• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dalam dokumen Andy Wiyanto Peranan MK dalam Proses I (Halaman 62-77)

Kekuasaan kehakiman di Indonesia kini tidak lagi menjadi monopoli dari Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang berada dibawahnya, melainkan juga menjadi domain dari sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah constitutional court yang ke-78 di dunia dan pertama di dunia yang dibentuk pada abad ke-21. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung, berdiri

sendiri serta terpisah (duality of jurisdiction) dengan Mahkamah Agung.65

Pasal 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Dalam Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirumuskan bahwa Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh DPR, Presiden dan Mahkamah Agung, dan ditetapkan dengan keputusan Presiden. Sementara untuk masa jabatan hakim konstitusi ditentukan dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 24 tahun 2003 yaitu selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Sedangkan ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003.

Menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, susunan organisasi Mahkamah Konstitusi terdiri dari seorang Ketua merangkap

65 Mohammad Laica Marzuki, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Camplaint) Sebuah Gagasan Cita Hukum, dalam Refly Harun, Zainal AM Husein dan Bisariyadi (editor),

anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) anggota hakim konstitusi. Sementara menurut Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang tersebut, untuk kelancaran tugas dan wewenangnya Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan yang susunan organisasi, fungsi, tugas dan wewenangnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.

1. Empat Kewenangan Dan Satu Kewajiban Mahkamah Konstitusi66 Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Dalam menjalankan fungsi peradilan, Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penafsiran terhadap UUD 1945. Bahkan dalam rangka kewenangannya memutus perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi disamping berfungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi, juga adalah pengawal demokrasi (the guardian and the sole interpreter of the constitution, as well as the guardian of the process of the

66 Menurut Feri Amsari terdapat perbedaan pendapat ahli dalam penggunaan istilah dalam menyebutkan jumlah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pada kelompok pertama, misalnya Jimly Asshiddiqie membagi Mahkamah Konstitusi dengan empat kewenangan dan satu kewajiban. Pembedaan ini dikarenakan sifat putusannya yang berbeda, pada empat kewenangan ini sifat putusannya final, namun pada satu kewajibannya sifat putusannya masih menimbulkan perdebatan. Sementara pada kelompok kedua, misalnya Saldi Isra dan Denny Indrayana yang menyebutkan terdapat lima kewenangan Mahkamah Konstitusi, tanpa menyebutkan adanya perbedaan antara kewenangan dan kewajibannya, sehingga hanya sifatnya saja yang berbeda. [Feri Amsari, “Masa Depan MK: Kesesuaian Teori dan Implementasi” Jurnal Konstitusi, Volume 5 Nomor 1 (Juni, 2008), hlm. 90-91.]

democratization). Bahkan Mahkamah Konstitusi juga merupakan pelindung hak asasi manusia (the protector of human right).67

Berdasarkan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban yaitu:

a. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

1) Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Istilah hak menguji berbeda dengan istilah judicial review. Kalau kita berbicara mengenai hak menguji, maka orientasinya ialah ke eropa kontinental, sedangkan judicial review orientasinya ke Amerika Serikat. Dalam literatur hukum Belanda dan Indonesia istilah hak menguji mencakup dua macam pengertian, yaitu formal dan material. Kalau kita menyebut judicial review, maka kita beralih pada sistem peradilan Amerika Serikat. Hakim berwenang membatalkan tindakan pemerintah pusat yang dianggapnya bertentangan dengan undang-undang dasar, baik itu Presiden maupun Kongres, bahkan tindakan pemerintah negara bagian.68

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan hak mengguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar menempatkan Undang-Undang sebagai objek peradilan. Jika Undang-Undang itu terbukti bertentangan dengan Undang-Undang

67 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 154-155.

