• Tidak ada hasil yang ditemukan

LITERASI DIGITAL DI ERA PANDEMI COVID-19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LITERASI DIGITAL DI ERA PANDEMI COVID-19"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

Pandemi Covid-19 pada Anggota Masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang)

SKRIPSI

Diva Vania 170904007 Jurnalistik

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

(2)

Pandemi Covid-19 pada Anggota Masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Program Strata (S1) pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Diva Vania 170904007 Jurnalistik

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Literasi Digital Di Era Pandemi Covid-19 (Studi Penggambaran Individual Competence Framework Literasi Digital di Masa Pandemi Covid-19 pada Anggota Masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang). Skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara. Peneliti berterima kasih yang sebesar- besarnya kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Rizar Rusdyi, SH., dan ibunda Novita Indriani, SE., yang telah memberikan dukungan baik jiwa maupun raga, memberikan kasih sayang yang tak pernah henti serta selalu mendoakan peneliti hingga peneliti berada di titik ini. Terima kasih pula kepada adik peneliti satu-satunya, Vitra Yuqadhirza yang selalu memberikan semangat, dukungan dan juga pengertiannya selama proses pengerjaan skripsi peneliti.

Dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Hendra Harahap, M.Si., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Kurniawati, M.Si., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.

4. Ibu Emilia Ramadhani, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi.

5. Ibu Dra. Mazdalifah, M.Si., Ph.D., selaku dosen pembimbing skripsi.

Terima kasih karena telah dengan sabar meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran ibu untuk membimbing, menasehati dan mendukung peneliti dalam pengerjaan skripsi ini hingga selesai dengan baik.

6. Bapak dan Ibu dosen yang berada di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya dosen Ilmu Komunikasi. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses perkuliahan.

(7)

7. Ibu Farida Hanim, S.Sos., M.I.Kom., yang telah banyak memberikan dukungan, masukan dan saran kepada peneliti.

8. Kak Maya dan kak Yanti yang selalu siap sedia bila peneliti membutuhkan dokumen mengenai perkuliahan.

9. Para informan yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara dengan peneliti, yaitu Una, Reza, Kak Cut dan Bu Santi.

10. Almh. Hj. Nurhayati, selaku nenek yang semasa hidup selalu memberikan dukungannya untuk impian-impian peneliti sedari peneliti kecil.

11. Eka Handayani selaku bunda yang telah peneliti anggap sebagai ibu kedua yang tidak lelah menasehati dan mendukung apapun yang peneliti lakukan.

12. Wardatul Husna, Rozza Zara Syafira, Wan Siti Balqis, Rahma Yunita dan Humaira, selaku teman bertumbuh yang membersamai peneliti sejak masa sekolah hingga sekarang.

13. Intan Sari, Nurul Indah Saraswati, dan Muhammad Hidayat, teman yang selalu mendengar keluh kesah dan membantu serta mendukung peneliti selama di perkuliahan.

14. Teman-teman USU Media, Shella Tan, Kak Puput, Mike, Annisa Chairani, Regina, Caca, Guini dan lain-lain yang tidak dapat peneliti sebutkan satu- persatu.

15. The last but not least, I wanna thank me for believing in me, for doing all this hard work, for having no days off, for never quitting, and for just being me at all times.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi peneliti hingga ke tahap ini. Dukungan dan bantuan dari berbagai pihak menjadi dorongan agar peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya.

Medan, 15 Juli 2021

Diva Vania

(8)

HALAMAN PERNYATAAN DAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : DIVA VANIA

NIM :170904007

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah yang berjudul: Literasi Digital Di Era Pandemi Covid-19 (Studi Penggambaran Individual Competence Framework Literasi Digital di Masa Pandemi Covid-19 pada Anggota Masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang). Den gan Hak Cipta Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : Agustus 2021

Yang Menyatakan

(DIVA VANIA)

(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul ―Literasi Digital Di Era Pandemi Covid-19 (Studi Penggambaran Individual Competence Framework Literasi Digital di Masa Pandemi Covid-19 pada Anggota Masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang)‖. Tujuan penelitian untuk menggambarkan kompetensi literasi media berdasarkan Individual Competence Framework pada anggota masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang di era infodemi Covid-19. Teori-teori dalam penelitian ini adalah literasi media dan Individual Competence Framework. Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif dengan paradigma positivisme. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi dan wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini berjumlah empat orang yang berusia di atas 17 tahun, terdiri dari pelajar, mahasiswa, pekerja swasta dan ibu rumah tangga yang aktif mengakses informasi Covid-19 di media sosial dan tinggal di Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat literasi media internet anggota masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang berada di level basic. Keterampilan teknis (use skills) masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang menunjukkan bahwa anggota masyarakat hanya memahami fitur-fitur umum yang terdapat di media sosial mereka. Pemahaman kritis (critical understanding) anggota masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang menunjukkan bahwa anggota masyarakat tidak pernah melakukan verifikasi ulang (fact check) saat menemukan hoaks sehingga pemahaman kritis masyarakat akan terhadap infodemi Covid-19 masih perlu ditingkatkan. Kemampuan berkomunikasi (communicative abilities) anggota masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang menunjukkan bahwa masyarakat tidak pernah membagikan informasi tentang Covid-19, tidak tergabung dalam grup diskusi yang membahas isu Covid-19, serta tidak pernah membuat atau tergabung dalam proyek sosial tentang Covid-19 di media sosial.

Kata Kunci : Literasi Digital, Individual Competence Framework, Infodemi Covid-19, Masyarakat.

(10)

ABSTRACT

This research is entitled "Digital Literacy in the Era of the Covid-19 Pandemic (Study of the Digital Literacy Individual Competence Framework during the Covid-19 Pandemic in Community Members of Paya Bedi Village, Aceh Tamiang Regency)". The purpose of the study was to describe media literacy competencies based on the Individual Competence Framework in the Paya Bedi Village community, Aceh Tamiang Regency in the Covid-19 infodemic era. The theories in this research are media literacy and Individual Competence Framework.

The research method uses descriptive qualitative with positivism paradigm. Data collection techniques used observation and in-depth interviews. The informants in this study were four people over the age of 17, consisting of students, private sector workers and housewives who actively access Covid-19 information on social media and live in Paya Bedi Village, Aceh Tamiang Regency. The results showed that the level of internet media literacy of the people of Paya Bedi Village, Aceh Tamiang Regency, was at the basic level. The technical skills (use skills) of the people of Paya Bedi Village, Aceh Tamiang Regency show that the community only understands the general features found on their social media. The critical understanding (critical understanding) of the people of Paya Bedi Village, Aceh Tamiang District, shows that the community has never re-verified (fact check) when they find hoaxes so that the community's critical understanding of the Covid-19 infodemic still needs to be improved. The communication abilities (communicative abilities) of the people of Paya Bedi Village, Aceh Tamiang Regency, show that the community has never shared information about Covid-19, is not part of a discussion group that discusses Covid-19 issues, and has never created or joined a social project about Covid-19 on social media.

