• Tidak ada hasil yang ditemukan

PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk menyampaikan hal-hal sebagai berikut; RINGKASAN PEMBELAAN HUKUM

Dalam dokumen KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Tahun 2010 (Halaman 97-103)

TREND PROSENTASE KEUNTUNGAN

I, PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk menyampaikan hal-hal sebagai berikut; RINGKASAN PEMBELAAN HUKUM

Di dalam LPHL, Tim Pemeriksa Perkara No. 01/KPPU-I/2010 (“Tim Pemeriksa”) dalam bagian Kesimpulan LHPL menyatakan bahwa Terlapor I (dan Para Terlapor lainnya) diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5/1999. --- Berdasarkan fakta ini, terlihat jelas bahwa sampai dengan berakhirnya Pemeriksaan Lanjutan, sebenarnya Tim Pemeriksa TIDAK MENEMUKAN adanya bukti-bukti yang sah mengenai terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5/1999. Sampai dengan berakhirnya Pemeriksaan Lanjutan, yang dapat dilakukan oleh Tim Pemeriksa hanyalah melakukan dugaan atau sangkaan, suatu hal yang sudah mereka lakukan sejak memutuskan untuk melakukan Pemeriksaan Pendahuluan, yang berarti bahwa sampai dengan berakhirnya Pemeriksaan Lanjutan ternyata Tim Pemeriksa tidak mengalami kemajuan apapun dalam hal yang berkaitan dengan pembuktian untuk membuktikan sangkaannya. --- Berdasarkan asas hukum universal, ketika suatu lembaga peradilan dan/atau lembaga

quasi-judical (seperti misalnya arbitrase ataupun KPPU) tidak menemukan bukti mengenai adanya suatu pelanggaran hukum, maka terlepas dari adanya dugaan dan/atau indikasi mengenai terjadinya pelanggaran hukum, lembaga peradilan itu (termasuk juga KPPU) tidak punya pilihan lain kecuali menyatakan bahwa pihak yang diperiksa tersebut tidak bersalah atau tidak melakukan pelanggaran hukum apapun. ---

Halaman 98 dari 425 Tugas KPPU adalah MELAKSANAKAN ketentuan undang-undang (UU No. 5/1999), dan bukannya membuat undang-undang yang merupakan kewenangan badan legislatif. Oleh karena itu, secara yuridis Majelis Komisi hanya boleh memutuskan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999 jika dapat dibuktikan terpenuhinya unsur-unsur berikut ini:--- - Pelaku Usaha;--- - Perjanjian dengan Pelaku Usaha pesaing;--- - Menetapkan harga yang harus dibayar konsumen; --- - Barang atau jasa dalam pasar bersangkutan yang sama. --- Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 11 UU No. 5/1999 hanya dapat dikatakan terbukti jika dipenuhi unsur-unsur berikut ini:--- - Pelaku Usaha;--- - Perjanjian dengan Pelaku Usaha pesaing;--- - Maksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa;--- - Mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. -- Untuk membuktikan terpenuhinya unsur-unsur Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5/1999, Majelis Komisi harus mempertimbangkan alat-alat bukti yang secara limitatif diatur dalam Pasal 42 UU No.5/1999, yaitu:--- a. Keterangan saksi;--- b. Keterangan ahli;--- c. Surat dan/atau dokumen;--- d. Petunjuk;--- e. Keterangan Pelaku Usaha. --- Berdasarkan hasil pemeriksaan berkas (inzage) yang dilakukan oleh Terlapor I pada tanggal 29 Juli 2010, TIDAK ADA ALAT BUKTI apapun baik berupa: (i) keterangan saksi; (ii) keterangan ahli; (iii) surat atau dokumen; dan (iv) keterangan pelaku usaha yang membuktikan bahwa Terlapor I dan Para Terlapor lainnya telah mengadakan perjanjian untuk menentukan harga dan/atau membentuk kartel sehingga melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) maupun Pasal 11 UU No. 5/1999. ---

Halaman 99 dari 425 Mengenai alat bukti “Petunjuk”, penjelasan Pasal 42 UU No.5/1999 hanya menyatakan “cukup jelas”. Mengingat UU No. 5/1999 tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai alat bukti “Petunjuk”, maka makna dari alat bukti Petunjuk ini harus dicari lewat penafsiran hukum sistematik, yaitu dengan melihat pada arti alat bukti Petunjuk pada ketentuan hukum Indonesia lainnya. Penjelasan mengenai alat bukti Petunjuk ini ternyata dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 188 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Pasal 188 ayat (1) KUHAP mendefinisikan alat bukti Petunjuk sebagai berikut: --- “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. --- Selanjutnya Pasal 188 ayat (2) KUHAP mengatur:--- “Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: (a). keterangan saksi; (b) surat; (c) keterangan terdakwa”. ---

