• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit

2.1.3. Indikator Pelayanan Rumah Sakit

Beberapa indikator pelayanan di rumah sakit antara lain adalah: a. Bed OccupancyRate (BOR): angka penggunaan tempat tidur.

BOR digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Angka BOR yang rendah menunjukkan kurangnya pemanfaatan fasilitas perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Angka BOR yang tinggi (lebih dari 85 %)

menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi sehingga perlu pengembangan rumah sakit atau penambahan tempat tidur.

Jumlah Hari Perawatan

BOR = ——————————————- X 100 % Jumlah Tempat Tidur X Periode

BOR = Bed Occupancy Rate atau Tingkat Hunian RS (dalam bentuk persentase)

Hari Perawatan (HP) = Banyaknya pasien yang dirawat dalam 1 hari periode. Jumlah Tempat Tidur = Banyaknya tempat tidur yang ada/yang beroperasional di

RS (Rumah Sakit) .

Jadi data HP ini diambil dari jumlah pasien yang dirawat setiap hari dan diakumulasikan dalam periode tertentu, misalnya : Mingguan, Bulanan, Triwulan atau Tahunan. BOR optimal adalah berkisar antara 65 % sampai 85%.

b. Average Length of Stay (AvLOS): rata-rata lamanya pasien dirawat

AvLOS adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai AvLOS yang ideal antara 6-9 hari. c. Bed Turn Over (BTO): angka perputaran tempat tidur

BTO adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.

d. Turn Over Interval (TOI): tenggang perputaran

TOI adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi hingga saat terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.

e. Net Death Rate ( NDR ) : angka kematian netto.

NDR adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap – tiap 1000 penderita keluar, digunakan untuk mengetahui mutu pelayanan/perawatan rumah sakit. Semakin rendah NDR suatu rumah sakit berarti bahwa mutu pelayanan rumah sakit tersebut semakin baik. Nilai NDR yang masih dapat ditolerir adalah kurang dari 25 per 1000 pasien keluar.

f. Gross Death Rate ( GDR ) : angka kematian brutto.

GDR adalah angka kermatian umum untuk setiap 1000 penderita keluar, digunakan untuk mengetahui mutu pelayanan/ perawatan rumah sakit. Semakin rendah GDR berarti mutu pelayanan rumah sakit semakin baik. Nilai GDR seyogianya tidak lebih dari 45 per 1000 pasien keluar.

2.1.4. Mutu Pelayanan

Sebagai bentuk produk yang tak berwujud (intangibles), jasa (service) memiliki kharakteristik tersendiri, antara lain dalam proses penyampaian produk, dimana pada umumnya produsen lebih banyak harus berhadapan langsung dengan para konsumen maupunpenggunanya. Demikian halnya dengan bentuk jasa pelayanan kesehatan disebuah rumah sakit, dimana kemampuan menyampaikan produk secara

berkualitas kepada para konsumen, sangat ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki para tenaga medis, paramedis, maupun tenaga non medis lainnya, dalam melayani kebutuhan pasien ataupun keluarga pasien sebagai konsumen ataupun pengguna jasanya tadi.

Anggreni (2011) yang mengutip pernyataan Crosby, bahwa mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditentukan. Dengan demikian mutu pelayanan kesehatansebagai produk jasa adalah totalitas dari wujud serta ciri dari pelayanan kesehatan yang didalamnya terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna jasa.

Batasan mutu pelayanan yang dipandang cukup penting menurut Azwar (1996) adalah:

1) Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati.

2) Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program.

3) Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri suatu barang atau dihasilkan, yang didalamnya terkandung sekaligus pengertian akan adanya rasa aman atau terpenuhinya kebutuhan para pengguna barang atau jasa yang dihasilkan tersebut.

4) Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Mutu pelayanan dapat diketahui apabilatelah dilakukan penelitian sebelumnya, baik terhadap tingkat kesempurnaan, sifat, totalitas dari wujud serta ciri dan kepatuhan penyelenggara pelayanan terhadap standar yang telah ditetapkan. Namun

penilaian ini tidak lah mudah mengingat mutu pelayanan bersifat multi dimensional. Setiap mereka yang terlibat dalam layanan kesehatan,pasti mempunyai pandangan yan berbeda tentang unsur yang penting dalam mutu layanan kesehatan. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh terdapatnya perbedaan dalam latar belakang, pendidikan, pengetahuan, pekerjaaan, pengalaman, lingkungan, dan kepentingan. Dimensi mutu dari pemakai jasa pelayanan berbeda dengan dimensi mutu yang dianut penyelenggara pelayanan kesehatan dan berbeda pula dengan dimensi mutu dari penyandang dana pelayanan kesehatan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Robert dan Prevos yang dikutip Azwar (2005) membuktikan adanya perbedaan dimensi mutu pelayanan kesehatan:

1) Bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi tanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, keprihatinan dan keramahtamahan petugas dalam melayani pasien dan atau kesembuhan penyakit yang diderita pasien. 2) Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait

pada dimensi kesesuaian pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan atau otonomi profesi dalam menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pasien.

3) Bagi penyandang dana pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi efisiensi pemakaian sumber dana, kewajaran pembiayaan, dan atau kemampuan menekan beban biaya penyandang dana.

Beberapa dimensi kualitas pelayanan menurut Parasuraman, Zeithaml (1998) yang dikutip oleh Tjiptono (2004) mengemukakan bahwa ada 5 (lima) dimensi yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan, yaitu sebagai berikut:

1) Bukti fisik (tangible), berkenaan dengan bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa yang meliputi fasilitas fisik (gedung, kamar, ruang operasi dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi),serta penampilan pegawainya.

2) Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang tinggi.

3) Daya tanggap (responsiveness), yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negative dalam kualitas pelayanan. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan akan berubah dengan kecendrungan naik dari waktu ke waktu.

4) Jaminan (assurance), berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan, ketrampilan staf dalam menangani setiap pelanggan yang diberikan sehingga mampu menumbuhkan kepercayaan dan rasa aman pada pelanggan. Assurance adalah dimensi kualitas yang berhubungan dengan kemampuan perusahaan dan prilaku front-line staf dan menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada para pelanggannya.

5) Empati (emphaty), yaitu memberikan perhatian yang tulus yang bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Suatu perusahaan diharapkan memilki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. Pelanggan kelompok menengah keatas mempunai harapan yang tinggi agar perusahaan penyedia jasa mengenal mereka secara pribadi.

Menurut Suryani (2008) yang mengutip pendapat Parasuraman, Zeihaml, dan Berry, merumuskan sebuah model mutu jasa yang menggarisbawahi ketentuan penting yang perlu dipatuhi pemberi jasa supaya bisa melayani jasa sesuai dengan pengharapan konsumen. Model ini mengidentifikasikan lima kesenjangan yang menyebabkan gagalnya pelayanan jasa sebagai berikut :

1) Kesenjangan pengharapan konsumen dengan persepsi manajemen. Manajemen tidak selalu memahami dengan tepat apa yang diinginkan konsumen.

2) Kesenjangan persepsi manajemen dengan spesifikasi mutu jasa. Manajemen barangkali belum menetapkan standar mutu atau standar mutu yang sangat jelas.

3) Kesenjangan spesifikasi mutu jasa dengan pemberian jasa. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pemberi jasa. Tenaga yang belum cukup terlatih, beban kerja yang terlalu berat, Moril personal yang masih rendah, kemungkinan adanya alat yang rusak.

4) Kesenjangan penyerahan jasa dengan komunikasi eksternal. Pengharapan konsumen dipengaruhi oleh janji yang diutarakan oleh pemberi jasa melalui media komunikasi, misalnya brosur rumah sakit yang menunjukan gambar kamar yang sangat menawan tetapi pasien mendapatkan kamar yang kecil dan tak terawat, maka kekeliruannya terletak pada pengharapan – pengharapan yang diciptakan oleh komunikasi eksternal tersebut.

5) Kesenjangan jasa yang dinikmati konsumen dengan jasa yang diharapkan konsumen. Kesenjangan ini timbul bila satu atau lebih kesenjangan – kesenjangan yang telah disebutkan diatas terjadi.

