BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.3 Kajian Pustaka
2.3.5 Individual Competence Framework
European Commisson (Komisi Eropa) mengemukakan suatu konsep yang dapat menjadi alat ukur literasi media. Konsep tersebut dinamakan Individual Competence Framework yang tercantum dalam Final Report Study on Assessment Criteria for Media Literacy pada tahun 2009 Menurut European Commission, Kemampuan literasi media seseorang menurut Individual Competence Framework dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu Personal Competence (Kompetensi Individu) dan Social Competence (Kompetensi Sosial) (European Comission, 2009).
Gambar 2.1 Struktur Asesmen Literasi Media
(Sumber: Report Study on Assessment Criteria for Media Literacy 2009)
Piramida di atas menjelaskan bahwa bagian dasar menggambarkan prasyarat kompetensi individu: ketersediaan media, yang merupakan ketersediaan teknologi atau layanan media; dan konteks media, yang merupakan kegiatan dan inisiatif lembaga dan organisasi untuk mendorong kapasitas literasi media. Tanpa kriteria
ini, pengembangan literasi media dapat dicegah atau tidak didukung. Di bagian tengah yang merupakan bagian dari kompetensi personal terdapat pemahaman kritis terhadap konten media serta pemahaman terhadap perangkat yang digunakan untuk mengakses media. Bagian terakhir adalah kemampuan berkomunikasi yang mencakup kemampuan untuk mengukur tingkat kemampuan literasi media dan membangun hubungan sosial melalui media sosial. Ketiga bagian tersebut harus terus berkaitan dan berkesinambungan agar kemampuan literasi media yang dimiliki individu semakin baik.
Individual Competence Framework dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Individual Competence (kemampuan Individu)
Kemampuan ini adalah kapasitas individu dalam melatih keterampilan menggunakan dan memanfaatkan media. Hal tersebut mencakup menggunakan, memproduksi, menganalisis dan mengkomunikasikan pesan melalui media.
Individual Competence terbagi dalam dua kategori yaitu:
1) Personal Competence (kompetensi personal) yaitu kemampuan individu dalam menggunakan media dan menganalisis konten-konten yang terdapat pada media. Personal competence terdiri dari dua kriteria yaitu:
a. Use Skills (keterampian teknis), yaitu kemampuan untuk menggunakan media, artinya seseorang mampu menggunakan media untuk mengakses dan menggunakan media secara efektif. Keterampilan teknis memungkinkan individu untuk menggunakan alat-alat media sesuai dengan fungsinya, misalnya: radio, telepon seluler, surat kabar dan komputer. Penggunaan alat tersebut mencakup kemampuan pengguna untuk menggunakan dan memahami alat-alat tersebut. Keterampilan teknis mencakup beberapa kriteria yaitu:
1. Kemampuan individu dalam mengoperasikan media elektronik seperti komputer dan Internet.
2. Kemampuan individu dalam menggunakan media secara seimbang.
3. Kemampuan penggunaan Internet yang lebih canggih.
b. Critical Understanding (pemahaman kritis) yaitu merupakan pengetahuan, perilaku dan pemahaman konteks dan konten media, serta bagaimana individu mewujudkan dirinya dalam berperilaku. Critical understanding
merupakan aspek terpenting antara individu dengan media. Bagaimana individu berinteraksi dengan media ditentukan oleh pemahaman kritis mereka tentang konten dan konteksnya. Untuk dapat memahami dan memanfaatkan konten, pengguna harus dapat menerjemahkan untuk memahami pesan konten tersebut. Kriteria ini mencakup semua proses kognitif yang memengaruhi praktik pengguna (efektivitas tindakan, tingkat kebebasan atau pembatasan, regulasi, dan norma, dll). Hal ini memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi aspek-aspek media, dengan cara membandingkan berbagai jenis dan sumber informasi, sampai pada kesimpulan tentang kebenaran dan kesesuaiannya, dan membuat pilihan berdasarkan informasi.