Jadi, berdasarkan penafsiran hukum sistematik, Majelis Komisi hanya diperkenankan untuk menggunakan alat bukti Petunjuk atau alat bukti tidak langsung (indirect evidence) sepanjang petunjuk itu diperoleh dari alat bukti lainnya berupa: (i) keterangan saksi; (ii) keterangan ahli; (iii) keterangan pelaku usaha; dan (iv) bukti surat. --- Mengenai nilai pembuktian dari bukti Petunjuk, banyak ahli hukum yang meragukan obyektivitas putusan yang didasarkan pada alat bukti yang tidak langsung semacam ini. M. Yahya Harahap, SH dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali” (Penerbit Sinar Grafika, 1985, hal. 291) secara tepat menyatakan sebagai berikut:--- “Agak sulit menjelaskan pengertian alat bukti petunjuk secara konkret. Bahkan dalam praktek peradilanpun, sering mengalami kesulitan untuk menerapkannya. Kekuranghati-

hatian mempergunakannya, putusan yang bersangkutan bisa mengambang

pertimbangannya dalam suatu keadaan yang samar. Akibatnya putusan itu lebih dekat kepada sifat penerapan hukum secara sewenang-wenang, karena putusan tersebut didominasi oleh penilaian subyektif yang berlebihan....“. (diberi huruf tebal untuk memberikan penekanan). ---

Halaman 100 dari 425 Pada kasus ini, berdasarkan kajian Terlapor I terhadap isi LPHL, dapat disimpulkan bahwa Tim Pemeriksa menduga adanya perjanjian diantara Para Terlapor untuk menetapkan harga dan/atau membentuk kartel semata-mata hanya berdasarkan petunjuk yang didapat dari: --- (i) alat bukti tertulis berupa absensi atau bukti kehadiran para Terlapor dalam rapat-rapat Asosiasi Semen Indonesia (“ASI“); dan --- (ii) keterangan para pelaku usaha Terlapor bahwa mereka menjadi anggota ASI dan memberikan data produksi mereka kepada ASI. --- Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Tim Pemeriksa, Terlapor I berpendapat bahwa jika berdasarkan alat bukti di atas Tim Pemeriksa lantas mengambil kesimpulan bahwa terdapat perjanjian penetapan harga dan/atau pembentukan kartel, maka penarikan kesimpulan ini adalah KELIRU, karena tidak ada relevansi antara premis-premis yang ada dengan kesimpulan yang dihasilkan (irrelevance conclusion). Bukti tertulis berupa daftar hadir dan keterangan pelaku usaha hanya menjadi bukti bahwa para Terlapor mengikuti rapat- rapat Presidium ASI dan Rapat Bidang Ekonomi dan Bisnis, dan bukannya membuktikan adanya perjanjian untuk menetapkan harga dan/atau membentuk kartel. --- Dalam LPHL halaman 87 disebutkan bahwa: --- “Dugaan terjadinya kartel dan penetapan harga adalah dengan mempertimbangkan adanya rapat-rapat di ASI yang menyajikan laporan realisasi produksi dan pemasaran dari masing-masing Terlapor serta adanya presentasi dari pemerintah terkait dengan harga di masing-masing wilayah ibukota propinsi. Hal ini diduga merupakan fasilitas untuk mengatur pasokan dan menentukan harga“. --- Dugaan semacam ini adalah tidak tepat, karena fungsi ASI adalah semata-mata untuk membantu pemerintah dalam menyediakan data mengenai produksi, pemasaran, dan stok semen nasional kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selain itu, tidak ada satupun bukti yang menunjukkan rapat ASI yang mana, kapan serta dihadiri siapa saja yang membahas mengenai penetapan harga dan/atau kartel. Kalaupun diasumsikan bahwa dugaan KPPU adalah beralasan, (meskipun jelas tidak), sangat disayangkan bahwa KPPU tidak melakukan tindakan koreksi berupa saran ataupun pertimbangan apapun kepada Pemerintah Republik Indonesia cq. Departemen Perindustrian untuk mencegah

Halaman 101 dari 425 digunakannya ASI untuk hal-hal yang melanggar hukum meskipun tanpa disengaja. Padahal, sesuai ketentuan Pasal 35 (e) UU No. 5/1999, salah satu tugas KPPU adalah “memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat“. --- Jika selama ini KPPU membiarkan saja tindakan Pemerintah yang menggunakan ASI sebagai sarana untuk mengumpulkan informasi mengenai produksi, pemasaran, dan stok semen nasional, maka KPPU dapat dianggap melalaikan tugasnya, atau lebih parah lagi “menjebak“ Pemerintah dan khususnya para produsen semen untuk “melakukan pelanggaran“ guna kemudian ditangkap dan dihukum. --- Sekiranya Tim Pemeriksa akan menggunakan fakta bahwa setiap kali Terlapor I menaikkan harga jual semennya maka beberapa hari atau minggu kemudian para Terlapor lainnya juga akan menaikkan harga produknya sebagai bukti tidak langsung (indirect evidence atau

