat akhir untuk salah satu ayat Al-Quran. Ketika Nabi Saw membaca Qs al-Mu’minun [23]: 14, dan berhenti pada Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain, Umar melanjutkan, Fa tabarakallahu ahsanul khaliqin (maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik). Tambahan dari ‘Umar itu sampai sekarang menjadi penutup ayat Qs al-Mu’minun [23]: 14. (Lihat Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al- Qurthubi, dan Tafsir al-Durr al-Mantsur pada penafsiran ayat tersebut).
Jika Tim Penulis MUI percaya bahwa ucapan ‘Umar menjadi bagian Al-Quran, jika 'Umar menerima langsung ilham dari Tuhan tanpa perantaraan Nabi Saw, jika ra'yu 'Umar dibenarkan wahyu dan “pendapat” Rasulullah Saw disalahkan Tuhan, bukankah itu berarti bahwa MUI MEYAKINI TURUNNYA WAHYU SESUDAH Al-Quran.
Jadi MUI memenuhi kriteria ketiga aliran sesat.
42
Mengingkari Otentisitas dan 4
Kebenaran Al-Quran
D
alam kriteria ini, ada dua persoalan. Pertama, mengingkari otentisitas Al-Quran, yakni menganggap Al-Quran yang ada sekarang sudah mengalami perubahan—karena adanya pengurangan atau penambahan. Dalam istilah Ulum Al-Quran, ini disebut tahrif. Kedua, menolak kebenaran Al-Quran ketika dihadapkan pada kebenaran-kebenaran yang lain. Masing- masing akan kita bahas dalam tulisan berikut.Mengingkari Otentisitas Al-Quran
Di antara 10 kriteria aliran sesat, rupanya kriteria nomor empat diberi ruang yang istimewa, walaupun argumentasi yang dikemukakan masih mengulangi dongeng-dongeng sebelumnya. Biar fair, di bawah ini dicantumkan terjemahan hadis-hadis dalam kitab-kitab hadis yang shahih dari Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, yang oleh ulama dianggap “kedua kitab itu adalah kitab-kitab yang paling sahih sesudah Kitabullah yang Agung”. (Muqaddimah Fath al-Bari, h. 8), “paling sahih sesudah Al-Quran” (Al- Nawawi, al-Taqrib 5).
Shahih al-Bukhari meriwayatkan ayat Al-Quran yang hilang. Di bawah ini adalah teks Arab dan terjemahannya dalam Shahih al-Bukhari yang menyatakan bahwa—
menurut Umar—ada ayat rajam yang hilang dan ayat tentang kekufuran orang yang membenci ayahnya. Berikut ini adalah snapshot yang diambil dari (d)da’wahrights 2010| http://abinyazahid.multiply.com izin terbuka untuk menyebarluaskan dalam rangka dakwah. Sumber konten dari: http://telkom-hadits9imam.com
Snapshot tentang ayat yang hilang dalam Shahih al- Bukhari, hadis 6328:
44 Emilia Renita AZ
Snapshot dari Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 12:
175, tentang bunyi ayat rajam yang sekarang ini hilang dalam Al-Quran: “Demi yang diriku ada di tangan- Nya, sekiranya orang tidak akan berkata bahwa 'Umar menambah-nambah Kitab Allah, aku akan tuliskan dengan tanganku sendiri: Al-Syaikhu wa al-Syaikhatu idza zanayaa farjumuuhuma al-battata.”
Snapshot dari Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 12:
Shahih Muslim meriwayatkan lagi banyak ayat yang hilang.
Di samping dua ayat yang disebutkan Al-Bukhari—ayat rajam dan ayat benci ayah—Muslim juga meriwayatkan banyak ayat Al-Quran yang hilang; bahkan ada sebuah surat yang hilang sama sekali, dan hanya satu ayat yang diingat oleh Abu Musa al-Asy’ari. Berikut ini snapshots dari (d)da’wahrights 2010| http://abinyazahid.multiply.
com izin terbuka untuk menyebarluaskan dalam rangka dakwah. Sumber konten dari: http://telkom-hadits9imam.
com.
Snapshot satu surat sepanjang al-Baraah dan satu surat sepanjang al-Musabbihat, Shahih Muslim, hadis 1740:
Di atas hanyalah sebagian, bukan terbatas, pada Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hadis-hadis itu dengan tegas menyatakan bahwa telah ada ayat-ayat yang hilang. Anda boleh menyebutnya tahrif, nasakh, tidak otentik, tidak orisinal, atau apa saja. Sebagaimana juga terdapat hadis-hadis semacam itu di kalangan Syiah. Jika
46 Emilia Renita AZ
MUI, MUI juga sesat karena mereka menerima Al-Bukhari dan Muslim sebagai kedua kitab yang paling sahih setelah Al-Quran. Dan kedua kitab ini telah meriwayatkan, antara lain, hadis-hadis di atas.
