• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahkamah Konstitusi Di Beberapa Negara

Dalam dokumen Andy Wiyanto Peranan MK dalam Proses I (Halaman 39-47)

Pelembagaan ide peradilan konstitusi sesungguhnya melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshall, dengan ide pengujian konstitusionalitas Undang-Undang yang ia putuskan dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803.1 Ia yang

pertama kali menjalankan wewenang menafsirkan konstitusi untuk membatalkan Undang-Undang yang sebelumnya telah disahkan oleh Kongres Amerika Serikat. Kewenangan tersebut sebetulnya tidak diatur dalam Konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, peristiwa ini dapat dipandang sebagai judicial interpretation, yaitu perubahan konstitusi melalui penafsiran hakim atau pengadilan sebagaimana pandangan KC Wheare. Sejak praktik itulah dikenal istilah hak uji materil Undang-Undang terhadap konstitusi yang dikenal sebagai judicial review.2

Praktik ini diperkuat oleh pandangan George Jellineck yang pada penghujung abad 19 mengusulkan ide yang sama. Namun fungsi pengujian Undang-Undang yang dilaksanakan secara terpisah oleh suatu badan yang disebut Mahkamah Konstitusi barulah ada ketika ide yang dikembangkan

1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 322.

2 Taufiqurrohman Syahuri, Lima Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Satu Tahun Pelaksanaannya, dalam Refly Harun, Zainal AM Husein dan Bisariyadi (editor), Menjaga Denyut

Hans Kelsen diadopsi dalam Konstitusi Austria tahun 1919, yang membuat Mahkamah Konstitusi Austria sebagai peradilan tata negara pertama di dunia.3

Ide ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919-1920 dan diterima dalam Konstitusi tahun 1920.4 Gagasan Kelsen mengenai pengujian

konstitusional dan pembentukan Mahkamah Konstitusi beranjak dari pemikiran bahwa:

“ .... norma hukum itu valid lantaran dibuat menurut cara yang yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya ini adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama. .... Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, norma yang dibentuk menurut peraturan itu adalah norma yang lebih rendah. .... Kesatuan norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu –yakni norma yang lebih rendah– ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regresssus ini (rangkaian pembentukan hukum) diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum ini.”5

Teori jenjang norma hukum Kelsen tersebut ternyata diilhami oleh seorang muridnya, Adolf Merkel yang mengemukakan bahwa:

“Suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). .... suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung

3 Jimly Asshiddiqie, Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan dan Penyelenggaraan serta Setangkup Harapan, dalam Refly Harun, Zainal AM Husein dan Bisariyadi (editor), Ibid, hlm. 5-6.

4 Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Syafa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 139.

5 Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, terjemahan Somardi (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2007), hlm. 155.

pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma- norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.”6

Lebih lanjut mengenai kesesuaian atau ketidaksesuaian antara Undang- Undang dengan konstitusi Kelsen mengatakan bahwa “Jika suatu undang- undang syah maka undang-undang tersebut bisa syah karena kesesuaiannya dengan konstitusi; undang-undang tidak bisa syah jika bertentangan dengan dengan konstitusi.”7 Menurutnya penerapan aturan-aturan konstitusi mengenai

pembuatan Undang-Undang dapat dijamin secara efektif hanya jika suatu organ selain organ legislatif diberi mandat yang tegas untuk menguji apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan konstitusi dan dapat membatalkannya jika Undang-Undang tersebut tidak konstitusional. Kemudian Kelsen berpendapat bahwa:

“Mungkin ada sebuah organ khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya, sebuah pengadilan khusus yang disebut “mahkamah konstitusi”; atau pengawasan “kekonstitusionalan” suatu undang- undang, yang disebut “pengujian hukum” (judicial review), dapat diberikan kepada pengadilan biasa, dan terutama kepada pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung). .... Jika suatu pengadilan biasa kompeten untuk menguji kekonstitusionalan suatu undang-undang, maka pengadilan ini mungkin diberi hak hanya untuk menolak penerapannya di dalam kasus konkrit jika pengadilan tersebut memandangnya tidak konstitusional, sementara organ-organ lain tetap diwajibkan untuk menerapkan undang-undang tersebut.”8

Gagasan Kelsen tersebut menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution)

6 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 25-26.