circumstantial evidence ) akan adanya kartel, maka Terlapor I mohon dengan hormat agar Majelis Komisi mempelajari dengan cermat Policy Brief yang dikeluarkan oleh OECD pada bulan Juni 2007 mengenai “Prosecuting Cartels Without Direct Evidence of Agreement“. Di dalam OECD Policy Brief itu dibahas:--- “Is evidence of parallel conduct by competitors sufficient to prove an agreement? No. In almost every country it is not sufficient simply to show that competitors acted in parallel fashion, because such conduct could be consistent either with agreement or with

independent action taken by each competitor unilaterally……”. (diberi penekanan dengan huruf tebal). ---

[Terjemahan Bebas: Apakah tingkah laku paralel oleh para pesaing cukup untuk membuktikan adanya perjanjian? Tidak. Di hampir setiap Negara adalah tidak cukup hanya dengan menunjukkan bahwa para pesaing bertingkah laku secara paralel, karena tingkah laku semacam itu dapat konsisten dengan adanya perjanjian atau dengan tindakan independen yang dilakukan oleh setiap pesaing secara sepihak]. --- Jadi, hampir di semua negara adanya tingkah laku yang paralel (misalnya: kenaikan harga) tidak cukup untuk digunakan sebagai bukti tidak langsung mengenai adanya kartel ataupun penetapan harga. Tingkah laku paralel memang bisa terjadi jika ada perjanjian. Tapi sebagaimana halnya yang terjadi dalam kasus ini, tingkah laku paralel juga bisa terjadi

Halaman 102 dari 425 sebagai akibat dari tindakan yang independen dari para pelaku usaha yang bersaing (dalam hal ini distributor dan toko retail) untuk menaikkan harga sesuai dengan kondisi pasar di daerah mereka masing-masing. --- Sejalan dengan prinsip hukum yang dinyatakan dalam Policy Brief OECD, Stephen F. Ross dalam bukunya “Principles of Antirust” (The Foundation Press Inc. Westbury, New York, 1963, Hal 161) 1 juga menyatakan hal yang sama bahwa: ---

“Conscious Paralleism is insufficient to prove a conspiracy, because while parallel conduct is consistent with cartel behaviour, it is also consistent with competition. Indeed, in a perfectly competetitive market, all firms will set all the identical price ...“---

[Terjemahan bebas: Paralelisme secara sadar tidak cukup untuk membuktikan adanya persekongkolan, karena sementara tingkah laku paralel konsisten dengan tingkah laku kartel, hal itu juga konsisten dengan kompetisi. Sesungguhnya, di dalam suatu pasar persaingan sempurna, semua perusahaan akan menetapkan harga yang sama]. --- Lebih penting lagi, dalam konteks Hukum Pembuktian yang saat ini berlaku di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU No. 5/1999, tingkah laku (conduct) tidak dapat dijadikan sebagai bukti Petunjuk, mengingat berdasarkan penafsiran hukum sistematik terhadap Pasal 188 ayat (2) KUHAP, bukti Petunjuk hanya dapat diperoleh dari kesesuaian fakta antara hal-hal yang ditemukan dalam (i) keterangan saksi; (ii) keterangan ahli; (iii) bukti surat; dan (iv) keterangan pelaku usaha. Mengingat tugas dan kewajiban KPPU adalah MELAKSANAKAN HUKUM dan bukannya membentuk hukum yang merupakan tugas dan wewenang lembaga legislatif, maka Majelis Komisi hendaknya melaksanakan ketentuan Pasal 42 UU No. 5/1999 secara benar dalam membuktikan ada atau tidak adanya praktek penetapan harga dan/atau kartel dalam perkara ini. --- Kalaupun diasumsikan bahwa tingkah laku (conduct) dapat dijadikan alat bukti Petunjuk,

meskipun faktanya jelas tidak, Terlapor I tidak melakukan tingkah laku yang sifatnya anti persaingan. Keterangan para saksi yang merupakan sub-distributor Terlapor I yang diberikan di bawah sumpah telah membuktikan bahwa kenaikan harga semen di wilayah mereka masing-masing sama sekali tidak diatur oleh Terlapor I, melainkan sepenuhnya

1

Lihat: Makalah Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait “Memahami Parameter dan Kasus-kasus Kartel di Indonesia”, Hukumonline, Jakarta 28 Juli 2010.

Halaman 103 dari 425 merupakan keputusan komersial mereka dan para pemilik toko pengecer semen dengan memperhatikan kondisi pasar yang ada. --- Keterangan Saksi dari Departemen Perdagangan cq. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri dalam BAP Keterangan Saksi tanggal 30 Juni 2010 menyatakan dengan tegas bahwa dalam

Dalam dokumen KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Tahun 2010 (Halaman 97-103)