• Tidak ada hasil yang ditemukan

ATAUPUN MEMBENTUK KARTEL, MENGINGAT TUJUAN DARI RAPAT ITU JUSTRU UNTUK MEMASTIKAN AGAR PASOKAN SEMEN NASIONAL DAPAT

Dalam dokumen KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Tahun 2010 (Halaman 103-107)

Halaman 104 dari 425 1. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (7) UU No. 5/1999, Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Jadi, esensi dari suatu perjanjian adalah niat atau keinginan untuk mengikatkan diri dengan pelaku usaha lain, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Dalam kasus penetapan harga, maka niat itu adalah untuk mengikatkan diri guna mengatur harga, sedangkan dalam kasus kartel niat itu adalah untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa. --- 2. Dalam perkara ini, tidak ada satupun alat bukti yang menunjukkan adanya

Perjanjian di antara Terlapor I dengan para Terlapor lainnya, baik untuk menentukan harga ataupun untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran. Tim Pemeriksa sejak awal sudah mengenakan “kacamata hitam” dalam menilai keberadaan ASI, sehingga rapat-rapat ASI (walaupun tanpa adanya bukti apapun) dinilai sebagai hal yang negatif yaitu sebagai fasilitas untuk mengatur pasokan dan menentukan harga. Padahal, jika dilihat secara obyektif dalam perspektif kepentingan nasional, keberadaan ASI adalah penting dalam membantu upaya Pemerintah untuk menjaga kelangsungan pembangunan. --- 3. Perwakilan dari Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI dalam keterangan mereka tanggal 28 Juni 2010 menyatakan: ---

“Baik dalam rangka kepentingan pemerintah maupun dunia usaha, dalam rangka pembangunan proyek/fisik sehingga semen dikategorikan sebagai barang strategis”.-

Jadi, jika dilihat lewat kacamata yang positif tanpa prasangka buruk apapun, maka pertemuan-pertemuan ASI adalah justru untuk membantu Pemerintah dalam menjaga ketersediaan pasokan semen, agar pembangunan nasional tidak terganggu. Selain itu, sebagai saksi yang hadir dalam rapat-rapat ASI, saksi dari Departemen Perdagangan itu tidak memberikan kesaksian akan adanya kegiatan penetapan harga dan/atau mengatur pasokan untuk mempengaruhi harga dalam rapat-rapat ASI. Malahan, dalam BAP Kesaksian Dirjen Perdagangan Dalam Negeri tanggal 30 Juni 2010, justru diperoleh fakta bahwa Pemerintah yang menghimbau agar produsen semen bersedia untuk memasok wilayah yang kekurangan pasokan. Jadi, pembicaraan mengenai

Halaman 105 dari 425 pasokan semen justru untuk mengakomodir keinginan Pemerintah, dan bukannya kemauan para anggota ASI. --- 4. Sangat disayangkan bahwa Tim Pemeriksa ternyata tidak berupaya untuk

mendapatkan keterangan dari Pemerintah cq. Departemen Perindustrian yang membutuhkan keberadaan ASI sebagai mitra kerja dalam mengembangkan industri semen nasional. --- Sebagaimana dinyatakan dalam BAP Ketua Umum ASI, Departemen Perindustrian selalu mengirim surat kepada ASI untuk menanyakan jumlah produksi semen, dan terdapat kewajiban bagi perusahaan semen untuk mengirim data kepada Departemen Perindustrian. Jadi, fungsi ASI adalah untuk menjembatani komunikasi antara Pemerintah dengan para produsen semen guna menjamin ketersediaan pasokan guna menunjang pembangunan nasional. Selain itu, di dalam Program Kerja ASI tahun 2010, juga jelas-jelas disebutkan bahwa:--- “...Bersama Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan secara rutin mengadakan pertemuan-pertemuan yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan pengadaan semen, tempat penyelenggaraan bergantian di lokasi pabrik anggota ASI“. ---

Keterangan Ketua Umum ASI ini juga sejalan dengan isi Surat Dirjen Industri Agro dan Kimia No.297/IAK/5/2010 tanggal 31 Mei 2010 yang ditujukan kepada Tim Pemeriksa dan/atau Majelis Komisi yang pada kesimpulannya menyatakan:--- “...maka menurut pendapat kami pertemuan rutin yang dilakukan oleh ASI dan dihadiri para Anggotanya dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian Perdagangan tidak melanggar UU Nomor 5 tahun 1999, karena kegiatan dimaksud merupakan amanat dari Pasal 14 UU Nomor 5 tahun 1984. Untuk itu kegiatan ASI tetap dilanjutkan guna pengamanan pasok semen dalam negeri agar tidak terjadi kelangkaan yang mengganggu proses pembangunan“. ---

Jadi, keberadaan ASI adalah justru sebagai kepanjangan tangan Pemerintah untuk memastikan agar industri semen tumbuh seiring dengan kebutuhan pembangunan nasional, dan bukannya sebagai sarana untuk menetapkan harga ataupun membentuk