Kriterianya antara lain:
4. Kemampuan untuk memahami isi dan fungsi media.
5. Memiliki kemampuan tentang media untuk mengevaluasi kesesuaian konteks yang digunakan media.
6. Pola tingkah laku konsumen dalam menggunakan media.
2) Social Competence (kompetensi sosial) yaitu kemampuan individu memproduksi suatu konten media serta mampu berkomunikasi dan membangun relasi lewat media. Kompetensi sosial terdari dari :
a. Communicative abilities (kemampuan berkomunikasi) juga mencakup kemampuan untuk mengukur tingkat kemampuan literasi media dan membangun hubungan sosial melalui media sosial. Kemampuan komunikasi ini mencakup kriteria sebagai berikut:
1. Kemampuan untuk menyampaikan pesan dan membangun relasi sosial melalui media.
2. Kemampuan beradaptasi bersama masyarakat melalui media.
3. Kemampuan dalam menghasilkan dan menciptakan konten media.
Tingkat kemampuan literasi media dalam Individual Competence Framework dijelaskan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2.1 Tingkat Kemampuan Literasi Media Menurut European Comission
Level Deskripsi
Basic
Individu memiliki seperangkat kemampuan dalam penggunaan dasar media, namun masih memiliki keterbatasan dalam penggunaan media internet. Kapasitas individu untuk berpikir secara kritis dalam menganalisis informasi yang diterima dan kemampuan komunikasi melalui media masih terbatas.
Medium
Individu sudah fasih dalam penggunaan media, mengetahui fungsi dan mampu melaksanakan fungsi-fungsi tertentu, menjalankan operasi yang lebih kompleks. Pengguna media internet dapat berlanjut sesuai kebutuhan.
Pengguna mengetahui bagaimana untuk mendapatkan dan menilai informasi yang dia butuhkan, serta menggunakan strategi pencarian informasi tertentu.
Advance
Individu pada tingkatan ini sangat aktif dalam penggunaan media, menjadi sadar dan tertarik dalam berbagai regulasi yang mempengaruhi penggunaannya. Pengguna memiliki pengetahuan yang mendalam tentang teknik dan bahasa serta dapat menganalisis kemudian mengubah kondisi yang mempengaruhinya.
Pengguna dapat melakukan hubungan komunikasi dan penciptaan pesan. Di bidang sosial, pengguna mampu mengaktifkan kerjasama kelompok yang memungkinkan dia untuk memecahkan masalah.
Sumber: Report Study on Assessment Criteria for Media Literacy 2009 2.3.6. Internet sebagai Media Baru
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, media massa juga ikut mengalami perkembangan. Internet hadir sebagai media baru (new media) yang terus berkembang. Chandra (2020) menyebutkan salah satu bentuk dari
keberadaan new media adalah fenomena munculnya social network (jejaring sosial). Setiap orang dapat menggunakan jejaring sosial atau media sosial sebagai sarana berkomunikasi, membuat status, berkomentar, berbagi foto dan video layaknya ketika kita berada dalam lingkungan sosial. Hanya saja medianya yang berbeda.
Teknologi internet dan smartphone semakin maju, maka media sosial pun ikut tumbuh dengan pesat. Media sosial yang semakin mudah dan semakin cepat diakses mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap arus informasi yang tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia. Media sosial juga mulai tampak menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan berita.
Menurut Van Dijk (2013), yang dikutip oleh Nasrullah dalam buku Media Sosial (2016) bahwa media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktifitas maupun berkolaborasi, karena itu media sosial dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.
