• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Kaum Sufi Abad II-III H dalam Studi Hadis

TASAWUF DAN SUFI PERAWI HADIS

F. Interaksi Kaum Sufi Abad II-III H dalam Studi Hadis

1. Interaksi dalam Periwayatan Hadis

Muṣtafa al-A‘ẓamī setidaknya mencatat ada beberapa perawi hadis yang juga dikenal sebagai sufi yang memiliki beberapa karya atau risalah riwayat hadis,88 di antaranya adalah: Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H) yang pernah memiliki ṣaḥīfah hadis, meski setelah itu dibakar olehnya sendiri sebelum ia meninggal;89 Sufyān aṡ-Ṡaurī (w. 161 H); Ibnu al-Mubārak (w. 181 H) yang memiliki kitab hadis tentang zuhud, serta Ibrāhim an-Nakha‘ī (w. 96 H).

Al-Bukhārī (w. 256 H) dalam Adab al-Mufrad-nya tercatat meriwayatkan hadis dari Ibrāhīm bin Adham (w. 162 H). Ia juga pernah menegaskan bahwa ia mendukung proses kodifikasi hadis dengan menyatakan bahwa Tuhan telah menolak cobaan untuk umat ini dengan perjalanan para

muḥaddiṡ dalam mengumpulkan hadis (az-Zahrānī, 1998: 44).

88 Muḥammad Muṣṭafā al-A‘ẓamī, Dirāsāt Fi Al-Ḥadīs an-Nabawi Wa Tārīkḥ

Tadwīnihī, vol. I (Beirut: al-Maktab al-Islamī, 1992), 173, 256, dan 272.

89 Kisah mengenai pembakaran dan penghapusan kitab hadis tidak hanya dilakukan oleh Ḥasan al-Basrī saja. Sejarawan mencatat bahwa fenomena tersebut telah terjadi sejak masa sahabat dan tabiin dengan berbagai alasan yang menyertainya. Di antara sahabat yang tercatat telah menghapus bahkan membakar koleksi hadisnya adalah Abū Bakr, ‘Alī bin Abī Ṭālib, dan Ibnu Mas‘ūd. Sedangkan yang dari kalangan tabiin adalah seperti: ‘Ubaidah bin ‘Amr, Khālid bin al-Ḥiżā`, dan Hisyām bin Ḥisān. Lihat Daelan M. Danuri, “Kitābat al-Ḥadīṡ wa Tadwīnuh Qabla an-Takūna Rasmiyyah,” Al-Jāmi’ah 43, no. 1 (2005), 187-189 dan 196-199.

William Graham menyatakan pula bahwa kaum sufi juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam penyebaran hadis qudsi.90 Menurut mereka, hadis qudsi merupakan wahyu Tuhan di luar al-Quran (extra-Qur’anic revelation) yang banyak berbicara perihal spiritualitas yang nantinya menjadi basis utama dalam pembentukan ajaran-ajaran tasawuf. Sayangnya, mereka hanya memfokuskan diri pada materi atau matan dari hadis qudsi tersebut, dan tidak terlalu mementingkan jaringan sanadnya. Meski demikian, riwayat mereka masih dapat dilacak dalam koleksi kitab-kitab hadis yang ada. Karena kecenderungan matan oriented tersebut, banyak ditemukan kualitas hadis qudsi yang hanya sampai pada posisi hadis mursal, sebagaimana diungkapkan oleh Massignon.

