Ni’matul Huda menilai ada sebagian kalangan23 yang berpendapat bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga impeachment seperti dalam Konstitusi Amerika Serikat. Dari sudut bahasa saja pernyataan itu sudah terang keliru, karena dikira pengertian impeachment sama dengan pemberhentian atau removal from office. 24 Dengan tidak menyangkal penilaian tersebut Miftakhul Huda juga menambahkan bahwa:
“Berkenaan dengan ketentuan sebelum Perubahan UUD 1945, ada pendapat yang menganggap kita tidak mengenal impeachment dan pendapat sebaliknya menyebut sistem kita mengakui impechment
21 Abdul Mukthie Fadjar, op.cit., hlm. 231. 22 Winarno Yudho, et al, op.cit., hlm. viii.
23 Menurut Jimly Asshiddiqie salah satu ahli yang berpendapat bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga impeachment adalah Harun Alrasid [Jimly Asshiddiqie, op.cit.] Harun Alrasid memang mengatakan bahwa kata impeachment atau semacamnya tidak pernah ada dalam batang tubuh UUD 1945. Selaku penasehat hukum konstitusi Presiden Wahid ia berpendapat bahwa sistem konstitusi Indonesia tidak mengenal impeachment. [Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 245.]
meski dalam sistem ketatanegaraan kita materi yang didakwakan bukan pelanggaran pidana, akan tetapi pelanggaran haluan negara.”25 Namun demikian, dalam kenyataan impeachment berkaitan dengan permintaan pertanggungjawaban presiden sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai berikut:
“Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh undang-undang dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertaggungjawaban kepada Presiden.”26
Bagi para pendukung impeachment, Penjelasan UUD 1945 ini menjadi dasar dari argumen mereka, sekalipun tidak ada aturan di bagian manapun dalam UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa konsekuensi dari Sidang Istimewa itu adalah pencopotan terhadap Presiden.27 Batang Tubuh UUD 1945 memang tidak menyebut impeachment secara eksplisit. Oleh karena itu bagi orang yang berpendapat bahwa Penjelasan UUD 1945 bukan bagian dari UUD, maka dia cenderung berpendapat bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga impeachment. Tetapi pendapat seperti ini tentu saja hanya bersifat akademis, karena sejak tahun 1959, sudah menjadi konvensi bahwa Penjelasan UUD 1945 itu dipakai sebagai satu kesatuan naskah konstitusi Republik Indonesia yang tidak terpisahkan dari Batang Tubuhnya. Karena itu,
25 Miftakhul Huda, op.cit., hlm. 67-68.
26 Redaksi Lima Adi Sekawan, Lengkap, UUD 1945 (dalam Lintasan Amandemen) dan UUD (yang Pernah Berlaku) di Indonesia (Sejak Tahun 1945) (Jakarta: Lima Adi Sekawan, 2006), hlm. 20.
