• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Pengelolaan Supply Chain Suatu Komoditi Berbasis Sistem Dinamik

3.4. KONSEP PENDEKATAN DAN METODE ANALISIS 1. Supply Chain Management (SCM)

3.4.7. Implementasi Pengelolaan Supply Chain Suatu Komoditi Berbasis Sistem Dinamik

Berikut ini beberapa penelitian yang terkait dengan penerapan Sistem dinamik untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam pengelolaan suatu komoditas tertentu.

a. Pemodelan Simulasi Dinamika Sistem Industri Tepung Terigu Nasional.

Penelitian ini dilakukan oleh Pasdak (2011) dalam menganalisis pengelolaan tepung terigu di pasar domestik (Indonesia). Pengelolaan komoditas ini sangat tergantung kepada keseimbangan permintaan dan pasokan serta kestabilan harga biji gandum di pasar dunia. Pembahasan dalam Penelitian ini meliputi perkembangan suplai bahan baku gandum, kinerja industri tepung terigu terkait dengan pemberlakuan BMAD, baik bidang produksi, ekspor maupun impor, serta industri pemakai tepung terigu, seperti industri mie instan, biskuit, dan industri roti baik yang dikelola pabrikan skala besar maupun UKM. Penelitian ini membahas suplai dan demand untuk pasar lokal maupun ekspor, serta upaya-upaya yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta dalam mengembangkan industri tepung terigu di masa mendatang. Penelitian ini juga dilengkapi profil perusahaan tepung terigu, dan direktori perusahaan makanan dan minuman terkait dengan industri tepung terigu.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model simulasi sistem dinamik yang dapat menelusuri setiap permasalahan dari setiap aktifitas perlakuan yang selalu berubah dari waktu kewaktu dan dapat digambarkan melalui diagram sebab akibat untuk melihat seluruh aktifitas yang terlibat dalam rantai pasoknya. Objek yang dilakukan dalam penelitian ini adalah produk tepung terigu nasional. Metode yang dipakai adalah yang biasa dikenal

sebagai pendekatan sistem dinamik. Untuk menyelesaikan masalah sistem dinamik ada beberapa perangkat lunak yang dapat dipakai, antara lain Dynamo, Vensim, Stella, Ithink, Powersim,Simile, dsb. Dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak Powersim dengan alasan perangkat lunak powersim lebih user friendly dari pada perangkat lunak lainnya.

Formulasi permasalahan dilakukannya setelah analisa kebutuhan. Pada tahapan ini dilakukan formulasi permasalahan untuk pengembangan sistem ketersediaan tepung terigu. Masalah utama yang timbul dalam sistem ketersediaan tepung terigu adalah tidak tersedianya kuantitas bahan baku secara kontinyu dan terjadinya fluktuasi harga tepung terigu pada tingkat petani sehingga mempengaruhi minat petani untuk menanam gandum sebgai hasil pengolahan dari tepung terigu. Kedua hal tersebut akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam persediaan tepung terigu. Faktor penting yang berpengaruh dalam pemodelan sistem dinamik ketersediaan tepung terigu adalah delay (waktu tunda). Ini terjadi karena tepung terigu yang berbahan baku gandum merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki umur panen cukup lama rata-rata 4-5 bulan dan memiliki sifat barang mudah rusak tanpa adanya penanganan khusus. Faktor penyebab lainnya adalah adanya kelancaran informasi, terutama dalam hal ini informasi pasar yang dapat mempengaruhi sistem. Semua faktor tersebut perlu dimasukkan dalam model dinamik sistem yang dibuat agar model dapat mewakili keadaan yang sebenarnya. Diagram input output dari sistem ini dapat dilihat pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9.

Diagram Input - Output

Sumber : Pasdak (2011)

Pada penggunaan metode sistem dinamis, proses identifikasi sistem harus dilakukan untuk menggambarkan rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut.Berdasarkan kepentingan komponen-komponen yang terlibat, keterkaitan komponen-komponen dalam sistem dapat dilihat pada Gambar 3.10.

Gambar 3.10.

Big Picture Mapping Supply Chain pada Industri Semen

Sumber : Pasdak (2011)

Berdasarkan Big Picture Mapping Supply Chain Industri tepung Terigu , kemudian dibuat model causal loop aktual yang dibangun berdasarkan kondisi aktual dalam pengelolaan tepung terigu (Gambar 3.11).

