IMPEACHMENT MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum
Diajukan oleh
ANDY WIYANTO
No. Pokok: 200500007
FAKULTAS HUKUM
iii
Pasca amandemen UUD 1945 impeachment dirumuskan secara eksplisit sehingga lebih jelas dan terbatas hanya pada alasan-alasan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar problematika dan perdebatan mengenai impeachment akibat dari sumirnya pengaturan sebelumnya tidak terulangi lagi. Namun gagasan tersebut ternyata tidak termanifestasikan dengan sempurna dalam pengaturan yang baru. Masalah baru kemudian muncul akibat perumusan impeachment dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dua diantara masalah tersebut adalah mengenai sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak mengikat MPR dan peradilan yang berbeda dari mekanisme umum untuk pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua permasalahan tersebut dengan cara meneliti secara normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti data sekunder berupa bahan-bahan primer, sekunder dan tersier. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian analisis kualitatif yaitu data sekunder berupa bahan-bahan primer, sekunder dan tersier dihubungkan satu sama lain dan atau ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.
Hasil dari penelitian ini yaitu mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak mengikat MPR sebagai sebab gagal terbangunnya sistem checks and balances dalam mekanisme impeachment di Indonesia. Sebab impeachment yang berawal dari adanya pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan bentuk pengawasan sebagai penjewantahan dari sistem checks and balances dalam ketatanegaraan Indonesia. Kemudian mengenai peradilan yang berbeda dari mekanisme umum untuk pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden tidaklah bertentangan dengan asas persamaan dihadapan hukum. Sebab yang sekalipun yang dibuktikan adalah sama-sama pada pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela; namun pembuktian ini dimaksudkan dalam rangka menjalankan pengawasan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai manifestasi dari sistem checks and balances dalam ketatanegaraan Indonesia.
iv
“Untuk kedua orang tuaku yang memiliki dedikasi penuh terhadap ilmu pengetahuan. Sekalipun dengan latar belakang pendidikan yang sederhana, namun semangat serta dedikasi Bapak Ibu sangat paripurna, bahkan melebihi
seorang Guru Besar sekalipun.
Terima kasih Bapak, terima kasih Ibu; semoga Tuhan memberkati segala keikhlasan yang selama ini telah diberikan kepadaku dan adik-adikku.
v
Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian dengan judul “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Proses Impeachment menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia” ini Penulis pilih karena Penulis tergelitik dengan mekanisme impeachment di Indonesia disamping juga tertarik kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang relatif terpercaya dewasa ini. Tentunya hasil penelitian ini tidaklah sempurna, sekalipun Penulis telah mendapat masukan dari berbagai pihak. Hal itu terjadi akibat kekurangan penulis sendiri, oleh karenanya menjadi tanggungjawab penuh Penulis.
Untuk berbagai pihak yang telah berperan dalam perkuliahan Penulis dan khususnya penelitian Penulis, Penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak dan Ibu Penulis, Jarmadi dan Sriwiyati yang luar biasa mencintai anak-anaknya. Yang merintis kehidupan bersama dari nol hingga saat ini, kesemuanya itu tidak lain dan tidak bukan hanya untuk kehidupan anak-anaknya yang lebih baik. Karya ini tentunya tidak akan cukup untuk membalas segala pengorbanan yang telah Bapak Ibu berikan. Namun karya sederhana ini akan menjadi awal bagi Penulis untuk dapat membalas segala kemuliaan yang telah Bapak Ibu berikan. Hingga kelak Bapak Ibu merasa bangga dan tidak sia-sia telah mengajarkan ilmu hidup pada Penulis serta adik-adik Penulis. Penghargaan utama yang terdalam Penulis persembahkan kepada Bapak dan Ibu. Terima kasih Bapak, terima kasih Ibu, semoga Tuhan merahmati.
vi
4. Ketua Bagian Program Kekhususan III (Hukum Tentang Hubungan Negara dan Masyarakat), Ayahanda Dr. H. Syaiful Bakhri, SH. MH. yang membuat penulis bangga dan termotivasi untuk tetap menulis ketika membaca karya tulis beliau di setiap sudut toko buku yang Penulis kunjungi.
5. Pembimbing Skripsi Penulis, Ibunda Dwi Putri Cahyawati, SH. MH. yang luar biasa sabar menghadapi kekurangan penulis selama penelitian ini, hingga seringkali Penulis merasa malu sendiri karena kebaikan beliau. Yakin dan percaya, tanpa dukungan penuh dari beliau mungkin belum tentu karya yang sederhana ini dapat dirampungkan seperti saat ini.
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum UMJ yang telah memberikan pencerahan bagi Penulis.
7. Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memiliki koleksi luar biasa lengkap dan menjadi tempat yang nyaman bagi penulis untuk seharian meneliti disana.
8. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Fakultas Hukum UMJ yang telah memberikan pondasi bagi penulis hingga bisa menjadi seperti hari ini.
9. Lembaga Studi dan Konsultasi Hukum FH UMJ sebagai tempat mengasah pemahaman Penulis setelah mendapat hukum acara dalam perkuliahan. 10. Kelompok Seni Fakultas Hukum UMJ yang menjadi tempat penulis
memuntahkan penat selama kuliah dan penelitian ini.
11. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat yang telah membuka mata Penulis akan hidup yang sebenarnya.
vii khususnya politik kerakyatan.
15. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Tangerang Selatan yang membuat Penulis bersemangat untuk memberikan pengabdian dalam hidup.
16. Dr. Frans Sayogie, SH. dan Rachmansyah, SH. yang berkali-kali menelepon Penulis hanya untuk menanyakan dan menyemangati Penulis dalam penelitian ini. Bahkan merelakan sebagian koleksi buku-buku mereka kepada Penulis untuk dipinjam dan dijadikan referensi. Semasa kuliah, kedua orang ini adalah kawan Penulis yang memiliki gagasan cemerlang dalam tiap diskusi yang hangat.
17. Rekan-rekan seperjuangan Penulis yang berkali-kali mengirim pesan singkat hanya untuk menanyakan dan menyemangati Penulis dalam penelitian ini. Mereka itu diantaranya adalah: Wahib, SH., Sukma Dera Deswantoro, Ibnu Sina Chandranegara, SH., Kusuma Firdaus, SH., Hendra Pratama, SH., Wandi Prayogi, Sutomo Apendi, Defeldianda Rachmat, Suhendar, SH., Indra Kurniawan, SS., Andi Surono, Muhamad Ervan, Agus Raharjo, Anggara Pujarama, SH., Mahardika Kurnia, dan Septa Chandra, SH.