Para peneliti tadi juga menyusun daftar kriteria utama yang menjadi penentu mutu jasa. Kriteria-kriteria ini adalah sebagai berikut :

1) Akses, Jasa harus mudah dijangkau dalam lokasi yang mudah dicapai pada saat yang tidak merepotkan dan cepat.

2) Komunikasi, Jasa harus diuraikan dengan jelas dalam Bahasa yang mudah dimengerti oleh konsumen.

3) Kompetensi, Karyawan harus memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.

5) Kredibilitas, Perusahaan dan karyawan harus bisa dipercayai dan memahami keinginan utama yang diharapkan konsumen.

6) Reliabilitas, Jasa harus dilaksanakan dengan konsisten dan cermat.

7) Cepat-tanggap, Karyawan harus memberikan tangapan dengan cepat dan kreatif atas permintaan dan masalah konsumen.

8) Kepastian, Jasa harus bebas dari bahaya, resiko, atau hal – hal yang meragukan. 9) Hal – hal yang berwujud, Hal – hal yang berwujud pada sebuah jasa harus

dengan tepat memproyeksikan mutu jasa yang akan diberikan.

10) Memahami / mengenali konsumen, Karyawan harus berusaha memahami kebutuhan – kebutuhan konsumen dan memberikan perhatian secara individu.

Menurut Anjaryani (2009) yang mengutip pernyataan Jacobalis, bahwa kualitas pelayanan kesehatan di ruang rawat inap rumah sakit dapat diuraikan atas beberapa aspek, diantaranya adalah :

a. Penampilan keprofesian atau aspek klinis

Aspek ini menyangkut pengetahuan, sikap dan perilaku dokter dan perawat dan tenaga profesi lainnya.

b. Efisiensi dan efektivitas

Aspek ini menyangkut pemanfaatan semua sumber daya di rumah sakit agar dapat berdaya guna dan berhasil guna.

c. Keselamatan pasien

d. Kepuasan pasien

Aspek ini menyangkut kepuasan fisik, mental dan sosial pasien terhadap lingkungan rumah sakit, kebersihan, kenyamanan, kecepatan pelayanan, keramahan, perhatian, biaya yang diperlukan dan sebagainya.

Menurut Anjaryani (2009) yang mengutip pernyataan Muslihuddin, mutu asuhan pelayanan rawat inap dikatakan baik, apabila :

a. Memberikan rasa tentram kepada pasiennya yang biasanya orang sakit.

b. Menyediakan pelayanan yang benar-benar profesional dari setiap strata pengelola rumah sakit.

Pelayanan bermula sejak masuknya pasien ke rumah sakit sampai pulangnya pasien. Dari kedua aspek ini dapat diartikan sebagai berikut :

a. Petugas menerima pasien dan dalam melakukan pelayanan terhadap pasien harus mampu melayani dengan cepat karena mungkin pasien memerlukan penanganan segera.

b. Penanganan pertama dari perawat harus mampu membuat kepercayaan bahwa pengobatan yang diterima dimulai secara benar.

c. Penanganan oleh para dokter dan perawat yang profesional akan menimbulkan kepercayaan pasien bahwa mereka tidak salah memilih rumah sakit.

d. Ruangan yang bersih dan nyaman, memberikan nilai tambah kepada rumah sakit. e. Peralatan yang memadai dengan operator yang professional.

Tenaga medis merupakan unsur yang memberikan pengaruh paling besar dalam menentukan kualitas dari pelayanan yang diberikan kepada pasien di rumah sakit. Fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan medik kepada pasien dengan mutu sebaik-baiknya, menggunakan tata cara dan teknik berdasarkan ilmu kedokteran dan etik yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan kepada pasien dari rumah sakit. Menurut Anjaryani (2009) yang mengutip pernyataan Donabedian, menyatakan bahwa perilaku dokter dalam aspek manajemen, manajemen lingkungan sosial, manajemen psikologi dan manajemen terpadu, manajemen kontinuitas dan koordinasi kesehatan dan penyakit harus mencakup beberapa hal, yaitu :

a. Ketepatan diagnosis

b. Ketepatan dan kecukupan terapi

c. Catatan dan dokumen pasien yang lengkap.

d. Koordinasi perawatan secara kontiniuitas bagi semua anggota keluarga.

Dokumen terkait