pengertian impeachment yang dikenal di hampir semua negara konstitusional modern di dunia jelas tidak bisa dianggap tidak ada dalam UUD 1945.28
Selain itu Indonesia juga pernah mencatat dua kali praktik
impeachment dalam sejarah ketatanegaraannya. Dalam UUD 1945 pasca
amandemen juga memuat tentang proses impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat apabila:
a. Terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa: 1) Penghianatan terhadap negara
2) Korupsi 3) Penyuapan
4) Tindak pidana berat lainnya, atau 5) Perbuatan tercela, maupun
b. Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Oleh sebab itu pendapat bahwa UUD Indonesia (baik sebelum maupun setelah amandemen) tidak mengenal lembaga impeachment adalah tidak cukup beralasan. Sebab sesungguhnya mekanisme ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar di Indonesia, apalagi bila ditilik secara etimologi pun ternyata impeachment berasal dari kata impeach yang artinya memanggil
untuk memberi pertanggungjawaban29. Oleh Jimly Asshiddiqie ditambahkan bahwa:
“Hampir semua konstitusi mengatur soal ini sebagai cara yang sah dan efektif untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berada di jalur hukum dan konstitusi. Dalam sistem parlementer, selalu diatur adanya hak parlemen untuk mengajukan ‘mosi tidak percaya’, meskipun diimbangi pula dengan kewenangan pemerintah untuk membubarkan parlemen menurut tata cara tertentu. Karena itu, masa kerja pemerintahan parlementer tidak ditentukan secara ‘fixed’. Sebaliknya, masa jabatan pemerintahan presidentil ditentukan secara ‘fixed’, biasanya 4 sampai 7 tahun. Karena jangka waktunya cukup lama, maka sebagai pengimbang, kepada parlemen diberikan hak untuk meminta pertanggungjawaban di tengah jalan.”30
1. Mekanisme Impeachment Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar
Sebelum amandemen UUD 1945 pengaturan tentang impeachment dalam konstitusi tidak tercantum secara eksplisit dalam pasal-pasalnya. Baik mengenai lembaga negara mana saja yang berwenang melakukan impeachment, alasan-alasannya, maupun mengenai prosedurnya.31 Dalam batang tubuh UUD 1945 tidak terdapat ketentuan mengenai pemberhentian Presiden. Yang ada justru perihal penggantian Presiden yang diatur dalam Pasal 8 yang berbunyi “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.”32
Kemudian jika diteliti lebih lanjut, ternyata dalam Penjelasan UUD 1945 juga tidak terdapat ketentuan mengenai pemberhentian presiden
29 John M. Echols dan Hassan Shadily, op.cit., hlm. 312. 30 Jimly Asshiddiqie, op.cit.
31 Abdul Mukthie Fadjar, op.cit., hlm. 233. 32
dengan tegas, sekalipun terdapat ketentuan mengenai DPR yang dapat mengundang MPR untuk mengadakan persidangan istimewa agar meminta pertanggungjawaban Presiden. 33 Dengan ketentuan yang minimalis tersebut, timbul pertanyaan mengenai lembaga manakah yang berwenang memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya. Menjawab pertanyaan tersebut M. Laica Marzuki mengatakan bahwa:
“Dari bunyi Pasal 6 Ayat (2) (redaksi lama) UUD 1945 yang menyatakan, ‘Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’, di kala itu disimpulkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dimakzulkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Penjelasan UUD 1945, di bawah judul Sistem Pemerintahan Negara, butir III, 3, dinyatakan Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertindak dan bertanggung jawab kepada Majelis. Artinya, MPR jua pula yang berwenang memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden.” 34
Ketentuan mengenai pemberhentian Presiden dengan tegas baru ditemui dalam Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antar Lembaga- lembaga Tinggi Negara. Dalam Pasal 7 ditentukan jika dalam fungsi pengawasannya DPR menganggap Presiden telah sungguh-sungguh melanggar haluan negara35, DPR dapat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Dalam waktu 3 (tiga) bulan jika Presiden tidak mengindahkan memorandum pertama tersebut maka DPR dapat kembali menyampaikan memorandum yang kedua. Jika dalam waktu 1
33Ibid, hlm. 20.
34 M. Laica Marzuki, op.cit., hlm. 18-19.
35 Pasal 4e Tap MPR No. II Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan, menambahkan pelanggaran terhadap konstitusi sebagai landasan tambahan untuk melakukan pemecatan. [Denny Indrayana, op.cit., hlm. 245.]
