• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Indirect Evidence SEBAGAI satu-satunya ALAT BUKTI adalah bertentangan dengan hukum acara yang berlaku

Dalam dokumen KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Tahun 2010 (Halaman 159-166)

Kinerja PT Holcim Indonesia 2004-

III. Penggunaan Indirect Evidence SEBAGAI satu-satunya ALAT BUKTI adalah bertentangan dengan hukum acara yang berlaku

1. Bahwa berdasarkan pemeriksaan dokumen (inzage) yang dilakukan oleh PTHI/Terlapor II pada tanggal 29 Juli 2010, ditemukan bahwa pada dasarnya alat-alat bukti sebagaimana yang dikenal dalam Pasal 42 dari UU No. 5/1999, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat/dokumen, petunjuk dan keterangan terlapor, tidak ada yang menunjukkan bukti adanya praktek kartel sebagaimana yang dituduhkan oleh KPPU.--- 2. Adapun dasar tuduhan KPPU dimaksud semata-mata dilakukan dengan

menerapkan “indirect evidence” atau “bukti tidak langsung” tanpa didukung oleh alat-alat bukti lainnya berdasarkan Pasal 42 UU No. 5/1999, dimana alat bukti pendukung lainnya kalaupun ada haruslah mengenai hal yang secara substansial sama dengan masalah yang dicoba untuk dibuktikan dengan

Indirect Evidence dimaksud. Dengan kata lain, suatu Indirect Evidence yang tidak didukung dengan alat bukti lain yang secara substansial sama maka

Indirect Evidence dimaksud haruslah diabaikan atau dikesampingkan. Tegasnya, Indirect Evidence dimaksud tidak dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan adanya dugaan kartel sebagaimana dituduhkan oleh KPPU dalam LHPL terhadap PTHI/Terlapor II.---

Halaman 160 dari 425 3. Dengan tidak adanya alat-alat bukti lain guna mendukung “bukti tidak

langsung” tersebut maka demi hukum haruslah dikatakan bahwa dugaan pelanggaran yang dituduhkan KPPU terhadap PTHI/Terlapor II sebagaimana dimaksud dalam LHPL menjadi tidak sah. --- 4. Sesuai dengan doktrin, “Indirect Evidence” atau “bukti tidak langsung” tidak

dapat secara langsung menjelaskan secara terang dan spesifik mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha yang terdiri dari bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Mengenai hal tersebut para ahli dalam buku “Prosiding Seminar” Eksaminasi Putusan No. 25/KPPU-I/2009 (Penetapan Harga Fuel Surcharge Dalam Industri Jasa Penerbangan Domestik) yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 1 Juli 2010, menegaskan sebagai berikut:---

Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D, ---

Apakah suatu indirect evidence bisa diterapkan atau tidak sebagai satu- satunya bukti? Menurut hemat saya, indirect evidence itu harus didahului oleh

direct evidence, adanya suatu bukti konkrit yang tertulis terlebih dahulu….--- ….Oleh karena itu, menurut hemat saya dalam hukum acara ini ada hal-hal yang perlu diperbaiki dimasa yang akan datang. Maka dalam hal ini saya tidak sepakat bahwa indirect evidence yang sudah diterapkan dinegara-negara OECD misalnya diambil over begitu saja di Indonesia.--- …..dari segi hukum nasional kita, kalau hukum diluar negeri, hukum asing, atau konvensi internasional itu belum dituangkan dalam hukum nasional kita, maka hukum itu tidak bisa berlaku”. ---

(huruf miring dan cetak tebal dari PTHI/Terlapor II)---

Prof. DR. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI---

”Dukungan akan Indirect Evidence (bukti langsung, bukti ekonomi, substantial evidence) menjadi faktor penentu bila unsur perjanjian untuk menetapkan harga berdasrkan Pasal 5 UU No.5/1999 harus dibuktikan:---

Halaman 161 dari 425

Alat Bukti yang sah dalam Hukum Acara Persaingan Usaha adalah sebagai berikut, Pasal 42 UU No.5/1999:--- ”Alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa:--- a. Keterangan saksi;--- b. Keterangan ahli;--- c. Surat dan atau dokumen;--- d. Petunjuk;--- e. Keterangan Pelaku Usaha.”---

Berdasarkan Pasal 64 ayat (1) Perkom KPPU No.1 tahun 2006 yang menyatakan dengan lebih tegas:---

Dalam menilai terjadi atau tidaknya pelanggaran, Tim Pemeriksa atau Majelis Komisi menggunakan alat-alat bukti berupa:--- a. Keterangan Saksi;---

b. Keterangan ahli;---

c. Surat dan/atau dokumen;---

d. Petunjuk;---

e. Keterangan Terlapor.---

Bukti dari Indirect Evidence harus menunjukkan kesesuaian baik ada perjanjian atau tidak, dia tetap harus teruji secara metodologi dan konsisten sehingga keputusan yang dibuat bisa dipertanggungjawabkan.”---

