IMPLIKATUR KONVENSIONAL
HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.2 Analisis Data
4.2.1.2 Implikatur Sindiran Putus Asa
Kartun editorial ini berjenis implikatur sindiran putus asa. Putus asa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:715) mengandung maksud habis (hilang) harapan, tidak mempunyai harapan lagi. Penyampaian kritik dengan sindiran juga terdapat dalam kartun editorial jenis ini namun caranyaberbeda dari sebelumnya.
Pada edisi ini lebih ditekankan pada sindiran dengan sentuhan khusus yakni memperlihatkan seolah karikaturis menertawakan gagasan. Memunculkan kesan bahwa objek-objek yang terdapat di dalam kartun editorial seolah putus asa namun sejatinya efek ini dipergunakan untuk menyampaikan kritikan. Tetap ada perbandingan dua hal yang bertolak belakang dengan menambahkan visual gambar sebagai penguat gagasan. Kejadian utama yang menjadi sorotan dalam edisi ini terjadi di awal. Dilanjutkan dengan kejadian pembanding yang muncul setelah kejadian utama.
Pada kartun editorial dengan implikatur sindiran putus asa nampak karikaturis tidak setuju dengan wacana penaikan gaji presiden dan 8000 pejabat pemerintah dari pusat sampai daerah. Berdasarkan itu karikaturis membuat visualisasi yang bertolak belakang dengan wacana kenaikan gaji. Wacana kenaikan gaji bagi pejabat pemerintah saat itu dinilai reaktif dan sangat prematuremengingat pemicu wacana itu hanya sekedar pidato biasa dari seorang
presiden. Bukan berdasarkan riset yang mendalam mengenai kebutuhanpejabat pemerintah.
Gambar 4.13Presiden dan para pejabat secara tersirat maupun terang-terangan mengajukan wacana kenaikan gaji ditengah kinerja yang belum optimal.
(29 Januari)
Karikaturis memunculkan kritikan satiredengan tujuan mengecam sekaligus menertawakan gagasan yang mengada-ada ini. Sindiran bernada satire ini sangat pas mengingat kejadian yang terjadi begitu menyakiti masyarakat yang pada saat itu begitu kesusahandan putus asa. Seperti diungkapkan Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, yang diberitakan KOMPAS (26/1) dirinya berencana akan menaikan gaji 8000 orang pejabar pemerintah, dari pusat sampai daerah. Kejadian itu terkesan sebagai ekspresi reaktif dari pidato Presiden pada saat berbicara di Markas Besar TNI seminggu sebelumnya. Kejadian ini kontras dengan pemberitaan di KOMPAS (25/1) mengenai buntunya negosiasi mengenai TPA Cipayung, kota Depok, yang dianggap oleh masyarakat telah merugikan
warga sekitar, sehingga mereka menuntut beberapa hal. Lalu pemberitaan di KOMPAS (26/1) mengenai kehidupan kaum buruh yang semakin terjebit. Sampah yang telah menumpuk di hulu Kanal Timur, Jakarta Timur, selama 6 bulan pada KOMPAS (26/1). Kemudian pemberitaan di KOMPAS (29/1) tentang 57 sopir dan 210 kernet truk pengangkut sampah kota Depok yang bekerja hingga larut malam.
Himpitan ekonomi, permasalahan sosial, pengelolaan sampah, pejabat pemerintah yang korupsi, kerusuhan di berbagai tempat, tindak kriminal merajalela dan sebagainya menjadi pemandangan hidup sehari-hari. Ketika masyarakat sangat lelah, muncul wacana kenaikan gaji bagi pejabat pemerintah. Hati masyarakat terluka saat itu. Mereka seakan mempertanyakan komitmen pejabat untuk mensejahterakan rakyatnya terlebih dahulu. Bukan memperkaya diri menggunakan wewenang yang dipunyai.
Visual kartun editorial edisi ini memperlihatkan dua orang yang sedang duduk di depan sebuah gubuk reyot. Mereka adalah pemulung yang digambarkan selalu memanfaatkan sampah sebagai penopang kehidupan. Yang satu paruh baya kemudian si anak kecil. Terdapat pula lembaran Koran dengan bertuliskan
“Kepala Daerah 28 Dari 33 Propinsi Terlibat Korupsi”. Si anak hanya mendengarkan ketika orang yang lebih tua di sampingnya berkata, sebagai berikut, “Kita mah gak ada naik-naikan gaji… Jadi nggak ngrasa kurang”kemudian dilanjutkan “Alam telah menyediakan sampah melimpah ruah!”Jika dilihat dari aspek pragmatik, pernyataan yang dipadukan dengan gambar di atas masih tentang tuturan dan hubungannya dengan konteks tertentu. Untuk memahami maksud karikaturis harus menggunakan disiplin ilmu
pragmatik. Pragmatik memadukan tuturan serta gambar dengan konteks yang berasal dari luar. Tidak sekedar makna harafiah dari tuturan atau gambar tersebut. Konteksnya mengenai penumpukan sawah di sebuah tempat pembuangan sampah yang akhirnya mencemari lingkungan dan wacana pemerintah untuk menaikan gaji para pejabat pemerintah. Antara tuturan yang dapat dilihat melalui gambar dengan konteks dari gambar tersebut. Tidak terlalu memerlukan kemampuan pembaca menghubungkan serta menyerasikan beberapa kalimat dan konteks karena maksud dari gambar tersebut sudah cukup jelas.
Lokusi dalam kartun editorial diatas adalah tuturan “Kita mah gak ada naik-naikan gaji… Jadi nggak ngrasa kurang”lalu“Alam telah menyediakan sampah melimpah ruah!”kemudian “Kepala Daerah 28 Dari 33 Propinsi
Terlibat Korupsi”. Ilokusi atau maksudnya adalah masyarakat pada umumnya menginginkan kehidupan yang layak, bukan untuk bermegah diri namun hanya untuk dapat bertahan hidup. Perlokusinya adalah pemerintah memberikan perhatian kepada semua masyarakat tanpa terkecuali. Memastikan mereka dapat bertahan hidup dengan layak, lepas dari belenggu kemiskinan dan mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat yang lain..
Kalimat di atas mengandung sindiran yang begitu pedas, walaupun disampaikan dengan cara lembut. Implikatur di dalamnya sangat jelas terasa, walaupun juga tidak diutarakan secara langsung oleh karikaturis. Implikaturnya adalahsebagian besar rakyat kecil sejauh ini tidak merasakan kenaikan pendapatan yang signifikan. Di tengah kebutuhan hidup yang semakin melonjak masyarakat berusaha bertahan.Implikatur lain adalah bahwa masyarakat merasa terjepit
dengan keadaan ini. Keadaan dimana segala jenis kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga.Di dalamnya juga terdapatluapan emosi masyarakat yang gemas terhadap kebijakan yang diwacanakan pemerintah.
Kartun editorial edisi ini termasuk ke dalam implikaturkonvensional. Seperti yang disampaikan oleh Yule (2006:78) bahwa implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Tidak harus terjadi dalam percakapan dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Artinya makna tuturan yang disampaikan memang tidak dapat dipahami secara langsung oleh pembaca, namun ketika sejenak direnungkan, makna yang ingin disampaikan dapat ditangkap dengan baik oleh pembaca kartun editorial meskipun tidak mengetahui apa konteks dari gambar tersebut.