Jika hadis-hadis Syiah dibandingkan dengan hadis- hadis Sunni tentang tahrif Al-Quran, kita menemukan perbedaan utama:
(1) Dari segi sanad, ulama Syiah menganggap hadis- hadis tahrif dalam kitab-kitab hadis mereka sebagai hadis-hadis yang dha’if bahkan maudhu'. Sementara itu, ulama Sunni—termasuk MUI—menganggap hadis-hadis tahrif itu sahih. Ibn Hazm menganggap bahwa hadis-hadis tentang tahrif: Sanad-sanad ini sahih seperti cemerlangnya cahaya matahari. Tidak ada kecaman terhadapnya.1
1 Ini daftar ulama Sunni yang mensahihkan hadis-hadis tahrif:
1. Abd al-Razzaq al-San’ani dalam Al-Mushannaf; 2. Al-Firyabi, Muhammad bin Yusuf bin Waqid, guru Ahmad dan Al- Bukhari dalam tafsir dan musnad-nya; 3. Al-Thayalisi, Abu al- Walid Hisyam bin Abd al-Malik al-Bahili; 4. Ahmad bin Hanbal dalam musnad-nya; 5. Al-Bukhari, contohnya di atas; 6. Muslim, contohnya di atas; 7. Al-Tirmidzi dalam Al-Jami’ al-Shahih, 8.
Ibn Majah, dalam sunan-nya; 9. Al-Nasai dalam sunan-nya;10.
Abu Ya’la al-Maushuli dalam musnad-nya; 11. Al-Thabari dalam tafsirnya; 12. Al-Qurthubi, juga dalam tafsirnya; 13. Jalaluddin al-Suyuthi dalam Al-Itqan dan Tafsir al-Durr al-Mantsur.
(1) Dari segi dilalah, pemaknaan. Ulama Syiah meng- anggap tambahan dalam ayat-ayat seperti tercantum dalam hadis-hadis tahrif hanyalah tafsir atau takwil terhadap ayat-ayat tersebut, sedangkan hadis-hadis yang diriwayatkan Sunni jelas sekali menunjukkan tahrif, yang tidak bisa ditakwil atau diartikan lain.
(2) Dari segi jumlah, lebih banyak—jauh lebih banyak—
hadis-hadis tahrif di kalangan Sunni daripada Syiah.
(3) Ulama Syiah menganggap hadis-hadis tahrif bertentangan dengan ayat Al-Quran: Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami yang menjaganya” (Qs Al-Hijr [15]: 9). Menurut ulama ahli Sunnah, jika hadis bertentangan dengaan Al-Quran, hadislah yang harus diterima (lihat Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, h. 199; Sunan al-Darimi, 1:145;
Maqalat Islamiyyin, 1:324; 2:351; Dala'il al-Nubuwwah, 1:26; Mizan al-I’tidal, 1:107; al-Jami’ li-Ahkam al-Qur'an, 1:38,39). Mereka bahkan mengatakan bahwa hadis,
“Ukurlah hadis dengan Al-Quran” sebagai hadis palsu yang dibuat oleh orang zindiq (Jami’ Bayan al-
‘Ilm 2: 233).
(2)
(3) (4)
S EKALI LAGI, jika kriteria MUI ini diterapkan dengan konsisten, maka MUI mestinya yang pertama disesatkan, karena mempercayai hadis-hadis tahrif—
pengurangan dan penambahan Al-Quran—
hanya karena diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Tetapi jika bersama ulama Syiah, MUI menolak hadis-hadis semacam
itu, maka MUI selamat dari kriteria yang
ditetapkannya.
Sekali lagi, jika kriteria MUI ini diterapkan dengan konsisten, maka MUI mestinya yang pertama disesatkan, karena mempercayai hadis-hadis tahrif—pengurangan dan penambahan Al-Quran—hanya karena diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Tetapi jika bersama ulama Syiah, MUI menolak hadis-hadis semacam tersebut di atas, maka MUI selamat dari kriteria yang ditetapkannya.
Menolak Kebenaran Al-Quran. Menyambung pembicaraan di atas, ada ulama yang menyatakan bahwa jika kebenaran Al-Quran dihadapkan dengan kebenaran hadis, kita harus menolak kebenaran Al-Quran. Menurut mereka, kelirulah orang yang menetapkan Al-Quran sebagai tolok ukur untuk menilai hadis. Yang benar—kata sebagian ulama—ialah menetapkan hadis sebagai tolok ukur untuk kitab Allah. Dalam bahasa Arabnya, al-sunnah qadhiyatun ‘ala Kitab Allah. Sunan al-Darimi, sebagaimana diperlihatkan dalam snapshot berikut ini, menyebut bab 49 dalam kitab hadisnya—ulangi!—Bab al-Sunnah qadhiyatun
‘ala Kitab Allah.
