dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Begitu juga
Syiah!
su rah an-Najm, demikian juga kaum Muslim, orang-orang musyrik, jin dan seluruh manusia yang hadir.” Hal ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim bin Thahman dari Ayyub, namun Ibn 'Ulayyah tidak menyebutkan Ibn Abbas.
Untuk melengkapi hadis Al-Bukhari ini, bacalah kitab-kitab tafsir (Thabari, Qurthubi, Ibn Katsir, Al-Jalalain, Al-Nasafi, Al-Syaukani, Al-Fakhr Razi, Abu al-Su’ud, Al-Baidhawi, Al-Alusi, Al-Samarqandi, Al-Tsa’labi, Al-Kasyaf, Zad al-Masir, Ruh al-Bayan, Al-Baghawi, Lubab al-Ta’wil, Ghara'ib al-Qur'an, Al-Wahidi al-Sa’di, Al-Siraj Munir, Ahkam Qur'an Ibn Arabi, Ahkam Qur'an al-Jashash, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, dsb) tentang penjelasan ayat Qs al-Hajj [22]: 52: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak [pula] seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Mereka menyebut asbab al-nuzul ayat ini pada peristiwa ayat-ayat setan yang disebut Al-Bukhari dengan singkat. Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 8/439, menjelaskan peristiwa itu dengan lengkap. Dari kitab-kitab tersebut, di sini hanya dikutip salah satu hadis dalam Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir bi al-Ma’tsur, 10: 526, pada tafsir al-Hajj: 52:
Dari Sa’id bin Jubair. Ia berkata: Rasulullah Saw
134 Emilia Renita AZ
(al-Najm [53]: 19-20), setan memasukkan ke lidah beliau:
Itulah burung-burung gharaniq terdahulu, dan sungguh syafaatnya diharapkan.
Orang-orang musyrik berkata, "Sebelum ini, ia tidak pernah menyebut tuhan-tuhan kita dengan baik."
Maka Nabi Saw bersujud dan bersujud pulalah mereka.
Kemudian Jibril datang sesudah itu. Ia berkata, "Bacakan lagi apa yang Kuwahyukan kepadamu." Ketika beliau sampai pada ayat:
Jibril berkata kepadanya, "Aku tidak memberikan kepadamu ayat ini. Ini dari setan." Lalu Allah Swt menurunkan ayat Qs al-Hajj [22]: 52: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak [pula]
seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu...
Snapshot al-Durr al-Mantsur, 10:526, Ayat-ayat Setan1
1 Salman Rushdie, terinspirasi dengan hadis-hadis ini, menulis buku Satanic Verses. Kaum Muslim memprotesnya tanpa mengetahui bahwa kisah 'Ayat-ayat Setan' terdapat pada kitab-kitab hadis shahih seperti Shahih al-Bukhari dan tafsir-tafsir Sunni
136 Emilia Renita AZ
(3) Rasulullah Saw berijtihad, dan ijtihadnya salah.
Seperti telah disebutkan terdahulu, Nabi Saw mensalati tokoh munafik Abdullah bin Ubay, lalu Umar melarangnya.
Larangan Umar ternyata benar dan shalat Rasulullah Saw untuk orang munafik itu keliru. Apa yang terjadi di sini ialah ijtihad Nabi Saw salah dan ijtihad Umar benar (Shahih al-Bukhari, hadis 1190, 1277, 4304). Nabi juga pernah berijtihad dalam urusan tawanan Perang Badr. Umar juga berijtihad. Ternyata ijtihad Umar yang benar, sehingga hampir-hampir Nabi Saw mendapat azab Allah Swt. Di bawah adalah kutipan dari Shahih Muslim, hadis 3309:
Tatkala tawanan telah mereka tahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu
Bakar dan Umar, “Bagaimana pendapat kalian mengenai tawanan ini?” Abu Bakar menjawab,
“Wahai Nabi Allah, mereka adalah anak-anak paman dan masih famili kita. Aku berpendapat, sebaiknya kita pungut tebusan dari mereka. Dengan begitu, kita akan menjadi kuat terhadap orang-orang kafir.
Semoga Allah menunjuki mereka supaya masuk Islam.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bagaimana pendapatmu, wahai Ibnul Khattab?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tidak setuju dengan pendapat Abu Bakar. Menurutku, berilah aku kesempatan untuk memenggal leher mereka, berilah kesempatan kepada Ali supaya memenggal leher ‘Uqail, dan berilah kesempatan kepadaku supaya memenggal leher si fulan—maksudnya saudaranya sendiri—
karena mereka adalah para pemimpin kaum kafir dan pembesar-pembesar mereka.”
Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pendapat Abu Bakar dan tidak menyetujui pendapatku. Keesokan harinya, aku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam.
Aku dapati beliau sedang duduk menangis berdua dengan Abu Bakar. Lalu aku berkata, “Ceritakanlah kepadaku, apa sebabnya Anda berdua menangis?
138 Emilia Renita AZ
tidak bisa maka aku akan berpura-pura menangis untuk kalian."
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menangis karena tebusan yang dipungut sahabatmu terhadap para tawanan itu lebih murah daripada harga kayu ini—yaitu kayu yang berada di dekat Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam." Lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat: … Tidak pantas bagi seorang Nabi mempunyai seorang tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi ini…—
hingga firman-Nya—maka makanlah olehmu sebagian harta rampasan (Qs al-Anfal [8]: 67-69). Karena itulah Allah menghalalkan harta rampasan buat mereka.
Ternyata yang maksum dalam hadis ini adalah Umar, bukan Nabi Saw. Begitu rupa sehingga Nabi Saw bersabda, “Karena menentang Umar, hampir-hampir kita ditimpa azab. Sekiranya azab turun, tidak akan ada yang selamat kecuali Umar.” (Tafsir al-Qurthubi 8: 47).
(4) Para Nabi Saw berbuat dosa dan lupa. Dalam Shahih al-Bukhari dikisahkan dosa para nabi alaihimus-salam.
Ibrahim As berdusta tiga kali: dua karena Allah, satu karena selain Allah (Shahih al-Bukhari, hadis 3108); Musa menonjok mata Malakal-Maut sampai lepas karena Musa tidak mau mati (Shahih al-Bukhari 3155); Musa memarahi batu karena membawa lari bajunya dan memukulnya tiga, empat, atau lima kali (Shahih al-Bukhari 269); Nabi Sulaiman melakukan hubungan seksual dengan 70 orang perempuan dalam satu malam dengan mengabaikan nama
Allah Swt, sehingga hanya lahir seorang anak yang cacat (Shahih al-Bukhari 3171); seorang nabi membakar negeri semut karena marah: “hanya karena gigitan seekor semut maka kamu telah membakar suatu umat yang bertasbih”
(Shahih al-Bukhari 2796); semua nabi ditusuk setan waktu dilahirkan kecuali Isa as (Shahih AL-Bukhari 3044); Nabi Muhammad Saw melaknat orang Islam yang tidak layak untuk dilaknat (Shahih al-Bukhari 5884, Shahih Muslim 4705-4711)1; Nabi Saw melupakan ayat-ayat Al-Quran:
1 Dalam Shahih Muslim 4705, “Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Al A'masy dari Abu Adh Dhuha dari Masruq dari 'Aisyah dia berkata; 'Pada suatu hari, ada dua orang yang bertamu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian kedua orang tersebut membicarakan sesuatu yang tidak saya ketahui kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, hingga membuat beliau marah. Tak lama kemudian, saya mendengar Rasulullah melaknat dan mencaci mereka. Setelah kedua laki-laki itu keluar, saya pun bertanya kepada beliau; 'Ya Rasululah, sepertinya dua orang laki-Iaki tadi tidak memperoleh kebaikan, sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain. RasuluIIah balik bertanya:
'Apa maksudnya ya Aisyah? ' Aisyah menjawab; 'Maksud saya, engkau telah melaknat dan mencaci-maki kedua orang tersebut.' Lalu Rasulullah bersabda: 'Hai Aisyah, tidak tahukah kamu apa yang pernah saya syaratkan kepada Tuhanku? Sesungguhnya aku telah memohon: 'Ya Allah, aku hanyalah seorang manusia.
Jika ada seorang muslim yang aku laknat atau aku maki, maka jadikanlah hal tersebut sebagai pelebur dosa dan pahala.”
Menurut Ummul Mukmini Sayyidah Aisyah, jika orang dilaknat Nabi Saw, pastilah ia tidak akan memperoleh kebaikan.
140 Emilia Renita AZ
“orang itu telah mengingatkan aku pada ayat ini dan itu pada surah ini dan itu, yang telah aku lupakan” (Shahih al-Bukhari 4650; baca juga hadis sesudahnya). Walhasil, dalam tabligh pun beliau tidak maksum.
