• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Tasawuf dan Sufi

TASAWUF DAN SUFI PERAWI HADIS

A. Pengertian Tasawuf dan Sufi

Secara etimologis, tasawuf berasal dari bahasa Arab yang masih diperdebatkan asal katanya, baik oleh sarjana Muslim maupun Barat. Pandangan mayoritas mengatakan bahwa istilah itu berasal dari kata ṣūf, yang berarti wol. Karena kaum sufi awal biasanya memakai pakaian wol kasar. Sebagian mengatakan bahwa kata itu dinisbatkan kepada ahl aṣ-ṣuffah, para sahabat dekat Nabi saw yang sering duduk di beranda Masjid Nabi di Madinah. Lainnya menyatakan bahwa kata itu berasal dari ṣafā, yang berarti suci, bersih, atau jernih, atau berasal dari ṣaff, yang berarti barisan terdepan, karena kaum sufi berada pada barisan pertama di sisi Allah SWT.15

Bahkan ada beberapa sarjana, terutama yang berasal dari Barat, mencoba mengaitkan asal kata tasawuf dengan bahasa Yunani, sophia atau sophos, yang berarti arif dan bijak. Akan tetapi, pandangan tersebut tidak bisa diterima secara filologis.16 Akan tetapi, Al-Qusyairī mengkritik semua pendapat tersebut

14 Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 56.

15 M. Amin Syukur and Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi

Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 11-13; Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, 213.

dengan menyatakan bahwa nama sufi dan tasawuf tidak memiliki akar etimologis, tetapi kata itu merupakan atribut (laqb).17 Senada dengan al-Qusyairī (w. 465 H) di atas, ‘Abdul Wāḥid Yaḥya menyatakan bahwa kata itu merupakan nama simbol (tasmiyyah

ramziyyah) melalui nilai numerik simbol huruf-hurufnya, dan

istilah itu berkaitan erat dengan hikmah ilahiah (ḥikmah

al-ilāhiyyah). Jadi, seseorang dikatakan sufi atau al-ḥakīm al-ilāhī

apabila ia telah sampai pada hikmah ilahiah tersebut.18

Meski pandangan mayoritas menyatakan bahwa tasawuf atau sufi berasal dari ṣūf, yang berarti jubah wol kasar, ‘Abdul Ḥalīm Maḥmūd menegaskan bahwa istilah tersebut berasal dari kata yang identik dengan segi lahiriah saja, yaitu pakaian dari wol kasar yang biasa dikenakan oleh para sufi.19 Meski seperti itu, bukan berarti tasawuf adalah bersifat lahiriah. Sebab, tidak ada keharusan dalam sebuah istilah harus yang dimaksudkan adalah makna asal dari istilah tersebut. Dikarenakan terkadang suatu istilah bisa berkembang, berubah, bahkan berbeda dari makna asal istilah tersebut.20

17 Abū Qāsim Qusyairī, ar-Risālah Qusyairiyyah (Dār Maḥajjah al-Baiḍā, t.t.), II: 440.

18 ‘Abdul Ḥalīm Maḥmūd, Qaḍiyyah at-Taṣawwuf: al-Munqiż min al-Ḍalāl (Kairo: Dār al-Ma’ārif, t.t.). 32.

19 Maḥmūd, Qaḍiyyah at-Taṣawwuf: al-Munqiż min al-Ḍalāl, 34-35. 20 Menurut sejarawan, orang yang pertama kali memakai kata sufi adalah Abū Hāsyim al-Kūfi (w. 160 H./776 M.) seorang zahid dari Kufah. Nicholson, sebagaimana dikutip oleh ‘Afīfī (1963: 28-29), berbeda dengan pendapat tersebut. Menurutnya, gelar sufi sudah ada pada paruh kedua abad kedua hijriah dan orang yang mendapatkan gelar sufi tersebut adalah Jābir bin Hayyān bin Abdullāh al-Kūfī (w. 161 H). Lihat dalam M. Jalāl Syaraf, Dirāsah fi at-Taṣawwuf al-Islamī;