Keywords: Digital Literacy, Individual Competence Framework, Covid-19 Infodemic, Society.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

KATA PENGANTAR... v

HALAMAN PERNYATAAN DAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... Ix DAFTAR ISI... X DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian... 8

2.2 Penelitian Terdahulu ... 9

2.3 Kajian Pustaka... 12

2.3.1 Pengertian Literasi Media ... 12

2.3.2 Tujuan Literasi Media ... 15

2.3.3 Elemen Literasi Media ... 16

2.3.4 Literasi Media Digital... 19

2.3.5 Individual Competence Framework... 22

2.3.6 Internet sebagai Media Baru ... 25

2.3.7 Infodemi di Masa Pandemi Covid-19... 28

2.3.8 Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19 ... 31

2.4 Model Teoretik ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian... 34

3.2 Objek Penelitian ... 35

3.3 Subjek Penelitian... 36

3.4 Kerangka Analisis ... 36

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 37

3.5.1 Penentuan Informan ... 38

3.5.2 Keabsahan Data ... 38

3.6 Teknik Analisis Data... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 42

4.1.1 Gambaran Proses Penelitian ... 42

(12)

4.1.2 Hasil Temuan Penelitian berdasarkan Tingkat Literasi Media Internet di Era Pandemi Covid-19...

45

4.1.2.1. Gambaran Informan... 45

4.1.2.2 Penggunaan Media Sosial Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19 (Use Skills) ... 46 4.1.2.3. Pemahaman Kritis Masyarakat tentang Infodemi Covid- 19 di Media Sosial (Critical Understanding) ... 51 4.1.2.4. Kemampuan Berkomunikasi Masyarakat pada Masa Pandemi Covid-19 (Communicative Abilites) ... 61 4.1.2.5. Triangulasi ... 64 4.2 Pembahasan ... 67

4.2.1 Penggunaan Media Sosial Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19 (Use Skills) ... 69

4.2.2 Pemahaman Kritis Masyarakat tentang Infodemi Covid-19 di Media Sosial (Critical Understanding) ... 71

4.2.3 Kemampuan Berkomunikasi Masyarakat pada Masa Pandemi Covid-19 di Media Sosial (Communicative Abilities) ... 74

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 80

5.2 Saran ... 81

DAFTAR REFERENSI ... 82

LAMPIRAN ... 89

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Struktur Asesmen Literasi Media

22

2.2 Model Teoretik 33

3.1 Kerangka Analisis 36

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Tingkat Kemampuan Literasi Media 25

4.1 Karakteristik Informan 46

4.2 Penggunaan Media Sosial Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19

50

4.3 Tabel Pemahaman Kritis Masyarakat tentang Infodemi Covid-19 di Media Sosial

59

4.4 Kemampuan Berkomunikasi Masyarakat pada Masa Pandemi Covid-19 di Media Sosial

63

(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Masalah

Kehadiran internet pada era Revolusi Industri 4.0 membuat perkembangan yang begitu signifikan dalam dunia komunikasi. Internet menjadikan segala sesuatu di dunia mudah diakses, sehingga memungkinkan orang menemukan informasi yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari. Keberadaan internet juga menyebabkan munculnya media sosial yang menjadi salah satu jenis media baru yang dapat digunakan sebagai tempat pertukaran informasi dan komunikasi, sehingga informasi dapat dengan mudah disebarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat.

Media sosial sebagai media baru mengambil peran penting dalam kehidupan masyarakat. Fitur-fitur di media sosial membuat komunikasi menjadi semakin hidup karena memungkinkan seseorang berinteraksi jarak jauh dengan orang lain.

Kehadiran media sosial juga turut berdampak pada semakin mudahnya seseorang mengakses informasi, yakni berupa berita ataupun hiburan.

Perkembangan media sosial dan internet begitu pesat sehingga penggunanya terus meningkat. Fitur-fiturnya yang semakin canggih membuat internet dan media sosial menjadi salah satu bagian dari gaya hidup masyarakat di era kini.

Internet dan media sosial memungkinkan seseorang melakukan segala hal seperti bersosialisasi, belanja, memesan makanan, hingga rapat dan melakukan pembelajaran dari rumah hanya dengan menggunakan gawai. Hal tersebut membuat penetrasi media sosial semakin meningkat dan penggunanya terus bertambah dari hari ke hari.

Penelitian yang dilakukan oleh We Are Social dengan tajuk ―Global Digital 2020‖ menunjukkan bahwa pada tahun 2020, Indonesia memiliki 175,4 juta pengguna Internet. Kondisi tersebut mengalami peningkatan jumlah hingga 17%, atau sekitar 25 juta pengguna internet baru, artinya 64% atau lebih dari setengah penduduk Indonesia sudah terhubung ke dunia maya selama masa pandemi (We Are Social, 2020).

(16)

Saat ini setiap individu dapat dengan mudah mengakses informasi. Hal ini mengakibatkan media dipenuhi oleh berbagai macam informasi dari yang akurat hingga hoaks (informasi bohong). Riset yang dilakukan oleh DailySocial.id bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform berjudul Hoax Distribution Through Digital Platform in Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 44,19%

masyarakat Indonesia belum bisa mengenali informasi hoaks. Hoaks merupakan informasi bohong, artinya informasi yang disampaikan tidak benar; tidak berdasarkan fakta dan keadaan yang sebenarnya; berita tanpa data (Fabianus, 2018). Seseorang yang tidak dapat medeteksi hoaks berarti tidak dapat memaknai atau mengartikan isi pesan yang diterima sehingga tidak dapat menyaring isi pesan dan membedakan pesan yang diperlukan dengan pesan yang tidak diperlukan. Seseorang yang tidak dapat memaknai pesan dengan baik menandakan bahwa tingkat literasi media dirinya masih rendah.

Riset yang dilakukan DailySocial.id tersebut menanyakan tentang penyebaran konten hoaks dalam platform digital terhadap 2.032 responden. Riset tersebut mencatat sebanyak 31% mengaku susah untuk mengetahui dan memilah konten hoaks, sementara 44,19% merasa tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi konten hoaks. Data tersebut juga mencatat ada 73 persen responden yang membaca seluruh informasi secara utuh. Namun, hanya sekitar 55 persen di antaranya yang kemudian melakukan verifikasi (fact check) atas keakuratan informasi yang mereka baca. Ada tiga aplikasi media sosial yang paling sering menjadi media dalam menyebarkan hoaks, yaitu Facebook sebesar 82,25 persen, WhatsApp dengan 56,55 persen, dan Instagram sebesar 29,48 persen. Hasil riset ini membuktikan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak dapat mencerna isi pesan dengan baik dan benar walaupun membaca keseluruhan berita, namun masyarakat cenderung memiliki keinginan kuat untuk segera membagikannya dengan orang lain bahkan dengan hanya membaca judul beritanya saja.

Kondisi meningkatnya penggunaan media sosial dan internet serta diikuti dengan maraknya informasi hoaks juga terjadi semakin masif di tengah masa pandemi Covid-19. Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dari bulan Januari hingga Agustus 2020 terdapat

(17)

sebanyak 1.028 hoaks tersebar di berbagai platform media sosial terkait disinformasi tentang Covid-19 (Mufarida, 2020). Data tersebut didapatkan berdasarkan hasil pantauan cyber crime yang selama 24 jam terus melakukan monitoring di media sosial terkait infodemi Covid-19.

Pandemi menyebakan masyarakat harus membatasi kegiatan yang membuat kerumunan hingga memaksa masyarakat untuk terus selalu berada di dalam rumah dengan memberlakukan sistem work from home (WFH) bagi pekerja dan belajar dari rumah (BDR) bagi pelajar. Pemberlakuan WFH dan BDR ini mengharuskan rapat dan belajar dilakukan secara daring sehingga membuat intensitas penggunaan media sosial dan internet semakin tinggi. Pandemi juga membuat kebutuhan masyarakat akan hiburan dengan memanfaatkan internet kian melambung tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya data pengguna Netflix pada awal tahun 2020. Netflix melaporkan bahwa sedikitnya mereka mendulang sekitar 15,77 juta pelanggan baru di kuartal pertama 2020 berkat pandemi Covid-19. Peningkatan jumlah penonton baru tersebut juga sejalan dengan tutupnya bioskop, sehingga masyarakat yang tetap ingin kebutuhan hiburan akan menontonnya terpenuhi, beralih menggunakan Netflix (CNN Indonesia, 2020).

Kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini juga membuat masyarakat ketakutan dan resah. Kondisi tersebut membuat masyarakat menjadi haus akan informasi mengenai pandemi. Data Editor Google News Lab, Simon Rogers, dengan merujuk pada data yang dihimpun dari kanal Google Trends, sejak Januari 2020 hingga Januari 2021 menyebutkan bahwa ada tujuh kata kunci (keyword) yang sering digunakan masyarakat Indonesia untuk mencari kabar berita seputar Covid-19. Kata-kata tersebut adalah ―apa itu virus Corona‖, ―kapan Corona berakhir‖, ―cara mencegah virus Corona‖, ―cara penyebaran virus Corona‖, ―apa penyebab virus Corona‖, ―bagaimana awal penyebaran virus Corona‖, dan ―apa gejala virus Corona‖ (dalam Kompas, 2021). Gejala awal virus Corona adalah kata kunci yang paling sering dicari, di mana kata tersebut mengalami lonjakan yang sangat besar yaitu sebesar 8,600% hingga April 2020. Hal tersebut menunjukkan besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap virus ini.

(18)

Kemampuan literasi media sangat diperlukan di tengah masifnya informasi seputar pandemi agar seseorang dapat menyaring informasi dengan baik. Menurut Potter (2019) Media literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media and interpret the meaning of the messages we encounter.

(Literasi media adalah sekumpulan perspektif yang kita gunakan secara aktif untuk mengekspos diri kita ke media dan menafsirkan makna pesan yang kita temui). Menurut Hobbs (1996) Literasi media dapat didefiniskan sebagai proses untuk mengakses, menganalisis secara kritis pesan media, dan menciptakan pesan menggunakan alat media. Literasi media juga dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap sumber, teknologi komunikasi, kode yang digunakan, pesan yang dihasilkan, seleksi, interpretasi, dan dampak dari pesan tersebut (dalam Rubin, 1998).

Banyak kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan memiliki kemampuan literasi media. Salah satu kriteria tersebut adalah konsep Individual Competence Framework. Individual Competence Framework adalah sebuah konsep yang dikeluarkan oleh European Commission dalam sebuah jurnal yang berjudul Study on Assessment Criteria for Media Literacy Levels. Konsep tersebut digunakan untuk mengetahui tingkat literasi media pada masyarakat sehingga nantinya dapat disusun program literasi media yang komperehensif. European Commission menggunakan konsep tersebut untuk mengukur kemampuan literasi media masyarakat di negara-negara Eropa. Negara-negara tersebut adalah Belgia, Bulgaria, Republik Siprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Italia, Irlandia, Latvia, Lituania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan Inggris. Konsep Individual Competence Framework memiliki tiga kriteria, yaitu Use Skill (keterampilan penggunaan) ialah kemampuan menggunakan media secara teknis; Critical Understanding (pemahaman kritis) yang merupakan kemampuan dalam memahami isi media secara kritis; dan Communication Abilities (keterampilan berkomunikasi) ialah keterampilan seseorang dalam berkomunikasi atau berinteraksi di media. Ketiga kriteria ini mewakili kompetensi yang harusnya dimiliki seorang individu agar ia dapat menggunakan media dengan bijak (Chandra, 2020).

(19)

Konsep Individual Competence Framework belum banyak digunakan di Indonesia, apalagi di tengah derasnya arus informasi saat ini. Khususnya pada informasi mengenai pandemi Covid-19 atau yang disebut dengan infodemi Covid- 19. Kamus daring Merriam-Webster memuat kata “infodemic” sebagai gabungan dua kata yang berasal dari kata bahasa Inggris, yakni information (informasi) dan epidemic (epidemi) yang merujuk pada cepat dan luasnya penyebaran informasi, baik yang terverifikasi maupun tidak terverifikasi terkait suatu penyakit (Webster, 2020). Kata infodemi pertama kali digagas oleh David Rothkopf, seorang jurnalis dan ilmuwan politik dalam artikelnya pada Washington Post edisi 11 Mei 2003 ketika membahas epidemi penyakit SARS. Menurut Rothkopf, infodemi adalah beberapa fakta, bercampur dengan ketakutan, spekulasi dan rumor, diperkuat dan disampaikan dengan cepat ke seluruh dunia oleh teknologi informasi modern, telah mempengaruhi ekonomi nasional dan internasional, politik dan bahkan keamanan dengan cara yang sama sekali tidak proporsional dengan akar realitas (Rothkopf, 2003).

Infodemi secara umum dapat diartikan sebagai informasi yang salah atau berita palsu terkait epidemi. Infodemi tersebut menyebar dengan cepat dan mudah di dunia maya akibat masifnya penggunaan media sosial. Ekosistem media digital yang dihuni oleh para netizen tidak mudah untuk memfilter informasi secara ketat, sehingga akan meningkatkan penyebaran informasi palsu (hoaks). Penyebaran infodemi di berbagai platform media sosial telah menyebabkan wabah Covid-19 berbeda dari wabah SARS tahun 2003, H1N1 atau flu burung tahun 2009, MERS tahun 2012, dan Ebola (2014) (Kulkarni dkk, 2020).

Dampak infodemi yang paling terasa adalah masifnya kecemasan, kepanikan, kesalahan pengambilan keputusan hingga menimbulkan penyakit psikosomatik.

Kondisi ini terjadi ketika seseorang mencapai titik lelah akibat tidak mampu memilah dan mengolah informasi sehingga timbul stres dan kecemasan berlebihan. Hal tersebut jika berlanjut dapat menimbulkan risiko laten berupa gangguan kesehatan mental (Kulkarni dkk 2020). Pembacaan dan pemahaman atas realitas infodemi sangat diperlukan sebagai bagian dari langkah penanggulangan pandemi Covid-19 baik secara global maupun nasional.

(20)

Masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang juga ikut merasakan kebingungan dan keresahan karena derasnya informasi yang mereka terima seputar pandemi. Pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa penggunaan media sosial di Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang kian meningkat selama pandemi. Hal tersebut karena pemerintah memberlakukan sistem WFH dan BDR bagi warganya. Fenomena pandemi Covid-19 yang merupakan realita baru juga membuat masyarakat di desa tersebut menjadi resah dan ketakutan karena kurangnya edukasi dan informasi mengenai pandemi, sehingga mereka berusaha mencari dan berbagi informasi mengenai virus Corona di media sosial seperti Facebook, Whatsapp dan Instagram. Hal-hal yang mereka cari seputar informasi pandemi adalah mengenai gejala Covid-19 dan vaksin Covid 19. Masifnya kecemasan dan diiringi dengan kurangnya pengetahuan, mengakibatkan banyak dari masyarakat tersebut menyebarkan begitu saja informasi yang mereka dapatkan melalui media sosial tanpa mengecek kembali kebenaran informasi yang mereka terima. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk meneliti tingkat literasi digital berdasarkan Individual Competence Framework tentang infodemi di masa pandemi Covid-19 di Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang.

1.2. Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah tersebut, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah gambaran kompetensi literasi digital berdasarkan Individual Competence Framework yang terdiri dari Use Skills, Critical Understanding dan Communicative Abilites pada masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang di era pandemi Covid-19?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan kompetensi literasi digital berdasarkan Individual Competence Framework yang terdiri dari Use Skills, Critical Understanding dan Communicative Abilites pada masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang di era pandemi Covid-19.

(21)

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat teoritis,

a. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang literasi digital di masa pandemi Covid-19 dan konsep Individual Competence Framework.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dalam mengembangkan teori literasi digital di era pandemi Covid- 19.

c. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi di bidang ilmu komunikasi untuk penelitian dan pengembangan lebih lanjut dalam rangka meningkatkan literasi digital di masa pandemi Covid-19.

1.4.2. Manfaat praktis

a. Sebagai bahan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang untuk mengetahui serta meningkatkan literasi digital masyarakat serta mengadakan pelatihan literasi digital dalam menangkal infodemi Covid-19.

b. Bagi penulis, dapat menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti tentang literasi digital, terkhusus di era pandemi Covid-19.

c. Bagi peneliti selanjutnya, dengan subjek yang sama hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan penelitian.