(satu) bulan memorandum kedua tersebut Presiden tidak mengindahkan maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.36
Dalam sebuah wawancara, Harun Alrasid mempertanyakan penjelasan tentang prosedur pencopotan Presiden ini dengan alasan bahwa Tap-Tap MPR tersebut melanggar UUD 1945 dan dengan demikian prosedur impeachment ini pun ilegal. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa semestinya prosedur pemberhentian Presiden diatur dalam konstitusi dan bukan dalam bentuk Tap MPR, yang disebutnya sebagai bentuk legislasi yang haram. Denny Indrayana kurang sependapat dengan pendapat tersebut, Ia mengatakan “Kendati memang benar bahwa prosedur impeachment sebaiknya diatur dalam undang-undang dasar, tidak berarti bahwa prosedur yang ada dalam Tap MPR inkonstitusional.”. Bahkan Adnan Buyung Nasution menguatkan bahwa prosedur-prosedur MPR adalah satu upaya yang sah untuk melengkapi Konstitusi. 37
Bila diamati, mekanisme impeachment di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 tidaklah seperti mekanisme impeachment di banyak negara yang juga menggabungkan konsep forum previlegiatum di dalamnya. Mekanisme ini serupa dengan mekanisme di Amerika Serikat yang hanya menggunakan mekanisme politik dalam parlemen. Di Amerika Serikat House of Representatives berkuasa mendakwa Presiden, Wakil presiden, hakim-hakim dan pejabat sipil lainnya dari pemerintahan
36 Miftakhul Huda, op.cit., hlm. 67. 37
federal38, sedangkan institusi negara yang berwenang untuk melakukan impeachment adalah Senat seperti tercantum dalam Section 3 Article I yang berbunyi “The Senate shall have the sole Power to try all Impeachments”.39
Selain mekanisme, alasan impeachment juga menarik untuk dikaji lebih lanjut. Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 menentukan alasan impeachment karena pelanggaran hukum yang lebih bersifat bersifat tata negara, yakni seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena dianggap sungguh-sungguh melanggar haluan negara.40 Mengenai alasan tersebut selama ini dalam praktik ditafsirkan sendiri oleh MPR mengenai apa yang disebut sungguh-sungguh melanggar haluan negara.41 Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan bila Yusril Ihza Mahendra menyebut bahwa “nyatalah bahwa MPR setiap waktu dapat memberhentikan presiden dari jabatannya (kan hem op elk gewenst moment onslaan) atau dapat menjatuhkan hukuman pemecatan (op straffe van ontslag).”42
38 Miftakhul Huda, op.cit., hlm. 67. 39 Abdul Mukthie Fadjar, op.cit., hlm. 230.
40 Pasal 4 Tap MPR No. III/MPR/1978 menyatakan bahwa alasan-alasan pemberhentian Presiden adalah (1) Atas permintan sendiri (2) Berhalangan tetap (3) Sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Menerangkan pengertian haluan negara sebagai alasan yang terakhir disebut, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa yang dimaksud haluan negara disini menurut Penjelasan UUD 1945 adalah Haluan Negara yang ditetapkan oleh UUD dan oleh MPR. Jadi, bukan GBHN dalam arti sempit, melainkan haluan-haluan penyelenggaraan negara yang ditetapkan dalam keseluruhan pengertian UUD, ataupun yang ditetapkan oleh MPR dalam bentuk Ketetapan-Ketetapan MPR, termasuk salah satunya adalah GBHN. [Jimly Asshiddiqie, op.cit.]
41 Miftakhul Huda, op.cit., hlm. 67.
42 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 102.
2. Mekanisme Impeachment Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar
Sebagai implikasi dari diadakannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung adalah kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden cukup kuat, tidak dapat dijatuhkan secara politis dalam masa jabatannya. Artinya Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat di- impeach akibat putusan kebijakan (doelmatigheid beslissing) yang ditetapkan atau dijalankan olehnya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.43
Namun demikian, diatur dalam Pasal 7B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara44,