Andreas Kaplan dan Michael Haenlein (2010) mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis Internet yang dibangun diatas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, dan memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. Web 2.0 menjadi platform dasar media sosial. Media sosial ada dalam ada dalam berbagai bentuk yang berbeda, termasuk social network, forum internet, weblogs, social blogs, micro blogging, wikis, podcasts, gambar, video, rating, dan bookmark sosial. Ada enam jenis media sosial menurut Andreas dan Haenlein (2010), yakni proyek kolaborasi (misalnya Wikipedia), blog dan microblogs (misalnya Twitter), komunitas konten (misalnya YouTube), situs jaringan sosial (misalnya Facebook dan Instagram), virtual game (misalnya World of Warcraft), dan virtual sosial (misalnya Second Life). Platform media sosial telah berkembang dengan luas, namun hanya beberapa saja jejaring sosial yang diminati di Indonesia, antara lain: Youtube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Tiktok, Line, Twitter, Reddit, Pinterest, dan Tumblr. Namun, pada penelitian ini peneliti hanya membatasi media sosial pada Instagram, Facebook, dan WhatsApp.
WhatsApp Messenger adalah aplikasi pesan untuk ponsel cerdas (smartphone) dengan basic mirip BlackBerry Messenger. WhatsApp Messenger merupakan aplikasi pesan lintas platform yang memungkinkan kita bertukar pesan tanpa biaya SMS, karena WhatsApp Messenger menggunakan paket data internet yang sama untuk email, browsing web, dan lain-lain. Dengan menggunakan WhatsApp, kita dapat melakukan obrolan online, berbagi file, bertukar foto dan lain-lain.
Facebook merupakan situs jejaring sosial yang aplikatif. Facebook menyajikan gambaran akan hal-hal yang menarik, adanya pemberitahuan baru atau notifikasi, ruang untuk mengobrol langsung (chatting), mengunggah foto/video, dan mengirimkan pesan kepada pengguna lain di saat pengguna lain tersebut sedang di luar jaringan atau offline.
Instagram berasal dari pengertian keseluruhan fungsi aplikasi ini. Kata
“insta” berasal dari kata ―instan‖. Instagram juga dapat menampilkan foto-foto secara instan seperti polaroid dalam tampilannya. Sedangkan “gram” berasal dari kata “Telegram”, dimana cara kerja telegram sendiri adalah untuk mengirimkan informasi pada orang lain dengan cepat. Sama halnya dengan Instagram yang dapat mengunggah foto dengan keterangan lainnya dengan menggunakanjaringan internet, sehingga informasi yang ingin disampaikan dapat diterima dengan cepat.
Menurut Kietzman, dkk (2011), ia menyebutkan terdapat tujuh fungsi dari media sosial, yaitu diantaranya:
a. Identity, adalah sebuah gambaran dari pengguna media sosial, gambaran tersebut berupa identitas yang terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, foto dan koleksi foto serta video yang dimiliki.
b. Conversations, menggambarkan pengaturan komunikasi bagi pengguna dengan pengguna media sosial lainnya.
c. Sharing, menggambarkan pertukaran pesan antara pengguna media sosial dengan pengguna yang lainnya. Ini bisa terlihat ketika seseorang pengguna mempublishkan suatu pesan baik berupa teks, foto, dan video.
d. Presence, menggambarkan mengenai pengguna yang dapat mengakses atau mencari pengguna lainnya.
e. Relationship, menggambarkan tentang pengguna yang dapat berhubungan dengan pengguna lainnya.
f. Reputation, menggambarkan bahwa pengguna dapat mengidentifikasi dirinya dan pengguna yang lain.
g. Groups, menggambarkan bahwa pengguna dapat membentuk suatu grup atau komunitas berdasarkan minat yang sama dan latar belakang yang sama.