al-Dengan demikian, kata tasawuf pada awal mulanya tidaklah dipahami sebagaimana yang dipahami sekarang. Melainkan dipahami sebagai gerakan awal dalam menjauhi kehidupan duniawi, dan itu memang merupakan ciri khas kaum zāhid dan

nāsik generasi pertama.21 Mengenai hal ini, al-Kalābāżī mengatakan:22

“Orang-orang yang menghubungkan mereka dengan bangku dan wool menyatakan segi luar kehidupan mereka saja, sebab sebenarnya mereka itu adalah orang-orang yang telah meninggalkan dunia ini, meninggalkan rumahnya, berpisah dengan teman-temannya. Mereka mengembara ke pelbagai negeri, membunuh nafsu jasmani, dan membersihkan jiwa” Selanjutnya, secara terminologis, tasawuf diartikan secara beragam oleh para sarjana, baik Muslim maupun Barat. Bahkan, Syeikh Zarūq (w. 1493 M.), sebagaimana dikutip oleh Ibnu ‘Ajībah menuturkan bahwa definisi tasawuf mencapai hingga bilangan dua ribu, yang kesemuanya itu tertuju pada upaya real menuju kehadirat Allah (tawajjuh ilā Allāh) meski melalui jalan yang ‘Alā ‘Afīfī, at-Taṣawwuf: aṡ-Ṡaurah ar-Rūḥiyah fī Islām (Alexandria: Dār al-Ma’ārif, 1963), 28-29.

21 Selain menjalani kehidupan asketis, para zahid, sebagai sufi generasi pertama, juga memiliki relasi dengan kehidupan Rasul saw dan para sahabatnya serta mengambil bimbingan spiritual baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti ibunya al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H) yang merupakan pembantu Ummu Salamah, istri Rasul saw; Rabīah ‘Adawiyyah (w. 135 H) yang pernah bertemu Ā‘isyāh; dan al-Fuḍail bin ‘Iyāḍ (w. 187 H) yang pernah berkunjung kepada Ja’far aṣ-Ṣādiq (w. 148 H). Lihat dalam Maryam Bakhtyar, “Prophets Lifestyle, Criterion of Reflected Islamic Mysticism Persian Sufical Texts,” Asian Journal of Social Sciences & Humanities 1, no. 1 (2014): 170–76.

22 Abū Bakr Muḥammad al-Kalābazī, at-Ta‘arruf li Mażhab Ahl at-Taṣawwuf (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 17-18.

beragam sesuai dengan kecenderungan maqām yang telah dicapainya.23

Tercatat bahwa Ma‘rūf al-Karkhī (w. 200 H/816 M) adalah orang yang pertama kali mendefinisikan tasawuf, yaitu: “berpegang pada hal-hal yang hakiki dengan mengabaikan segala apa yang ada pada makhluk.” Bisyr bin al-Ḥāriṡ al-Ḥāfī (w. 227 H) berpandangan bahwa “sufi adalah orang yang hatinya suci karena Allah.” Selain itu, Abu Turāb an-Nukhsyabī (w. 240 H) mendefinisikan sufi sebagai seorang yang tidak terkotori oleh sesuatu dan segala sesuatu menjadi jernih dengannya.

Secara tegas pula, Abū al-Ḥusain an-Nūrī (w. 295 H) menyatakan bahwa tasawuf bukanlah tata cara atau aturan (rasm) maupun ilmu, akan tetapi ia adalah akhlak. Sebab apabila tasawuf adalah rasm maka ia cukup dengan mujāhadah, dan jikalau ia adalah ilmu maka cukup dengan belajar (ta‘līm), tetapi ia adalah akhlak atau berperangai sebagaimana perangai Tuhan (takhalluq bi

akhlāq Allāh), dan itu tidak diperoleh dengan rasm dan ta‘līm.

Pandangan semacam ini juga dilontarkan oleh Sufyān aṡ-Ṡaurī (w. 161 H) (Mutawallī, 1984: 227). Definisi lain juga dipaparkan oleh Abu Bakr al-Kattānī (w. 322 H) dengan mengatakan bahwa tasawuf adalah akhlak, siapa saja yang bertambah (mulia) akhlaknya maka bertambah pula kesucian hatinya. Selain itu

23 Aḥmad bin Muḥammad Ibnu al-‘Ajībah, Īqāẓ Al-Himam Fi Syarḥ Al-Ḥikam (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, t.t.), 17.

