• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem

Dalam dokumen Andy Wiyanto Peranan MK dalam Proses I (Halaman 121-131)

1. Presiden dan Wakil Presiden Dipilih Secara Langsung

Pasca amandemen UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat.15 Hal ini merupakan legitimasi yang kuat bagi Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan penegasan terhadap sistem presidensil16, dalam hal ini adalah adanya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang pasti (fixed term). Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang pasti ini tercermin dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Sekalipun demikian, dirumuskan dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila telah terbukti melakukan pelanggaran hukum maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehingga Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak

15 Pasal 6A Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

16 Dalam sistem presidensil, setidaknya terdapat ciri-ciri: 1) Adanya masa jabatan Presiden yang bersifat pasti (fixed term); 2) Presiden disamping sebagai kepala negara, sekaligus sebagai kepala pemerintahan; 3) Adanya mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi; 4) Adanya mekanisme impeachment. [Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai

dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali karena hal-hal yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Disini terlihat konsistensi penerapan paham negara hukum, yaitu bahwa tidak ada pengecualian penerapan hukum, bahkan terhadap Presiden sekalipun.17 Mengenai hal ini penulis bependapat bahwa:

“Dalam sistem Pemilihan Presiden secara langsung, tidaklah mungkin dapat memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya oleh MPR yang jumlahnya hanya beberapa ratus orang, sementara yang memilih presiden adalah mayoritas rakyat yang jumlahnya ratusan juta orang. Hal ini akan menjadi pengecualian ketika Presiden telah melakukan pelanggaran yang begitu besar sehingga tidak terampuni lagi dan dapat diturunkan dari jabatannya.”18

Implikasi dan konsekuensi hukum dari pengisian jabatan Presiden melalui pemilihan langsung adalah pertanggungjawaban Presiden harus langsung kepada rakyat, tidak lagi kepada MPR. Karena tidak ada lagi hubungan pertanggungjawaban antara Presiden dengan MPR, maka sebagai gantinya diperlukan adanya pranata impeachment dalam hubungannya dengan konsep tindakan terhadap pelanggaran oleh Presiden.19 Penulis menangkap hal yang mendasar dari implikasi dan konsekuensi hukum tersebut adalah karena legitimasi Presiden yang begitu besar. Maka harus dibuat mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara. Untuk itulah ada mekanisme pertanggungjawaban

17 Ibid, hlm. 56.

18 Andy Wiyanto, “Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3 (Juni, 2010), hlm. 212.

19 Jimly Asshiddiqie, et al, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden secara Langsung (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 47-48.

Presiden yang merupakan pertanda adanya penyeimbang kekuatan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif dan yudikatif.20

2. Pertanggungjawaban Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Presidensil

Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar, terdapat dua golongan ahli yang berbeda menilai sifat dari putusan tersebut. Kelompok pertama beranggapan bahwa putusan itu tidak bersifat final karena masih ada proses selanjutnya, yaitu DPR akan membawa putusan itu ke dalam Rapat Paripurna MPR.21 Kemudian kelompok kedua berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai impeachment tersebut bersifat final dan mengikat secara yuridis, namun pelaksanaannya secara de facto diserahkan kepada MPR. Sehingga MPR hanyalah melakukan rapat untuk eksekusi (executable forum) kepada putusan Mahkamah Konstitusi.22 Mengenai impeachment sebagai penjewantahan atas pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden Abdul Latif memberikan pendapat sebagai berikut:

20 Andy Wiyanto, op.cit., hal. 227.

21 Ni’matul Huda berpendapat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan MPR, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden. Jadi berbeda dengan Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum. [Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 202.]

“Namun permintaan keterangan terhadap kebijakan pemerintah dapat mengarah pada pemberhentian ditengah masa jabatan yang berawal dari pertanggungjawaban atas kebijakan, adalah karakteristik dalam sistem parlementer. Dari sisi ini nampak bahwa sistem pertanggungjawaban mengarah pada sistem pertanggungjawaban dalam sistem parlementer.”23

Penulis menilai bahwa pemberhentian ditengah masa jabatan yang berawal dari pertanggungjawaban atas kebijakan adalah benar merupakan karakteristik dalam sistem parlementer, namun pendapat yang menyatakan bahwa sistem pertanggungjawaban di Indonesia yang mengarah pada sistem pertanggungjawaban dalam sistem parlementer kuranglah tepat. Sebab Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah merumuskan alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden secara limitatif dengan alasan hukum saja. Sementara itu mekanisme pertanggungjawaban atas kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah melalui fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR melalui hak- hak yang dimilikinya yaitu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hanya saja lagi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam fungsi pengawasan tersebut tidak dapat berujung pada impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Bahkan Teguh Satya Bhakti berpendapat bahwa dalam konteks sistem pemerintahan presidensil Presiden tidak dapat dijatuhkan karena kebijakan

23 Abdul Latif, “Pilpres dalam Perspektif Koalisi Multipartai”, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3 (September, 2009), hlm. 30-31.