18. Rekan-rekan seperjuangan Penulis yang menyemangati penulis dengan memberikan skripsi mereka kepada penulis, mereka adalah Umi Rahmi, SH. dan Yudha Perdata Putra, SH. Skripsi yang kalian berikan adalah cambuk bagi penulis agar dapat segera menyelesaikan penelitian ini. 19. Dyah Ayu Syarifah yang telah memberikan penulis semangat dan doa,
viii
Ucapa terima kasih tidak dapat menggambarkan dan membalas betapa besarnya bantuan mereka, namun hanya ini yang dapat Penulis lakukan. Sesungguhnya hanya Tuhan yang dapat memberikan lebih. Permohonan maaf juga penulis haturkan atas segala kekeliruan, kesalahan dan kekurangan selama penulis berkuliah, khususnya dalam penelitian ini perihal metodologi dan substansi penelitian.
Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi peminat hukum dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Billahi fii sabililhaq, fastabiqul khairaat. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Tangerang Selatan, 29 Juni 2011 Penulis
ix
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……… ii
ABSTRAK ... iii
PERSEMBAHAN ……….……… iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10
C. Landasan Teori ... 11
D. Definisi Operasional ... 21
E. Metodologi Penelitian ... 24
F. Sistematika Penulisan ... 26
BAB II TINJAUAN UMUM MAHKAMAH KONSTITUSI ... 28
A. Mahkamah Konstitusi Di Beberapa Negara ... 28
B. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ... 36
C. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 51
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI IMPEACHMENT ... 66
A. Impeachment Dalam Konteks Global ... 66
B. Impeachment Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 73
C. Sejarah Ketatanegaraan Impeachment Di Indonesia ... 90
x
Pendapat DPR ... 100
B. Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 110
C. Keterkaitan Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Proses Impeachment Dengan Prinsip Supremasi Hukum ... 120
D. Keterkaitan Peradilan Mahkamah Konstitusi Dalam Proses Impeachment Dengan Asas Persamaan Dihadapan Hukum ... 127
BAB V PENUTUP ... 136
A. Kesimpulan ... 136
B. Saran ... 139
DAFTAR PUSTAKA ... 141
A. Latar Belakang
Pemerintahan Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Demikianlah amanat
yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemerintah menjalankan pemerintahannya berdasarkan
amanat yang diberikan oleh rakyat Indonesia, untuk itulah pemerintah
berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan pemerintahannya kepada
seluruh rakyat Indonesia. Legitimasi kekuasaan pemerintah dijewantahkan
dalam sistem demokrasi perwakilan sebagaimana termaktub dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah sebagai mandataris rakyat harus dapat mewujudkan tujuan
negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Namun untuk menjamin bahwa pemerintah dalam
menjalankan pemerintahannya telah benar-benar ideal sesuai dengan hakikat
terbentuknya negara Republik Indonesia, pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum, sehingga dalam mencapai tujuannya itu ada instrumen yang
hukum sendiri diartikan sebagai negara di mana tindakan pemerintah maupun
rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan
sewenang-wenang dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendaknya
sendiri.1 Istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah
Rechsstaat.2
Dalam negara hukum tidak ada lagi tempat bagi penyelesaian sengketa
dengan adu kekuatan atau atas dasar rasa dendam. Negara hukum disebut pula
negara beradab, negara yang dikelola dengan akal budi manusia, bukan oleh
nafsu (bahaimiy). Keharusan menyelesaikan perkara oleh otoritas hukum (bukan main hakim sendiri) ditegaskan dalam Al-Quran Sebagai berikut:
“Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sampai mereka menghakimkan
kepadamu (Muhammad SAW) perihal apa-apa yang terjadi diantara mereka”3.
Penegasan ayat tersebut yang berbunyi “menghakimkan perkara
kepadamu (Muhammad SAW)” bukan terbatas kepada pribadi Muhammad
SAW, melainkan kepada orang/pihak yang diberi otoritas oleh publik untuk
menyelesaikan segala perkara secara hukum. Sehingga sejak Rasulullah SAW
wafat dalam praktik tetap ada orang/pihak yang berhak menyelesaikan
sengketa di masyarakat. Bahkan dalam kamus Fiqh Islam, orang/pihak yang
1 Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 91.
2 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap: Bahasa Belanda Indonesia Inggris (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm. 713.
diberi kewenangan menyelesaikan perkara hukum disebut “qadli”, kita
menyebutnya “hakim/judg, Inggris”.4
Sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mencatat penyelenggaraan
kekuasaan eksekutif in casu pejabat Presiden yang secara inkonstitusional atau setidak-tidaknya ada anggapan demikian oleh MPR. Untuk itulah harus ada
mekanisme yang tepat dalam kerangka negara hukum untuk menuntut
pertanggungjawaban Presiden atas apa yang telah dilakukannya. Dalam
mempertanggungjawabankan hal tersebut dikenallah pranata impeachment
untuk menggali apakah perbuatan yang dilakukan oleh presiden benar-benar
bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.
Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari
jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuntutan atau dakwaan, sebagaimana dirumuskan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa:
“Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office” atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata
impeachment itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden.”5
Semenjak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah mencatat bahwa
telah sebanyak dua kali MPR memberhentikan Presiden ditengah masa
jabatannya. Pertama adalah pada saat pemberhentian Presiden Soekarno yang
4 Yudi Latif, et al, Syarah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perspektif Islam (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), hlm. 43.
dianggap bersalah karena ketidakmampuannya memberikan
pertanggungjawabannya atas peristiwa Gerakan Tiga Puluh September
(G30S)6 serta kemerosotan ekonomi dan kemerosotan akhlak rakyat. Kedua
adalah pada saat pemberhentian Presiden Abdurahman Wahid yang dianggap
bersalah karena ketidakmampuan (keengganan) Presiden memberikan
pertanggungjawaban di hadapan Sidang Istimewa MPR, kesalahan Presiden
yang dengan sengaja mengeluarkan maklumat pembubaran MPR serta tidak
menjalankan ketetapan-ketetapan MPR dan undang-undang yang berlaku di
Indonesia.7
Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia sebelum perubahan UUD
1945, MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya.
Hal ini tertuang dalam Pasal 4 Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antar
Lembaga-lembaga Tinggi Negara yang menjelaskan alasan pemberhentian
tersebut sebagai berikut:
1. Atas permintaan sendiri;
2. Berhalangan tetap;
3. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.
6 Tulisan ini tidak lagi menggunakan istilah rezim orde baru yaitu G30S/PKI melainkan Gerakan 30 September saja. Ada beberapa versi tentang peristiwa itu dan PKI hanya salah satu versi. Oleh sebab itu lebih objektif dengan menyebut Gerakan 30 September tanpa embel-embel apapun. [Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2007), hal 176.]