Selain dari fungsi-fungsi yang telah dipaparkan sebelumnya, media sosial juga harus dipergunakan dengan bijak. Beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam pemanfaatan media sosial secara bijak adalah dengan memproteksi informasi pribadi, yakni dengan tidak menyebarkan informasi pribadi seperti tempat dan tanggal lahir, alamat, nama orang tua, serta informasi lainnya yang bersifat krusial, memerhatikan etika dalam berkomunikasi, ada baiknya seorang individu yang mengguakan media sosial memerhatikan etika ketika berkomunikasi secara digital, misalnya dengan tidak menyebarkan hoaks terkait virus Corona, ataupun tidak sembarangan menyebarka informasi yang didapatkannya melalui media sosial; Hindari penyebaran SARA dan pornografi;
Memandang penting hasil karya orang lain; Membaca berita secara keseluruhan, seorang individu yang cerdas dalam bermedia harus membaca berita secara keseluruah terlibih dahulu sebelum mempercayai dan menyebarkan berita tersebut kepada orang lain; dan melakukan kroscek kebenaran berita atau informasi, yakni informasi mengenai infodemi. Melakukan verifikasi ulang terhadap informasi saat ini sangat diperlukan agar dapat memerangi infodemi Covid-19.
2.3.7. Infodemi di Masa Pandemi Covid-19
Kasus Covid-19 yang melanda dunia sangat menggemparkan masyarakat dan menimbulkan ketakutan dari berbagai kalangan. Covid-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus SARS CoV-2 dengan gejala umum gangguan saluran pernafasan akut baik ringan maupun berat yang meliputi demam, batuk, sesak nafas, kelelahan, pilek, nyeri tenggorokan dan diare. Secara umum penularan virus ini terjadi melalui droplet atau cairan tubuh yang terpercik pada sesorang atau benda-benda di sekitarnya yang berjarak 1-2 meter melalui batuk dan bersin (Karo, 2020).
Penyakit yang disebabkan coronavirus disease 2019 ini segera menjadi perhatian dunia terutama sejak ditetapkan sebagai pandemi oleh organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020.
Penyebab utamanya adalah angka kematian yang cukup tinggi. Angka case fatality rate (CFR) pada periode awal dilaporkan mencapai 2,3%. Angka tersebut melonjak drastis menjadi 8% pada pasien berusia 70-79 tahun dan 14,8% pada
pasien dengan usia lebih dari 80 tahun. Bahaya dari Covid-19 semakin kontekstual karena CFR pada pasien dengan penyakit tidak menular—atau dikenal dengan komorbid—cukup tinggi yakni hipertensi (6%), penyakit pernapasan kronis (6,3%), diabetes (7,3%), dan penyakit kardiovaskuler (10,5%). Mengingat pengobatan spesifik maupun terapi pencegahan seperti obat antiviral tertarget maupun vaksin belum tersedia pada periode awal wabah, maka fokus penanganannya adalah pendekatan kesehatan masyarakat seperti isolasi, karnatina, serta pembatasan sosial maupun komunitas (Wu & McGoogan, 2020).
Pandemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan wabah yang berjangkit serempak di mana-mana atau meliputi geografi yang luas. Kasus ini muncul bermula terjadi di Wuhan, Tiongkok dan mulai menyebar ke hampir seluruh dunia. Penyebaran Covid-19 ini sangat cepat dan tidak ada yang mampu memprediksi kapan berakhirnya pandemi Covid-19. Menurut WHO (World Health Organization) pandemi adalah penyebaran penyakit baru ke seluruh dunia (World Health Organization, 2020). Namun, tidak ada definisi yang dapat diterima tentang istilah pandemi secara rinci dan lengkap, beberapa pakar mempertimbangkan definisi berdasarkan penyakit yang secara umum dikatakan pandemi dan mencoba mempelajari penyakit dengan memeriksa kesamaan dan perbedaannya. Penyakit dipilih secara empiris untuk mencerminkan spektrum etiologi, mekanisme penyebaran, dan era kegawatdaruratannya, beberapa penyakit yang pernah menjadi pandemi antara lain: acute hemorrhagic conjunctivitis (AHC), AIDS, kolera, demam berdarah, influenza dan SARS (Morens, Folkers and Fauci, 2009).