Di antara sufi perawi hadis yang tercatat adalah Aḥmad bin Isḥāq bin al-Ḥaṣīn az-Zāhid (w. 242 H),91 Aḥmad bin Abī al-Ḥawārī (w. 246 H),92 Aḥmad bin Naṣr az-Zāhid (w. 245 H),93 Aḥmad bin Yaḥya al-‘Ābid (w. 264 H),94 Ibrāhīm bin Adham

90 William A. Graham, Divine Word and Prophetic Word in Early Islam (Paris: Mouton & Co, 1977), 69-70.

91 Ia dihukumi ṣadūq oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī

92 Ia dihukumi ṡiqat oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah Abū Dāwūd dan Ibnu Mājah. Ia adalah murid dari seorang Sufi masyhur Abū Sulaimān ad-Dārānī (w. 212/215 H)

93 Ia dihukumi ṡiqah oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah at-Nasā’ī dan at-Tirmiżī

94 Ia dihukumi ṡiqat oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah an-Nasā’ī

(w. 161 H),95 Aḥwaṣ bin Ḥakīm al-‘Ābid,96 Ādam bin Abī Iyās al-‘Ābid (w. 221 H),97 Ismā‘īl bin Abī al-Ḥāriṡ az-Zāhid (w. 258 H),98 Ṡābit bin Aslam al-Bunānī (w. 127 H),99 Ḥammād bin Salamah (w. 167 H),100 al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H),101 al-Ḥasan bin Manṣūr aṣ-Ṣūfī,102 ‘Abdur Raḥmān bin Ṡābit bin Ṡaubān (w. 165 H),103 ‘Abdullāh bin al-Mubārak (w. 181 H),104 Dāwūd aṭ-Ṭā’ī (w. 165 H),105 al-Fuḍail bin ‘Iyāḍ (w. 187 H),106

95 Ia dihukumi ṣadūq oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī> dalam kitab al-Adab dan at-Tirmiżī

96 Ia dihukumi ḍa‘īf al-ḥifẓ oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Mājah

97 Ia dihukumi ṡiqah oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah adalah Bukhārī, Abū Dāwūd dalam an-Nāsikh wa

al-Mansūkh, Ibnu Mājah, an-Nasā’ī dan at-Tirmiżi

98 Ia dihukumi ṣadūq oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah Abū Dāwūd dan Ibnu Mājah

99 Ia dihukumi ṡiqah oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwūd, Ibnu Mājah, an-Nasā’ī dan at-Tirmiżī

100 Ia dihukumi ṡiqah ṣadūq oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwūd, Ibnu Mājah, an-Nasā’ī dan at-Tirmiżī

101 Ia dihukumi ṡiqah oleh para kritikus hadis, meski sering pula meriwayatkan hadis secara mursal dan tadlīs. Di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwūd, Ibnu Mājah, a-Nasā’ī dan at-Tirmiżī

102 Ia dihukumi ṡiqah dan ṣadūq oleh para kritikus hadis dan di antara

mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī. Ia terkenal dengan sebutan

Abū ‘Alawiyyah aṣ-Ṣufī

103 Ia dihukumi ṡiqah oleh para kritikus hadis, meski dituduh sebagai pengikut Qadariah. Di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī dalam

al-Adāb, Abū Dāwūd, Ibnu Mājah, an-Nasā’ī dan at-Tirmiżī

104 Ia dihukumi ṡiqah ṡabat oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwūd, Ibnu Mājah, an-Nasā’ī dan at-Tirmiżī

105 Ia dihukumi ṡiqah oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah an-Nasā’ī

106 Ia dihukumi ṡiqah serta memiliki banyak riwayat meski tidak sampai pada derajat ḥāfiẓ oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwūd, an-Nasā’ī dan at-Tirmiżī

Bisyr al-Ḥāfī (w. 227 H),107 dan Ahmād bin ‘Aṣīm al-Anṭākī (w. 227 H).108

Misal, Ḥasan al-Baṣri (w. 110 H), dalam catatan Kamaruddin Amin, memiliki riwayat hadis yang tersebar dalam berbagai kitab hadis.109 Tercatat setidaknya ada 281 riwayat hadis darinya yang terekam dalam al-kutub as-sittah. Ia meriwayatkan 193 hadis Nabi saw dari 33 sahabat dan tābi‘īn, dan 88 hadis yang diriwayatkannya adalah mursalah. Dari 281 hadis yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, 43 hadis diantaranya ada dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim (31 hadis terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan 12 terdapat dalam

Ṣaḥīḥ Muslim). Meski para kritikus hadis memberikan label

kepadanya sebagai seorang mudallis,110 namun mengesampingkan berbagai riwayatnya merupakan suatu hal yang perlu dipikirkan ulang.

