TASAWUF DAN SUFI PERAWI HADIS
G. Sufi Perawi Hadis Abad II-III H
Berdasarkan penelusuran pada literatur-literatur rijāl
al-ḥadīṡ, rijāl aṣ-ṣūfiyah, serta biografi intelektual Muslim dijumpai
sejumlah perawi hadis yang memiliki perilaku serta atribut sufistik dan riwayatnya terekam dalam al-Kutub at-Tis‘ah. Penelusuran tersebut di awali mulai dari generasi tābi‘īn hingga generasi tab‘
al-Atbā‘ yang oleh umat Islam dikenal sebagai masa muncul dan
jayanya berbagai tradisi keilmuan Islam, seperti tradisi kodifikasi hadis dan tradisi sufistik. Sufi perawi yang ditemukan dalam rentang generasi tersebut berjumlah 295 orang dengan klasifikasi sebagaimana berikut; generasi tābi‘īn sebanyak 109 orang, generasi atbā‘ at-tābi‘īn sebanyak 138 orang, dan generasi tab‘ al-atbā‘ sebanyak 48 orang.121
Apabila dilihat dari sisi penyematan atribut serta gambaran dari perilaku sufistik yang ada, ditemukan beragam atribut kesufian sebagaimana paparan berikut:
Tabel 3.1. Ragam Atribut dari Sufi Perawi
No Atribut T AT TA Jumlah 1 al-‘Ābid 88 123 39 250 2 al-Abdāl 1 13 8 22 3 al-Bakkā` 7 7 1 15 4 al-Ḥakīm 2 - 1 3 5 al-Khā`if - 1 - 1
121 Perihal biografi singkat dari masing-masing sufi perawi dapat dilihat pada Lampiran 1 Nama-Nama Sufi Perawi Hadis
No Atribut T AT TA Jumlah 6 al-Khāsyi‘ 2 1 - 3 7 Mujāb ad-Du‘ā’ 2 1 - 3 8 al-Muta’allih 1 - - 1 9 al-Mutabattil 1 - - 1 10 al-Mutaqasysyif - 2 - 2 11 an-Nāsik 2 1 - 3 12 al-Qānit 4 2 - 6 13 al-Qawwām 4 - - 4 14 al-Qiss 1 - - 1 15 ar-Rāhib 1 2 1 4 16 ar-Rabbānī 1 - - 1 17 aṣ-Ṣāliḥ 1 - - 1 18 aṣ-Ṣawwām 5 1 - 6 19 aṣ-Ṣūfī - 1 2 3 20 as-Sajjād 1 - - 1 21 al-Walī 4 5 - 9 22 al-Wara‘ 9 10 5 24 23 az-Zāhid 23 41 18 82
Keterangan: T: Tābi‘īn, AT: Tab‘ al-Atbā‘, TA: Tab‘ al-Atbā‘
Melalui paparan dalam tabel tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa atribut yang dominan disematkan kepada para sufi perawi adalah al-‘ābid yang berjumlah 250 kali (tābi‘īn sebanyak 88 kali;
atbā‘ at-tābi‘īn sebanyak 123 kali; dan tab‘ al-atbā‘ sebanyak 39
kali; atbā‘ at-tābi‘īn sebanyak 41 kali; dan tab‘ al-atbā‘ sebanyak 18 kali). Sering munculnya dua atribut tersebut setidaknya menunjukkan serta memperkuat pendapat bahwa tradisi zuhud dalam arti menjauhkan diri dari materi duniawi serta tenggelam dalam ritual ibadah yang ketat masih menjadi alur utama dalam tradisi sufistik awal. Adapun atribut seperti an-nāsik, al-qānit,
ar-rāhib, qiss, mutabattil, qawwām, aṣ-ṣawwām, dan al-khāsyi‘ pada dasarnya satu jenis dengan atribut al-‘ābid.
Kemudian, atribut al-mutaqasysyif serta al-wara‘ merupakan bagian dari atribut az-zāhid. Selebihnya, atribut, seperti al-bakkā`,
al-khā’if, dan yang lain, merupakan bagian dari ekspresi-ekspresi
esoteric seperti rasa al-khauf wa ar-rajā` (takut dan berharap), yang juga sudah muncul dan berkembang sebagai bagian dari tradisi tasawuf saat itu.