(huruf miring dan cetak tebal dari PTHI/Terlapor II)---

DR. Pande Radja Silalahi--- ”Bukti tidak langsung (Indirect/circumstantial evidence) dapat berguna untuk mendukung bukti langsung dan juga dapat membuktikan keberadaan kartel itu sendiri. Tetapi adalah sangat penting agar hati-hati menafsirkan indirect evidence.--- …. Based on experience from elsewhere, it is shown in the study that price parallelism is often used as an effective defence, posing a challenge for competition authorities. US and European courts have adopted a “parallelism

Halaman 162 dari 425

plus” approach which requires showing the existence of “Plus factors” beyond merely the firms parallel behavior, in order to prove that an antitrust violation has occurred.--- The plus factors founds as sufficient to conclude that there was a collusion were:--- a. The fact that the firts company to raise the price was the company with the lowest market share;--- b. There wasn’t an increase in costs that could explain the joint increase of

prices;--- c. The companies used the same way at almots the same time to communicat

the price raising;--- d. The joint meeting was organizeds (held)”---

(huruf miring dan cetak tebal dari PTHI/Terlapor II)---

5. Bahwa disamping doktrin dimaksud diatas, Sutrisno Iwantono (mantan Ketua/Anggota KPPU periode 2000-2005 juga secara tegas dalam tulisannya yang berjudul ”Sulitnya membuktikan praktik kartel” yang dimuat di surat kabar harian Bisnis Indonesia yang terbit pada tanggal 23 Juli 2010 menyatakan pada pokoknya bahwa:---

”Namun, ketentuan perundang-undangan (Pasal 42 UU No.5/1999 jo Pasal 64 (Peraturan KPPU No.1/2006) secara tegas mempersyaratkan dalam menilai terjadi atau tidaknya pelanggaran alat bukti yang digunakan adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, serta keterangan terlapor.--- Dengan demikian apabila Indirect Evidence hendak digunakan, kedudukannya hanyalah sebagai pendukung atau penguat dari salah satu alat bukti yang dimaksud.---

Di samping itu, dalam menggunakan Indirect Evidence harus terdapat kesesuaian fakta secara utuh yang diperoleh dari metodologi keilmuan.”--- 6. Bahwa pada prinsipnya, keterangan ahli sebagaimana dikutip oleh KPPU dalam LHPL (halaman 45 butir 9) juga menegaskan hal yang sama dengan

Halaman 163 dari 425 pendapat para ahli tersebut diatas, dimana menurut keterangan ahli dalam LHPL dimaksud pada pokoknya pola harga yang sama harus dibuktikan dari

direct evidence (pembuktian apakah ada bukti tertulis atau tidak) dan indirect evidence (analisa pasar dan analisa struktur harga). Jadi tegasnya, indirect evidence hanya dapat digunakan sepanjang terdapat bukti tertulis yang juga merujuk kepada masalah atau hal yang secara substansial sama.--- 7. Bahwa berdasarkan doktrin tersebut di atas, Indirect Evidence terbukti belum

dapat diterapkan di Indonesia, karena demi hukum alat alat bukti yang dikenal dalam hukum positif atau hukum yang berlaku di indonesia hanya didasarkan pada alat alat bukti sebagaimana secara limitatif ditentukan dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999. --- 8. Bahwa Mengingat Hukum Positif yang mengatur alat-alat bukti hanyalah

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 42 UU No.5 Tahun 1999, maka penggunaan Indirect Evidence untuk menilai ada atau tidaknya pelanggaran Pasal 5 dan 11 UU No.5 Tahun 1999 secara yuridis dimaksud juga dapat dianggap sebagai pelanggaran dari asas kepastian hukum, dimana berdasarkan asas kepastian hukum dimaksud, PTHI/Terlapor II selaku Pelaku Usaha yang juga merupakan bagian dari masyarakat seharusnya bebas dari tindakan pejabat Negara yang tidak didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Tindakan pejabat dimaksud adalah karena tidak diimplementasikannya syarat legalitas dan publisitas dimana pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa KPPU, baik pada tingkat Pemeriksaan Pendahuluan maupun pada tingkat Pemeriksaan Lanjutan, tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang diatur secara tegas dan limitatif dalam Pasal 42 UU No. 5/1999. --- 9. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dari Undang-Undang No. 10 tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:--- a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945);--- b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;--- c. Peraturan Pemerintah;---