107 Ia dihukumi ṡiqah qudwah oleh para kritikus hadis dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah an-Nasā’ī dalam Musnad ‘Alī dan at-Tirmiżī dalam al-Masā’i`l.

108 Tidak ditemukan komentar yang jelas dari para kritikus hadis terhadapnya oleh, dan di antara mukharrij yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhārī

109 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009), 105-108.

110 Ada dua bentuk tadlīs dalam hadis, yaitu: tadlīs al-isnād, yakni perawi menggugurkan nama gurunya, lalu menukil dari orang yang lebih atas daripada gurunya dengan memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung atau perawi menggugurkan seorang perawi ḍa‘īf di antara dua orang perawi yang tsiqah. Kedua, tadlīs

asy-syuyūkh, yakni nama gurunya tidak digugurkan, tetapi gurunya itu digambarkan

dengan sifat yang tidak dikenal. Lihat Yaḥya bin Syaraf an-Nawāwī, al-Taqrīb

at-Taisīr li Ma‘rifat Sunan al-Basyīr an-Nażīr (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987),

Selain Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H), masih banyak ditemukan beberapa perawi yang dikenal juga sebagai seorang sufi terkenal. Fuḍail bin ‘Iyāḍ (w. 187 H), misalnya, yang dikomentari oleh para kritikus hadis sebagai seorang yang ṡiqat, ahli ibadah, dan memiliki banyak riwayat hadis, meskipun tidak sampai pada derajat ḥāfiẓ.111 Selain al-Fuḍail (w. 187 H), ada juga seorang sufi yang juga memiliki otoritas periwayatan hadis yang diakui oleh muḥaddiṡ, yaitu Aḥmad bin Abi al-Ḥawārī (w. 246 H). Ia adalah murid dari sufi terkenal Abū Sulaimān al-Dārānī (w. 212 H). Tercatat bahwa Abū Dāwud (w. 275 H/889 M), Ibnu Mājah (w. 273 H/887 M), dan Baqī bin Makhlad (w. 276 H/889 M) masuk dalam jaringan periwayatannya. Para kritikus hadis menyifatinya sebagai seorang yang zāhid serta banyak dipuji oleh ulama sezamannya.112

Kontribusi kaum sufi dalam periwayatan hadis ternyata tidak berhenti pada masa keemasan tadwīn saja, melainkan terus berlanjut hingga masa-masa sesudahnya. Aż-Żahabī (w. 1347 M), sebagaimana dinukil oleh Sayyid Alī, menuturkan beberapa perawi yang juga seorang sufi terkenal di zamannya.113 Di antara mereka adalah: Muḥammad bin Dāwud bin Sulaimān az-Zāhid (w. 342 H), yang dijuluki sebagai Syaikh aṣ-Ṣūfiyyah dari Naisābur; al-Gundur aṡ-Ṡāliṡ (w. 357

111 Abū al-Ḥajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahżīb al-Kamāl fī Asmā’ ar-Rijāl (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), 282.

112 l-Mizzī, Tahżīb al-Kamāl fī Asmā’ ar-Rijāl, 371.