Karena Muhammadiyah menerima kesahihan Shahih al-Bukhari tanpa syarat, pastilah Muhammadiyah tidak menganggap Nabi Saw maksum, atau maksumnya sebagian saja, atau bagaimana? Hanya Muhammadiyah yang tahu. Para anggota Muhammadiyah perlu arahan dari pimpinannya.
yang dilaknatnya.
Ketika Al-Nasai mengeluarkan hadis Khasha'ish Ali bin Abi Thalib, orang-orang Syam menuntutnya untuk meriwayatkan juga keutamaan (manqabah) Muawiyah. Al-Nasai berkata, "Yang mana yang harus aku keluarkan? Ya Allah, jangan kenyangkan perutnya.” Kemudian, Al-Dzahabi berkata, “Mungkin Al-Nasai hendak berkata bahwa inilah kemuliaan Muawiyah." (Kecaman Nabi Saw itu menjadi pelebur dosa dan pahala) berdasarkan sabda Nabi Saw, “Jika ada seorang Muslim yang aku laknat atau aku maki, maka jadikanlah hal tersebut sebagai pelebur dosa dan pahala.”
Hadis ini disebutkan di sini dalam hubungannya dengan kemaksuman Nabi Saw. Bisa-bisanya Nabi Saw melaknat mukmin, padahal beliau bersabda, “Inni lam ub’ats la’anan, wa innama bu’itstu rahmatan.”!!! Aku tidak diutus untuk melaknat.
Aku diutus sebagai rahmat (Shahih Muslim 2: 530; Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra 10: 193), atau beliau bersabda, “Memaki Muslim itu kefasikan, membunuhnya kekafiran.” (Shahih al-Bukhari 46, Shahih Muslim 97, Al-Tirmidzi 3: 524, Al-Nasai 7: 121, Ibn Majah 1: 39, dan lain-lain).
Adapun Syiah, karena yakin bahwa semua nabi maksum, Syiah segera menolak hadis-hadis tentang “Nabi bersalah atau lupa” tanpa syarat! Sesatkah orang yang mengimani kemaksuman Nabi Saw secara mutlak? Afalaa ta’qiluun.
Kemaksuman Ahlulbait. Seperti disebutkan di atas, Muhammadiyah menerima kemaksuman Nabi Saw, tetapi tidak konsisten mempertahankan keyakinannya. Untuk kemaksuman di luar Nabi Saw—termasuk kemaksuman Ahlulbait—Muhammadiyah jelas sekali menolaknya.
Tidak ada dalil yang mendukung pendapat bahwa di luar Nabi Saw, ada orang yang maksum. Kita lihat apakah Muhammadiyah konsisten dengan pendapatnya.
(1) 'Adalat al-Shahabah sama dengan maksum.
Muhammadiyah dan pengikut Ahlussunnah lainnya sepakat bahwa dalam ilmu hadis, semua periwayat hadis harus dikenai kecaman dan pujian—jarh wa al-ta’dil—kecuali sahabat Nabi Saw. Pandangan Al-Razi menyimpulkan sikap Ahlussunnah terhadap sahabat dan menjadi aksioma utama dalam menilai hadis,
“Adapun para sahabat Nabi Saw adalah orang-orang yang menyaksikan wahyu dan turunnya, mengetahui tafsir dan takwilnya, yang dipilih Allah untuk menyertai Nabi-Nya, menolong-Nya, menegakkan agama-Nya, dan menampakkan kebenaran-Nya. Allah meridai mereka sebagai sahabatnya dan menjadikan mereka sumber ilmu
142 Emilia Renita AZ
disampaikannya dari Allah Swt—apa yang disunnahkan, disyariatkan, ditetapkan sebagai hukum, dianjurkan, diperintahkan, dilarang, diperingatkan, dan diajarkan Nabi Saw. Mereka menjaganya, meyakininya, kemudian memahaminya dalam agama dan mengetahui perintah Allah, larangan-Nya, maksudnya dengan disaksikan langsung oleh Rasulullah Saw. Dari Nabi Saw mereka menyaksikan tafsir Al-Kitab dan takwilnya. Mereka mengambil dari Nabi Saw dan menarik kesimpulan darinya. Maka Allah pun memuliakan mereka dengan anugerah-Nya dan meninggikannya dalam posisi teladan.