Tap MPR No. III Tahun 1978 mengatur prosedur impeachment
sebelum amandemen konstitusi.8 Prosedur ini mensyaratkan dikeluarkannya
dua kali surat peringatan secara berturut-turut. Memorandum pertama
memperingatkan Presiden tentang pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan
kepadanya. Jika setelah tiga bulan kemudian Presiden tidak menanggapi surat
peringatan itu secara memuaskan, memorandum kedua dilayangkan. Dan jika
satu bulan kemudian tanggapan Presiden masih juga tidak memuaskan, MPR
akan menggelar sebuah Sidang Istimewa untuk membahas kedua
memorandum itu berikut tanggapan dari Presiden. Sidang ini kemudian akan
memutuskan apakah Presiden akan diberhentikan atau tidak. Menurut Denny
Indrayana prosedur impeachment Indonesia ini problematik, apalagi kalau dibandingkan dengan prosedur serupa milik Amerika Serikat.9 Hal inilah yang
turut menjadikan alasan untuk mengakomodir mekanisme impeachment yang lebih adil dalam amandemen ketiga UUD 1945.
Untuk lebih jelasnya Abdul Mukthie Fadjar merunut mekanisme
impeachment menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi sebagai berikut:10
1) DPR mengadakan sidang paripurna untuk membahas usulan/mosi
impeachment dari anggota dalam rangka fungsi pengawasan dengan korum (quorum) minimal 2/3 jumlah anggota; tidak diatur syarat minimal jumlah anggota yang dapat mengajukan usul
impeachment ke forum paripurna DPR;
8 Ibid, pasal. 7.
9 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 245-246.
2) Agar usul impeachment dapat menjadi pendapat DPR yang dapat diajukan ke MKRI harus disetujui oleh minimal 2/3 jumlah anggota yang hadir;
3) Setelah terpenuhi ketentuan butir 1) dan butir 2), DPR mengajukan permohonan ke MKRI tentang impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menurut ketentuan Pasal 80 UU MK harus jelas alasan-alasannya disertai keputusan DPR dan proses pengambilan keputusannya, risalah/berita acara rapat paripurna DPR, dan bukti-bukti dugaannya yang menjadi alasan
impeachment;
4) MKRI wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tentang usul impeachment tersebut dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan impeachment
DPR dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi (Pasal 84 UU MK); jika Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri, permohonan DPR gugur;
5) Putusan MKRI ada tiga kemungkinan (Pasal 83 UU MK), yaitu: a) Permohonan DPR tidak dapat diterima jika tidak memenuhi
ketentuan Pasal 80 UU MK (syarat prosedural);
b) Permohonan DPR ditolak apabila impeachment tidak terbukti; c) Pendapat DPR dibenarkan apabila impeachment terbukti; 6) Apabila pendapat DPR dibenarkan oleh MKRI, DPR mengadakan
Sidang Paripurna untuk meneruskan usul pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden ke MPR;
7) MPR wajib bersidang untuk memutus usul DPR untuk pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya usul DPR;
8) Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diusulkan DPR untuk dimakzulkan diberi kesempatan memberikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR yang korumnya minimal ¾ dari jumlah anggota, sedangkan keputusan MPR atas usul pemakzulan oleh DPR minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Munculnya mekanisme ini sesungguhnya sebagai konsekuensi logis
dari adanya penegasan sistem presidensil dalam amandemen UUD 1945.
Dalam Buku Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa:
salah satu cirinya adalah adanya periode masa jabatan yang pasti (fixed term) dari Presiden dan Wakil Presiden, dalam hal ini masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia lima tahun. Dengan demikian Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hukum berdasar hal-hal yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui suatu prosedur konstitusional yang populer disebut impeachment.”11
Sekalipun Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan
dalam masa jabatannya, namun karena alasan-alasan tertentu dalam rangka
pertanggungjawaban dengan mekanisme yang diatur secara konstitusional
Presiden dan/atau Wakil Presiden masih memungkinkan untuk diberhentikan,
sebagaimana pendapat Mohammad Laica Marzuki berikut:
“Hal dimaksud merupakan pengecualian yang diberikan konstitusi bagi pemberhentian presiden dan wakil presiden hasil pemilihan langsung, yang sesungguhnya -dalam keadaan biasa (normal procedure)- tidak dapat diberhentikan selama masa jabatan. Pengecualian yang diberikan konstitusi terhadap MPR tidak dapat dipahami seketika selaku wewenang MPR”12
Dalam hal ini Mohammad Mahfud MD berpendapat dengan
membandingkan impeachment pada saat pra dan pasca amandemen UUD 1945 sebagai berikut:
“Pada masa lalu pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya hanya didasarkan pada pertimbangan politik yang diatur dalam Tap MPR Nomor III/MPR/1978 dengan alasan melanggar haluan negara yang penafsirannya sangat luas. Namun pada saat ini Presiden hanya dapat dijatuhkan (melalui impeachment) dengan alasan-alasan tertentu yang harus dibuktikan lebih dulu secara hukum (melalui forum previlegiatum). Di sini, memenangkan suara dalam demokrasi
11 Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 56.
dipadukan (bahkan diuji) dengan substansi dan prosedur hukum berdasar nomokrasi”13
Kendatipun mekanisme impeachment telah diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun
masih terdapat beberapa persoalan yang belum sepenuhnya dapat terjawab
dengan sepenuhnya dalam konstitusi hasil amandemen tersebut. Menurut
hemat penulis, masalah yang paling mendasar adalah mengenai tidak
mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR setelah
diteruskan DPR kepada MPR. Artinya sejauh apa pengaruh putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap kedudukan Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam rapat paripurna MPR.14 Akan memungkinkan
ketika Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR atas alasan
impeachment, namun dalam rapat paripurna MPR majelis justru tidak memutuskan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan
alasan-alasan yang bersifat politis. Menjadi ironis dan kedepannya hal ini akan
menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia karena
senyatanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang
terbingkai dengan norma hukum yang terukur kebenarannya. Ironisnya
terletak pada kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya penjaga
13 Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. xvi.
dan penafsir UUD dan diberi wewenang untuk memutuskan pernyatan DPR
tentang pelanggaran hukum Presiden, tetapi keputusan terakhir yang memberi
sanksi pemberhentian atau sanksi lainnya terhadap Presiden berada pada
MPR.15 Selanjutnya timbul pertanyaan bahwa proses peradilan yang khusus
bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut apakah tidak bertentangan
dengan asas persamaan dihadapan hukum, bukankah Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam hal ini juga merupakan warga negara yang harus diperlakukan
sama dihadapan hukum.
Persoalan-persoalan yang berkenaan dengan impeachment ini masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut, terutama yang berkenaan dengan
bagaimana aspek yuridis memandang peranan Mahkamah Konstitusi dalam
proses impeachment guna mengisi kemungkinan terjadinya kekosongan hukum dan sebagai ikhtiar dalam melengkapi teori-teori hukum yang telah
ada.
