• Tidak ada hasil yang ditemukan

INKONTINENSIA URIN

Dalam dokumen SPM Penyakit Dalam (Halaman 115-122)

PENGERTIAN

 Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan masalah hygiene dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh, depresi dan isolasi sosial.

 Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut dapat diobati bila penyakit atau maslah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologik, dan skibala. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan berbagai modalitas terapi.

DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis perlu diketahui penyebab dan tipe inkontinensia urin. Terdapat 2 masalah dalam system saluran kemih yang dapat memberikan gambaran inkontinensia urin yakni masalah saat pengosongan kandung kemih dan masalah saat pengisian kandung kemih.

Untuk inkontinensia urin yang akut, perlu diobati penyakit atau masalah yang mendasari, seperti infeksi

saluran kemih, obat-obatan, gangguan kesadaran, skibala, prolaps uteri. Biasanya, pada inkontinensia urin yang akut, dengan mengatasi penyebabnya, inkontinensianya juga akan teratasi.

Inkontinensia urin yang kronik dapat dibedakan atas beberapa jenis; inkontinensia tipe urgensi atau

overactive bladder, inkontinensia tipe stres, dan inkontinensia urin tipe overflow.

o Inkontinenis urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih (frekuensi lebih dari 8 kali), keinginan berkemih yang tidak tertahankan (urgensi), sering berkemih di malam hari, dan keluarnya urin yang tidak terkendali yang didahului oleh keinginan berkemih yang tidak tertahankan.

o Inkontinensia urin tipe stres dicirikan oleh keluarnya urin yang tidak terkendali pada saat tekanan intraabdomen meningkat seperti bersin, batuk, dan tertawa.

o Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post-void residu (PVR) >100 cc.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Urin lengkap dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium darah dan urin, perineometri, urodynamic study.

TERAPI

Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pada penyebab inkontinensia urin.

Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan dasar panggul, bladder training, schedule toileting, dan obat yang bersifat antimuskarinik (antikolinergik) seperti tolterodin atau oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilih seyogyanya yang bersifat uroselektif.

 Untuk inkontinensia urin tipe stres, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan utama, dapat dicoba bladder training dan obat agonis alfa (hati-hati pemberian agonis alfa pada orang usia lanjut).

Untuk inkontinensia tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan, perlu diatasai sumbatannya.

KOMPLIKASI

Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.

PROGNOSIS

 Inkontinensia urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul, prognosis cukup baik.

Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki dengan obat-obat golongan antimuskarinik, prognosisnya cukup baik.

Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan mengatasi sumbatan/retensi urin).

UNIT TERKAIT

SMF Rehabilitasi Medik, SMF Urologi, Bidang Keperawatan, Bagian Uroginekologi SMF Obstetri dan Ginekologi.

DEHIDRASI

PENGERTIAN

Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak daripada air (dehidrasi hipotonik).

Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145 mmol/Liter) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 285 mosmol/Liter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum (135-145 mmol/Liter) dan osmolalitas efektif serum (270-285 mosmol/Liter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari 135 mmol/Liter) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mosmol/Liter).

Penting diketahui perubahan fisiologi pada usia lanjut. Secara umum, terjadi penurunan kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, terjadi penurunan respon rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmolaritas. Di samping itu juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penurunan respons ginjal terhadap vasopresin.

DIAGNOSIS

Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia lanjut tak jelas, bahkan bisa tidak ada sama sekali. Gejala klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, penurunan turgor, dan mata cekung sering tidak jelas. Gejala klinis paling spesifik yang dapat dievaluasi adalah penurunan berat badan akut lebih dari 3%. Tanda klinis obyektif lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi kondisi dehidrasi adalah hipotensi ortostatik. Berdasarkan studi di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; bila ditemukan aksila lembab/basah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, dieresis berkurang, berat jenis (BJ) urin lebih dari atau sama dengan 1,019 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta rasio Blood Urea Nitrogen/Kretainin lebih dari atau sama dengan 16,9 (tanpa adanya perdarahan aktif saluran cerna) maka kemungkinan terdapat dehidrasi pada usia lanjut adalah 81%. Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat-obat sitostatika, tidak ada perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung kongestif, sirosis hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Kadar natrium plasma darah. 2. Osmolaritas serum.