Halaman 106 dari 425 kartel. Dalam setiap rapat ASI, Pemerintah cq. Departemen Perindustrian dan/atau Departemen Perdagangan selalu hadir dan berperan serta dalam rapat-rapat itu. Jika Tim Pemeriksa menyimpulkan bahwa ASI adalah wadah untuk menetapkan harga dan/atau kartel, bukankah itu berarti Pemerintah juga terlibat dalam praktek pelanggaran hukum itu? --- 5. Agenda rapat-rapat ASI mengenai realisasi produksi dan pasokan semen nasional adalah suatu fakta. Namun demikian, bagaimana menafsirkan fakta itu menjadi hal yang sangat subyektif, karena tergantung pada sudut pandang masing-masing. Jika Tim Pemeriksa dan Majelis Komisi menganggap rapat-rapat ASI sebagai suatu

indirect evidence akan adanya perjanjian penetapan harga dan/atau kartel, hal ini jelas disebabkan oleh faktor subyektivitas yang oleh M. Yahya Harahap, SH sebagaimana diuraikan di atas dapat dikategorikan sebagai penerapan hukum secara sewenang- wenang, karena putusan tersebut didominasi oleh penilaian subyektif yang berlebihan. ---

Fakta akan adanya faktor subyektivitas yang berlebihan terlihat jelas dari pernyataan- pernyataan salah seorang komisioner KPPU di media massa yang meskipun pemeriksaan masih berlangsung, sudah mengambil kesimpulan dan mengancam para Terlapor dengan sanksi ganti kerugian Trilyunan Rupiah, suatu hal yang jika benar-benar dilaksanakan akan mematikan industri semen nasional! ---

Dalam kesempatan ini, Terlapor I ingin mengingatkan Majelis Komisi akan kewenangannya yang terbatas pada MELAKSANAKAN UNDANG-UNDANG, dan bukannya membuat undang-undang sesuai kemauan subyektifnya sendiri. Dalam hal ini, Terlapor I sepakat dengan dissenting opinionyang diberikan oleh Dr. A. M. Tri Anggraini, SH, MH dalam kasus Fuel Surcharge (Perkara No. 25/KPPU-I/2009) yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun KPPU berwenang untuk menetapkan adanya kerugian masyarakat, tetapi KPPU tidak dapat memerintahkan pembayaran ganti kerugian kepada Negara. Mengingat perkara ini adalah inisiatif KPPU sendiri dan tidak ada masyarakat yang menuntut ganti kerugian. ---

Halaman 107 dari 425 Dalam prinsip Hukum Acara Perdata, Hakim dilarang untuk memutuskan hal-hal yang tidak diminta (ultra petitum). Oleh karena itu, sekiranya Majelis Komisi tetap berpendapat bahwa rapat-rapat ASI merupakan indirect evidence mengenai adanya Perjanjian, (meskipun faktanya jelas bukan), maka mengingat tidak ada masyarakat yang merasa dirugikan dan menuntut ganti kerugian, Majelis Komisi tidak berwenang untuk memutuskan hal-hal yang tidak dituntut tersebut. --- 6. Sekali lagi Terlapor I tegaskan bahwa di dalam LHPL, Tim Pemeriksa tidak

menyebutkan satupun fakta ataupun bukti yang menunjukkan adanya peristiwa dimana para anggota ASI berkumpul untuk membahas mengenai kartel ataupun penetapan harga. Jadi, apabila Tim Pemeriksa menduga adanya kartel dan penetapan harga semata-mata dari fakta adanya kenaikan harga dalam kurun waktu yang berdekatan dan distribusi pemasaran semen saja, maka dugaan ini hanya didasarkan pada indirect evidence atau circumstantial evidence saja tanpa didukung dengan alat bukti lainnya. Uraian mengenai diperlukannya setidak-tidaknya 2 (dua) alat bukti dalam pembuktian pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 secara spesifik akan diuraikan di bagian bawah pembelaan ini.--- Selain itu, kalaupun Tim Pemeriksa dan Majelis Komisi ingin menggunakan bukti petunjuk berupa indirect evidence atau circumstantial evidence dengan menafsirkan dari adanya faktor kenaikan harga dalam kurun waktu yang berdekatan, tetap saja fakta kenaikan harga tersebut tidak dapat serta merta menjadi indirect evidence atau

circumstantial evidence. Doktrin atau pendapat para ahli Hukum Persaingan sebagaimana dinyatakan dalam Policy Brief OECD maupun pendapat Stephen F. Ross jelas menunjukkan bahwa adanya tingkah laku paralel tidak cukup untuk membuktikan adanya perjanjian ataupun persekongkolan guna menetapkan harga ataupun membentuk kartel. ---

BUKTI-BUKTI LANGSUNG (DIRECT EVIDENCE) BERUPA

KETERANGAN SAKSI JUSTRU MEMBUKTIKAN TIDAK ADA

PENETAPAN HARGA DAN/ATAU KARTEL ---

Dalam dokumen KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Tahun 2010 (Halaman 103-107)