113 Sayyid Nūr bin Sayyid ‘Alī, at-Taṣawwuf asy-Syar‘ī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 42-46.

H) seorang sufi muḥaddiṡ yang suka berkelana; Aḥmad bin Muḥammad al-Harāwī al-Mālinī aṣ-Ṣūfi (w. 412 H), terkenal sebagai ṭāwus fuqarā’ (meraknya para fakir); Al-Ṭūsi al-Ḥāfiẓ Abu al-Faḍl Naṣr bin Muhammad bin Ahmad al-‘Aṭṭār (w. 383 H), ia terkenal sebagai salah satu penegak hadis di Khurasān dan terkenal dengan perilaku zuhud dan kedermawanannya, ia juga sahabat asy-Syiblī (w. 334 H); ‘Aṭiyyah bin Sa’id al-Andalusī aṣs-Ṣūfi (w. 408 H), ia adalah perawi yang zahid dan tidak pernah tidur kecuali dengan iḥtiba’ (duduk memeluk lutut dan kaki diikat dengan serban); Abū Nu‘aim al-Ḥāfiẓ al-Kabīr al-Aṣbihānī aṣ-Ṣūfi (w. 430 H/1038 M), ia adalah pengarang kitab Ḥilyah al-Auliyā’, selain itu, ia juga memiliki beberapa karya yang berkaitan dengan ilmu hadis, seperti: kitāb ma‘rifah aṣ-ṣaḥabat, mustakhraj ‘alā

al-Bukhāri, dan al-mustakhraj ‘alā Muslim; dan masih banyak

yang lain.

2. Interaksi dalam Pemahaman Hadis (Fiqh al-Ḥadīṡ)

Yaḥya bin Ma‘īn (w. 233 H) pernah menceritakan bahwa pada suatu hari Aḥmad bin Ḥanbal (w. 241 H) bertemu dengan Aḥmad bin Abī al-Ḥawārī (w. 246 H) di Mekkah. Ibn Ḥanbal bertanya kepada al-Ḥawārī tentang satu petuah yang didapatkan dari gurunya, yaitu Abu Sulaimān ad-Dārānī (w. 215 H). Kemudian al-Ḥawārī berkata “guruku pernah berkata: “jika engkau telah sukses mengikat nafsumu dari berbuat dosa, maka ia akan naik ke alam Malakūt dan kembali dengan berbagai

hikmah yang didapatkan tanpa melalui pembelajaran oleh para alim.” Mendengar pernyataan tersebut, Ibn Ḥanbal merenung sesaat, dan setelah itu membenarkannya seraya merenungkan sebuah hadis Nabi saw yang berbunyi: “barang siapa yang mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan mewariskan ilmu yang ia tidak ketahui.”114

Kisah tersebut mensiratkan bahwa pemahaman intuitif (żauqī) telah menjadi salah satu model dalam memahami kandungan hadis Nabi saw. Meski kenyataannya masih banyak para muḥaddiṡ yang meragukan validitas model sufi tersebut. Akan tetapi, hal tersebut seharusnya tidak menjadi polemik yang berlebihan karena pada hakikatnya pemahaman terhadap suatu riwayat tergantung pada perspektif apa yang digunakan oleh ulama tersebut. Jadi, dapat dijelaskan bahwa corak sufi dalam pemahaman hadis tersebut dapatlah dipertanggung jawabkan asal masih dalam batas koridor atau standar yang ada dan tidak jauh dari makna dasar teks hadis tersebut.

Al-Ḥakīm at-Tirmiżī (w. 320 H), seorang sufi akhir abad ke-3 H. memiliki satu karya yang berkaitan dengan hadis dan menjadikan corak sufistik sebagai model pemahamannya terhadap hadis. Karya tersebut berjudul Nawādir al-Uṣūl fī

Ma’rifah Aḥādiṡ ar-Rasūl.115 Ia secara tegas menyatakan bahwa

114 Ahmad bin ‘Abdullāh bin Aḥmad Abū Nua‘im Aṣbihānī, Ḥilyah

al-Auliyā’ wa Ṭabaqāh al-Aṣfiyā’ (Mesir: as-Sa’ādah, 1974), X: 14-15.

115 Muḥammad bin Alī al-Ḥakīm at-Tirmiżī, Nawādir al-Uṣūl fī Aḥādīṡ

pendekatan sufistik merupakan pendekatan yang ia gunakan dalam memahami matan hadis Nabi saw. Mengenai interpretasi sufistik, ia menyatakan bahwa kata apa saja pada dasarnya dapat memiliki makna ganda. Hal itu bertujuan memberikan kekayaan tafsir terhadap suatu teks.