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perspektif/Paradigma Kajian

Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya.

Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal.

Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang (Mulyana, 2003:9).

Paradigma adalah seperangkat kepercayaan dasar (atau metafisik) yang bermuara kepada tujuan akhir atau keyakinan utama. Paradigma juga merupakan hal normatif yang menjelaskan apa yang harus dilakukan para ilmuwan dan praktisi-praktisi. Paradigma diartikan sebagai “the way we look at the world”, yang menjadi pegangan para ilmuwan dalam melakukan studi-studinya.

Paradigma yang berubah akan turut mempengaruhi realitas yang dipelajari, karena paradigma menentukan observasi (Chandra, 2020).

Penelitian ini menggunakan paradigma positivistik. Positivistik menempatkan teori sebagai titik tolak utama dalam kegiatan penelitiannya. Teori menjadi sumber jawaban utama atas rasa ingin tahu peneliti. Dalam penelitian kuantitatif/positivistik, yang dilandasi pada suatu asumsi bahwa suatu gejala itu dapat diklasifikasikan, dan hubungan gejala bersifat kausal (sebab akibat) (Sugiyono, 2016).

Paradigma positivistik ini merupakan paradigma yang memiliki suatu keyakinan dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas itu ada dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (Gunawan, 2013). Sejalan dengan itu, dengan paradigma ini akan menunjukkan adanya suatu fenomena yang berjalan sesuai dengan realitas.

(23)

2.2. Penelitian Terdahulu

Studi tentang literasi media dengan Menggunakan Individual Competence Framework sudah banyak dilakukan di Indonesia, salah satu studi tentang literasi media yang menggunakan Individual Competence Framework adalah penelitian yang dilakukan oleh Juliana Kurniawati dan Siti Baroroh dengan judul Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu pada tahun 2016. Penelitian tersebut membahas mengenai literasi media digital mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang bertujuan untuk mengetahui pemahaman mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu mengenai media digital, dan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat individual competence mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu dalam meliterasi media digital, serta untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi tingkat individual competence terkait literasi media digital. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei deskriptif dan mempergunakan teknik analisis data statistik deskriptif untuk menganalisis data penelitian. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa: 1). Pemahaman mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu mengenai media digital berada pada kategori sedang, 2). Tingkat individual competence mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu dalam meliterasi media digital berada dalam level basic, 3). Faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat individual competence terkait literasi media digital terutama adalah faktor lingkungan keluarga.

Studi selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurly Meilinda, Krisna Murti, dan Novaria Maulina dengan judul Literasi Media Digital Berbasis Individual Competence Framework Pada Anggota Majelis Taklim Kota Palembang Pengguna Whatsapp pada tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk megetahui tingkat literasi media digital berdasarkan Individual Competence Framework pada anggota Majelis Taklim Kota Palembang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei berdasarkan kerangka Individual Competence Framework dari Europian Commision. Penelitian ini melibatkan 80 responden penelitian dari anggota Majelis Taklim di Kota Palembang. Individual competence anggota Majelis Taklim dalam menggunakan aplikasi WhatsApp berada pada kategori advance, dengan rincian sebagai berikut :

(24)

use skill berada pada kategori advance, critical understanding berada pada kategori advance, communicative abilities berada pada kategori advance. Kategori advance berarti anggota Majelis Taklim Kota Palembang sudah sangat aktif dalam penggunaan media, mereka juga sadar dan tertarik dalam berbagai regulasi yang mempengaruhi penggunaan media digital khususnya WhatsApp. Responden telah memiliki pengetahuan yang mendalam tentang teknik dan bahasa serta dapat melakukan hubungan komunikasi dan penciptaan pesan. Di bidang sosial, responden sudah mampu mengaktifkan kerjasama kelompok yang memungkinkan dia untuk memecahkan masalah. Adapun Faktor yang mendorong responden untuk menggunakan WhatsApp yaitu faktor lingkungan dan faktor individu.

Faktor lingkungan adalah dorongan dari anggota keluarga dan orang disekeliling responden, sedangkan faktor individu adalah rasa motivasi untuk dapat bersosialisasi dan menambah informasi bagi diri sendiri.

Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Agnes Martines pada tahun 2020 dengan judul Literasi Media Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan literasi media Mahasiswa Ilmu Budaya (FIB) USU dengan menggunakan Individual Competence Framework yang dikeluarkan oleh European Commission. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan mewawancarai delapan orang mahasiswa FIB USU. Teknik penentuan informan yang digunakan adalah teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Hasil dari penelitian ini menunjukkan untuk 1) Literasi media dilihat dari Personal Competence (kompetensi personal): (a) Kemampuan teknis mahasiswa FIB USU sudah baikmulai dari kemampuan menggunakan media elektronik dan media online (b) Kemampuan untuk pemahaman kritis belum dilakukan secara kritis dalam hal menganalisis informasi yang ada pada media, sedangkan kemampuan mengevaluasi konten media belum dilakukan secara mendalam karena tidak ada mahasiswa yang membandingkan sumber informasi yang didapat di berbagai media. 2) Literasi media dilihat dari Social Competence (kompetensi Sosial). Mahasiswa FIB USU kurang mampu menciptakan konten media karena belum dilakukan secara rutin hanya untuk memenuhi tugas kuliah yang diberikan oleh dosen, dan mahasiswa cukup aktif

(25)

dalam mengkomunikasikan konten media tersebut di media sosial.3) Dari segi Media Availability (ketersediaan media), mahasiswa FIB USU mampu mendistribusikan dan mengakses informasi di media dan dapat berpartisipasi secara aktif dalam urusan publik. 4) Dari segi Media Literacy Context (konteks media literasi) masih kurang baik karena rata-rata mahasiswa FIB USU tidak pernah mengikuti kegiatan pendidikan dan pernah menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya.

Penelitian tentang literasi media dengan menggunakan Individual Competence Framework juga pernah dilakukan oleh Thiara Figlia Chandra pada tahun 2020. Penelitian tersebut berjudul Kesadaran Bermedia Sosial di Kalangan Remaja Kampung Nelayan Belawan. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk menggambarkan kesadaran bermedia sosial khususnya media sosial Facebook, WhatsApp, dan Instagram di kalangan remaja Kampung Nelayan Belawan.

Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam yang tidak terstruktur. Penelitian ini melibatkan lima orang informan dengan karakteristik remaja berusia 10-24 tahun dan belum menikah yang memiliki media sosial Facebook, WhatsApp dan Instagram dan bertempat tinggal di Kampung Nelayan Belawan. Penelitian ini menggunakan tiga indikator dari Individual Competence Framework, yaitu use skill, critical understanding, dan communication abilities. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial di kalangan remaja Kampung Nelayan Belawan berada di level basic dalam menggunakan ketiga media sosial tersebut. Tiga informan penelitian tidak dapat memahami fitur-fitur yang terdapat dalam media sosial Instagram. Empat informan penelitian tidak melakukan verifikasi ulang (fact check) saat menemukan hoaks sehingga pemahaman kritis remaja akan penanganan konten hoaks masih perlu ditingkatkan. WhatsApp merupakan media sosial yang paling diminati remaja untuk berkomunikasi dengan teman maupun keluarga sedangkan dalam menggunakan media sosial Facebook dan Instagram remaja Kampung Nelayan dapat dikategorikan sebagai pengguna pasif yang hanya senang menikmati konten-konten yang ada di beranda mereka dibandingkan turut membagikan kiriman di media sosial mereka.

(26)

Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan tingkat literasi media di Indonesia yang diukur menggunakan tingkat Individual Competence Framework, namun dari penelitian-penelitian tersebut penulis belum menemukan penelitian literasi digital menggunakan Individual Competence Framework yang membahas tentang infodemi di masa pandemi Covid-19. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti literasi digital di masa pandemi Covid-19 pada masyarakat Desa Paya Bedi Kabupaten Aceh Tamiang.