Dasar, maka sebagian materi ataupun keseluruhan Undang-Undang itu dapat dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat untuk umum.69

2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

Mengenai sengketa konstitusional lembaga negara dapat dikemukakan bahwa: Pertama, subjek yang bersengketa haruslah lembaga negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, objek yang bersengketa adalah pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.70

Dalam kaitannya dengan kewenangan ini, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah apakah lembaga negara yang bersangkutan mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau tidak. Jika lembaga atau subjek hukum organisasi yang bersangkutan mendapatkan kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka jika dalam pelaksanaannya timbul sengketa dengan lembaga lain, sengketa yang demikian itulah yang disebut sebagai sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.71

69 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara...., op.cit., hlm. 589. 70Ibid, hlm. 593.

3) Memutus pembubaran partai politik.

Partai politik adalah pilar demokrasi perwakilan. Oleh karena itu sebagai cerminan dari prinsip kemerdekaan berserikat maka pelembagaan dan eksistensinya dilindungi oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga tidak boleh ada partai politik yang dibubarkan dengan sewenang- wenang oleh siapapun (termasuk para penguasa), kecuali melalui proses peradilan dan pembubarannya diputuskan oleh pengadilan.72

Usul pembubaran partai politik harus datang dari pemerintah yang akan bertindak sebagai pemohon dengan mengajukan permohonan perkara kepada Mahkamah Konstitusi. Setelah diadakan pemeriksaan persidangan dengan melibatkan dan memberikan kesempatan yang adil kepada semua pihak untuk didengarkan keterangannya, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan persoalan pembubaran partai politik tersebut dengan putusan yang bersifat final dan mengikat, serta memerintahkan pembubaran partai politik itu dengan membatalkan status badan hukumnya.73

4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Perselisihan hasil pemilihan umum adalah perselisihan antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan

72Ibid, hlm. 598-599. 73

umum. Peserta pemilihan umum adalah (a) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (b) calon anggota DPD dan (c) partai politik peserta pemilihan umum. Sementara itu penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi pemilihan Umum (KPU). Dalam perselisihan hasil pemilihan umum, para peserta pemilihan umum dapat saja tidak puas atas hasil pemilihan umum yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilihan umum. Jika mereka tidak puas, maka mereka dapat mengajukan permohonan perkara ke Mahkamah Konstitusi.74

b. Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Dalam Pasal 7B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi berperan sebagai jembatan yang memberikan landasan hukum atas peristiwa politik impeachment tersebut. Kata akhir proses impeachment berada dalam proses politik di parlemen.

Menurut Jimly Asshiddiqie pemisahan kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi ini menjadi dua ayat tersendiri disebabkan karena “kewenangan pertama yang diterima sebagai tugas dan kewenangan MK adalah impeachment”75, baru kemudian tugas dan kewenangan yang lain.

Dalam Hal ini Iwan Permadi berpendapat bahwa sesungguhnya kewajiban Mahkamah Konstitusi ini juga berarti kewenangannya meskipun keputusannya tidak bersifat final.76

Dalam perkembangan selanjutnya kewenangan Mahkamah Konstitusi bertambah satu lagi yaitu memutus sengketa Pilkada, yang sebelumnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Peralihan kewenangan dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi ini didasarkan pada ketentuan Pasal 236 C UU. No. 12 Tahun 2008 Tentang

75 Jimly Asshiddiqie, Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan dan Penyelenggaraan serta Setangkup Harapan, dalam Refly Harun, Zainal AM Husein dan Bisariyadi (editor), op.cit., hlm. 11.

Perubahan Kedua Atas UU. No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.77

2. Checks And Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

Konsekuensi logis dari amandemen UUD 1945 dengan tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara adalah bahwa setiap lembaga tinggi negara memiliki kedudukan yang sama tinggi dengan kewenangannya masing-masing. Dengan kewenangannya itu terjadi mekanisme check and balances pada tiap-tiap lembaga negara. Mekanisme check and balances dimaksudkan agar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi pembatasan kekuasaan pada setiap lembaga negara, semua berjalan berdasar fungsinya masing-masing yang saling mengimbangi dan mengawasi.