Dari uraian-uraian diatas, penulis tergelitik untuk melakukan penelitian
tentang pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR sebagai
alasan impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden serta apakah proses tersebut sudah sejalan dengan asas persamaan dihadapan hukum untuk
kemudian menuangkan hasil penelitian tersebut dalam sebuah skripsi dengan
judul Peranan Mahkamah Konstitusi Dalam Proses Impeachment Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah diatas, maka
untuk dapat menjawab persoalan-persoalan yang berkenaan dengan
impeachment tersebut perlu diadakan pengkajian secara akademis. Beberapa persoalan itu seperti tidak mengikatnya putusan Mahkamah
Konstitusi atas pendapat DPR setelah diteruskan DPR kepada MPR.
Artinya sejauh apa pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
terhadap kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden masih butuh
penegasan. Selanjutnya timbul pertanyaan bahwa proses peradilan yang
khusus bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut apakah tidak
bertentangan dengan asas persamaan dihadapan hukum.
2. Pembatasan Masalah
Penulis akan membatasi permasalahan impeachment ini terkait dengan bagaimana aspek yuridis memandang peranan Mahkamah
Konstitusi dalam proses impeachment terkait dengan prinsip supremasi hukum dan asas persamaan dihadapan hukum dalam konsep negara hukum
Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Dari uraian pembatasan masalah diatas, Penulis merumuskan
masalah menjadi dua poin sebagai berikut:
1945 sudah sejalan dengan prinsip supremasi hukum sehingga
merupakan mekanisme hukum dan bukan merupakan mekanisme
politik?
b. Apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi Presiden dan/atau
Wakil Presiden ini tidak bertentangan dengan asas persamaan
dihadapan hukum?
C. Landasan Teori
Perlu kita ketahui bahwa konsep negara hukum tidak terlepas dari
sejarah panjang terbentuknya konsep negara hukum itu sendiri. Konsep negara
hukum yang biasa kita pahami sebagai konsep yang lahir dalam tradisi Eropa
Kontinental dan Anglo Saxon tidak lahir dalam waktu sekejap dan tanpa
pengorbanan yang besar. Konsep negara hukum terlahir dengan latar
belakangnya masing-masing dan seringkali harus dibayar dengan nilai yang
tidak sedikit.
Sudjito bin Atmoredjo merujuk pada Satjipto Rahardjo 16
menggambarkan bahwa sejarah panjang terbentuknya negara hukum dalam
kerangka rechtsstaat adalah sebagai berikut:
“Rechtstaat adalah konsep negara modern yang pertama kali muncul di Eropa dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kemunculannya bukan secara tiba-tiba melalui sebuah rekayasa penguasa, melainkan melalui sejarah pergulatan sistem sosial. Secara singkat dapat diceritakan bahwa Eropa sebelum abad 17 diwarnai oleh keambrukan sistem sosial yang berlangsung secara susul-menyusul dari sistem sosial satu ke sistem sosial lain. Dimulai dari feodalisme,
Staendestaat, negara absolut, dan baru kemudian menjadi negara konstitusional. Eropa, sebagai ajang persemaian negara hukum membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum kelahiran rule of law dan negara konstitusional. Masing-masing keambrukan sistem sosial tersebut memberi jalan kepada lahirnya negara hukum modern. Ambil contoh, Perancis. Negara ini harus membayar mahal untuk bisa menjadi negara konstitusional, antara lain diwarnai dengan pemegalan kepala raja dan penjebolan penjara Bastille. Belanda, harus memeras negeri jajahan (Indonesia) dengan cara mengintroduksi sistem tanam paksa (kultuur stelsel, supaya bisa tetap hidup (survive). Hanya dengan pemaksaan terhadap petani di Jawa untuk menanam tanaman tertentu dan pengurasan hasil pertanian, Belanda bisa berjaya kembali.”17
Secara umum dalam setiap negara yang menganut paham negara
hukum, dapat dilihat dari bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi
hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).18 Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri akan adanya:19
1. Jaminan perlindungan hak asasi manusia;
2. Peradilan yang merdeka;
3. Legalitas dalam arti hukum, yaitu baik pemerintah/negara, maupun warga
negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.
Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan negara hukum di dunia,
yaitu negara hukum dalam tradisi eropa kontinental yang disebut rechtsstaat
17 Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila (Makalah untuk Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gadjah Mada, 2009), Yogyakarta, hlm. 6.
dan negara hukum dalam tradisi anglo saxon yang disebut rule of law.20 Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum yang disebut civil law, sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum yang disebut common law.21 Menurut Roscoe Pound karakteristik rechtsstaat adalah administratif, sedangkan karakteristik rule of law adalah judicial.22 Sedangkan menurut Mohammad Mahfud MD perbedaan antara keduanya
adalah sebagai berikut:
“Kebenaran hukum dan keadilan di dalam Rechsstaat terletak pada ketentuan bahkan pembuktian tertulis. Hakim yang bagus menurut paham civil law (legisme) di dalam Rechtsstaat adalah hakim yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulis dan paham legisme di Rechtsstaats karena menekankan pada ‘kepastian hukum’. Sedangkan kebenaran hukum dan keadilan di dalam the Rule of Law bukan semata-mata hukum tertulis, bahkan di sini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri melalui yurisprudensi tanpa harus terikat secara ketat kepada hukum-hukum tertulis. Putusan hakimlah yang lebih dianggap hukum yang sesungguhnya daripada hukum-hukum tertulis. Hakim diberi kebebasan untuk menggali nilai-nilai keadilan dan membuat putusan-putusan sesuai dengan rasa keadilan yang digalinya dari masyarakat. .... Pemberian keleluasaan bagi hakim untuk tidak terlalu terikat pada hukum-hukum tertulis disini karena penegakan hukum di sini ditekankan pada pemenuhan ‘rasa keadilan’ bukan pada hukum-hukum formal.”23
20 Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. [Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hlm. 161.]
21 Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 20.
22 Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), Jakarta, hlm. 12.
Dalam perkembangannya, konsep negara hukum mengalami
perumusan yang bermacam-macam. Misalnya dalam kerangka rechtsstaat, Immanuel Kant menyebutkan bahwa negara hukum memiliki unsur-unsur
sebagai berikut:24
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2. Pemisahan kekuasaan.