50 Emilia Renita AZ
Snapshot dari al-Darimi 1:153
Menurut Syiah, Al-Quran adalah tolok ukur kebenaran hadis. Syiah mendasarkan hal ini ini pada keyakinan bahwa, pertama, semua ayat Al-Quran bersifat qath’i secara riwayat, sedangkan hadis hampir semuanya bersifat zhanni. Artinya, dalam bahasa orang awam, semua ayat Al- Quran sahih, tidak ada yang dha'if. Kedua, semua mazhab sepakat bahwa Al-Quran adalah sumber hukum yang pertama. Para ahli ushul mengatakan bahwa yang asal dalam dalil syar’i adalah Al-Quran, karena ia datang dari Allah sebagai musyarri’. Ketiga, Syiah mengikuti petunjuk Rasulullah Saw dalam menyaring hadis. Hadis berikut ini disahihkan Sunni, tetapi di-dha'if-kan dan ditolak oleh sebagian ulama Ahlussunnah dan semua Wahabi.
Jika Anda membuka http://www.dorar.net/lib, cari hadis dengan menggunakan kata ”
هقفاو
” , Anda akan menemukan hadis-hadis semakna dengan hadis ini—yang dikutip sebagai contoh saja.Rasulullah Saw bersabda, “Hai Umar, mungkin nanti ada seseorang bersandar pada tempat duduknya kemudian membohongkanku. Apa yang datang dariku, ukurlah dengan Al-Quran. Jika sesuai dengan Al-Quran, terimalah, karena aku pasti mengatakannya. Jika tidak sesuai, pasti aku tidak mengatakannya.”
J ALALUDDIN al-Suyuthi mengutip ucapan sahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir, Abdullah bin Abbas. Ia menjelaskan bahwa kepala dan kaki harus diusap, bukan
dibasuh. Ibn Abbas berkata, “Orang banyak maunya hanya membasuh padahal aku tidak dapatkan dalam Kitab Allah kecuali mengusap.” Masih kata Ibn ‘Abbas, “Wudhu
itu dua basuhan dan dua usapan.” Al-Sya’bi berkata, “Al-Quran turun dengan perintah mengusap (kaki), tetapi Sunnah menyuruh
kita membasuh.” Apa yang Anda pilih?
Anda tinggalkan Al-Quran dan Anda ambil Sunnah? Anda tolak kebenaran Al-Quran
dan Anda terima kebenaran hadis?
Bukankah hadis ini sangat jelas untuk menjadikan Al-Quran tolok ukur hadis, apakah hadis itu diterima atau ditolak? Hadis ini, menurut http://www.dorar.net/lib, diriwayatkan juga oleh Imam al-Syafi’i dalam al-Umm;
Yahya bin Ma’in dalam ‘Aridhah al-Ahudzi; Al-Khithabi dalam Ma’alim al-Sunan, 4: 276; Al-Fairuzabadi dalam Safar al-Sa’adah, 355; Al-Suyuthi dalam al-Jami’ al-Shaghir, 1151;
Al-‘Ajluni dalam Kasyf al-Al-Khifa 2:569; Al-Syaukani dalam Al-Fawa'id al-Majmu’ah, 291; Al-Albani dalam Al-Silsilah al- Dha’ifah, 1400. Tetapi menurut penilaian ahli hadis, semua hadis itu dha’if, bahkan palsu, seperti komentar di bawah hadis yang tersebut di atas: Intinya ialah hadis ini tidak ada asalnya, dibuat oleh orang zindiq.
Ajaib! Hadis yang matan-nya sangat diterima akal sehat dan sesuai dengan kandungan ayat-ayat Al-Quran sekarang dianggap sebagai hadis palsu. Bukankah Nabi Saw ditugaskan Tuhan “menjelaskan” ayat-ayat Allah dan bukan menentangnya (Qs al-Nahl [16]: 44 dan 64)?
Bukankah Nabi Saw diperintahkan untuk “berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah dan tidak boleh mengikuti hawa nafsu mereka” (Qs al-Ma'idah [5]: 48)?
Pandangan ini jelas menerima kebenaran hadis dengan menolak kebenaran Al-Quran. Apakah pandangan ini dijalankan oleh para ulama dan kaum Muslim? Apakah jika hadis bertentangan dengan Al-Quran, ada kelompok kaum Muslim yang mengikuti hadis dan meninggalkan Al-Quran?