Kattānī juga menyatakan bahwa tasawuf adalah ṣafā (kesucian) dan musyāhadah (penyaksian langsung).24

Abu al-‘Alā ‘Afīfī setidaknya telah mengkaji enam puluh lima definisi tasawuf dari kaum sufi secara berurutan sesuai tahun keberadaannya, yaitu antara 200-420 H, dan tidak menemukan sebuah pengertian tasawuf yang definitif. Ia hanya dapat menyimpulkan gambaran umum dari beragam pengertian tersebut bahwa tasawuf, dalam konteks asas dan substansinya, adalah faqd (kehampaan) dan wujūd (keadaan). Maksudnya, hampa dan sirna dari diri personal dan segala sifat-sifatnya, serta kekal dalam citra Allah.25 Di samping itu, definisi-definisi tersebut, selain mengandung unsur pengalaman spiritual, juga menjelaskan metode tentang bagaimana cara menuju kepada Allah.

Senada dengan pandangan ‘Afīfī di atas, ‘Abdul Ḥalīm Maḥmūd juga menegaskan bahwa definisi tasawuf yang diungkapkan oleh kaum sufi sebenarnya memiliki dua unsur yang penting, yaitu wasīlah (sarana) dan gāyah (tujuan final).26 Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapan yang dilontarkan oleh al-Kattāni (w. 322 H), yakni: “tasawuf adalah ṣafā’ dan

musyāhadah.” Kejernihan hati untuk menuju penyaksian langsung

kepada Allah SWT. Begitu pula ‘Abdus Sattār Mutawallī juga mengungkapkan bahwa tasawuf hakikatnya memiliki dua unsur

24 ‘Afīfī, at-Taṣawwuf: aṡ-Ṡaurah ar-Rūḥiyah fī al-Islām, 39-54; Maḥmūd,

Qaḍiyyah at-Taṣawwuf: al-Munqiż min al-Ḍalāl, 38, 42-43; al-‘Ajībah, Īqāẓ Al-Himam Fi Syarḥ Al-Ḥikam, 16-17.

25 ‘Afīfī, at-Taṣawwuf: aṡ-Ṡaurah ar-Rūḥiyah fī al-Islām, 35. 26 Maḥmūd, Qaḍiyyah at-Taṣawwuf: al-Munqiż min al-Ḍalāl, 43-47.

utama, yaitu: unsur ‘amalī (praktek) dan unsur żauqī rūhī (intuisi spiritual), yang keduanya saling berkaitan.27 Unsur pertama sebagai mukadimah yang berupa praktek olah batin (riyāḍah) dan

mujāhadah, yang akhirnya menumbuhkan dimensi batin berupa

pengalaman intuisi.

Ibrāhīm Basyūnī secara panjang lebar juga membagi beragam definisi tasawuf yang ada menjadi tiga bagian, yaitu:

al-bidāyah, al-mujāhadah, dan al-mażāqah.28 Ketiga tingkatan tersebut berawal dari proses penyucian jiwa serta penjernihan hati (al-bidāyah), kemudian berupaya untuk menghiasi diri dengan melakukan perbuatan yang utama nan mulia (al-mujāhadah), dan akhirnya mendapatkan manisnya kedekatan serta persaksian dengan Allah (al-mażaqah).

Oleh karenanya, at-Taftāzānī mengidentifikasi beberapa karakteristik umum yang ada dalam tasawuf. Menurutnya, tasawuf umumnya memiliki lima ciri, yaitu: (1) peningkatan moral, aṣ-ṣafā; (2) pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak, faqd wa

wujūd; (3) pengetahuan intuitif langsung, ma‘rifah wa al-mukāsyafah; (4) timbulnya rasa kebahagiaan, al-musyāhadah wa

27 ‘Abd al-Sattār al-Sayyid Mutawallī, Adab az-Zuhd fi al-‘Aṣr al-‘Abbāsi:

Nasya`tuhu wa Taṭawwuruhu wa Asyhar Rijālihi (Mesir: Hai’at Miṣriyah

al-‘Ammāh li al-Kitāb, 1984), 230.