Mekanisme checks and balances antara eksekutif dengan legislatif terlihat dalam hal pembuatan Undang-Undang. Dahulu Presiden memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR.78 Hal ini menjadi salah satu sebab bahwa sebelum amandemen UUD 1945 sistem ketatanegaraan Indonesia yang sarat eksekutif (executive heavy), oleh sebab itu dalam amandemen UUD 1945 dirumuskan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-

77 Dalam Pasal 236 C UU. No. 12 Tahun 2008 disebutkan bahwa “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang- Undang ini diundangkan.”

Undang kepada DPR, sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan ini dimaksudkan untuk meneguhkan kedudukan dan peranan DPR sebagai lembaga legislatif yang memegang kekuasaan legislatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1). Perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislatif yang awalnya berada di tangan Presiden menjadi di tangan DPR.79 Akan tetapi menurut Sri

Soemantri Mertosuwignyo dalam hal kekuasaan membentuk Undang- Uundang DPR tidak melakukannya sendiri, melainkan bersama-sama dengan Presiden.

“Oleh karena itu, dalam pembentukan undang-undang dan pelaksanaannya tidak muncul checks and balances. Yang ada ialah bahwa dalam hal DPR dan Presiden telah menyetujui rancangan undang-undang, kemudian Presiden tidak mengesahkan hal itu, dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”80

Transfer kekuasaan legislatif ini disepakati dalam amandemen pertama UUD 1945, tetapi masih ada pendapat berbeda. Jimly Asshiddiqie misalnya menyatakan:

“ .... pemerintahlah yang sesungguhnya paling banyak mengetahui mengenai kebutuhan untuk membuat suatu peraturan perundang- undangan, karena birokrasi pemerintah paling banyak menguasai informasi dan expertise yang diperlukan untuk itu. .... Karena itu, dalam kaitannya dengan pengaturan soal ini menurut UUD 1945, sebenarnya, ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang lama dapat dikatakan sudah tepat, tinggal lagi meningkatkan fungsi kontrol DPR terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.”81

79 Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 53. 80 Sri Soemantri Mertosuwignyo, op.cit., hlm. 10. 81

Selain itu mekanisme checks and balances juga dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu perihal Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dengan persetujuan DPR. Dalam hal Presiden mengangkat duta dan menerima duta dari negara lain Presiden juga memperhatikan pertimbangan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertimbangan DPR dalam hal menerima duta asing dimaksudkan agar Presiden tidak disalahkan apabila menolak duta asing yang diajukan oleh negara lain karena telah ada pertimbangan DPR.82 Menurut Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, pertimbangan DPR juga diperlukan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden. Sebelum amandemen UUD 1945 persetujuan dan pertimbangan DPR tidaklah ada, sehingga kewenangan Presiden begitu luas dan rawan penyelewengan.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pengajuannya dilakukan oleh Presiden dan dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Hal ini dimaksudkan karena dalam APBN ada bagian-bagian yang

berkenaan dengan pembangunan daerah, maka pembahasannya dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPD.83

Checks and balances antara legislatif dengan yudikatif juga terlihat dari Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Mahkamah Agung yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-undang. Sedangkan untuk pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai hal ini Mohammad Mahfud MD berpendapat bahwa:

“Dengan adanya MK, lembaga legislatif tidak bisa lagi membuat UU secara serampangan baik karena kepentingan politik para anggotanya maupun karena kelemahan pemahaman atas substansi dan prosedur-prosedurnya. Sebab, kalau itu terjadi dan ternyata isinya bertentangan dengan UUD atau ternyata prosedur pembentukannya salah, MK dapat menguji untuk kemudian membatalkannya.”84

Dalam hal kewenangan uji materi antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ini, ketua Mahkamah Konstitusi kedua ini juga memiliki pandangan tersendiri sebagai berikut:

“Idealnya ketentuan uji materi oleh lembaga yudisial untuk semua peraturan perundang-undangan ini dilakukan dalam satu jalur saja yaitu oleh Mahkamah Konstitusi dan tidak membagi kompetensi secara terbelah dan silang antara Mahkamah Konstitusi dan

83Ibid, hlm. 97. 84

Mahkamah Agung. Peletakan pengujian pada satu jalur ini dipandang akan lebih baik karena lebih menjamin konsistensi dan konsentrasi penanganan oleh satu lembaga atas semua peraturan perundang-undangan mulai dari UU terhadap UUD sampai peraturan perundang-undangan terbawah terhadap peraturan perundang-undangan yang diatasnya.”85

Selain itu dalam mekanisme impeachment Mahkamah Konstitusi juga terlihat dari Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian dengan kewenangan- kewenangan yang besar tersebut, lembaga manakah yang berwenang mengawasi Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pertanyaan tersebut sebetulnya cukup terjawab dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.86

Ketentuan ini didasari dengan pemikiran bahwa Hakim Agung dan para hakim merupakan figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi Hakim Agung duduk pada pengadilan tertinggi dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan.87

85 Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum...., op. cit., hlm. 27.

86 Menurut Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Komisi Yudisial selain berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.

Akan tetapi kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan dipangkas melalui putusan Mahkamah Konsitusi pada Agustus 2006, praktis pekerjaan Komisi Yudisial pasca putusan tersebut hanya menyeleksi calon Hakim Agung. 88 Perihal pengawasan atas

Mahkamah Konstitusi dan putusan tersebut Mohammad Mahfud MD memberikan catatan berupa:

“Sebenarnya garis politik hukum tentang pembentukan KY menginginkan pengawasan atas perilaku hakim oleh KY mencakup semua hakim yang mempunyai fungsi kehakiman, termasuk semua hakim konstitusi. Tetapi ketentuan tentang ini yang sudah dimuat dengan tegas di dalam UU tentang KY dibatalkan oleh putusan MK yang menyatakan bahwa hakim dalam pengertian pasal 24B UUD 1945 tidak mencakup hakim konstitusi .... Putusan MK tentang cakupan pengertian hakim ini, sesuai dengan ketentuan pasal 24C UUD 1945, bersifat final dan mengikat sehingga tidak bisa dimasukkan lagi dalam UU tentang KY yang baru nanti. Satu- satunya jalan untuk mengembalikan masalah ini ke garis politik hukum yang benar hanyalah melalui amandemen konstitusi yang harus menegaskan tentang itu secara eksplisit; sebab kita tidak bisa membiarkan MK dan hakim-hakimnya menjadi lembaga super yang tak bisa diawasi.”89

Mengacu pada Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal pengaturan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang diatur dengan Undang-Undang. Hal ini juga menandakan bahwa ada mekanisme checks and balances antara lembaga yudikatif dengan legislatif. Ketentuan ini berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang membuka ruang partisipasi rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR untuk memperjuangkan

88 Mohammad Mahfud MD, Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita, dalam Saiful Rachman, et al, (editor), Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), hlm. 1.

agar aspirasi dan kepentingannya diakomodir dalam pembentukan Undang-Undang tersebut.90

Untuk hubungan antara eksekutif dengan yudikatif mekanisme checks and balances juga dapat dilihat dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden yang mempertimbangkan pertimbangan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud oleh Pasal 14 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam struktur MPR pasca amandemen UUD 1945 juga terdapat mekanisme checks and balances, karena berdasar Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Dengan adanya perubahan mengenai susunan MPR ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang seluruh anggota MPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu “perwakilan atas dasar pemilihan” (representatiton by election). 91

Makanisme ini juga diciptakan dengan keberadaan BPK sebagai lembaga yang bebas dan mendiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara seperti yang diamanatkan dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

90 Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 102. 91Ibid, hlm. 49.

Dalam dokumen Andy Wiyanto Peranan MK dalam Proses I (Halaman 62-77)