54 Emilia Renita AZ
Mudah-mudahan Anda tidak terkejut, inilah contohnya. Menurut Al-Quran, wudhu itu dijalankan dengan cara dan urutan berikut: membasuh wajah dan kedua tangan, mengusap rambut dan kaki. Perhatikan bahwa muka dan tangan dibasuh, sedangkan rambut dan kaki diusap atau disapu. Tetapi karena ada hadis yang menyebutkan kaki dibasuh, Al-Quran pun—dalam terjemahan—ditambahi dengan—dalam kurung—
“basuh”. Perhatikan terjemahan resmi berikut:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki... (Qs al-Ma'idah [5]: 6)
Bacalah terjemahan di atas semuanya kecuali yang ada dalam kurung. Tanyakan kepada anak kecil—di negeri Arab atau di Indonesia—mana yang harus diusap dan mana yang harus dibasuh? Jangan laporkan kepada saya jawaban mereka. Itu bukan pendapat anak kecil, tetapi juga para mufasir.
Al-Fakhr al-Razi, dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, menyebutkan dua qira'at (bacaan) untuk kalimat berikut:
wa arjulikum dan wa arjulakum:
Jika dibaca wa arjulikum, jelaslah kaki harus diusap, karena kata arjulikum di-’athaf-kan pada ru'uusikum. Bagaimana jika dibaca wa arjulakum?
Al-Fakhr al-Razi berkata, di bawah ini terjemahnya dan setelah itu snapshot-nya, dari al-Fakhr Al-Razi, TafsirMafatih al-Ghaib 11: 165:
Jika sudah jelas begitu, maka kami berkata,
"Jelaslah bolehnya menghubungkan 'amil (yang mempengaruhi posisi nashab) kepada wamsahu, tetapi boleh juga menghubungkannya kepada faghsilu. Tetapi jika dua ‘amil berkumpul pada satu ma’mul (posisi obyek), maka kita harus mengambil yang paling dekat." Yang paling dekat dengan wa arjulakum adalah wamsahuu. Karena itu, yang kuat ialah bahwa pembacaan wa arjulakum juga mewajibkan kaki diusap (disapu). Dengan begitu, benarlah mengambil dalil dengan ayat ini untuk wajibnya mengusap (kaki). Kemudian mereka berkata, "Tidak boleh menolak makna ini karena ada hadis-hadis yang termasuk paling tinggi adalah hadis ahad. Tidak boleh Al-Quran dihapus oleh hadis ahad."
Begitu kata Al-Fakhr al-Razi. Tapi tengoklah apa yang diajarkan para ulama dan yang Anda praktikkan.
Bukankah Anda “membasuh kaki” dan tidak mengusapnya.
Dasarnya apa? Hadis!
B ERANIKAH MUI memfatwakan bahwa Anda semua “yang membasuh kaki”
termasuk aliran sesat, karena melanggar kriteria keempat MENGINGKARI OTENTISITAS DAN KEBENARAN AL-
QURAN?
Snapshot al-Fakhr al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, 11:165 :
Jalaluddin al-Suyuthi mengutip ucapan sahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir, Abdullah bin Abbas. Ia menjelaskan bahwa kepala dan kaki harus diusap, bukan dibasuh. Ibn Abbas berkata, “Orang banyak maunya hanya membasuh padahal aku tidak dapatkan dalam Kitab Allah kecuali mengusap.” Masih kata Ibn ‘Abbas, “Wudhu itu dua basuhan dan dua usapan.” Al-Sya’bi berkata, “Al- Quran turun dengan perintah mengusap (kaki), tetapi Sunnah menyuruh kita membasuh (kaki).” Apa yang dipilih Anda? Anda tinggalkan Al-Quran dan Anda ambil Sunnah. Anda tolak kebenaran Al-Quran dan Anda terima kebenaran hadis.
58 Emilia Renita AZ
Snapshot dari Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur 5:206
Menurut Al-Suyuthi, dalam Al-Khasha'ish al-Kubra, 1: 94, yang ia kutip dari Sunan al-Baihaqi, dan kitab Abu Nu'aim dengan sanad dari 'Urwah bin Zubair, Nabi Saw pada awal kenabiannya melihat Jibril berwudhu dengan membasuh muka dan kedua tangan sampai ke siku dan menyapu kepala dan kedua kaki sampai mata kaki.
Al-Halabi, dalam Al-Sirah al-Halabiyyah, 1: 260, menerangkan hal yang sama, yakni Jibril berwudhu dengan membasuh wajah dan dua tangan, dan menyapu
kepala dan kedua kaki seperti di atas. Al-Halabi menyebut- kan bahwa itu terjadi pada awal bi'tsah (kenabian).