43 M. Laica Marzuki, op.cit., hlm. 16.
44 Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang [Vide Pasal 10 Ayat (3) Poin a UU. No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi]. Sehingga yang dimaksud dengan pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHP Buku Kedua Bab 1 Tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, yaitu: 1. Makar terhadap kepala negara (Pasal 104) 2. Makar untuk memasukkan Indonesia di bawah kekuasaan asing (Pasal 106) 3. Makar untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107) 4. Pemberontakan (Pasal 108) 5. Permufakatan jahat dan/atau penyertaan untuk melakukan kejahatan yang dimaksud dalam Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP (Pasal 110) 6. Mengadakan hubungan dengan negara asing yang bermusuhan dengan Indonesia (Pasal 111) 7. Mengadakan hubungan dengan negara asing dengan tujuan agar negara asing membantu suatu penggulingan terhadap pemerintah di Indonesia (Pasal 111 bis) 8. Menyiarkan surat-surat rahasia
korupsi, penyuapan45, tindak pidana berat lainnya46, atau perbuatan tercela47; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden48.” Pasal konstitusi dimaksud bersifat imperatif, bahwasanya usul impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diajukan oleh DPR kepada MPR setelah terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi guna mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut.49
Proses impeachment yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki jalur yang rumit dan berliku, bahkan hampir mustahil untuk terlaksana. Walaupun konsep impeachment yang rumit itu merupakan konsekuensi yang logis dari dianutnya sistem presidensil, namun bukan berarti konstitusi menjadi alat
117-120) 10. Merugikan negara dalam perundingan diplomatik (Pasal 121) 11. Kejahatan yang biasanya dilakukan oleh mata-mata musuh (Pasal 122-125) 12. Menyembunyikan mata-mata musuh (Pasal 126) 13. Menipu dalam hal menjual barang-barang keperluan tentara (Pasal 127). [Hamdan Zoelva, op.cit., hlm. 55-56.]
45 Korupsi dan Penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang [Vide Pasal 10 Ayat (3) Poin b UU. No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi], yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
46 Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. [Vide Pasal 10 Ayat (3) Poin c UU. No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi]
47 Pasal 10 Ayat (3) Poin d UU. No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi hanya memberikan batasan perbuatan tercela dengan perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Menurut Hamdan Zoelva ketentuan ini tidak hanya terbatas pada segala perbuatan pidana yang ancaman hukumnya dibawah 5 (lima) tahun, akan tetapi jauh lebih luas dari pada itu, yaitu termasuk perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma moral, norma adat serta pelanggaran terhadap konstitusi dan pelanggaran hukum lainnya yang merendahkan martabat Presiden. [Hamdan Zoelva, op.cit., hlm. 69.] Pendapat berbeda datang dari M. Laica Marzuki yang mengatakan bahwa perbuatan tercela yang dimaksud dalam pasal konstitusi itu harus dipahami sebagai perbuatan tercela menurut hukum, artinya perbuatan tercela tersebut berkaitan dengan aturan-aturan hukum tertulis. [M. Laica Marzuki, op.cit., hlm. 18]
48 Dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan bahwa syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagi Presiden dan Wakil Presiden.
untuk melanggengkan kekuasaan yang “sesat”.50 Sehingga menjadi masuk akal pandangan Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa:
“Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office” atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata impeachment itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden.”51
Sekalipun ketentuan ini tetap subjektif, akan tetapi jauh lebih terperinci tidak sebagaimana ketentuan sebelumnya. Jadi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan karena hal-hal remeh atau kecil atau karena kebijakan yang tidak didukung oleh parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer.52 Berbicara mengenai tata cara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, pada dasarnya merupakan rangkaian proses panjang dan melibatkan beberapa lembaga negara, diantaranya DPR, MPR dan Mahkamah Konstitusi. Masing-masing lembaga negara tersebut mempunyai tugas dan kewenangan yang berbeda dalam proses impeachment53 yang akan dijabarkan dalam penjelasan selanjutnya.
a. Mekanisme Impeachment di Dewan Perwakilan Rakyat
Pintu pertama dalam proses impeachment adalah ketika DPR mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi agar memeriksa, mengadili
50 Feri Amsari, “Jalan Lain Pemakzulan”, Majalah Konstitusi, No. 38 (Maret, 2010), hlm. 8.
51 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 600.