7 Hans Kelsen, op.cit., hlm. 194. 8

dengan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament).9 Dalam prinsip supremasi parlemen dikenal adanya doktrin

bahwa dalam suatu negara rakyatlah yang berdaulat, dan karena rakyat yang berdaulat maka apa pun yang diputuskan atau ditentukan oleh rakyat atau oleh wakil rakyat tersebut tidak boleh dianulir oleh siapapun atau lembaga apapun yang bukan (wakil) rakyat.10 Doktrin tersebut terdapat dalam tradisi anglo

saxon sebagaimana penegasan A.V. Dicey bahwa prinsip-prinsip kedaulatan parlemen adalah sebagai berikut:11

a. Parlemen mempunyai hak untuk membuat atau membatalkan hukum apapun;

b. Tidak ada satu orang atau lembaga pun yang berhak menolak atau mengenyampingkan legislasi Parlemen;

c. Hak dan kekuasaan Parlemen meluas ke setiap bagian dominion-dominion Raja.

Dilain sisi dalam doktrin supremasi Konstitusi, meskipun parlemen merupakan pemegang kedaulatan rakyat dan satu-satunya yang berwenang membuat Undang-Undang, bukan berarti bahwa parlemen boleh melanggar konstitusi. Parlemen harus tunduk terhadap konstitusi termasuk didalamnya adalah produknya berupa Undang-Undang, sehingga dapat diuji terhadap

9 Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Syafa’at, op.cit., hlm. 140.

10 Benny K. Harman, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Reformasi Hukum, dalam Refly Harun, Zainal AM Husein dan Bisariyadi (editor), op.cit., hlm. 225.

11 AV. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, terjemahan Nurhadi (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 8.

konstitusi. Oleh sebab itu doktrin supremasi parlemen sebenarnya sudah lama ditinggalkan banyak negara demokrasi di dunia.12

Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Mahkamah Konstitusi baru ada di sekitar 70-an negara. Sebagian besar negara-negara demokrasi yang sudah mapan tidak mengenal lembaga ini, sebab fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi Supreme Court yang ada di negaranya, salah satu contohnya adalah Amerika Serikat. Akan tetapi di beberapa negara lainnya, terutama yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokratis, pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan cukup populer. Sebagai contoh adalah Afrika Selatan, Ceko dan Lithuania. Tentu tidak semua negara yang mengalami perubahan tersebut membutuhkan Mahkamah Konstitusi, misalnya adalah Philipina. Disamping itu ada pula negara lain seperti Jerman yang memiliki Federal Constitutional Court yang tersendiri.13

1. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan

Di Afrika Selatan Mahkamah Konstitusi dibentuk pertama kali pada tahun 1994 berdasarkan Interim Constitution tahun 1993. Anggotanya berjumlah 11 orang, 9 pria dan 2 wanita. Masa kerja mereka adalah 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan kemungkinan pergantian karena pensiun, yaitu apabila telah mencapai usia 70 tahun.14

12 Benny K. Harman, op.cit., hlm. 226.

13 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, 2004), hlm. 240-241.

Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan memiliki kekuasaan untuk menyatakan Undang-Undang yang ditetapkan oleh Parlemen ataupun tindakan-tindakan pemerintahan batal dan tidak berlaku apabila bertentangan dengan konstitusi.15

Namun yang menarik adalah dalam menasirkan Undang-Undang Dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan juga diharuskan mempertimbangkan hukum internasional di bidang hak asasi manusia dan bahkan diizinkan untuk mempertimbangkan hukum yang berlaku di negara lain yang demokratis sebagai rujukan. Selain itu setiap tuntutan perkara ke Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan harus dimulai dengan mengajukannya ke Pengadilan Tinggi, jadi tidak langsung kepada Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan. Jika Pengadilan Tinggi menetapkan pembatalan suatu peraturan, maka Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dimintakan konfirmasinya agar putusan Pengadilan Tinggi itu dapat berlaku atau dilaksanakan secara efektif.16

2. Mahkamah Konstitusi Ceko

Pada bulan Juli 1993 setelah kemerdekaannya, 12 orang pertama diangkat menjadi hakim konstitusi dan Mahkamah Konstitusi Republik Ceko resmi mulai bersidang. Pada bulan Januari 1994 diangkat lagi 3 orang tambahan, sehingga seluruh anggotanya berjumlah 15 orang. Kelimabelas orang itu berasal dari parlemen, guru besar hukum dari