Minimnya transparansi pada awal identifikasi Covid-19 menciptakan misinformasi publik sehingga menciptakan ruang bagi munculnya rumor dan spekulasi di ruang publik (Sohrabi, dkk., 2020). Fenomena misinformasi pada penanganan wabah penyakit yang bahkan dapat mempercepat penyebaran suatu epidemi dengan mempengaruhi dan memfragmentasi respon sosial oleh Cinelli, dkk (2020) disebut sebagai infodemi. Islam, dkk. (2020) menyebut infodemi berhubungan dengan kelimpahan informasi—baik akurat maupun tidak—yang membuat masyarakat kesulitan untuk menemukan sumber yang terpercaya maupun panduan yang sahih ketika dibutuhkan.
Menurut kamus daring Merriam-Webster, kata bahasa Inggris “infodemic”
merupakan gabungan 2 kata bahasa Inggris, information (informasi) dan epidemic (epidemi) yang merujuk pada cepat dan luasnya penyebaran informasi baik yang akurat maupun tidak akurat terkait suatu penyakit (Merriam-Webster, 2020). Kata infodemi pertama kali dicetuskan oleh David Rothkopf, seorang jurnalis dan ilmuwan politik dalam artikelnya pada Washingtong Post edisi 11 Mei 2003 ketika membahas epidemi penyakit SARS. Rothkopf menulis, “What exactly do I mean by the "infodemic"? A few facts, mixed with fear, speculation and rumor, amplified and relayed swiftly worldwide by modern information technologies, have affected national and international economies, politics and even security in ways that are utterly disproportionate with the root realities” (Rothkopf, 2003).
Infodemi menjadi gabungan informasi yang akurat maupun tidak, maka dampaknya justru terlihat lebih besar dibandingkan penyakit itu sendiri.
Secara luas, infodemi dapat dipahami sebagai misinformasi atau berita palsu (fakenews) terkait epidemi yang menyebar dengan cepat dan mudah di dunia maya karena masifnya penggunaan aplikasi-aplikasi media sosial. Menurut Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), infodemi adalah banjir informasi, baik akurat ataupun tidak yang membuat orang kesulitan menemukan sumber dan panduan terpercaya saat mereka membutuhkannya (World Health Organization, 2019).
Infodemi digunakan untuk mengkategorisasi rumor, stigma, maupun teori konspirasi selama terjadinya kegawatdaruratan kesehatan masyarakat. Pada wabah SARS 2002-2003, ketakutan berkembang dan menciptakan stigma pada orang Asia sehingga berdampak pada tertundanya upaya medis yang berkontribusi memperluas epidemi melalui transmisi komunitas. Pada wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo tahun 2019, misinformasi menyebabkan kekerasan, kekacauan sosial, dan bahkan serangan yang menargetkan petugas kesehatan (Dharma dan Azhar Kasim, 2021)
Dampak infodemi yang paling terasa adalah timbulnya kecemasan, kepanikan hingga kesalahan pengambilan keputusan hingga menimbulkan gangguan kejiwaan. Ini terjadi ketika seseorang mencapai titik lelah akibat tidak mampu memilah dan mengolah informasi sehingga timbul stres dan kecemasan
berlebihan. Kulkarni dkk, 2020). Karena itu, pemahaman atas realitas infodemi sangat diperlukan sebagai bagian dari langkah penanggulangan pandemi Covid-19 baik secara global maupun nasional.
2.3.8. Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19
Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan. Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab syaraka yang berarti ikut serta dan berpartisipasi. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi.
Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya, 2). Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009).
Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984) bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Masyarakat sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada beberapa unsur yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama.
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama.
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Abdulsyani (2002) berpendapat bahwa masyarakat sebagai community dapat dilihat dari dua sudut pandang: pertama, memandang community sebagai unsur statis, artinya community terbentuk dalam suatu wadah/ tempat dengan batas-batas tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan masyarakat sehingga ia dapat pula disebut sebagai masyarakat setempat. Kedua, community dipandang sebagai unsur yang dinamis artinya menyangkut suatu proses yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan antar manusia, maka di dalamnya terkandung unsur-unsur kepentingan, keinginan atau tujuan-tujuan yang sifatnya fungsional.