52 Miftakhul Huda, op.cit., hlm. 68. 53
dan memutus pendapatnya bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 7B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Pasal 7B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pendapat tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan54 Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 7B Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa pendapat tersebut dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dengan syarat mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Selain itu, sidang paripurna tersebut juga harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Selanjutnya dalam Pasal 7B Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 digariskan bahwa apabila kemudian Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat tersebut terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
54 Dalam melaksanakan fungsinya tersebut DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. [Vide Pasal 20A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.]
Menurut Pasal 36 Ayat (2) UU. No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, dalam meneruskan usul tersebut kepada MPR, haruslah dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.Konstitusi mensyaratkan manakala mahkamah memutuskan bahwa pendapat DPR tidak terbukti maka proses impeachment tidak dapat dilanjutkan ke MPR.55
b. Mekanisme Impeachment di Mahkamah Konstitusi
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lepas dari pengalaman masa lalu, dan merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan ketatanegaraan yang berkembang di Indonesia. Selain itu, Bambang Sutiyoso mengutip Fatkhurohman bahwa ada keinginan untuk memberikan pembatasan agar seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan karena alasan politik belaka, melainkan juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.56
Kendatipun pasca amandemen UUD 1945 Mahkamah Konstitusi dilibatkan dalam proses impeachment, Teguh Satya Bhakti
55 M. Laica Marzuki, op.cit., hlm. 20. 56
berpendapat bahwa tetap saja yang dapat memberikan kata putus adalah MPR. Pendapat tersebut diutarakannya sebagai berikut:
“Memang betul Presiden dapat dijatuhkan melalui proses impeachment oleh MPR atas usul DPR setelah terlebih dahulu mengajukan persoalannya pada Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu dalam hal DPR berpendapat bahwa Presiden melakukan penghianatan, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat atau Presiden tidak lagi memenuhi syarat jabatan. Akan tetapi keputusan MK mempunyai sifat subject to review atau dapat ditinjau kembali oleh MPR, dengan perkataan lain dalam instansi terakhir yang memberikan kata putus ialah MPR.”57 Terlepas dari pendapat tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 7B Ayat (4) jo. Pasal 24C Ayat (2) mewajibkan Mahkamah Konstitusi agar memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal ini memaklumkan bahwa pemeriksaan mahkamah adalah proses peradilan dan putusannya adalah putusan justisil.58
Sebagaimana dimaksud Pasal 83 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat tiga kemungkinan amar putusan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil
57 Teguh Satya Bhakti, “Pola Hubungan Presiden dan DPR Menurut Perubahan UUD 1945” Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 4 (November, 2009), hlm. 144.
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu: 1) Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
tidak memenuhi persyaratan, maka amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima;
2) Apabila Mahkamah Konsitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR;
3) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka amar putusan menyatakan permohonan ditolak.59
Ada hal menarik dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yaitu menurut Pasal 19 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwaakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, dinyatakan bahwa “Putusan Mahkamah bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku
59 Putusan Mahkamah yang menolak pendapat DPR menyebabkan proses impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden terhenti, tidak berlanjut ke MPR. [M. Laica Marzuki, op.cit.,
pihak yang mengajukan permohonan”. Artinya, andaikatapun putusan tersebut membenarkan pendapat DPR maka putusan tersebut hanya mengikat bagi DPR dan tidak mengikat bagi MPR. Mahkamah Konstitusi juga tidak berwenang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, karena merupakan kewenangan MPR.60 Mengenai tenggang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 7B Ayat (4) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas pendapat DPR juga menarik untuk didiskusikan kembali, Ali Murtopo menilai bahwa:
“Putusan Mahkamah Konstitusi Tidak hanya bernuansa yuridis tetapi juga sarat dengan muatan politis. Waktu sembilan puluh hari yang tersedia bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili serta memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat sangat sempit jika dibanding dengan beracara di Pengadilan Negeri.”61
c. Mekanisme Impeachment di Majelis Permusyawaratan Rakyat
Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; 2) Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3) Hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
60 Miftakhul Huda, op.cit., hlm. 69.