Beranikah MUI memfatwakan bahwa Anda semua “yang membasuh kaki” termasuk aliran sesat, karena melanggar kriteria keempat MENGINGKARI OTENTISITAS DAN KEBENARAN AL-QURAN?
60
Menafsirkan Al-Quran yang tidak Berdasar 5
Kaidah-kaidah Tafsir
T
im perumus 10 Kriteria Aliran Sesat tidak menjelaskan, bahkan tidak menyebutkan, kaidah tafsir yang mana yang dilanggar oleh Syiah, sehingga Syiah layak dikatakan sesat. Saya tidak tahu rujukan kaidah yang dipergunakan para perumus tersebut. Apakah 71 kaidah tafsir dari Syaikh‘Abdurrahman al-Sa’di dalam kitabnya al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur'an? Manakah di antara 71 kaidah itu yang tidak dipenuhi oleh tafsir Syiah? Ataukah kaidah tafsir dari Khalid bin Utsman al-Sabt dalam Qawa'id al-Tafsir: Jam’an wa Dirasatan. Al-Sa’di dalam kitab tersebut di atas tidak membedakan antara kaidah tafsir dan kaidah Al-Quran, qawa’id qur'aniyyah; sehingga dari 71 yang disebutnya sebagai kaidah tafsir, 51 di antaranya bukan kaidah tafsir, tetapi kaidah qur'aniyyah. Hanya 20 di antaranya yang benar-benar kaidah tafsir.
Dengan meninggalkan perbedaan tentang apa yang disebut kaidah tafsir, pembahasan di sini akan difokuskan pada Israiliyat. Tidak jadi soal apakah sikap mufasir pada
Israiliyat itu termasuk kaidah tafsir atau bukan.
Israiliyat adalah kisah atau kejadian yang diriwayatkan berdasarkan sumber-sumber dari Yahudi dan Nashara.
“Tetapi makna (Israiliyat) diperluas oleh sebagian mufasir dan muhadis dengan menganggapnya sebagai upaya Yahudi dan lain-lain untuk mencemari tafsir dan hadis dengan berita-berita yang tidak ada pada sumber-sumber terdahulu. Berita itu adalah ciptaan musuh-musuh Islam...
Mereka masukkan ke dalam tafsir dan hadis untuk merusak akidah kaum muslim.” (Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, h. 13-14).
Al-Thabathabai, mufasir Syiah Imamiyah, menolak Israiliyat sama sekali atau menerimanya dengan sangat sangat kritis. Ia menerimanya selama tidak bertentangan dengan dalil aqli dan naqli yang sahih. Sebagai contoh, dalam kisah Nabi Dawud As dengan istri Uria, Al- Thabathabai menegaskan sikapnya terhadap Israiliyat dengan mengutip Tafsir Majma’ al-Bayan: “Kisah ini tidak ada bandingannya dalam hal keburukannya. Sungguh, kisah ini mencemarkan kemuliaan (Nabi Dawud).
Bagaimana mungkin para nabi Allah, kepercayaan Tuhan pada wahyu-Nya dan para utusan-Nya di antara Allah dan makhluk-Nya, digambarkan dengan gambaran yang tidak bisa diterima kesaksiannya dan dalam keadaan yang tidak enak didengar dan mustahil diterima.” (Tafsir al-Mizan, 17:200).
Marilah kita lihat bagaimana sikap Ibn Katsir, murid
P ERTANYAAN kita pada para penulis Buku Panduan, manakah yang harus dianggap sesat: Tafsir Syiah —seperti Tafsir
Al-Thabathabai—yang menolak Israiliyat atau tafsir Wahabi/Salafi—seperti Tafsir
Ibn Katsir—dan tafsir-tafsir lain yang menjelaskan ayat Al-Quran dengan kisah yang sudah Anda baca. Gunakan akalmu, wahai orang-orang pintar, seberapa pun
kalian miliki. Manakah yang melanggar
kaidah tafsir!