Karena itu, Allah menafikan (menghilangkan) dari mereka keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan, dan kecaman. Allah menyebut mereka a'dal al-ummah… Mereka menjadi umat yang paling adil, imam-imam petunjuk, hujah agama, dan teladan (pengamalan) Al-Kitab dan Sunnah” (Abdur Rahman bin Abi Hatim al-Razi, Taqdimah al-Ma’rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil 7-9).
Jadi, jika Syiah menafikan (menghilangkan) keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan, dan kecaman dari 12 orang imam Ahlulbait, Ahlussunnah menafikan (menghilangkan) keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan dari lebih dari sekitar 140 ribu orang sahabat Nabi Saw. Cuma mereka mengganti konsepnya:
dari maksum kepada ‘adalat. Sebagaimana Sunni meyakini para sahabat itu “imam-imam petunjuk, hujah agama, dan
teladan (pengamalan) Al-Kitab dan Sunnah”, begitu pula Syiah meyakini imam-imam mereka.1 Apakah pembaca mau menyebutnya maksum atau ‘udul, silakan saja.
(2) Dalil-dalil kemaksuman Ahlulbait As. Kita mulai dari ayat Al-Quran beserta hadis-hadis yang berkaitan dengan asbab al-nuzul, yakni hadis yang sahih. Ayat yang menyucikan Ahlulbait terkenal dengan sebutan ayat al-Tathhir, penyucian. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Qs al-Ahzab [33]: 33)
Ayat ini sekaligus menegaskan makna maksum, yakni orang yang dihilangkan dosanya dan disucikan sesuci-sucinya. Bersih di sini tentu saja tidak terbatas pada ruhani, tetapi termasuk bersih secara fisik. Bersih di sini juga
1 Al-Majlisi, dalam Bihar al-Anwar 11: 90, menulis, “Mazhab sahabat kami Imamiyah ialah tidak pernah keluar dari mereka dosa, besar maupun kecil, sengaja atau alpa, juga tidak melakukan kesalahan dalam menakwil, tidak juga alpa dari
144 Emilia Renita AZ
termasuk bersih secara ruhaniah dari kesalahan, lupa, dan dosa. Secara khusus, karena ada kata innama pada awal kalimat, yang disebut kata pembatas, maka penyucian itu hanya khusus kepada Ahlulbait.
Menurut asbab al-nuzul-nya, yang dimaksud dengan Ahlulbait adalah Ahlul-Kisa' atau Ashhab al-Kisa', mereka yang diselimuti dengan selimut Nabi Saw. Shahih Muslim 4450, Bab Keutamaan Ahlulbait Nabi Saw, meriwayatkan hadis berikut ini dari Aisyah:
4450. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair dan lafaz ini milik Abu Bakr, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr dari Zakaria dari Mush’ab bin Syaibah dari Shafiyah binti Syaibah dia berkata: ‘Aisyah berkata, “Pada suatu pagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Tak lama kemudian, datanglah Hasan bin Ali. Lalu Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Kemudian datanglah Husain dan beliau pun masuk bersamanya ke dalam rumah. Setelah itu, datanglah Fathimah dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Akhirnya, datanglah Ali dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Lalu beliau membaca ayat Al-Quran yang berbunyi, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu hai Ahlulbait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya. (Qs al Ahzab [33]: 33)
Terjemahan bahasa Indonesia di atas,1 menghilangkan kesan Ashhab al-Kisa' sebagai mereka yang Nabi Saw
“memasukkannya ke dalam selimut itu”. Alih-alih menerjemahkan fa adkhalahu dengan “memasukkannya ke dalam selimut itu”, ia menerjemahkannya “menyuruhnya masuk ke dalam rumah” (setelah mereka berada di rumah?).
Abdul Hamid Siddiqui menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris lebih akurat (tanpa tahrif): “he wrapped him under it, menyelimutinya ke dalam selimut itu” (dan memang itulah terjemahan yang benar). Perhatikan kalimat-kalimat yang di-italic!
‘A’isha reported that Allah’s Apostle (may peace be upon him) went out one norning wearing a striped cloak of the black camel’s hair that there came Hasan b. ‘Ali. He wrapped hitn under it, then came Husain and he wrapped him under it along with the other one (Hasan).