2.3. Kajian Pustaka

Pengkajian teori tidak akan terlepas dari kajian pustaka atau studi pustaka, karena teori secara nyata dapat diperoleh melalui studi atau kajian kepustakaan.

Nazir (2005: 93) menyatakan bahwa studi kepustakaan atau studi literatur, selain dari mencari sumber data sekunder yang akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan generalisasi yang pernah dibuat sehingga situasi yang diperlukan diperoleh.

Kajian pustaka juga merupakan acuan atau landasan berpikir peneliti dengan berbasis pada bahan pustaka yang membahas tentang teori atau hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan dijalankan. Dalam hal ini, kajian pustaka bersumber pada buku, jurnal ilmiah, serta informasi yang bersumber dari internet.

2.3.1. Pengertian Literasi Media

Literasi media belakangan menjadi objek kajian yang ramai dan mulai diminati oleh peneliti di bidang komunikasi, literasi, dan media. Literasi media berasal dari bahasa Inggris yaitu ―Media Literacy” yang terdiri dari dua suku kata, yakni “media” yang berarti media tempat bertukar pesan dan ―literacy” yang berarti melek, kemudian dikenal dalam istilah literasi media. Dalam hal ini literasi media merujuk kemampuan khalayak yang melek terhadap media dan pesan media massa dalam konteks komunikasi massa. (West dan Turner, 2013).

(27)

Potter (2019) mengatakan bahwa media literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media and interpret the meaning of the messages we encounter. (Literasi media adalah sekumpulan perspektif yang kita gunakan secara aktif untuk mengekspos diri kita ke media dan menafsirkan makna pesan yang kita temui). Potter menekankan bahwa literasi media dapat dibangun dari personal locus, struktur pengetahuan dan skill. Personal locus merupakan tujuan dan kendali kita akan informasi. Ketika kita sadar akan informasi yang dibutuhkan, maka kesadaran untuk melakukan proses pemilihan informasi akan dilakukan secara lebih tepat. Struktur pengetahuan merupakan seperangkat informasi yang terorganisasi dalam pikiran. Struktur pengetahuan yang kuat diperlukan untuk mengenali efek media, isi mediaa, industri media, dunia nyata, dan diri sendiri. sementara skill adalah alat yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan literasi media.

Baran (2004) mendefenisikan literasi media sebagai ―media literacy, then, is about understanding the sources and technologies of communication, the codes that are used, the message that are produced, and the selection, interpretation, and impact of those message‖, yang berarti literasi media adalah tentang bagaimana memahami isi, sumber dan segala teknologi komunikasi, dan segala kode yang digunakan, serta proses pemilihan dan cara menginterpretasikan suatu pesan secara merata sehingga dapat dipahami oleh khalayak bagaimana dampak dari informasi terhadap dirinya. Sementara, menurut Komisi Eropa (European Commision) literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, memahami dan mengevaluasi secara kritis beragam aspek yang berbeda dari media dan konteks media serta mengkomunikasikannya di dalam konteks yang beragam. Ini terkait dengan seluruh media, termasuk televisi dan film, radio dan musik rekaman, media cetak, internet dan teknologi digital lainnya (dalam Mazdalifah, 2019).

Mazdalifah (2019) juga menyebutkan bahwa beberapa ahli lain mengedepankan bentuk pemberdayaan (empowerment) dalam literasi media, seperti Devito karena dapat membantu masyarakat untuk menggunakan media dengan lebih cerdas; kita bisa memahami, menganalisis dan mengevaluasi pesan- pesan media dengan lebih efektif; kita bisa mempengaruhi pesan-pesan yang akan disampaikan oleh media; dan kita bisa menciptakan pesan-pesan yang akan

(28)

disampaikan oleh media; dan kita bisa menciptakan pesan-pesan yang dimediasi oleh kita sendiri.

Potter (2019) menyebutkan bahwa untuk memperjelas gagasan tentang literasi media lebih jauh, ada dua karakteristik terpentingnya. Pertama, literasi media merupakan konsep multidimensi dengan banyak segi yang menarik. Kedua, literasi media adalah sebuah kontinum, bukan kategori. Literasi media bersifat multidimensi diterjemahkan sebagai kumpulan perspektif yang terdiri dari empat dimensi yang sangat berbeda, yakni kognitif, emosional, estetika, dan moral.

Masing-masing dari empat dimensi ini berfokus pada domain pemahaman yang berbeda. Dimensi kognitif memusatkan perhatian kita pada informasi faktual — tanggal, nama, definisi, dan sejenisnya. Dimensi emosional memfokuskan perhatian kita pada bagaimana kita memandang perasaan orang dalam pesan media dan bagaimana kita membaca perasaan kita sendiri itu. Dimensi estetika memfokuskan perhatian kita pada seni dan kerajinan yang dipamerkan dalam produksi pesan media, dan dimensi moral memusatkan perhatian kita pada nilai- nilai.

Konsep yang kedua menjelaskan bahwa literasi media adalah sebuah kontinum, bukan kategori. Literasi media paling baik dianggap sebagai sebuah kontinum, seperti termometer, yang memiliki derajat. Kita semua menempati posisi tertentu dalam kontinum literasi media. Tidak ada poin di bawah ini yang dapat kami katakan bahwa seseorang tidak dapat membaca, dan tidak ada poin di ujung atas kontinum di mana kami dapat mengatakan bahwa seseorang benar- benar melek huruf; selalu ada ruang untuk perbaikan. Orang-orang diposisikan di sepanjang kontinum itu berdasarkan kekuatan perspektif mereka terhadap media.

Kekuatan seperangkat perspektif seseorang tercermin dari jumlah dan kualitas struktur pengetahuan. Dan kualitas struktur pengetahuan didasarkan pada tingkat keterampilan dan pengalaman seseorang. Karena orang sangat bervariasi dalam hal keterampilan dan pengalaman, mereka akan bervariasi dalam jumlah dan kualitas struktur pengetahuan mereka. Karenanya, akan ada variasi besar literasi media di antara orang-orang. Orang yang beroperasi pada tingkat literasi media yang lebih rendah memiliki lebih sedikit perspektif tentang media, dan perspektif tersebut didukung oleh struktur pengetahuan yang berisi sedikit informasi dan

(29)

kurang terorganisir. Dengan demikian, orang-orang di tingkat melek media yang lebih rendah memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk memahami media, untuk menghargai kelebihan mereka yang luar biasa, dan untuk melindungi diri dari risiko berbahaya. Orang-orang ini juga biasanya enggan atau tidak mau menggunakan keterampilan mereka, yang tetap terbelakang dan oleh karena itu lebih sulit untuk berhasil dipekerjakan.

Pakar komunikasi Art Silverblatt (1995), mengemukakan upaya sistematis untuk menjadikan literasi media sebagai bagian dari orientasi terhadap budaya khalayak. Silverblatt, mengidentifikasi lima elemen literasi media, yaitu:

a. Kesadaran akan dampak media pada individu dan masyarakat.

b. Pemahaman atas proses komunikasi massa.

c. Pengembangan strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media.

d. Kesadaran atas konten media sebagai sebuah teks yang memberikan pemahaman kepada budaya kita dan diri kita sendiri.

e. Pemahaman kesenangan, pemahaman dan apresiasi yang ditingkatkan terhadap konten media.

2.3.2. Tujuan Literasi media

Tujuan dari literasi media menurut Rahmi (2013) adalah:

1. Membantu pengguna media untuk mengembangkan pemahamannya dalam menggunakan media dengan baik.

2. Membantu pengguna media untuk mengendalikan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari.

3. Pengendalian dimulai dengan kemampuan untuk mengetahui perbedaan antara pesan media yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan pesan media yang merusak.