kisah “penyucian” Nabi Musa As yang dikutip oleh berbagai tafsir, dan pada gilirannya mereka mengutipnya dari Shahih al-Bukhari (karena itu, tidak seorang pun berani menolaknya, betapapun ia bertentangan dengan kemaksuman para nabi dan kemuliaan mereka). Di bawah ini, saya kutip Tafsir Ibn Katsir—berikut ini terjemahnya dan snapshot dari kitab tersebut:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda,
“Sesungguhnya Musa As adalah orang yang sangat pemalu dan sopan. Ia tidak memperlihatkan kulitnya sedikit pun karena rasa malunya. Maka Bani Israil menyakitinya dan berkata, 'Ia menyembunyikan seperti ini tidak lain karena ada cacat pada kulitnya atau sampar atau hernia atau penyakit lainnya.' Allah Swt ingin membersihkan Musa As dari apa yang mereka katakan. Pada suatu hari, Nabi Musa As menyendiri. Ia membuka bajunya dan meletakkannya di atas batu. Lalu ia mandi. Setelah selesai mandi, ia bermaksud untuk mengambil pakaiannya. Tiba-tiba batu itu bergerak membawa pakaiannya. Musa As mengambil tongkatnya dan mengejar batu itu. Tidak henti-hentinya ia berkata, 'Hai batu, pakaianku! Hai batu, pakaianku!' Sampailah ia di tengah-tengah Bani Israil. Mereka melihat Musa telanjang bulat.
Mereka saksikan Musa dalam keadaan yang terbaik yang diciptakan Allah Swt. Dengan begitu, Allah
64 Emilia Renita AZ
omongkan. Berhentilah batu itu. Ia mengambil pakaiannya dan mengenakannya. Ia memukuli batu itu dengan tongkatnya. Demi Allah, sesungguhnya di atas batu itu ada tanda bekas pukulannya tiga atau empat atau lima." Nabi Saw selanjutnya bersabda,
"Demikianlah maksud Allah Swt dalam firmannya, Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah (Qs al-Ahzab [33]:
69). Menurut Ibn Katsir, hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dan tidak oleh Muslim.
Snapshot dari Ibn Katsir 6:485 :
Hadis yang dikutip oleh Ibn Katsir di atas jelas sekali Israiliyat, bersumber dari orang-orang Yahudi. Kisah para nabi yang telanjang banyak terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama (lihat antara lain, Kejadian 2: 25, Kejadian 9: 21, 1 Samuel 19: 24). Cerita ini mencemarkan kehormatan Nabiyullah Musa As, karena Tuhan “membersihkan”
salah seorang Ulul-Azmi dengan mempertontonkan kekasih-Nya dalam keadaan telanjang di hadapan orang banyak. Lalu, seperti anak kecil, Nabi Musa mengejar batu yang—seperti Jaka Tarub—membawa lari pakaiannya.
Subhanallahi ta’ala ‘amma yashifun.
Kisah Musa ini disebutkan dalam Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Alusi, Tafsir al-Durr al-Mantsur, Adhwa' al-Bayan fi Idhah al-Qur'an bi al-Qur'an, Tafsir al- Baghawi, Tafsir al-Nukat wa al-‘Uyun, Lubab al-Ta’wil, al- Lubab fi ‘Ulum al-Kitab, Tafsir al-Siraj al-Munir, Tafsir al- Sa’di, Ahkam al-Quran dari Ibn ‘Arabi, Ahkam al-Quran dari Al-Jashash (untuk menyingkatkan tulisan ini, tidak disebutkan juz dan halamannya, tapi lihatlah pada tafsir tentang Qs al-Ahzab [33]: 69 pada kitab-kitab tersebut).
Pertanyaan kami pada para penulis Buku Panduan, manakah yang harus dianggap sesat: Tafsir Syiah—seperti Tafsir Al-Thabathabai—yang menolak Israiliyat atau tafsir Wahabi/Salafi—seperti Tafsir Ibn Katsir—dan tafsir- tafsir lain yang menjelaskan ayat Al-Quran dengan kisah yang sudah Anda baca. Gunakan akalmu, wahai orang- orang pintar, seberapa pun kalian miliki. Manakah yang
66
Mengingkari Kedudukan Hadis sebagai Sum- 6
ber Ajaran Islam
M
UI tidak menggunakan kriteria ini untuk Syiah.Yang paling cocok dengan kriteria ini adalah kelompok Quraniyun, a.k.a Inkar Sunnah, yang hanya berpegang kepada Al-Quran saja. Menurut Ibn Hazm,
“Sekiranya ada orang yang berkata, 'Kami tidak akan mengambil kecuali apa yang terdapat dalam Al-Quran saja,' ia telah kafir dengan ijma' seluruh umat. Orang yang berkata begitu adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya.” (Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 1: 208).
Bagaimana jika ada orang yang berkata, “Pada kami ada Kitab Allah. Cukuplah itu bagi kami.” (Shahih al-Bukhari, hadis 111); atau memerintahkan kepada orang banyak, “Janganlah kamu menyampaikan sedikit pun dari hadis Rasulullah Saw. Siapa saja yang bertanya kepadamu, katakan, 'Di antara kami dan kalian ada Kitab Allah.
Halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan apa yang diharamkannya.'?" (Al-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh 1, h.
2-3).
Syiah tidak meriwayatkan hadis Sunni. Karena orang Syiah menggunakan hadis sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Quran, Syiah hanya dituduh menolak hadis-hadis dari Ahlussunnah seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Di bawah ini ada snapshot dari Tafsir al-Mizan, kitab tafsir Syiah. Di situ, kita melihat Al-Thabathabai merujuk kepada hadis-hadis Ahlussunnah, misalnya Kitab al- Jam’ bain al-Shihah al-Sittah. Kitab Tafsir al-Thabathabai meriwayatkan banyak hadis bukan saja dari Shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim, tetapi juga dari kitab-kitab hadis Sunni lainnya.
Di bawahnya lagi ada snapshot dari Tafsir Ibn Katsir.
Di situ, tidak ada satu hadis pun yang merujuk kepada kitab-kitab hadis Syiah seperti Al-Kafi atau Bihar al-Anwar.
Kesimpulannya? Terserah orang-orang pintar di MUI.
68 Emilia Renita AZ
Snapshot dari Tafsir al-Mizan, 6:22 :
Snapshot dari Ibn Katsir, 3:138
D ALAM Tafsir al-Mizan, kitab tafsir Syiah, kita melihat Al-Thabathabai merujuk kepada
hadis-hadis Ahlussunnah, misalnya Kitab al-Jam’ bain al-Shihah al-Sittah. Kitab Tafsir al-Thabathabai meriwayatkan banyak hadis bukan saja dari Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim, tetapi juga dari kitab-kitab hadis Sunni lainnya.
Sebaliknya, dalam Tafsir Ibn Katsir tidak ada satu hadis pun yang merujuk kepada kitab-kitab hadis Syiah seperti Al-Kafi atau
Bihar al-Anwar. Kesimpulannya? Terserah
orang-orang pintar di MUI.
Menolak hadis yang qath’i al-riwayah. Seharusnya MUI menambahkan keterangan bahwa termasuk mengingkari kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam ialah menolak hadis sahih, apalagi mutawatir. Tapi penjelasan ini mungkin yang dimaksud dalam kriteria ketujuh:
mendustakan Nabi Saw. Kita akan membicarakannya pada bagian selanjutnya.
72
Melecehkan dan Mendustakan 7
Nabi dan Rasul (Saw)
M
elecehkan atau meruntuhkan kehormatan Nabi Saw. Tidak ada keterangan dari Buku Panduan yang menyebutkan pelecehan yang dilakukan Syiah pada Nabi Saw. Syiah begitu memuliakan Nabi Saw sehingga mereka dituduh melakukan kultus individu. Syiah membela kehormatan Nabi Saw beserta keluarganya yang suci sehingga mereka dituduh sesat. Syiah mencintai Nabi Saw begitu besar, sehingga setiap kali disebut namanya, mereka menggemakan salawat dan salam kepadanya.Syiah merindukan Nabi Saw begitu hangat sehingga airmata mereka berlinang ketika berziarah kepadanya;
sehingga lantaran itu mereka dituduh musyrik!
Syiah meletakkan Nabi Saw dalam posisi tak pernah salah dalam segala hal, sehingga mereka marah sekali jika ada orang atau paham yang melecehkan Nabi Saw; sehingga mereka juga sangat kritis terhadap hadis-hadis yang mendiskreditkan, merendahkan, dan menggambarkan perilaku buruk Rasulullah Saw. Berikut
ini—termasuk tapi tidak terbatas—pada dua buah contoh bagaimana Nabi Saw digambarkan dalam kitab-kitab hadis (seharusnya menyakitkan semua kaum Muslim, bukan hanya Syiah):
Nabi Saw tidur siang di rumah seorang perempuan yang bukan muhrim.1 Dari Ishaq bin Abi Abdillah bin Abi Talhah dari Anas bin Malik Ra, ia mendengarnya berkata:
Rasulullah Saw masuk ke (rumah) Umm Haram binti Milhan yang kemudian memberinya makan. Waktu itu, Umm Haram adalah isteri ‘Ubadah bin al-Shamit. Rasulullah Saw masuk ke dalamnya. Maka ia pun memberikan makan kepadanya dan lalu mencari kutu di kepalanya.2 Ia terbangun sambil tertawa. Umm Milhan bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau tertawa, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Sekelompok umatku diperlihatkan kepadaku sedang berperang di jalan Allah. Mereka mengarungi lautan sebagai raja-raja di atas singgasananya—atau seperti raja di atas singgasananya (Abu Ishaq ragu). Ummu