Then came Fatima and he took her under it, then came ‘Ali and he also took him under it and then said: Allah only desires to take away any uncleanliness from you, O people of the household, and purify you (thorough purifying)
1Seperti biasa, diambil dari (d)da'wahrights 2010| http://
abinyazahid.multiply.com izin terbuka untuk menyebarluaskan dalam rangka dakwah. Sumber konten dari:
http://telkom-146 Emilia Renita AZ
Makna yang dapat diterima ialah "Nabi Saw memasukkan mereka ke bawah selimut, lalu membacakan ayat tersebut,” kata Ibn Hajar dalam Shawa'iq al-Muhriqah, h. 199.
Ahlulbait, menurut hadis ini, adalah orang-orang yang berada di bawah selimut, yakni Nabi Saw, Fathimah, Ali, Hasan, dan Husain. Al-Tsa’labi, dalam tafsirnya, al-Kasyf wa al-Bayan 8: 36, mengumpulkan pendapat para ulama Ahlussunnah yang menegaskan bahwa Ahlulbait itu khusus Ashhab al-Kisa'. Perhatikan judulnya: Aqwal al-Mufassirin wa al-Ulama bi Ihtishashiha bi Ashhab al-Kisa'.
Di antara yang dikutipnya adalah ucapan Abu Bakr al-Nuqasy dalam tafsirnya:
“Sudah ijma' mayoritas ahli tafsir bahwa ayat ini turun untuk Ali, Fathimah, Hasan, dan Al-Husain”
Berikut ini adalah di antara ulama-ulama lainnya yang dikutip dalam Tafsir al-Tsa’labi (urutan berasal dari penulis, bukan dari Al-Tsa’labi):
(1) Al-Thahawi menulis, “Mereka yang dimaksud dengan Ahlulbait dalam ayat itu—seperti disebutkan dalam
hadis—adalah Rasulullah Saw, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain” (Lihat juga Tuhfah al-Akhyar bi Tartib Syarh Musykil al-Atsar 8: 470-471);
(2) Ibn Hajar menulis dalam al-Shawa'iq al-Muhriqah 143:
“Kebanyakan mufasir berpendapat bahwa ayat ini turun untuk Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain”;
(3) Al-Qasthulani, mengutip Ibn ‘Athiyah dan menulis,
“Menurut jumhur, mereka adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Alasannya: ’ankum wa yuthahhirukum dengan mim (al-Mawahib al-Laduniyah 2: 517-521);
(4) Abu al-Mahasin bin Musa al-Hanafi mengutip hadis Ahlul-Kisa' dari Umm Salamah dan, berdasarkan hadis itu, membatasi Ahlulbait hanya pada yang lima, tidak termasuk istri-istri Nabi Saw (Lihat Mu’tashar al-Mukhtashar 2: 266-267);
(5) Abu Manshur bin Asakir al-Syafi’i, setelah menyebut hadis di atas dari Umm Salamah, berkata, “Ini hadis sahih. Yang dimaksud dengan Ahlulbait mengacu kepada mereka yang berada di rumah tersebut pada keadaan tersebut; jika tidak, maka semua keluarga Rasulullah Saw semuanya Ahlulbait. Ayat ini khusus untuk mereka yang disebutkan wallahu a’lam (Al-Arba’in fi Manaqib Ummahat al-Mu’minin, h. 106);
(6) Al-Samhudi, “Ahlulbait adalah Ahlul-Kisa', yaitu mereka yang dimaksud oleh dua yat ini: ayat Mubahalah dan ayat Tathhir (Jawahir al-‘Uqdain 204, Bab pertama);
(7) Al-Syaukani menolak orang yang mengatakan bahwa
148 Emilia Renita AZ
“Jawaban untuk ini ialah bahwa ada dalil yang sahih menyatakan ayat ini turun untuk Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain” (Irsyad al-Fuhul 83 al-Bahts 8, al-Maqshad 3).
Pentahqiq Tafsir al-Tsa’labi menambahkan komentar Dr. ‘Abbas ‘al-Aqqad:
“Berikhtilaf para mufasir tentang siapa itu Ahlulbait.