politiknya selama memerintah, pendapat tersebut dapat kita lihat sebagai berikut:

“Selama masa jabatannya, pada prinsipnya Presiden tidak dapat dijatuhkan atau dapat dilepas dari jabatannya (removal from office) karena kebijakan politiknya selama memerintah, misalnya kebijakan pemerintahan yang kontroversial, tidak akan berakibat jatuhnya Presiden. Rakyatlah yang nanti akan menentukan dalam pemilihan Presiden selanjutnya, apakah Persiden tersebut dipilih kembali atau tidak. Jadi sanksinya ada di pemilu bukan di DPR.”24

Kemudian Abdul Latif menegaskan, bahwa dalam proses peradilan pemberhentian Presiden bukanlah pertanggungjawaban pidana yang menjadi fokus perhatian, akan tetapi adalah pertanggungjawaban politik atas pelanggaran konstitusi. Proses pemberhentian Presiden adalah menentukan ada tidaknya kesalahan politik atau pertanggungjawaban politik yang dapat dibebankan kepada Presiden sehingga layak diberhentikan berdasarkan suara mayoritas kekuatan politik.25 Mengenai hal ini Hamdan Zoelva berpendapat serupa yaitu:

“Karena itu dalam proses peradilan pemberhentian Presiden, bukanlah pertanggungjawaban pidana yang menjadi fokus perhatiannya, akan tetapi adalah pertanggungjawaban politik. Memang, kedua proses peradilan ini, baik peradilan pidana maupun peradilan pemberhentian Presiden–sama-sama harus membuktikan adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh Presiden–dalam hal adanya perbuatan pidana yang dijadikan alasan pemberhentian. Unsur perbuatan pidana harus benar-benar terbukti baik dalam proses peradilan pidana maupun dalam proses pemberhentian Presiden.”26

24 Teguh Satya Bhakti, “Pola Hubungan Presiden dan DPR Menurut Perubahan UUD 1945” Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 4 (November, 2009), hlm. 144.

25 Abdul Latif, op.cit., hal. 41-42.

Penulis dapat memahami pendapat-pendapat tersebut karena timbul akibat perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan terbuktinya pendapat DPR akan diteruskan oleh DPR kepada MPR agar menyelenggarakan sidang istimewa. Penulis sependapat bila dikatakan bahwa yang menjadi fokus perhatian impeachment bukanlah pertanggungjawaban pidana, namun juga bukan berarti bahwa fokus perhatian impeachment adalah merupakan pertanggungjawaban politik. Sebab impeachment merupakan pertanggungjawaban hukum tata negara yang bentuk sanksinya adalah pemberhentian di tengah masa jabatan, hanya saja mekanisme pertanggungjawaban tersebut menjadi sumir akibat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sendiri) merumuskan bahwa pendapat DPR yang dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut nantinya akan diteruskan oleh DPR kepada MPR yang tidak terikat pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sri Soemantri Mertosuwignyo juga mengatakan bahwa berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945 pasca amandemen, secara politik MPR tidak dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.27

Lain halnya ketika M. Laica Marzuki yang berpendapat bahwa keputusan MPR sehubungan dengan adanya usul impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan putusan justisil (peradilan) tetapi putusan

27 Sri Soemantri Mertosuwignyo, Kapabilitas Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And Balances” Dalam Hubungan Antara Eksekutif Dan Legislatif, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), Jakarta, hlm. 7.

politik (politieke beslissing). Pemeriksaan dalam rapat paripurna MPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden bukan persidangan justisil tetapi merupakan forum politik ketatanegaraan. Manakala rapat paripurna MPR kelak meng-impeach Presiden dan/atau Wakil Presiden maka keputusannya sebatas removal from the office, yakni menjatuhkannya dari jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Keputusan MPR ini tidak memuat sanksi pidana dan semacamnya. Oleh karena itu, keputusan MPR kelak bisa saja tidak menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil Presiden walaupun sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah memutuskan hal terbuktinya pendapat DPR. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa bukan berarti keputusan politik mengenyampingkan putusan justisil tetapi impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan kewenangan MPR bukan kewenangan peradilan.28 Dalam hal proses tersebut sampai pada MPR yang kemudian mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka hal ini merupakan forum politik ketatanegaraan. Oleh sebab itu, dapat semakin terlihat dengan jelas bahwa proses pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terjadi akibat dari adanya pelaksanaan fungsi pengawasan DPR menjadi tidak optimal karena adanya mekanisme ini.

Bila ditilik dari pembahasan proses amandemen UUD 1945, pendapat Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi pertama tersebut adalah

sesuai dengan niat awal pelibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercermin dari pendapat Jakob Tobing sebagai berikut:

“Siapa yang mengatakan itu bahwa memang ini, Presiden ini layak untuk di-impeach atau tidak. Kita berpikir ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Konstitusi.