Masyarakat sebagai komunikan atau penerima informasi dapat bersifat pasif, aktif ataupun kritis tergantung dari masyarakat tersebut. Pengolahan informasi seharusnya dapat dilakukan oleh khalayak karena informasi yang tersebar dapat bersifat menguntungkan atau sebaliknya (Holilah, 2016).
Menurut Abdul Syani, masyarakat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Manusia yang hidup bersama. Ilmu sosial tak mempunyai ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi, secara teoritis, angka minimumnya ada dua orang hidup bersama.
b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti; mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaanperasaannya. Sebagai akibat dari bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut.
c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.
d. Mereka merupakan suatu system hidup bersama. System kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan kehidupan dan definisi masyarakat berubah, karena masyarakat yang pada awalnya dapat beraktivitas dengan leluasa tanpa harus menjaga jarak, sejak pandemi diharuskan untuk melakukan pembatasan aktivitas sosial sehingga kegiatan yang biasanya dilakukan di tempat-tempat umum seperti hiburan, belanja, belajar hingga bekerja harus dilakukan di rumah demi mencegah penularan virus Covid-19. Pembatasan aktivitas tersebut menjadikan internet sebagai media dalam jaringan (daring) yang menggantikan aktivitas tatap muka, sehingga aktivitas-aktivitas sosial seperti rapat dan pembelajaran dilakukan melalui media sosial seperti Zoom, WhatsApp, YouTube, dan media sosial lainnya.
Masyarakat yang hidup di masa pandemi tentu harus mampu dengan cepat beradaptasi. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang ilmiah, akurat dan dapat dipercaya dapat membantu untuk mudah melaksanakannya dalam menekan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Atas dasar inilah perlu dilakukan kegiatan pemberian informasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi dan melewati pandemi Covid-19. (Handayani, dkk., 2020).
2.4. Model Teoretik
Berdasarkan kerangka konsep yang dikembangkan dari kerangka teori sebelumnya, maka peneliti membuat model teoretik. Model ini berguna untuk menggambarkan rencana atau strategi penelitian yang akan dilakukan kemudian.
Model teoritisnya adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2. Model Teoretik (Sumber: Penelitian 2021) Masyarakat Desa
Paya Bedi KabupateTamiang
Terpapar Infodemi Covid-19 melalui
media sosial/Internet
Tingkat literasi media (Individual Competence Framework) masyarakat
Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang
Basic Medium Advance
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Metode Penelitian
Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI Daring, 2021).
Metode penelitian secara umum didefinisikan sebagai suatu kegiatan ilmiah yang terencana, terstruktur, sistematis dan memiliki tujuan tertentu baik praktis maupun teoritis. Dikatakan sebagai 'kegiatan ilmiah' karena penelitian dengan aspek ilmu pengetahuan dan teori. 'Terencana' karena penelitian harus direncanakan dengan memperhatikan waktu, dana dan aksesibilitas terhadap tempat dan data.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Menurut Sugiyono (2016) metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan data kegunaan tertentu. Metode penelitian kualitatif juga merupakan metode penelitian yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah dari pada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi. Metode penelitian ini lebih suka menggunakan teknik analisis mendalam (indepth analysis), yaitu mengkaji masalah secara kasus perkasus karena metodologi kulitatif yakin bahwa sifat suatu masalah satu akan berbeda dengan sifat dari masalah lainnya. Menurut teori penelitian kualitatif, agar penelitinya dapat betul-betul berkualitas, maka data yang dikumpulkan harus lengkap, yaitu berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan,gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini adalah subjek penelitian (informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti.
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen grafis (tabel, catatan, notulen rapat, dll), foto-foto, film, rekaman video, benda-benda, dan
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen grafis (tabel, catatan, notulen rapat, dll), foto-foto, film, rekaman video, benda-benda, dan