Gambar 3.11.

Causal Loop aktual

Sumber : Pasdak (2011)

Dari model causal loop terlihat ada 18 link positif dan 3 link negatif, total jumlah link sebanyak 21. Bentuk model diatas menunjukkan bahwa industri penggilingan tepung terigu nasional masih tergantung terhadap Negara penghasil gandum sebagai bahan baku tepung terigu. Loop ini dinamakan balanching karena terdiri dari 4 link positif dan 1 link negatif. Demikian halnya pada industri penggilingan terhadap industri pengolahan, terdiri dari 5 link positif dan 1 link negatif. Loop ini juga dikatakan balanching. Untuk sektor konsumen antara penduduk dan pertumbuhan penduduk dinamakan loop reinforching karena memiliki 2 link positif. Berdasarkan model causal loop aktual, kemudian dilakukan pemodelan causal loop diagaram untuk proses analisis secara kuantitatif seperti yang terdapat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.12.

Causal Loop Diagram

Sumber : Pasdak (2011) Keterangan Gambar :

i. Tanda + pada kepala panah dapat berarti sebab mempengaruhi akibat dengan perubahan yang sama, atau sebab akan menambah akibat.

ii. Tanda - pada kepala panah dapat berarti sebab mempengaruhi akibat dengan perubahan yang berlawanan, atau sebab akan mengurangi akibat.

1) Dari Gambar 3.12 dapat dilihat bahwa persediaan tepung terigu dipengaruhi oleh produksi tepung terigu dan import tepung terigu menyebabkan adanya export dan pangsa pasar yang akan menghasilkan PDRB dan PAD sehingga menyebabkan pertumbuhan industri dan mempengaruhi tingkat permintaan.Loop ini dinamakan Balanching karena memiliki umpan balik dari pesanan.

2) Pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh tingkat kelahiran dan akan menyebabkan tingkat kematian. Memiliki dua bentuk loop yang dinamakan Rainforching dan Balanching.

3) Produksi tepung terigu dipengaruhi oleh teknologi dan kebutuhan akan bahan baku gandum serta kapasitas produksi sehingga pesanan akan tepung terigu dapat terpenuhi. Membentuk loop yang dinamakan Rainforching karena tidak memiliki umpan balik.

4) Negara penghasil gandum disebabkan adanya luas lahan dan produksi gandum yang tentunya dipengaruhi oleh iklim yang akan menyebabkan adanya ketersediaan bahan baku gandum. Memiliki loop yang dinamakan Rainforching karena tidak memiliki umpan balik.

5) Impor tepung terigu dan bahan baku gandum dipengaruhi oleh harga dan biaya import karena permintaan yang sudah tidak dapat terpenuhi akibat dari permintaan yang melebihi tingkat produksi.

6) Kebutuhan untuk industri gandum disebabkan karena adanya perkembangan industri yang dijadikan objek penelitian terdiri dari lima sector industri yaitu BFM, SRR, EFM, PK, PM.

7) Pangsa pasar tepung terigu itu sendiri selain penduduk juga industri pengolahan tepung terigu yang menjadikan turunan produk tepung terigu yaitu : Industri Biscuit, Mie kering, Mie basah, Roti dan Snak.

8) Sektor pemerintah disebabkan oleh adanya program pembinaan dan aspek keuangan yang nantinya dapat menghasilkan sumber daya manusia dan teknologi.

9) Penjualan tepung terigu disebabkan adanya harga jual dan pangsa pasar serta biaya produksi yang nantinya akan menghasilkan pendapatan / keuntungan.

Dari proses analisis diketahui perilaku sistem ketersediaan pangan nasional pada produk tepung terigu bahwa konsumsi tepung terigu terus mengalami peningkatan sebesar 4,5% pertahun, import tepung terigu meningkat sebesar 1,1% pertahun, persediaan tepung terigu hanya 3% dari jumlah permintaan, kapasitas produksi yang beroperasi hanya 75% pertahun.Kebijakan yang dapat diambil dari analisis ini adalah mulai menanam bahan baku

tepung terigu yaitu gandum dengan memanfaatkan lahan yang tersedia sebesar 706 ha, sehingga mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat 1,1% hingga 3,3% pertahun, sehingga mampu mengurangi import hingga 87% pertahun, dengan jumlah persediaan tersedia 3,3% pertahun.