Sementara itu Frederich Julius Stahl menambahkan unsur-unsur yang
disebutkan oleh Kant tersebut menjadi:25
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2. Pemisahan kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
4. Adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri.
Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum dalam kerangka
rechtsstaat, tetapi mengenal atau menganut apa yang disebut dengan rule of law. A.V. Dicey salah seorang pemikir Inggris yang termasyur, mengemukakan tiga unsur utama pemerintah yang kekuasaannya di bawah
hukum (rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law dan
constitution based on individual right.26 Unsur-unsur tersebut sebagaimana tergambar dalam uraiannya mengenai doktrin rule of law sebagai berikut:27 1. Tidak seorang pun yang dihukum atau membayar denda atas perbuatan
yang tidak secara jelas dilarang oleh hukum;
2. Hak hukum atau kewajiban setiap orang hampir tanpa kecuali ditentukan
oleh pengadilan umum diwilayahnya;
3. Hak hukum setiap individu sama sekali bukan hasil dari konstitusi,
melainkan landasan konstitusi.
Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah didesain sebagai negara
hukum yang berkedaulatan rakyat.28 Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.29
26 Ibid, hlm. 18-19.
27 AV. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, terjemahan Nurhadi (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 37.
28 Lihat Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum .... ” dan lihat juga Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, “ .... maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat .... ” Menurut Bung Hatta apabila kekuasaan negara digantungkan kepada diri seorang raja ataupun digenggam oleh seorang diktator yang bukan raja, maka kedaulatan tersebut tidaklah bisa kekal. Karena dengan lenyapnya dia dari muka bumi atau dari kedudukannya, maka lenyap pula kekuasaan itu. Oleh karena itu, dasar yang teguh untuk susunan negara haruslah diserahkan kepada pemerintahan yang berdasar pada pertanggungjawaban yang luas dan kekal, yaitu dalam paham kedaulatan rakyat. Karena rakyat adalah jenis yang kekal, yang hidupnya tak bergantung pada umur manusia yang menyusunnya. Manusia akan lenyap berganti, tetapi rakyat tetap ada. Selama ada negara, ada rakyatnya. [Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), hlm. 17.] Pada hakikatnya kedaulatan rakyat adalah inti dari partisipasi umum rakyat dalam kehidupan bernegara. Adanya kesempatan melakukan partisipasi umum secara efektif adalah wujud sebenarnya dari kebebasan dan kemerdekaan. [Nurcholish Madjid, “Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara” Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1 (Juli-Desember, 2009), hlm. 27.]
Konsepsi Negara hukum yang dahulu dikesankan menganut rechtsstaat30 sekarang dinetralkan menjadi Negara hukum saja31, tanpa embel-embel
rechtsstaat dibelakangnya yang diletakkan di dalam kurung. Oleh sebab itu politik hukum Indonesia tentang konsepsi negara hukum Indonesia menganut
unsur-unsur yang baik dalam rechtsstaat dan rule of law atau bahkan sistem hukum lain sekaligus.32 Di Indonesia unsur negara hukum dalam rechtsstaat salah satunya terlihat dengan adanya Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai
pengadilan administrasi negara.33 Sedangkan unsur negara hukum dalam rule
of law terlihat dengan adanya jaminan konstitusional mengenai kesamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law).34
Dapat dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah negara
hukum Pancasila, yaitu konsep negara hukum yang memenuhi kriteria dari
konsep negara hukum pada umumnya dan diwarnai oleh aspirasi-aspirasi
baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [Sekretariat Jenderal MPR RI, op.cit., hlm. 46.]
30 Vide Penjelasan UUD 1945, “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasarakan atas kekuasaan belaka (machstaat)”.
31 Vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
32 Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara...., op.cit., hlm. 50-51. Dalam tulisan yang lain Mahfud MD mengatakan bahwa UUD 1945 yang telah diamandemen memberi arahan kepada hukum adat untuk dipertahankan sebagaimana dimaksud Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut pasal tersebut hukum adat yang diakui adalah hukum adat yang masih nyata-nyata hidup, jelas materi dan lingkup masyarakat adatnya dan tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. [Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum...., op.cit., hlm. 16.]
33 Vide Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
keindonesiaan yaitu nilai fundamental dari Pancasila.35 Sehingga menurut
Darji Darmodiharjo dan Shidarta materi hukum di Indonesia harus digali dan
dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Indonesia.
“Nilai-nilai itu dapat berupa kesadaran dan cita hukum (rechtsidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian, cita politik, sifat, bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sedapat mungkin hukum Indonesia harus bersumber dari bumi Indonesia sendiri.”36
Negara hukum Indonesia merupakan konsep yang khas Indonesia.
Indonesia merupakan negara hukum, namun Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga merupakan negara
yang berdasarkan kedaulatan rakyat.37 Dari ketentuan tersebut telah nyata
bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat yang dibingkai dalam
hukum yang terukur kebenaran dan keadilannya.38 Menurut Jean Jacques
Rousseau dalam teori kontrak sosialnya sumber dari segala sumber hukum
35 Abdul Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 86. 36 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 209.
37 Vide Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Jika berdasarkan ketentuan sebelum amandemen kedaulatan sepenuhnya dilakukan oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan ketentuan setelah amandemen ini kedaulatan berada tetap ditangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional kepada organ-organ konstitusional. [Jimly Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), Jakarta, hlm. 3-4.]
menurut paham ini adalah kedaulatan rakyat itu sendiri.39 Akan tetapi catatan
diberikan oleh Darji Darmodiharjo dan Shidarta bahwa:
“Teori kedaulatan rakyat dari Rousseau tidak sama dengan teori kedaulatan rakyat dari Negara Pancasila, karena kedaulatan rakyat kita dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila-sila lain dari Pancasila. Demikian pula, teori kedaulatan rakyat kita pun berbeda dengan teori kedaulatan rakyat dari Hobbes (yang mengarah ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah ke demokrasi parlementer).”40
Mohammad Hatta memaksudkan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan
yang dijalankan oleh rakyat atau atas nama rakyat diatas dasar
permusyawaratan. Kedaulatan rakyat memberi kekuasaan yang tertinggi
kepada rakyat, tetapi juga memberi tanggung jawab yang terbesar. Sehingga
merupakan dasar pemerintahan yang adil, karena siapa yang mendapat
kekuasaan dia itulah yang bertanggung jawab. Manakala rakyat seluruhnya
merasa kewajibannya untuk mencapai keselamatan bersama, maka
tertanamlah sendi negara yang kokoh.41
Berbicara mengenai Negara Hukum tidak akan lepas dari sejarah
ketatanegaraan pemerintahan-pemerintahan di berbagai macam belahan dunia,
yang mana hal ini turut menentukan hingga akhirnya konsep Negara Hukum
menjadi populer hingga saat ini. Jika kita tarik ke belakang, hingga abad ke-18
seringkali pemerintahan dalam suatu negara bersifat despotis, hingga pada
akhirnya seorang pemikir besar mengenai negara dan hukum dari Perancis
bernama Charles de Secondat baron de Labrede et de Montesquieu
39 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hlm. 212. 40 Ibid. hlm. 212.
memisahkan kekuasaan memerintah negara yang dilaksanakan oleh
masing-masing badan yang berdiri sendiri. Dengan ajarannya itu Montesquieu
berpendapat bahwa:
“Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi tiga, yaitu: kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan absolutisme.”42
Pembagian kekuasaan-kekuasaan itu kedalam tiga pusat kekuasaan
oleh Immanuel Kant kemudian diberi nama Trias Politika (Tri = tiga; As =
poros (pusat); Politika = kekuasaan) atau tiga Pusat/Poros Kekuasaan
Negara.43 Ajaran Trias politica ini sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari ajaran John Locke. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara
itu meliputi:44
1) Fungsi Legislatif;
2) Fungsi Eksekutif;
3) Fungsi Federatif.