15Ibid, hlm. 250-251. 16Ibid, hlm. 251.

berbagai perguruan tinggi, hakim profesional dan beberapa pengacara praktek.17 Masa jabatan mereka 10 tahun dan konstitusi Ceko tidak

melarang para hakim tersebut ditunjuk kembali untuk masa jabatan tahun berikutnya.18

Mahkamah Konstitusi Republik Ceko adalah lembaga kehakiman yang bertanggungjawab melindungi konstitusionalisme, yang kedudukan dan kekuasaannya termaktub dalam Konstitusi Republik Ceko. Sistem yang dibangun dalam Mahkamah Konstitusi Republik Ceko tidaklah seperti pengadilan biasa pada umumnya. Fungsi Mahkamah Konstitusi Republik Ceko adalah sebagai lembaga yudikatif yang menegakkan konsitusionalitas, kebebasan dan hak-hak dasar yang diberikan oleh konstitusi sebagaimana tertuang dalam Piagam Kebebasan dan Hak-Hak Dasar. Fungsi lainnya adalah menjamin karakter Konstitusi dalam mengawasi kekuasaan negara.19

3. Mahkamah Konstitusi Lithuania

Mahkamah Konstitusi Lithuania disahkan oleh Parlemen (seimas) pada tanggal 3 Februari 1993. Jumlah anggotanya sebanyak 9 orang yang diangkat oleh Parlemen dari calon-calon yang diusulkan 3 orang oleh Ketua Parlemen, 3 orang oleh Presiden dan 3 orang oleh Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dan ditetapkan oleh Parlemen

17Ibid, hlm. 241-242.

18 Yazid, “The Constitutional Court of The Czech Republic”, Majalah Konstitusi, No. 38 (Maret, 2010), hlm. 65.

dari calon yang diajukan oleh Presiden. Masa jabatan kesembilan hakim konstitusi tersebut bervariasi. Yaitu 3 orang paling lama untuk 9 tahun tanpa perpanjangan, sedangkan 3 orang lagi untuk 6 tahun dan 3 orang lainnya untuk tiga tahun, masing-masing dengan kemungkinan perpanjangan hanya satu kali masa jabatan dengan interval selama 3 tahun.20

Mahkamah Konstitusi Lithuania memiliki sejumlah kewenangan utama. Pertama, lembaga ini adalah pilar untuk memastikan tegaknya supremasi konstitusi dalam sistem hukum dan keadilan konstitusional dengan memberi keputusan apakah hukum dan undang-undang lainnya berkesesuaian dengan Konstitusi atau tidak. Kedua, keputusan Presiden dapat dilihat konformitasnya dengan aturan-aturan yang termaktub dalam Konstitusi Lithuania. Mahkamah menjadi lembaga yang berwenang mengujinya. Kewenangan lainnya adalah berhak mengadili sengketa dan kekerasan dalam pemilihan umum dan pemilihan Presiden. Mahkamah Konstitusi Lithuania juga berhak memutuskan kelangsungan jabatan seorang Presiden terkait dengan alasan-alasan konstitusional hingga alasan kesehatan. Selain itu, perjanjian internasional berhak diuji oleh Mahkamah terkait kesesuaiannya dengan konstitusi. Terakhir, impeachment yang diajukan oleh DPR, terlebih dahulu dinilai oleh mahkamah untuk diuji apakah bertentangan dengan Konstitusi atau tidak.21

20 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara...., op.cit., hlm. 242.

21 Yazid, “Constitutional Court of The Republic of Lithuania: Pernah Memimpin Konferensi MK Se-Eropa”, Majalah Konstitusi, No. 42 (Juli, 2010), hlm. 82.

Dari tiga kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa dilingkungan negara- negara yang berubah kearah demokrasi pada dasawarsa terakhir abad ke-20 pada umumnya selalu mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. Jumlah anggotanya berkisar antara 9 sampai 15 orang dengan masa jabatan yang berkisar antara 9 sampai 12 tahun.22

Dalam dokumen Andy Wiyanto Peranan MK dalam Proses I (Halaman 39-47)