b. Pemodelan Sistem Dinamis Sistem Distribusi Minyak Solar Dalam Situasi Kelangkaan

Penelitian ini dilakukan oleh Hidayat (2009) yang bertujuan untuk memahami fenomena kelangkaan minyak solar di Indonesia dengan studi kasus di Jawa Timur. Distribusi minyak solar, menyimpan dinamika kompleksitas yang tinggi dengan adanya keterkaitan banyak faktor dan kepentingan. Sebagai mata rantai dalam sistem saluran distribusi fisik, Distributor mengutamakan volume dan waktu pasokan untuk persediaan guna menjaga kelancaran distribusi. Sedangkan faktor yang non fisik dari konsumen adalah faktor ketersediaan (availability),dan bagi penyeleweng adalah faktor keuntungan (profitability). Faktor-faktor tesebut akan menjadi dinamis dan menyebabkan kelangkaan bila faktor volume dan waktu pasok terganggu. Hal tersebut dianalisis dengan menggunakan dinamika sistem (system dynamics) dan QPID (qualitative politicised influence diagram) serta pilihan rasional (rational choice). Untuk memahami mental models ini digunakan gagasan teori pilihan rasional (rational choice theory) yang menjelaskan mengapa dinamika sistem distribusi minyak solar mudah berfluktuasi dan menimbulkan kepanikan masyarakat, penimbunan, pengoplosan, dan penyelundupan.

Fenomena kelangkaan minyak solar di Jawa Timur dapat dipahami melalui model dinamika sistem distribusi dan mental model para aktornya. Ada empat subsistem dalam dinamika sistem distribusinya yang digambarkan melalui causal loop diagram, yaitu:

(1) Subsistem pengadaan dengan mental model menjaga keseimbangan antara pengadaan dan permintaan minyak solar; (2) Subsistem konsumsi dengan mental model menjaga ketersediaan dan menekan biaya bahan bakar minyak solar bagi dirinya; (3) Subsistem pengawasan dengan mental model mencari keuntungan melalui keseimbangan antara sanksi hukum dan keuntungan ekonomi yang bisa diperoleh; dan (4) Subsistem penyelewengan dengan mental model mencari keuntungan ekonomi semata. Selain faktor fisik dan non fisik tersebut, faktor penting lainnya yang ikut mendorong sistem distribusi menjadi semakin kompleks dan sulit dikendalikan, ialah disparitas harga beberapa jenis BBM bersubsidi, yaitu premium, solar, dan minyak tanah. Secara simultan, faktor-faktor itu menjadi leverage dinamika sistem distribusi minyak solar. Artinya, ketika salah satu faktor tersebut berubah maka lima sub sistem akan berinteraksi dinamis sehingga memunculkan kejadian-kejadian seperti harga minyak solar melambung, penegakan hukum melemah, pengoplosan meningkat, kolusi bertambah, dan menurunnya kegiatan produksi. Penelitian ini mengusulkan model solusi penanggulangan kelangkaan minyak solar dapat didasarkan pada skenario simulasi model solusi pada Gambar 4.13.

Gambar 3.13.

Model Dinamika Sistem Distribusi Minyak Solar

Sumber : Hidayat (2009)

Berdasarkan model hubungan sebab akibat pada Gambar 3.13, terlihat beberapa simpul (loop). Dinamika sistem sebagaimana tergambar pada Gambar 3.13 di atas dapat dijelaskan kaitannya bahwa perilaku rasional dari pihak-pihak terkait telah mewarnai tindakan pelaku. Ketika terjadi disparitas harga, apalagi jika perbedaannya semakin besar, akan menaikkan potensi keuntungan pelaku penyelundup. Keuntungan yang semakin besar akan mendorong kemampuan untuk meningkatkan jumlah atau nilai sogokan pada pihak-pihak yang berwenang. Semakin besar nilai sogokan dan jumlah pihak berwenang yang terlibat, maka semakin menurun penegakan hukum (law enforcement). Semakin menurunnya penegakan hukum dapat menyebabkan semakin besar tingkat penyelundupan, yang pada gilirannya mengakibatkan tersendatnya distribusi minyak solar.