Halaman 164 dari 425 d. Peraturan Presiden;--- e. Peraturan Daerah.--- 10. Berkaitan dengan asas publisitas yang pada pokoknya semua orang dianggap mengetahui keberadaan dari suatu peraturan perundang-undangan, Pasal 45 dari UU No. 10/2004 mensyaratkan pada pokoknya bahwa agar setiap orang mengetahuinya, peraturan perundang-undangan dimaksud harus diundangkan dengan menempatkannya dalam (i) Lembaran Negara, (ii) Berita Negara Republik Indonesia, (iii) Lembaran Daerah; atau (iv) Berita Daerah. Selanjutnya, Pasal 46 dari UU No. 10/2004 juga menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia meliputi (i) UU/Perpu; (ii) Peraturan Pemerintah; (iii) Peraturan Presiden mengenai (a) pengesahan perjanjian antara Negara Republik Indonesia dan Negara lain atau badan internasional dan (b) pernyataan keadaan bahaya.--- 11. Bahwa pada faktanya, “indirect evidence” sama sekali tidak disebutkan dalam

Pasal 42 dari UU No. 5/1999, undang-undang mana yang telah diumumkan dalam Berita Negara No. 33 tahun_1999, dan karenanya demi hukum “indirect evidence” sama sekali tidak dapat dianggap sebagai alat bukti sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 42 dari UU No. 5/1999.--- 12. Bahkan dalam praktek yang berlaku secara internasional, penggunaan ”indirect

evidence” untuk membuktikan ada tidaknya kartel sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI dalam Seminar tentang “Memahami Parameter dan Kasus-Kasus Kartel di Indonesia” pada tanggal 28 Juli 2010 di Hotel Century, Jakarta, adalah sebagai berikut:---

Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam putusan kasus C-O-Two Fire Equipment.Co v.United States, 197 F.2d.489, 493 (9th Cir), cert.denied, 344 U.S.892, 1952 menyatakan bahwa conscious parallelism merupakan bentuk lain dari kesepakatan yang bersifat illegal tetapi hanya sepanjang mampu dibuktikan dengan adanya plus factor dalam investigasinya.--- Dari putusan tersebut bahwa “plus factor” merupakan faktor penentu yang dibutuhkan untuk memperkuat keyakinan akan bukti ekonomi sebagai bagian

Halaman 165 dari 425

dari “indirect evidence” dimana tidak terdapat perjanjian yang tertulis (naked agreement) dll”. ---

13. Masih menurut Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI dalam seminar sebagaimana tersebut di atas, dinyatakan bahwa:---

“KPPU berpendapat bahwa indirect evidence dapat digunakan sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 64 (1) Perkom No. 1/2006 juncto Pasal 42 UU No.5/1999;--- Namun, Pasal 64 (1) juncto Pasal 42 UU No.5/1999 secara eksplisit mempersyaratkan bahwa dalam menilai terjadi atau tidaknya pelanggaran, Majelis Komisi menggunakan alat-alat bukti Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat dan/atau dokumen, Petunjuk, Keterangan Terlapor. Maka bila Indirect evidence digunakan, maka kedudukannya hanyalah sebagai pendukung atau penguat salah satu alat bukti di atas;--- Indirect evidence untuk membuktikan adanya suatu perjanjian lisan dapat dilakukan dalam perspektif ekonomi, akan tetapi klasifikasi alat bukti tetap harus mengacu pada UU (Pasal 42 UU No.5/1999 : bukti petunjuk); --- Rasionya adalah bahwa syarat penggunaan indirect evidence adalah terdapatnya kesesuaian antara bukti-bukti yang disebut. Kesesuaian antara bukti-bukti tersebut membentuk hanya 1 alat bukti yaitu menjadi bukti petunjuk.--- Bukti-bukti dalam indirect evidence harus menunjukkan kesesuaian sehingga membentuk suatu petunjuk terdapatnya suatu perjanjian tidak tertulis. Dalam hal ini seluruh faktor yang ditemukan wajib diaplikasikan melalui metodologi yang teruji baik secara ilmiah dan konsisten sehingga kesimpulannya didalam putusan dapat dipertanggung jawabkan”.---

14. Dari pendapat para ahli tersebut diatas pada intinya mereka sependapat sehingga dapat disimpulkan bahwa alat-alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 UU No. 51/1999 adalah alat-alat bukti yang utama dan kalaupun indirect evidence akan digunakan, maka Indirect Evidence dimaksud hanyalah bersifat pendukung dari alat-alat bukti utama yang masih harus dibuktikan berdasarkan metodologi keilmuan.---

Halaman 166 dari 425 15. Bahwa berdasarkan uraian di atas, KPPU telah gagal untuk membuktikan

dugaan pelanggaran kartel berdasarkan bukti-bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 UU No.5 tahun 1999. Kalaupun KPPU mengganggap memiliki ”bukti” quad non maka ”bukti” dimaksud haruslah dikesampingkan karena merupakan bukti tidak langsung yang tidak dikenal dalam hukum positif Indonesia.---

IV. Pemenuhan Unsur-unsur Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5/1999---

Dalam dokumen KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Tahun 2010 (Halaman 159-166)