Literasi media akan membantu pengguna dalam menggunakan media dengan baik, apalagi di tengah derasnya informasi di masa pandemi. Seseorang juga harus mengetahui perbedaan antara pesan media yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan pesan media yang merusak, terkhusus informasi yang berisi seputar pandemi. Derasnya informasi seputar pandemi membuat masyarakat bingung apakah informasi yang diterimanya sudah terverifikasi atau tidak sehingga terkadang mereka menyebarkannya begitu saja kepada orang lain.

Fenomena ini, jika tidak diikuti dengan kemampuan literasi media yang baik akan

(30)

merusak masyarakat karena seseorang yang sudah terpapar infodemi yang tidak terverifikasi bisa saja terdoktrin bahwa virus Corona merupakan virus konspirasi yang sebenarnya tidak bahaya, sehingga mengabaikan protokol kesehatan, hingga mengakibatkan seseorang tersebut tidak ingin divaksin dan kemudian merugikan sekitarnya karena dapat dirinya menularkan virus kepada orang lain.

Menurut Potter (2010) tujuan dari literasi media adalah untuk membantu orang-orang melindungi diri mereka dari efek yang berpotensi negatif bagi kehidupannya. Tujuan literasi media tersebut adalah untuk mendapatkan pengendalian yang lebih besar atas pengaruh dalam kehidupan seseorang, khususnya yang konstan pengaruh dari media massa. Pengaruh media yang lemah dan halus pun penting di pertimbangkan, mengingat sifat pengaruh media yang luas di seluruh budaya, seiring dengan tingginya tingkat penggunaan media oleh semua orang dengan berbagai bentuk media selama hidup seseorang.

Maka dari beberapa tujuan literasi media diatas dapat disederhanakan yakni untuk perbaikan dan peningkatan individu-individu dalam kehidupan bermedia, literasi media juga dapat dijadikan sebagai gerakan sosial untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang.

2.3.3. Elemen Literasi Media

Kata elemen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring berarti bagian (yang penting, yang dibutuhkan) dari keseluruhan yang lebih besar (KBBI Daring, 2021). Berbicara mengenai elemen maka kita akan melihat beberapa bagian dasar yang mendasari sebuah aktifitas literasi media.

Mazdalifah dan Yovita (2019) menyebutkan bahwa terdapat delapan elemen literasi media menurut Baran (2004), yakni:

1. Kesadaran akan pengaruh media terhadap individu dan sosial (a critical thinking skill enabling audience members to develop independent judgement about media content)

2. Pemahaman akan proses komunikasi massa (an understanding of the process of mass communication)

3. Kesadaran terhadap dampak media terhadap individu dan sosial (An awareness of the impact of the media on the individual and society).

4. Pengembangan strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media (strategies for analyzing and discussing media messages).

(31)

5. Kesadaran bahwa isi media adalah teks yang menggambarkan kebudayaan dan diri kita sendiri pada saat ini (an understanding of media content as a text that provides insight into our culture and our lives).

6. Kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media (the ability to enjoy, understand, and appreciate media content).

7. Pengembangan kemampuan produksi yang tepat dan efektif (development of effective and responsible production skills).

8. Pemahaman akan etika dan kewajiban moral dari praktisi media (an understanding of ethical and moral obligations of media practitioners).

Elemen literasi media yang dijelaskan oleh Silverblatt di atas menunjukkan bahwa: pertama, keterampilan berpikir kritis tentu akan membantu individu dalam memilah konten yang disajikan oleh media, terkhusus konten yang menyajikan informasi Covid-19. Konten-konten tentang infodemi Covid-19 yang beredar di media sosial membuat masyarakat resah dan ketakutan sehingga apabila tidak dibarengi dengan kemampuan literasi media yang baik masyarakat akan kesulitan untuk memilah informasi yang mereka terima seputar pandemi sehingga mereka akan mudah termakan hoaks tentang pandemi. Elemen pertama ini juga penting diterapkan agar masyarakat dapat mengenal dengan baik setiap informasi yang mereka terima seputar Covid-19, sehingga mereka dapat mengkatagorikan informasi-informasi yang mereka terima ke dalam informasi yang kredibel dan tidak kredibel. Keterampilan berpikir kritis ini juga membantu individu dalam memberi penilaian terhadap media. Berpikir secara kritis merupakan salah satu elemen penting yang harus dimiliki agar seseorang dapat memberikan penilaian terhadap media dan konten media yang dikonsumsinya.

Kedua, individu yang memiliki pemahaman terhadap komponen-komponen dari komunikasi massa dan keterkaitan dari setiap komponennya, akan membentuk keyakinan individu kepada media dalam memberikan pelayanan kepada penggunanya. Sebaliknya, individu yang mengabaikan dampak dari media cenderung tidak memiliki kemampuan untuk memilah informasi yang diterimanya. Hal tersebut akan menjadikan dirinya dengan mudah termakan isu- isu yang ditampilkan oleh media.

Ketiga, individu harus memiliki kesadaran terhadap dampak media yang akan menerpa diri dan kehidupan sosialnya. Jika individu mengabaikan dampak dari media, maka ia akan cenderung dengan mudah mempercayai semua isu yang

(32)

dipaparkan oleh media sehingga sulit untuk mengenali suatu informasi yang diterimanya. Hal tersebut akan menjadikan individu dengan mudah terpapar hoaks.

Keempat, individu harus mengembangkan strategi dalam menganalisis dan mendiskusikan pesan media. Pemahaman terhadap dampak dari informasi, terkhusus mengenai Covid-19 (seperti gejala dan vaksin) harus dimiliki agar individu dapat dengan mudah memilah pesan-pesan yang diterimanya.

Kelima, mengetahui sebuah sosial budaya sesorang berarti turut memahami sikap serta nilai-nilai seseorang melalui komunikasi. Dalam budaya modern, pesan-pesan media telah mendominasi aktivitas komunikasi, membentuk pemahaman dan pandangan dalam budaya.

Keenam, mengembangkan kemampuan literasi media harus diikuti dengan kemampuan memahami dan menghargai konten media. Individu yang memiliki pemahaman tersebut akan mudah mengenali dampak dari informasi yang diterimanya.

Ketujuh, literasi tidak hanya terkait dengan pemahaman tentang isi media yang efektif dan efisien, tetapi juga penggunaan yang efektif dan efisien pula, oleh karena itu individu yang melek media seharusnya mengembangkan kecakapan- kecakapan produksi yang memungkinkan mereka menciptakan pesan-pesan media yang bermanfaat.

Kedelapan, individu harus mampu membuat penilaian yang memadai tentang kinerja media serta harus menyadari tekanan-tekanan terhadap para praktisi media ketika mereka menjalankan pekerjaannya. Individu juga harus memahami aturan- aturan yang resmi dan tidak resmi tentang pekerjaan media, seperti kewajiban- kewajiban legal dan etis dalam praktisi media.

Iriantara (2011) juga menyebutkan elemen-elemen literasi media yang dikemukakan oleh Buckingham sebagai berikut:

1. Intervensi kebijakan 2. Kerangka kurikulum

3. Pelatihan untuk para guru dan praktisi media lainnya 4. Keterlibatan industri media

5. Keterlibatan orang tua

6. Keterlibatan kelompok-kelompok pemuda 7. Ketersediaan sumberdaya dan bahan ajar

8. Pengorganisasian secara mandiri oleh praktisi literasi media

(33)

9. Dialog dan pertukaran internasional

Pendapat Buckingham di atas menunjukkan bahwa literasi media dapat dipengaruhi oleh pemerintah, pemuda, guru, orang tua, media, serta ketersediaan sumberdaya dan bahan ajar. Literasi media ditargetkan pada seluruh masyarakat dari segala lapisan dan gender, untuk itu semua elemen tersebut harus saling bekerja sama dan berkaitan agar masyarakat dapat memiliki kemampuan literasi media yang baik.