Adapun Fakhr al-Razi dalam tafsirnya 6: 783; Al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf, Al-Qurthubi dalam tafsirnya; Al-Syaukani dalam Fath al-Qadir, Al-Thabari dalam tafsirnya, Al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur 5: 169; Ibn Hajar al-Asqalani dalam al-Ishabah 4: 407; Al-Hakim dalam al-Mustadrak, Al-Dzahabi dalam talkhis-nya 3: 146; Imam Ahmad 3: 259; mereka semua berkata bahwa Ahlulbait adalah Ali, Sayidah Fathimah al-Zahra, Hasan, dan Husain Ra. Kemudian ia menyebutkan dalil-dalilnya.... Mufasir lainnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ahlulbait adalah Rasulullah Saw, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain Ra.“
Masih bersambung dengan penjelasan di atas, pada Tafsir al-Tsa’labi, diriwayatkan percakapan antara Aisyah dengan ibu seorang tabi’in:
Mengapa engkau keluar pada Perang Unta? Aisyah menjawab, "Itu adalah takdir Allah Swt." Lalu ibu itu bertanya tentang Ali. Aisyah menjawab, “Kamu
bertanya kepadaku tentang manusia yang paling dicintai Rasul Allah. Sungguh, aku pernah melihat Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain dikumpulkan Rasul Allah Saw di bawah kain, dan beliau berkata, 'Ya Allah, ini Ahlulbaitku dan keluargaku.
Hilangkan dosa dari mereka dan sucikan mereka sesuci-sucinya.' Lalu aku berkata, 'Ya Rasul Allah, ana min ahlik. Aku kan keluargamu juga?' Nabi Saw bersabda, 'Menjauhlah. Kamu berada dalam kebaikan.'."
Istri-istri Nabi Saw tidak termasuk Ahlulbait. Hadis di atas bersama hadis-hadis lainnya dari istri-istri Nabi lainnya menegaskan bahwa istri-istri Nabi Saw tidak termasuk Ahlulbait. Pada tafsir Ibn Katsir, 6: 414, seperti hadis di atas, Aisyah mendekati Nabi Saw dan berkata, “Ya Rasul Allah, aku termasuk Ahlulbaitmu?” Nabi Saw bersabda,
“Tanahhii, fa innaki ‘ala khair. Menjauhlah, kamu dalam kebaikan.” Pada Musnad Ahmad 6: 292; Shahih al-Tirmidzi 5:
361, Umm Salamah bermaksud masuk ke dalam selimut, tetapi Nabi Saw mencegahnya seraya berkata, “Innaki ‘ala khair. Engkau tetap dalam kebaikan"; pada Tafsir al-Tsa’labi, 8: 43, Nabi Saw berkata dan bertindak yang sama kepada Zainab binti Jahasy. Walhasil, istri-istri Nabi Saw tidak termasuk ke dalam Ahlulbait yang disucikan Allah Swt.
Ikrimah adalah orang yang pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlulbait pada ayat ini
150 Emilia Renita AZ
mazhab tentang Ahlulbait. Mazhab pertama menyatakan AhluBait itu hanyalah lima orang suci: Nabi Saw, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Ia menurunkan banyak hadis tentang hal ini. Mazhab ini rupanya tersebar meluas pada zaman tabi’in. Karena itu, ‘Ikrimah berteriak di pasar-pasar dan menyalahkan mazhab pertama yang banyak dianut orang waktu itu, “Yang dimaksud dengan Ahlulbait bukanlah menurut pendapat kalian. Ahlulbait itu istri-istri Nabi Saw!” (al-Durr al-Mantsur 12: 36; lihat juga al-Thabari 19: 22; Ibn Katsir 6: 410-411). Sejak itu, Ikrimah dianggap pemrakarsa dan pendukung mazhab kedua: Ahlulbait sama dengan dan khusus istri-istri Nabi Saw. Belakangan, orang menambahkan argumen siyaq
mazhab tentang Ahlulbait. Mazhab pertama menyatakan AhluBait itu hanyalah lima orang suci: Nabi Saw, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Ia menurunkan banyak hadis tentang hal ini. Mazhab ini rupanya tersebar meluas pada zaman tabi’in. Karena itu, ‘Ikrimah berteriak di pasar-pasar dan menyalahkan mazhab pertama yang banyak dianut orang waktu itu, “Yang dimaksud dengan Ahlulbait bukanlah menurut pendapat kalian. Ahlulbait itu istri-istri Nabi Saw!” (al-Durr al-Mantsur 12: 36; lihat juga al-Thabari 19: 22; Ibn Katsir 6: 410-411). Sejak itu, Ikrimah dianggap pemrakarsa dan pendukung mazhab kedua: Ahlulbait sama dengan dan khusus istri-istri Nabi Saw. Belakangan, orang menambahkan argumen siyaq