3. Ureum dan kreatinin darah. 4. BJ urin.

5. Tekanan vena sentral (central venous pressure).

TERAPI

Lakukan pengukuran keseimbangan (balans) cairan yang masuk dan keluar secara berkala sesuai kebutuhan.

Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-2500 ml/24 jam ( 30 ml/kg berat badan/24 jam) untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan penggantian deficit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda-tanda kelebihan cairan seperti ortopnea, sesak nafas, perubahan pola tidur, atau confusion. Cairan yang diberikan secara oral tergantung jenis dehidrasi.

 Dehidrasi hipertonik : cairan yang dianjurkan adalah air atau minuman dengan kandungan sodium rendah, jus buah seperti apel, jeruk, dan anggur.

 Dehidrasi isotonik : cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang mengandung sodium (jus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonik yang ada di pasaran.

 Dehidrasi hipotonik : cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar sodium yang lebih tinggi.

Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum per oral, selain pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh yang hilang terutama adalah air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan rumus :

Defisit cairan (liter) = Cairan badan total (CBT) yang diinginkan – CBT saaat ini CBT yang diinginkan = Kadar Na serum x CBT saat ini

140 CBT saat ini (pria) = 50% x berat badan (kg) CBT saat ini (perempuan) = 45% x berat badan (kg)

Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan NaCl 0,9% atau Dekstrosa 5% dengan kecepatan 25-30% dari deficit cairan total per hari. Pada dehidrasi hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, dan bila perlu pemberian cairan hipertonik.

KOMPLIKASI

Gagal ginjal, sindrom delirium akut.

PROGNOSIS

Dubia ad bonam.

UNIT TERKAIT

KONSTIPASI

PENGERTIAN

Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan penyakit. Konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Kostipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar (BAB), biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkala disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB.

Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.

DIAGNOSIS

Konstipasi menurut Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan:

a. Konsistensi feses yang keras b. Mengejan dengan keras saat BAB

c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB d. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

Konstipasi menurut International Workshop on Constipastion dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 23. Definisi Konstipasi Menurut International Workshop on Constipation

Tipe Kriteria

1 Konstipasi fungsional Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling (akibat waktu perjalanan yang sedikit dalam 12 bulan :

lambat dari feses) ~ mengejan keras 25% dari BAB ~ feses yang keras 25% dari BAB ~ rasa tidak tuntas 25% dari BAB ~ BAB kurang dari 2 kali per minggu 2 Penundaan pada muara rektum ~ hambatan pada anus lebih dari 25% BAB

(terdapat disfungsi ano-rektal) ~ waktu untuk BAB lebih lama ~ perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan

feses

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah perifer lengkap.

2. Glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan kalsium) darah. 3. Fungsi tiroid.

4. CEA.

5. Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan).

6. Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang terjadinya akut untuk mendeteksi adanya impaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.

7. Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.

 Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau fisiologis (waktu singgah di kolon, sinedefekografi, manometri, dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi

biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari rectum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi.

 Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi, ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.

 Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk menilai evaluasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi seerta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.  Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rectum dan saluran anus saat istirahat dan

pada berbagai rangsang unutuk menilai fungsi anorektal.

 Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomis maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non-spesifik.

TERAPI

1. Aktivitas dan olahraga teratur.

2. Asupan ciran dan serat (25-30 gram/hari) yang cukup.

3. Latihan usus besar; Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.

4. Jika modifikasi perilaku kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologi, dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar.

a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain :  Cereal

Methyl selulosePsilium

b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaas feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya antara lain :

 Minyak kastor  Golongan docusate

c. Golongan osmotic yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain:

 Sorbitol  Lactulose  Glycerin

d. Merangsang peristaltic, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus mesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya antara lain :

 Bisakodil  Fenolptalein

5. Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut diatas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.

KOMPLIKASI

Sindrom delirium akut, aritmia, ulserasi sterkoraseus, perforasi usus, retensio urin, hidrinefrosis bilateral, gagal ginjal, inkontinensia urin, inkontinensia alvi, dan volvulus daerah sigmoid akibat impaksi feses, serta prolaps rektum.

PROGNOSIS

Dubia ad bonam.

UNIT TERKAIT

Dalam dokumen SPM Penyakit Dalam (Halaman 115-122)

Dokumen terkait