2.3.4. Literasi Media Digital

Literasi digital yang juga dikenal sebagai literasi komputer merupakan salah satu komponen dalam kemahiran literasi media yang merupakan kemahiran penggunaan komputer, Internet, telepon, PDA dan peralatan digital yang lain.

Literasi digital merujuk pada adanya upaya mengenal, mencari, memahami, menilai dan menganalisis serta menggunakan teknologi digital.

Novianti dan Fatonah (2018) menyebutkan bahwa istilah literasi media baru sering disamakan dengan digital literacy atau literasi digital karena media baru dapat dikatakan identik dengan media digital, meskipun tidak selalu berarti Internet. Menurut Media Awareness Network (dengan memadukan rumusan dari National Broadband Plan Connecting Maerican Section 9.3, Digital Britain Media Literacy Working Group Section 3.16, dan Australia’s Digital Economy:

Future Directions, p. 44), definisi literasi digital yang sudah cukup dikenal adalah keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menggunakan berbagai perangkat lunak aplikasi media digital, perangkat keras seperti komputer, telepon selular, dan teknologi internet; kemampuan untuk secara kritis memahami konten media digital dan aplikasinya; dan pengetahuan dan kapasitas untuk menciptakanisi media dengan teknologi digital.

Literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat (Kurniawati dan Baroroh, 2016).

Retnowati (2015) mengemukakan bahwa literasi media atau literasi digital

(34)

dikembangkan sebagai alat untuk melindungi orang dari terpaan media agar memiliki kemampuan berpikir kritis serta mampu mengekspresikan diri dan berpartisipasi dalam media.

Literasi digital menurut Potter (2019) adalah ketertarikan, sikap, dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Dalam konsepsi Potter usaha untuk meliterasi masyarakat berbasis digital berarti tidak sekadar mengenalkan media digital, tetapi juga menyinergikan dengan kegiatan sehari-hari (termasuk organisasi) yang berujung pada peningkatan produktivitas.

Kompetensi literasi digital lebih luas dipaparkan dari hasil penelitian Bhatt (2012) menyatakan, keterampilan teknologi komunikasi dan informasi menjadi inti kompetensi dalam literasi digital. Seseorang harus memiliki kemampuan dalam penguasaan perangkat teknologi digital, dengan harapan individu tersebut sudah memiliki keterampilam literasi digital. Perangkat teknologi digital yang dikuasai tidak hanya internet saja, tetapi berbagai tipe teknologi digital yaitu penguasaan sistem komunikasi dengan efektif. Salah satu karakteristik kemampuan literasi digital seperti teknologi media sosial dengan berbagai komunitas online yang melingkupinya, kemudian penguasaan perangkat teknologi mobile itu sendiri. Penguasaan teknologi digital seperti itu dianggap sebagai tahapan jelas untuk kemampuan literasi digital (Sutrisna, 2020)

Novianti dan Fatonah (2018) juga menyebutkan apabila diuraikan lebih jauh di dalam definisi tersebut terkandung tiga kata kerja yang merupakan karakteristik dari literasi digital, yaitu: use – understand – create. Artinya, literasi media mencakup kemampuan untuk menggunakan, memahami, dan memproduksi media digital. Penjelasan lebih jauh mengenai ketiga komptensi tersebut adalah.:

1. Menggunakan – merupakan keahlian teknis yang dibutuhkan untuk terlibat dengan komputer dan internet. Keahlian ini membentuk dasar untuk pengembangan literasi digital yang lebih dalam. Keterampilan teknis yang penting meliputi kemampuan untuk menggunakan program komputer seperti pengolah kata, web browser, e-mail, dan alat komunikasi lainnya.

(35)

Untuk mengembangkan keterampilan ini, warga harus memiliki akses dan dapat memanfaatkan peralatan dan sumber daya dengan nyaman seperti layanan broadband, komputer, perangkat lunak, mesin pencarian Internet, dan database online.

2. Mengerti – adalah kemampuan untuk memahami, mengontekstualisasikan, dan mengevaluasi media digital secara kritis. Individu harus menyadari pentingnya melakukan evaluasi secara kritis dalam memahami bagaimana konten dan aplikasi media digital dapat mencerminkan, membentuk, meningkatkan atau memanipulasi persepsi, keyakinan, dan perasaan kita tentang dunia di sekitar kita. Sebuah pemahaman kritis tentang media digital memungkinkan individu untuk menuai keuntungan – dan mengurangi resiko – serta berpartisipasi penuh dalam masyarakat digital.

Keterampilan ini mencakup juga pengembangan keterampilan manajemen informasi dan penghargaan terhadap hak dan tanggungjawab terhaap kekayaan intelektual. Individu perlu tahu bagaimana menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif untuk berkomunikasi, berkolaborasi dan memecahkan masalah dalam kehidupan pribadi dan profesional.

3. Memproduksi – adalah kemampuan untuk membuat konten dan berkomunikasi secara efektif menggunakan berbagai alat media digital.

Produksi konten dengan menggunakan media digital tidak sekedar kemampuan untuk menggunakan pengolah kata atau menulis, namun termasuk di dalamnya kemampuan berkomunikasi dalam berbagai konteks khalayak; untuk membuat konten dan berkomunikasi dengan menggunakan berbagai format seperti gambar, video, dan suara; dan untuk secara efektif dan bertanggungjawab memanfaatkan fasilitas Web 2.0 user- generated content seperti blog dan forum diskusi, berbagai video dan foto, game sosial, dan bentuk lain dari media sosial. Kemampuan untuk membuat dengan media digital memastikan bahwa seseorang tidak hanya konsumen pasif tetapi secara aktif berkontribusi dalam masyarakat digital.

(36)

2.3.5. Individual Competence Framework

European Commisson (Komisi Eropa) mengemukakan suatu konsep yang dapat menjadi alat ukur literasi media. Konsep tersebut dinamakan Individual Competence Framework yang tercantum dalam Final Report Study on Assessment Criteria for Media Literacy pada tahun 2009 Menurut European Commission, Kemampuan literasi media seseorang menurut Individual Competence Framework dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu Personal Competence (Kompetensi Individu) dan Social Competence (Kompetensi Sosial) (European Comission, 2009).

Gambar 2.1 Struktur Asesmen Literasi Media

(Sumber: Report Study on Assessment Criteria for Media Literacy 2009)

Piramida di atas menjelaskan bahwa bagian dasar menggambarkan prasyarat kompetensi individu: ketersediaan media, yang merupakan ketersediaan teknologi atau layanan media; dan konteks media, yang merupakan kegiatan dan inisiatif lembaga dan organisasi untuk mendorong kapasitas literasi media. Tanpa kriteria

(37)

ini, pengembangan literasi media dapat dicegah atau tidak didukung. Di bagian tengah yang merupakan bagian dari kompetensi personal terdapat pemahaman kritis terhadap konten media serta pemahaman terhadap perangkat yang digunakan untuk mengakses media. Bagian terakhir adalah kemampuan berkomunikasi yang mencakup kemampuan untuk mengukur tingkat kemampuan literasi media dan membangun hubungan sosial melalui media sosial. Ketiga bagian tersebut harus terus berkaitan dan berkesinambungan agar kemampuan literasi media yang dimiliki individu semakin baik.

Individual Competence Framework dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Individual Competence (kemampuan Individu)

Kemampuan ini adalah kapasitas individu dalam melatih keterampilan menggunakan dan memanfaatkan media. Hal tersebut mencakup menggunakan, memproduksi, menganalisis dan mengkomunikasikan pesan melalui media.