1 Dikutip sepenuhnya dari arsip artikel Ustad Jalaluddin Rakhmat yang belum diterbitkan.
2 Lidwa.com menerjemahkan kata dengan “mencari kutu” (terjemahan yang benar seperti dapat kita baca pada kamus-kamus Arab atau syarah hadis) pada Shahih al-Bukhari, tetapi dengan “menahan kepala” pada Sunan al-Tirmidzi 1569,
“membersihkan kepala” pada Sunan al-Nasa'i, dan “menyangga kepala” pada Muwaththa’ Malik. Mungkin para penerjemah ingin menghindari kemusykilan perilaku Nabi Saw di rumah istri orang yang bukan muhrim, walaupun terjemahan tersebut
74 Emilia Renita AZ
Haram berkata, "Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah supaya Dia jadikan aku salah seorang di antara mereka."
Rasulullah Saw pun mendoakannya. Kemudian beliau meletakkan kepalanya. Lalu beliau bangun lagi sambil tertawa. Aku bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau tertawa, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Sekelompok umatku diperlihatkan kepadaku sedang berperang di jalan Allah—beliau berkata seperti yang pertama." Aku berkata,
"Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah supaya Dia jadikan aku salah seorang di antara mereka." Beliau bersabda,
"Kamu akan berada pada kelompok yang pertama." (Kelak) Umm Haram mengarungi lautan pada zaman Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia terbanting dari kendaraannya ketika keluar dari laut dan meninggal dunia.”1 (Lihat snapshot Shahih al-Bukhari 6486).
Dalam hitungan Ibn Hajar al-Asqalani, hadis ini disebut sampai enam kali pada nomor-nomor hadis berikut: 2788, 2799, 2877, 2894, 6282, 7001 (Al-`Asqalani, 6:
10). Sunnahnya dapat dilihat pada judul-judul bab dalam Shahih al-Bukhari.
Ketika sampai pada ulasan tentang Kitab al-Isti’dzan, Ibn Hajar al-Asqalani memasukkan pembahasan terperinci tentang al-fawa'id yang belum disebutkan oleh Al-Bukhari
1 Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ta’bir, Bab Al-Ru`ya bi al-Nahar, hadis 6486; Shahih Muslim 3535, Sunan al-Tirmidzi 1569, Sunan al-Nasai 3120, Sunan Ibn Majah 2766, Musnad Ahmad 13290.
dengan judul-judul bab di atas. Kata Ibn Hajar, hadis ini menunjukkan :
• Dibolehkannya berharap untuk mati syahid dan bahwa yang mati dalam keadaan berperang akan bergabung dengan orang yang terbunuh dalam perang itu.
• Dibolehkan mengeluarkan dari badan apa yang mengganggu badan, seperti kutu dan sejenisnya.
• Dibolehkan seorang tamu tidur bukan di rumahnya asalkan ada izin dan terjaga dari fitnah (godaan).
• Dibolehkan bagi seorang perempuan untuk melayani tamunya yang bukan muhrim dengan mencari kutunya.
Ketika sampai pada bagian terakhir, Ibn Hajar menceritakan kemusykilan yang berkaitan dengan perilaku Rasulullah Saw di rumah perempuan yang bukan istrinya, bahkan ketika suaminya tidak ada. Ada yang mengatakan bahwa Umm Haram itu saudara sesusuan dengan Nabi Saw, sehingga
76 Emilia Renita AZ
Snapshot Shahih Bukhari 6486
Nabi Saw tidur siang di sisinya dan tidur di atas pangkuannya serta Umm Haram mencari kutu di kepala Nabi Saw.
Pada riwayat Abu Dawud, Kitab al-Jihad, Bab Fadhl al-Ghazw fī al-Bahr, dari `Atha bin Yasar, dari saudara Umm Sulaim, Al-Rumaisa, ia berkata:
Apa yang dilakukan oleh Nabi Saw itu bisa diterima apabīla beliau memang bermuhrim dengan Umm Haram.
Tetapi Ibn Hajar menolak ihtimal mahramiyah. Artinya, Umm Haram bukan mahram Nabi Saw. Ia istri ‘Ubadah bin Shamit. Kalau benar seperti itu, apakah yang dilakukan Nabi Saw itu teladan yang baik?
Bukankah dalam hadis-hadis sahih lainnya ditunjukkan bahwa Nabi Saw sangat mememelihara kehormatan dirinya bahkan ketika menghadapi istrinya.
Nabi Saw tidur kemudian bangun dan Umm Haram sedang mencuci kepalanya, dan bangunlah Nabi Saw sambil tertawa. Umm Haram berkata,
"Ya Rasulullah, apakah engkau menertawakan kepalaku." Beliau menjawab, "Tidak."