Dalam kuliah Ilmu Negara pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat Universitas Indonesia tahun ajaran 1961-1962, Padmo Wahjono
membandingkan keduanya sebagai berikut:
42 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm. 117.
43 Mohammad Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 74.
“Fungsi pengadilan dalam ajaran John Locke dimasukkan dalam bidang Exekutif, sebab Pengadilan itu adalah melaksanakan hukum. Jadi dalam hal adanya perselisihan, maka itu menjadi wewenang daripada fungsi Exekutif! Tapi Montesquieu mengeluarkannya dari Exekutif karena Montesquieu melihat kedalam di Perancis dengan adanya penggabungan itu timbul kesewenang-wenangan. Oleh karena itu harus dipisahkan agar supaya jangan timbul ketidakadilan.!
Disini terletak perbedaan peninjauan fungsi Yudikatif antara Montesquieu dengan John Locke.
John Locke melihat secara prinsipel yaitu sebagai pelaksanaan hukum. Dilihat hasilnya untuk keadilan, maka fungsi judikatif itu dikeluarkan dari bidang Exekutif oleh Montesquieu. Dan ajaran Montesquieu lebih populer daripada John Locke. Hanya kemudian, dimanakah disalurkan wewenang Diplomasi dalam Trias Montesquieu? Dan ini oleh Montesquieu dimasukkan dalam fungsi legislatif, oleh karena hubungan Diplomasi menciptakan ketentuan-ketentuan yang berlaku buat negara itu dengan negara lain.! Jadi dimasukkan dalam bidang Legislatif karena membuat peraturan-peraturan.”45
Konsep inilah yang mengilhami MPR dalam mengamandemen UUD
1945 untuk tidak meletakkan kekuasaan pemerintah yang hendak dibangun
pada satu badan, hingga terjadilah checks and balances system dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Mekanisme saling mengawasi dan
mengimbangi diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada ruang bagi
absolutisme di Indonesia.
D. Definisi Operasional 1. Impeachment
Impeachment adalah sebuah proses di mana sebuah badan legislatif secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi
negara. Impeachment bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan
jabatan, namun hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip
pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan
langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan. Saat pejabat tersebut
telah dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah
melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian menyebabkan
pemecatan sang pejabat.46
2. Presiden
Presiden secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu: prae
(sebelum) dan sedere (menduduki), merupakan suatu nama jabatan yang digunakan untuk pimpinan suatu organisasi, perusahaan, perguruan tinggi,
atau negara. Pada awalnya, istilah ini dipergunakan untuk seseorang yang
memimpin suatu acara atau rapat (ketua); tapi kemudian secara umum
berkembang menjadi istilah untuk seseorang yang memiliki kekuasaan
eksekutif.47
3. Wakil Presiden
Wakil Presiden adalah jabatan pemerintahan yang berada satu
tingkat lebih rendah daripada Presiden. Biasanya dalam urutan suksesi,
Wakil Presiden akan mengambil alih jabatan presiden bila ia berhalangan
sementara atau tetap. Di Indonesia, Wakil Presiden dipilih langsung oleh
warga negara dan merupakan satu paket dengan Presiden.
Wakil Presiden umumnya ditetapkan oleh konstitusi oleh suatu
negara untuk mendampingi Presiden jika Presiden menjalankan
tugas kenegaraan di negara lain atau jika Presiden menyerahkan jabatan
kepresidenan baik pengunduran diri atau halangan dalam menjalankan
tugas seperti misalnya mengalami kematian saat menjabat Presiden.48
4. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum.
5. Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 20 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sesungguhnya merupakan lembaga
legislatif. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan.”
6. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah badan yang menjalankan
kekuasaan kahakiman disamping Mahkamah Agung dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi memiliki empat
kewenangan dan sebuah kewajiban. Dalam Pasal 24 C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Selain itu dalam Pasal 24 C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.”
E. Metodologi Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan berdasarkan latar belakang dan
permasalahan yang diuraikan diatas bertujuan untuk:
a. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum apakah mekanisme
impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah sejalan
dengan prinsip supremasi hukum sehingga merupakan mekanisme
hukum dan bukan merupakan mekanisme politik; dan
b. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum apakah proses peradilan yang
bersifat khusus bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden ini tidak
2. Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian
hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti data sekunder berupa bahan-bahan primer,
sekunder dan tersier.49
3. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian dengan uraian latar belakang
dan permasalahan seperti diatas adalah:
a. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Untuk memberikan kontribusi pemikiran terkait dengan
peranan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan kontribusi pengetahuan bagi seluruh
masyarakat di bidang ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan
peranan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sehingga diharapkan dapat memberikan kegunaan secara praktis dalam
praktek ketatanegaraan Indonesia.
c. Bagi Penulis
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Kesarjanaan Dalam Bidang Ilmu Hukum, selain itu juga diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan penalaran, keluasan wawasan serta
kemampuan pemahaman penulis tentang hukum tata negara di
Indonesia, khususnya berkaitan dengan peranan Mahkamah Konstitusi
dalam proses impeachment menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini merupakan hasil
penelitian dengan meneliti data sekunder berupa bahan-bahan primer,
sekunder dan tersier. Penelitian kepustakaan dari peraturan
perundang-undangan, buku, hasil penelitian, makalah, dokumen, surat kabar, ataupun
bentuk penerbitan lain yang berkaitan dengan hukum tata negara. Data
kepustakaan ini amat berguna dalam memahami teori-teori hukum tata
negara, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah
Konstitusi dan proses impeachment menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Teknik Pengolahan/Analisis Data
Untuk menjawab rumusan permasalahan dalam penelitian ini
digunakan metode penelitian analisis kualitatif yaitu data sekunder berupa
bahan-bahan primer, sekunder dan tersier dihubungkan satu sama lain dan
atau ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.50
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan memahami skripsi ini, dalam penulisan ini penulis
membagi kedalam lima bab, dimana setiap bab terdiri dari beberapa sub bab.