Individual Competence terbagi dalam dua kategori yaitu:

1) Personal Competence (kompetensi personal) yaitu kemampuan individu dalam menggunakan media dan menganalisis konten-konten yang terdapat pada media. Personal competence terdiri dari dua kriteria yaitu:

a. Use Skills (keterampian teknis), yaitu kemampuan untuk menggunakan media, artinya seseorang mampu menggunakan media untuk mengakses dan menggunakan media secara efektif. Keterampilan teknis memungkinkan individu untuk menggunakan alat-alat media sesuai dengan fungsinya, misalnya: radio, telepon seluler, surat kabar dan komputer. Penggunaan alat tersebut mencakup kemampuan pengguna untuk menggunakan dan memahami alat-alat tersebut. Keterampilan teknis mencakup beberapa kriteria yaitu:

1. Kemampuan individu dalam mengoperasikan media elektronik seperti komputer dan Internet.

2. Kemampuan individu dalam menggunakan media secara seimbang.

3. Kemampuan penggunaan Internet yang lebih canggih.

b. Critical Understanding (pemahaman kritis) yaitu merupakan pengetahuan, perilaku dan pemahaman konteks dan konten media, serta bagaimana individu mewujudkan dirinya dalam berperilaku. Critical understanding

(38)

merupakan aspek terpenting antara individu dengan media. Bagaimana individu berinteraksi dengan media ditentukan oleh pemahaman kritis mereka tentang konten dan konteksnya. Untuk dapat memahami dan memanfaatkan konten, pengguna harus dapat menerjemahkan untuk memahami pesan konten tersebut. Kriteria ini mencakup semua proses kognitif yang memengaruhi praktik pengguna (efektivitas tindakan, tingkat kebebasan atau pembatasan, regulasi, dan norma, dll). Hal ini memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi aspek-aspek media, dengan cara membandingkan berbagai jenis dan sumber informasi, sampai pada kesimpulan tentang kebenaran dan kesesuaiannya, dan membuat pilihan berdasarkan informasi.

Kriterianya antara lain:

4. Kemampuan untuk memahami isi dan fungsi media.

5. Memiliki kemampuan tentang media untuk mengevaluasi kesesuaian konteks yang digunakan media.

6. Pola tingkah laku konsumen dalam menggunakan media.

2) Social Competence (kompetensi sosial) yaitu kemampuan individu memproduksi suatu konten media serta mampu berkomunikasi dan membangun relasi lewat media. Kompetensi sosial terdari dari :

a. Communicative abilities (kemampuan berkomunikasi) juga mencakup kemampuan untuk mengukur tingkat kemampuan literasi media dan membangun hubungan sosial melalui media sosial. Kemampuan komunikasi ini mencakup kriteria sebagai berikut:

1. Kemampuan untuk menyampaikan pesan dan membangun relasi sosial melalui media.

2. Kemampuan beradaptasi bersama masyarakat melalui media.

3. Kemampuan dalam menghasilkan dan menciptakan konten media.

Tingkat kemampuan literasi media dalam Individual Competence Framework dijelaskan dalam tabel dibawah ini:

(39)

Tabel 2.1 Tingkat Kemampuan Literasi Media Menurut European Comission

Level Deskripsi

Basic

Individu memiliki seperangkat kemampuan dalam penggunaan dasar media, namun masih memiliki keterbatasan dalam penggunaan media internet. Kapasitas individu untuk berpikir secara kritis dalam menganalisis informasi yang diterima dan kemampuan komunikasi melalui media masih terbatas.

Medium

Individu sudah fasih dalam penggunaan media, mengetahui fungsi dan mampu melaksanakan fungsi-fungsi tertentu, menjalankan operasi yang lebih kompleks. Pengguna media internet dapat berlanjut sesuai kebutuhan.

Pengguna mengetahui bagaimana untuk mendapatkan dan menilai informasi yang dia butuhkan, serta menggunakan strategi pencarian informasi tertentu.

Advance

Individu pada tingkatan ini sangat aktif dalam penggunaan media, menjadi sadar dan tertarik dalam berbagai regulasi yang mempengaruhi penggunaannya. Pengguna memiliki pengetahuan yang mendalam tentang teknik dan bahasa serta dapat menganalisis kemudian mengubah kondisi yang mempengaruhinya.

Pengguna dapat melakukan hubungan komunikasi dan penciptaan pesan. Di bidang sosial, pengguna mampu mengaktifkan kerjasama kelompok yang memungkinkan dia untuk memecahkan masalah.

Sumber: Report Study on Assessment Criteria for Media Literacy 2009 2.3.6. Internet sebagai Media Baru

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, media massa juga ikut mengalami perkembangan. Internet hadir sebagai media baru (new media) yang terus berkembang. Chandra (2020) menyebutkan salah satu bentuk dari

(40)

keberadaan new media adalah fenomena munculnya social network (jejaring sosial). Setiap orang dapat menggunakan jejaring sosial atau media sosial sebagai sarana berkomunikasi, membuat status, berkomentar, berbagi foto dan video layaknya ketika kita berada dalam lingkungan sosial. Hanya saja medianya yang berbeda.

Teknologi internet dan smartphone semakin maju, maka media sosial pun ikut tumbuh dengan pesat. Media sosial yang semakin mudah dan semakin cepat diakses mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap arus informasi yang tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia. Media sosial juga mulai tampak menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan berita.

Menurut Van Dijk (2013), yang dikutip oleh Nasrullah dalam buku Media Sosial (2016) bahwa media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktifitas maupun berkolaborasi, karena itu media sosial dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.

Andreas Kaplan dan Michael Haenlein (2010) mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis Internet yang dibangun diatas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, dan memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. Web 2.0 menjadi platform dasar media sosial. Media sosial ada dalam ada dalam berbagai bentuk yang berbeda, termasuk social network, forum internet, weblogs, social blogs, micro blogging, wikis, podcasts, gambar, video, rating, dan bookmark sosial. Ada enam jenis media sosial menurut Andreas dan Haenlein (2010), yakni proyek kolaborasi (misalnya Wikipedia), blog dan microblogs (misalnya Twitter), komunitas konten (misalnya YouTube), situs jaringan sosial (misalnya Facebook dan Instagram), virtual game (misalnya World of Warcraft), dan virtual sosial (misalnya Second Life). Platform media sosial telah berkembang dengan luas, namun hanya beberapa saja jejaring sosial yang diminati di Indonesia, antara lain: Youtube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Tiktok, Line, Twitter, Reddit, Pinterest, dan Tumblr. Namun, pada penelitian ini peneliti hanya membatasi media sosial pada Instagram, Facebook, dan WhatsApp.

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Asesmen Literasi Media
Tabel 2.1 Tingkat Kemampuan Literasi Media Menurut European Comission
Gambar 2.2. Model Teoretik  (Sumber: Penelitian 2021) Masyarakat Desa Paya Bedi KabupateTamiang Terpapar Infodemi Covid-19 melalui media sosial/Internet
Gambar 3.1 Kerangka Analisis  (Sumber: Penelitian 2021)
+4

Referensi

Dokumen terkait

(Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 88 orang mahasiswa skripsi Fakultas Psikologi USU menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara Literasi Digital

Martines, Agnes. Literasi Media Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Program Studi Perpustakaan Dan Sains Informasi, Fakultas Ilmu

Tujuan kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah menjadi wadah nyata dalam meningkatkan literasi numerasi di sekolah dan meningkatkan pembelajran di masa

Membangun Kesadaran Tahap yang pertama adalah membangun kesadaran konsumen akan kehadiran produk atau jasa yang ditawarkan, terdapat beberapa teknik yang dapat dimanfaatkan seperti

Hasil penelitian menunjukan; 1 Peran Kepala Sekolah memberikan dampak positif dalam meningkatkan literasi digital guru, 2 Kompetensi Literasi Digital Guru dalam kompetensi hypertext

91 jaringan.6 Secara umum, terdapat tiga media digital yang digunakan untuk efektifitas diseminasi informasi, yakni media sosial, website, dan aplikasi.7 Salah satu produk literasi

Literasi digital pada pembelajaran daring terdapat permasalahannya karena dengan berliterasi digital, siswa bisa membuka dan mengakses situs-situs lain di goegle tanpa sepengetahuan