Dalam bentuk apa, apakah dalam bentuk putusan final pidana? Ini tentunya tidak demikian karena di pihak lain kita mengatakan Presiden dalam masa jabatannya tidak bisa diadili secara perdata, pidana. Kecuali kalau dia berhenti hanya bisa diadili kalau sudah tidak lagi menjabat. Jadi apa? Ini mungkin perlu dicatat. Mungkin kalau sampai di-detailed itu tidak bisa dalam Undang-Undang Dasar tetapi perlu ada kaitannya, perlu ada aturan pokoknya. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi yang merupakan mahkamah pertama dan final itu, memberikan suatu legal opinion kalau menurut Pak Asnawi, yang mengatakan bahwa Presiden ini layak atau cukup dapat ada alasannya yang kuat untuk bisa di-impeach. Bisa dimintakan pertanggungjawabannya. Tetapi ini ada kekurangan kita waktu kita merumuskan tentang…, menurut saran saya, ya tentang kewenangan MPR. MPR tidak otomatis harus memberhentikan Presiden. Presiden atau MPR dapat memberhentikan dapat juga tidak, tetapi hanya apabila Mahkamah Konstitusi mengatakan memang dia layak untuk di-impeach. Tanpa itu tidak bisa.”29

Mengenai pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden pasca amandemen UUD 1945, Teguh Satya Bhakti berpendapat bahwa:

“Hal ini berarti telah mengubah paradigma yang selama ini mewarnai sistem pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam paradigma lama, pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden lebih menekankan pada pertanggungjawaban politis”30

Selanjutnya mengenai sanksi dalam impeachment, Fadli Andi Natsif mengutarakan pendapatnya sebagai berikut:

29 Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, op.cit., hlm. 545-546.

“Bagaimanapun sanksi berupa “pemecatan” di lembaga kepresidenan sudah merupakan sanksi yang berat. Hukuman ini, walaupun tidak dijalani dibalik jeruji, tetapi secara moral sudah sangat berat. Keluarga presiden atau wapres yang makzulkan akan merasa malu karena akan tercatat dalam sejarah bahwa ia pernah dimakzulkan karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum konstitusi (Pasal 7B UUD 1945).”31

Bila diamati lebih lanjut, sesungguhnya pendapat ini bertabrakan dengan ketentuan Pasal 20 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa:

“Putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan DPR tidak menutup kemungkinan dilanjutkannya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan pidana, perdata dan/atau tata usaha negara sesuai dengan asas dan hukum acara masing-masing”

Menurut Feri Amsari pasal tersebut jelas menimbulkan multitafsir dan penjelasan yang amat panjang secara konsep ketatanegaraan.32 Ia kemudian menambahkan bahwa:

“MK dalam konteks persidangan permohonan pendapat DPR jelas dapat melakukan pemeriksaan persidangan “ala” peradilan pidana, perdata, dan/atau tata usaha negara (Lihat Pasal 21 PMK Pemakzulan). Sehingga apakah proses pidana, perdata, dan/atau tata usaha negara pasca putusan MK masih diperlukan? Walaupun MK sendiri menyatakan bahwa sifat putusannya adalah final dan mengikat [Lihat Pasal 19 ayat (5) PMK Pemakzulan]”33

Namun Feri Amsari juga menambahkan bahwa sifat final dan mengikat putusan mahkamah tersebut hanya ditujukan kepada DPR sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 ayat (5) Peraturan Mahkamah

31 Fadli Andi Natsif, “Penegakan Hukum Konstitusi: Belajar dari Kasus Century”, Majalah Konstitusi, No. 39 (April, 2010), hlm. 9.

32 Feri Amsari, “Jalan Lain Pemakzulan”, Majalah Konstitusi, No. 38 (Maret, 2010), hlm. 9.

Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009.34 Oleh sebab itu mengenai sanksi dalam impeachment ini, penulis memandang bahwa karena impeachment merupakan muara dari fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR, sehingga bentuk sanksinya cukuplah berupa pemberhentian ditengah masa jabatan. Sebab beda antara sanksi dalam pertanggungjawaban pidana dengan sanksi dalam pertanggungjawaban hukum tata negara. Sementara itu sebagai upaya agar dapat dilakukannya pertanggungjawaban pidana yang telah dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden penulis menilai bahwa perumusan Pasal 20 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 sudahlah tepat, sebab yang menjadi fokus perhatian dari impeachment adalah pertanggungjawaban hukum tata negara, bukan pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi betul apa yang telah diutarakan oleh Feri Amsari, bahwa hal ini menimbulkan multitafsir dan masih membutuhkan penjelasan yang amat panjang secara konsep ketatanegaraan. Kecuali bila hal ini dirumuskan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa impeachment yang berakibat pada diberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatannya selain dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR juga berfungsi ganda sebagai dasar dipidananya Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum pidana setelah ia diberhentikan MPR (yang terikat pada putusan Mahkamah Konsitusi tersebut).

34 Pasal 19 ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 menegaskan “Putusan Mahkamah bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan.”

C. Keterkaitan Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Proses Impeachment

Dalam dokumen Andy Wiyanto Peranan MK dalam Proses I (Halaman 121-131)