Sehingga sistematika penulisannya menjadi sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan dan perumusan masalah, landasan teori, definisi
operasional, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MAHKAMAH KONSTITUSI
Bab ini berisikan tentang Mahkamah Konstitusi Di Beberapa
Negara, Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI IMPEACHMENT
Bab ini berisikan tentang proses impeachment dalam konteks global, impeachment dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, serta sejarah ketatanegaraan impeachment di Indonesia.
BAB IV PERANAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES IMPEACHMENT MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Bab ini berisikan tentang kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk
memberi putusan atas pendapat DPR, kedudukan presiden dan
putusan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment dengan prinsip supremasi hukum, serta keterkaitan peradilan Mahkamah
Konstitusi dalam proses impeachment dengan asas persamaan dihadapan hukum.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis tentang peranan
A. Mahkamah Konstitusi Di Beberapa Negara
Pelembagaan ide peradilan konstitusi sesungguhnya melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshall, dengan ide pengujian konstitusionalitas Undang-Undang yang ia putuskan dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803.1 Ia yang
pertama kali menjalankan wewenang menafsirkan konstitusi untuk membatalkan Undang-Undang yang sebelumnya telah disahkan oleh Kongres Amerika Serikat. Kewenangan tersebut sebetulnya tidak diatur dalam Konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, peristiwa ini dapat dipandang sebagai judicial interpretation, yaitu perubahan konstitusi melalui penafsiran hakim atau pengadilan sebagaimana pandangan KC Wheare. Sejak praktik itulah dikenal istilah hak uji materil Undang-Undang terhadap konstitusi yang dikenal sebagai judicial review.2
Praktik ini diperkuat oleh pandangan George Jellineck yang pada penghujung abad 19 mengusulkan ide yang sama. Namun fungsi pengujian Undang-Undang yang dilaksanakan secara terpisah oleh suatu badan yang disebut Mahkamah Konstitusi barulah ada ketika ide yang dikembangkan
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 322.
Hans Kelsen diadopsi dalam Konstitusi Austria tahun 1919, yang membuat Mahkamah Konstitusi Austria sebagai peradilan tata negara pertama di dunia.3
Ide ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919-1920 dan diterima dalam Konstitusi tahun 1920.4 Gagasan Kelsen mengenai pengujian
konstitusional dan pembentukan Mahkamah Konstitusi beranjak dari pemikiran bahwa:
“ .... norma hukum itu valid lantaran dibuat menurut cara yang yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya ini adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama. .... Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, norma yang dibentuk menurut peraturan itu adalah norma yang lebih rendah. .... Kesatuan norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu –yakni norma yang lebih rendah– ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regresssus ini (rangkaian pembentukan hukum) diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum ini.”5
Teori jenjang norma hukum Kelsen tersebut ternyata diilhami oleh seorang muridnya, Adolf Merkel yang mengemukakan bahwa:
“Suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). .... suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung
3 Jimly Asshiddiqie, Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan dan Penyelenggaraan serta Setangkup Harapan, dalam Refly Harun, Zainal AM Husein dan Bisariyadi (editor), Ibid, hlm. 5-6.
4 Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Syafa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 139.
pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.”6
Lebih lanjut mengenai kesesuaian atau ketidaksesuaian antara Undang-Undang dengan konstitusi Kelsen mengatakan bahwa “Jika suatu undang-undang syah maka undang-undang-undang-undang tersebut bisa syah karena kesesuaiannya dengan konstitusi; undang-undang tidak bisa syah jika bertentangan dengan dengan konstitusi.”7 Menurutnya penerapan aturan-aturan konstitusi mengenai
pembuatan Undang-Undang dapat dijamin secara efektif hanya jika suatu organ selain organ legislatif diberi mandat yang tegas untuk menguji apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan konstitusi dan dapat membatalkannya jika Undang-Undang tersebut tidak konstitusional. Kemudian Kelsen berpendapat bahwa:
“Mungkin ada sebuah organ khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya, sebuah pengadilan khusus yang disebut “mahkamah konstitusi”; atau pengawasan “kekonstitusionalan” suatu undang-undang, yang disebut “pengujian hukum” (judicial review), dapat diberikan kepada pengadilan biasa, dan terutama kepada pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung). .... Jika suatu pengadilan biasa kompeten untuk menguji kekonstitusionalan suatu undang-undang, maka pengadilan ini mungkin diberi hak hanya untuk menolak penerapannya di dalam kasus konkrit jika pengadilan tersebut memandangnya tidak konstitusional, sementara organ-organ lain tetap diwajibkan untuk menerapkan undang-undang tersebut.”8
Gagasan Kelsen tersebut menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution)
6 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 25-26.
dengan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament).9 Dalam prinsip supremasi parlemen dikenal adanya doktrin
bahwa dalam suatu negara rakyatlah yang berdaulat, dan karena rakyat yang berdaulat maka apa pun yang diputuskan atau ditentukan oleh rakyat atau oleh wakil rakyat tersebut tidak boleh dianulir oleh siapapun atau lembaga apapun yang bukan (wakil) rakyat.10 Doktrin tersebut terdapat dalam tradisi anglo
saxon sebagaimana penegasan A.V. Dicey bahwa prinsip-prinsip kedaulatan parlemen adalah sebagai berikut:11
a. Parlemen mempunyai hak untuk membuat atau membatalkan hukum apapun;
b. Tidak ada satu orang atau lembaga pun yang berhak menolak atau mengenyampingkan legislasi Parlemen;
c. Hak dan kekuasaan Parlemen meluas ke setiap bagian dominion-dominion Raja.
Dilain sisi dalam doktrin supremasi Konstitusi, meskipun parlemen merupakan pemegang kedaulatan rakyat dan satu-satunya yang berwenang membuat Undang-Undang, bukan berarti bahwa parlemen boleh melanggar konstitusi. Parlemen harus tunduk terhadap konstitusi termasuk didalamnya adalah produknya berupa Undang-Undang, sehingga dapat diuji terhadap
9 Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Syafa’at, op.cit., hlm. 140.