28 Ibrāhīm Basyūnī, Nasy’ah at-Tasawwuf al-Islāmī (Mesir: Dār al-Ma‘ārif, 1969), 17-25.

as-sa‘ādah al-abadiyyah; dan (5) penggunaan simbol dalam

ungkapan-ungkapan, ar-ramziyyah wa asy-syaṭāhāt.29

Dengan demikian, aktifitas-aktifitas yang sering diidentikkan dengan tasawuf atau sufi seperti zuhud dan tekun beribadah merupakan bagian dari sarana menuju musyāhadah

ilāhiyyah. Oleh karenanya, tidak serta merta bagi mereka yang

terkenal dengan sebutan zāhid maupun ‘ābid adalah ṣūfi. Akan tetapi, jika seseorang dikatakan sebagai sufi maka ia pasti zāhid dan atau ‘ābid, karena semua itu merupakan gelar-gelar yang menunjukkan aktifitas yang ditekuninya.30

Al-Gazālī menuturkan bahwa tasawuf merupakan urusan batin yang tidak bisa diketahui dan tidak mungkin hakikatnya dihukumi secara tepat, kecuali ia bisa diketahui dengan melihat unsur-unsur lahiriah yang biasa dinisbatkan kepada istilah sufi.31 Meski demikian, sifat (atribut) tersebut bisa saja hilang bersamaan dengan tercerabutnya gelar sufi darinya. Sebab, hakikat sufi adalah orang-orang saleh dengan karakter tertentu, yang bisa saja karakter itu luntur dalam dirinya karena perbuatan kotor yang dilakukannya, meski ia memakai jubah atau atribut kesufian.

29 Abū al-Wafā al-Ganīmī at-Taftāzānī and Ahmad Rofi’ Utsmani, Madkhal

ilā at-Taṣawwuf al-Islāmī (Bandung: Pustaka, 1985), 4-5.

30 Ibn Sina dalam buku al-Isyārāt wa at-Tanbīhāt memaparkan definisi zahid sebagai orang yang meninggalkan kelezatan dan kenikmatan duniawi, dan abid sebagai orang yang tekun dalam beribadah, serta arif atau sufi sebagai orang yang memusatkan pikirannya kepada kesucian al-Jabarūt (Kuasa Tuhan) dan berusaha selalu dalam pancaran cahaya-Nya. Lihat dalam Maḥmūd, Qaḍiyyah at-Taṣawwuf:

al-Munqiż min al-Ḍalāl, 20, 40-41.

31 Abū Ḥāmid Muhammad al-Gazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn (Beirut: Dār Ibnu Ḥazm, 2005), II: 153.

Ibnu Taimiyyah juga memberikan tiga criteria mengenai siapa yang berhak memiliki atribut sufi, yaitu: 1) senantiasa melaksanakan kewajiban syari’at serta menjauhi keharaman

(al-‘adālah asy-syar‘iyyah); 2) senantiasa berperilaku sesuai tuntunan

syari’at dalam berbagai kondisi dan situasi (talāzum fī at-taa`ddub

bi al-adāb asy-syar‘ī fi gālib al-auqāt); dan 3) selalu hidup

sederhana sekedar memenuhi hajatnya (al-kafāf wa al-mutamassik

bi fuḍūl ad-dunyā).32

Begitu pula dengan keramat, bahwa sejatinya tasawuf tidak ada kaitannya dengan keramat. Bagi kaum sufi, keramat adalah suatu hal yang sepele yang hanya memunculkan rasa senang sementara tanpa memiliki dampak yang permanen atau derajat yang istimewa bagi penerimanya. Mereka hanya menginginkan

musyāhadah ilāhiyyah, yang pada hakikatnya merupakan derajat

pengetahuan tertinggi (ma’rifat) pasca nubuwwah, melalui

maqāmāt dan aḥwāl yang dicapainya.33