Di satu sisi, ketika semakin besar tingkat keuntungan, sebagai sebab dari meningkatnya disparitas harga, perilaku pilihan rasional yang bermain dalam mata rantai distribusi cenderung memperlemah pengendalian. Hal ini disebabkan oleh peluang keuntungan di pasar regional bagi pelaku. Semakin lemah kontrol internal terhadap distribusi minyak solar pada berbagai titik distribusi, maka akan semakin besar jumlah penyelundupan. Adanya perbedaan harga minyak solar antara harga dalam negeri yang lebih rendah dari luar negeri, dalam hal ini harga di negara-negara sekitar Indonesia (regional ASEAN), akan menimbulkan peluang permintaan minyak solar regional.

Permintaan minyak solar dengan harga yang lebih rendah rendah akan menimbulkan kesenjangan antara permintaan dan penawaran di pasar regional. Kesenjangan ini pada akhirnya meningkatkan lagi disparitas harga di tingkat regional. Distribusi minyak solar nasional, termasuk di Surabaya, dipengaruhi oleh tingkat produksi nasional, impor dan penyelundupan itu sendiri. Semakin besar produksi nasional dan impor, yang didasarkan pada perhitungan permintaan dalam negeri, akan menambahkan tingkat stok nasional. Namun semakin besar stok nasional, akan semakin mendorong potensi jumlah minyak solar yang dapat diselundupkan. Akhirnya, semakin besar penyelundupan, akan semakin memperkecil distribusi untuk kebutuhan dalam negeri. Bertambahnya permintaan minyak solar dalam negeri disebabkan oleh pertumbuhan industri dan rumah tangga. Secara umum penyebab ini diakibatkan oleh dinamika populasi. Meskipun demikian, permintaan dalam negeri ini bisa juga disebabkan oleh permintaan dummy yang dilakukan oleh penyelundup karena menaiknya permintaan regional, seperti pertumbuhan industri di

China dan India, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap permintaan dalam negeri.

Di lain pihak, secara simultan Subsistem lain berkerja manakala sistem keuangan Pertamina diambil alih oleh Departemen Keuangan. Jika pada tahun sebelum 2002, kegiatan pembelian dapat dilakukan langsung oleh Pertamina, maka sejak tahun itu pembayaran diambil alih dan dilakukan oleh Departemen Keuangan. Peralihan ini mengakibatkan potensi delay atas pembayaran yang terjadi untuk pembelian minyak solar. Keterlambatan pembayaran ini akan berakibat pada penundaan pengiriman minyak solar impor. Semakin lama penundaan pengiriman impor, akan semakin kecil cadangan minyak solar nasional sehingga kemudian memicu tindakan penyimpangan untuk mencari keuntungan.

Tabel 4.3 memperlihatkan fluktuasi kelangkaan minyak solar, yang dalam keseharian dapat diamati melalui panjang antrian di SPBU-SPBU. Kelangkaan pada satu waktu cenderung akan diikuti oleh situasi kelangkaan di waktu kemudian Kelangkaan cenderung berulang dalam tempo dua bulan setelah kejutan kelangkaan pertama. Pola tersebut dimungkinkan karena sistem mengalami penyesuaian akibat penundaan. Pola penyesuaian tersebut nampak sebagai osilasi

Tabel 3.3.

Situasi Kelangkaan Minyak Solar

Sumber: Hidayat (2009)

Penelitian ini menghasilkan sebuah model distribusi minyak solar yang digunakan untuk memecahkan masalah kelangkaan minyak solar di di jawa timur. Model solusi untuk menangani kelangkaan minyak solar dalam perspektif distribusi adalah membangun mekanisme informasi dan

pembuatan keputusan yang terfokus pada faktor profitability dan availability. Model ini mensyaratkan bahwa Pertamina harus mampu mengidentifikasi sekaligus menilai tingkat profitabilitas di pasar. Semakin besar margin keuntungan yang tersedia, maka semain besar pula kecenderungan aktor-aktor dengan mental model mencari keuntungan akan mendorong terjadinya

kelangkaan. Faktor kedua yang penting untuk dikendalikan dalam

penanganan masalah kelangkaan ialah availability. Mekanisme penyaluran minyak solar yang mampu menjamin ketersediaan pada mata rantai minyak solar, baik dari bunker, depo hingga SPBU, dapat mengatasi kejutan

perubahan harga internasional yang pada gilirannya dapat memicu kelangkaan dalam negeri.

Dokumen terkait