10 Benny K. Harman, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Reformasi Hukum, dalam Refly Harun, Zainal AM Husein dan Bisariyadi (editor), op.cit., hlm. 225.
konstitusi. Oleh sebab itu doktrin supremasi parlemen sebenarnya sudah lama ditinggalkan banyak negara demokrasi di dunia.12
Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Mahkamah Konstitusi baru ada di sekitar 70-an negara. Sebagian besar negara-negara demokrasi yang sudah mapan tidak mengenal lembaga ini, sebab fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi Supreme Court yang ada di negaranya, salah satu contohnya adalah Amerika Serikat. Akan tetapi di beberapa negara lainnya, terutama yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokratis, pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan cukup populer. Sebagai contoh adalah Afrika Selatan, Ceko dan Lithuania. Tentu tidak semua negara yang mengalami perubahan tersebut membutuhkan Mahkamah Konstitusi, misalnya adalah Philipina. Disamping itu ada pula negara lain seperti Jerman yang memiliki Federal Constitutional Court yang tersendiri.13
1. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan
Di Afrika Selatan Mahkamah Konstitusi dibentuk pertama kali pada tahun 1994 berdasarkan Interim Constitution tahun 1993. Anggotanya berjumlah 11 orang, 9 pria dan 2 wanita. Masa kerja mereka adalah 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan kemungkinan pergantian karena pensiun, yaitu apabila telah mencapai usia 70 tahun.14
12 Benny K. Harman, op.cit., hlm. 226.
13 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, 2004), hlm. 240-241.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan memiliki kekuasaan untuk menyatakan Undang-Undang yang ditetapkan oleh Parlemen ataupun tindakan-tindakan pemerintahan batal dan tidak berlaku apabila bertentangan dengan konstitusi.15
Namun yang menarik adalah dalam menasirkan Undang-Undang Dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan juga diharuskan mempertimbangkan hukum internasional di bidang hak asasi manusia dan bahkan diizinkan untuk mempertimbangkan hukum yang berlaku di negara lain yang demokratis sebagai rujukan. Selain itu setiap tuntutan perkara ke Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan harus dimulai dengan mengajukannya ke Pengadilan Tinggi, jadi tidak langsung kepada Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan. Jika Pengadilan Tinggi menetapkan pembatalan suatu peraturan, maka Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dimintakan konfirmasinya agar putusan Pengadilan Tinggi itu dapat berlaku atau dilaksanakan secara efektif.16
2. Mahkamah Konstitusi Ceko
Pada bulan Juli 1993 setelah kemerdekaannya, 12 orang pertama diangkat menjadi hakim konstitusi dan Mahkamah Konstitusi Republik Ceko resmi mulai bersidang. Pada bulan Januari 1994 diangkat lagi 3 orang tambahan, sehingga seluruh anggotanya berjumlah 15 orang. Kelimabelas orang itu berasal dari parlemen, guru besar hukum dari
berbagai perguruan tinggi, hakim profesional dan beberapa pengacara praktek.17 Masa jabatan mereka 10 tahun dan konstitusi Ceko tidak
melarang para hakim tersebut ditunjuk kembali untuk masa jabatan tahun berikutnya.18
Mahkamah Konstitusi Republik Ceko adalah lembaga kehakiman yang bertanggungjawab melindungi konstitusionalisme, yang kedudukan dan kekuasaannya termaktub dalam Konstitusi Republik Ceko. Sistem yang dibangun dalam Mahkamah Konstitusi Republik Ceko tidaklah seperti pengadilan biasa pada umumnya. Fungsi Mahkamah Konstitusi Republik Ceko adalah sebagai lembaga yudikatif yang menegakkan konsitusionalitas, kebebasan dan hak-hak dasar yang diberikan oleh konstitusi sebagaimana tertuang dalam Piagam Kebebasan dan Hak-Hak Dasar. Fungsi lainnya adalah menjamin karakter Konstitusi dalam mengawasi kekuasaan negara.19
3. Mahkamah Konstitusi Lithuania
Mahkamah Konstitusi Lithuania disahkan oleh Parlemen (seimas) pada tanggal 3 Februari 1993. Jumlah anggotanya sebanyak 9 orang yang diangkat oleh Parlemen dari calon-calon yang diusulkan 3 orang oleh Ketua Parlemen, 3 orang oleh Presiden dan 3 orang oleh Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dan ditetapkan oleh Parlemen
17Ibid, hlm. 241-242.
18 Yazid, “The Constitutional Court of The Czech Republic”, Majalah Konstitusi, No. 38 (Maret, 2010), hlm. 65.
dari calon yang diajukan oleh Presiden. Masa jabatan kesembilan hakim konstitusi tersebut bervariasi. Yaitu 3 orang paling lama untuk 9 tahun tanpa perpanjangan, sedangkan 3 orang lagi untuk 6 tahun dan 3 orang lainnya untuk tiga tahun, masing-masing dengan kemungkinan perpanjangan hanya satu kali masa jabatan dengan interval selama 3 tahun.20
Mahkamah Konstitusi Lithuania memiliki sejumlah kewenangan utama. Pertama, lembaga ini adalah pilar untuk memastikan tegaknya supremasi konstitusi dalam sistem hukum dan keadilan konstitusional dengan memberi keputusan apakah hukum dan undang-undang lainnya berkesesuaian dengan Konstitusi atau tidak. Kedua, keputusan Presiden dapat dilihat konformitasnya dengan aturan-aturan yang termaktub dalam Konstitusi Lithuania. Mahkamah menjadi lembaga yang berwenang mengujinya. Kewenangan lainnya adalah berhak mengadili sengketa dan kekerasan dalam pemilihan umum dan pemilihan Presiden. Mahkamah Konstitusi Lithuania juga berhak memutuskan kelangsungan jabatan seorang Presiden terkait dengan alasan-alasan konstitusional hingga alasan kesehatan. Selain itu, perjanjian internasional berhak diuji oleh Mahkamah terkait kesesuaiannya dengan konstitusi. Terakhir, impeachment yang diajukan oleh DPR, terlebih dahulu dinilai oleh mahkamah untuk diuji apakah bertentangan dengan Konstitusi atau tidak.21
20 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara...., op.cit., hlm. 242.
Dari tiga kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa dilingkungan negara-negara yang berubah kearah demokrasi pada dasawarsa terakhir abad ke-20 pada umumnya selalu mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. Jumlah anggotanya berkisar antara 9 sampai 15 orang dengan masa jabatan yang berkisar antara 9 sampai 12 tahun.22
B. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Reformasi tahun 1998 berhasil menjebol tembok sakralisasi UUD 1945, banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat (terutama akademisi), berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD agar mampu membangun sistim ketatanegaraan yang demokratis.23 Amandemen UUD 194524 selain
perwujudan tuntutan reformasi juga sejalan dengan pidato Soekarno (Ketua Panitia Penyusunan UUD 1945) dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 sebagai berikut: “bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.”25
22 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara...., op.cit., hlm. 244. 23Ibid, hlm. 65.
24 Menurut Ismail Sunny penamaan amandemen (bukan penggantian Undang-Undang Dasar) masih dapat dipersoalkan. Sebab meskipun nama yang dipakai masih tetap UUD 1945, tetapi dari materi muatan UUD 1945 pasca amandemen saat ini dapat dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali. [Ismail Sunny, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006), Jakarta, hlm. 1-2.]