Baginya, penafsir isyārī seperti peselancar yang bertitik tolak dari lapisan permukaan makna yang signifikan dari suatu teks kemudian mempertimbangkan hubungan kalimat dari teks tersebut dengan pengalaman pribadinya.116 Ibnu Hajar bahkan menjuluki al-Ḥakīm at-Tirmiżī (w. 320 H) sebagai ulama yang pakar dalam ilmu ma‘ānī al-ḥadīṡ.117 Menurutnya, hadis Nabi saw memiliki posisi yang sentral dalam memformulasikan beragam konsep ketasawufan, seperti zuhud, tobat, mahabah, dan lainnya.118

Abu al-‘Ala ‘Afīfī (1963:112) menyatakan bahwa alasan kaum sufi menggunakan metode isyārī sufistik dalam memahami hadis Nabi saw dikarenakan telah terjebaknya para ulama pada masa itu dalam cara pandang yang tekstual formalistik, fiqh-minded.119 Oleh karenanya, ajaran Islam

116 Maryam Musharraf, “A Study on the Sufi Interpretation of Qur’ān and the Theory of Hermeneutic,” Al-Bayan: Journal of Qur'an and Hadith Studies 11, no. 1 (April 26, 2013): 33–47, doi:10.11136/jqh.1311.01.03.

117 Aḥmad bin ‘Alī bin Ḥajar al-‘Asqalāni, Tahżīb at-Tahżīb (India: Maṭba’ah Dā’irah al-Ma‘ārif an-Niżāmiah, 1326), VII: 386.

118 Aḥmad ‘Abd al-Raḥīm as-Sāyiḥ, as-Sulūk ‘ind al-Ḥakīm at-Tirmizī (Kairo: Dār al-Salām, 1988), 44.

119 Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari munculnya beragam karya kanonik hadis pada abad ketiga hijriyah yang bercorak fiqh, seperti enam karya hadis terkenal (al-kutub as-sittah). Muncul kecenderungan fiqh minded tersebut merupakan

terkesan kaku dan kering dari nilai-nilai spiritualitas. Gesekan paradigma inilah yang nantinya menjadi semacam benturan dan konflik yang berkelanjutan antara kaum sufi dan para fuqahā’,

muḥaddiṡūn, serta mutakallimūn.

Selcuk Coskun, professor hadis dari Ataturk University Faculty of Theology, menegaskan bahwa melalui dimensi fitrah yang suci, suatu hadis dapat dibuktikan apakah ia hadis sahih ataupun hadis palsu.120 Hal ini dikarenakan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki kapasitas spiritual yang mana dapat membedakan sesuatu yang benar dan yang salah. Menurutnya, optimalisasi fitrah yang suci dapat membimbing seseorang untuk dapat membedakan mana hadis yang benar-benar dari Rasul dan mana yang bukan darinya. Guna mendapatkan penilaian yang optimal dari fitrah suci tersebut, setidaknya dibutuhkan tiga cirri utama di dalamnya, yaitu: kemampuan alami dari nalar (natural capability of aql), rasa bawaan (innate

sense), serta kebiasaan bawaan (innate habits). Harus disadari

pula bahwa potensi ini hanya dapat dipahami oleh mereka yang memilikinya. Jadi, pendekatan ini lebih bersifat subjektif dalam membuktikan keautentikan suatu hadis.

bentuk respon dari ahli hadis terhadap ahli ra’yi. Konflik dari kedua tradisi keilmuan inilah, yakni tradisi rasionalis dan tradisi tradisionalis, yang akhirnya memberikan warna sedemikian rupa dalam proses kanonisasi riwayat hadis. Lihat Dede M. Rodliyana, “Hegemoni Fiqh Terhadap Penulisan Kitāb Ḥadīth,” Journal of Qur’ān

and Ḥadīth Studies 1, no. 1 (2012): 119–44.

120 Selçuk Coşkun, “On the Use of ‘Fitrah’ as a Measure in Determining Whether a Narrated Hadīth Belongs to the Prophet Muhammad,” Journal of Hadīth