Ada satu atribut yang perlu dicermati dari paparan tabel tersebut. Atribut itu adalah aṣ-ṣūfī yang hanya disebut sebanyak tiga kali dan itu ada pada generasi atbā‘ at-tābi‘īn disebut satu kali dan tab‘ al-atbā‘ disebut dua kali. Hal ini menunjukkan bahwa atribut aṣ-ṣūfī, sebagai atribut khas bagi para pengamalnya, belum lah muncul sebagai atribut yang dominan pada generasi awal, yakni tābi‘īn, meski telah ditemukan catatan bahwa pada generasi ini telah muncul seorang az-zāhid yang dijuluki pula sebagai
aṣ-ṣūfi, yaitu Abu Hāsyim al-Kūfi (w. 160 H./776 M.).122
122 Catatan tersebut bermula dari pernyataan Sufyān aṡ-Ṡauri yang berkata: “jika tidak ada Abū Hāsyim aṣ-Ṣūfī niscaya aku tidak mengetahui hakikat riyā’.” Menurut mayoritas ulama, atribut yang disematkan oleh Sufyān kepada Abū Hāsyim
Karena, tradisi tasawuf pada generasi awal masih berupa amalan ihsan (moralitas) yang mewujud dalam sebuah perilaku seperti zuhud serta tekun dalam beribadah, dan belum membentuk diri menjadi sebuah ajaran yang tersistematis sebagaimana periode setelahnya. Sebagaimana pendapat Ibnu Khaldūn (t.th.; 329) yang menyatakan bahwa istilah ṣūfiyah, yang disematkan kepada mereka yang ahli ibadah serta menjauhi gemerlap kehidupan duniawi, baru muncul pada abad kedua hijriyah dan seterusnya. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa perilaku zuhud telah mengalami perubahan istilah menjadi
aṣ-ṣūfī ketika memasuki abad pertengahan abad kedua hijriyah.123
Dikarenakan oleh banyaknya pemakaian kain berjenis wol (aṣ-ṣūf) oleh kaum zahid saat itu.
Satu hal yang perlu diketahui pula adalah bahwa penyebutan atribut tersebut tidaklah tunggal untuk setiap perawi yang ada. Melainkan banyak sekali ditemukan seorang perawi yang mendapatkan dua atribut sekaligus atau bahkan lebih, seperti Buddail bin Maisarah al-‘Ābid az-Zāhid (w. 125 H); Salmah bin Dīnār al-‘Ābid az-Zāhid al-Ḥakīm (w. 133 H); Ḥammad bin Salamah al-‘Ābid al-Abdāl (w. 167 H); Yaḥya bin Yamān al-‘Ābid ar-Rāhib al-Mutaqasysyif (w. 189 H); Aḥmad bin Yaḥya al-‘Ābid aṣ-Ṣūfī (w. 264 H); dan Yaḥya bin Ayyūb ‘Ābid az-Zāhid al-Kūfī inilah yang menjadi awal kemunculan istilah sufi/tasawuf dalam tradisi keilmuan esoterik Islam setelahnya. Lihat Syaraf, Dirāsah fi at-Taṣawwuf al-Islamī;
Syakhṣiyyāh wa Mażāhib, 81.
Bakkā` al-Wara‘ (w. 234 H). Variasi atribut tersebut biasanya disebabkan oleh adanya penyematan atribut dari pernyataan tokoh yang beragam terhadap seorang perawi. Di samping pula, didasarkan pada beberapa perilaku atau aktifitas seorang perawi yang dikategorikan sebagai perilaku sufistik.
Selanjutnya, merujuk pada keterangan yang ditulis oleh al-Jawābī dan ‘Ajjāj al-Khaṭīb yang menjelaskan bahwa penyebaran riwayat hadis telah berlangsung sejak periode sahabat dan tābi‘īn hingga berjalan secara massif pada awal abad II H di berbagai kawasan dunia Islam saat itu.124 Kemudian muncul beragam pusat kajian hadis yang dikenal dengan sebutan “madrasah” atau “markaz” di Madinah, Kufah, Basrah, Mesir, kawasan Khurasan, bahkan ke kawasan Islam bagian barat, seperti di Afrika dan Andalusia. Berikut paparan sebaran kawasan dari sufi perawi:
Tabel 3.2. Sebaran Kawasan Sufi Perawi
No Kawasan T AT TA Jumlah 1 Madinah 17 6 - 23 2 Mekkah 5 8 - 13 3 Yaman 2 3 1 6 4 Basrah 29 33 2 64 5 Kufah 33 37 5 75 6 Syam 18 17 9 44
124 Muḥammad Ṭāhir al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-Ḥadīṡ
an-Nabawī asy-Syarīf (Tunis: Muassasāh ‘Abdul Karīm bin ‘Abdullāh, 1989), 18-43;
Muḥammad ‘Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Ḥadīṡ: ‘Ulūmuhu wa Muṣṭalaḥuhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), 116-126.
No Kawasan T AT TA Jumlah 7 Mesir 4 13 2 19 8 Bagdad - 4 12 16 9 Wasit - 6 2 8 10 Khurasan 1 4 8 13 11 Bukhara - - 2 2 12 Mosul - 3 - 3 13 Tarsus - 1 2 3 14 Isfahan - 1 1 2 15 Ta’if - 1 - 1 16 Hamedan - - 1 1 17 Tdk diketahui - 1 1 2 109 138 48 295
Keterangan: T: Tābi‘īn, AT: Atbā‘ at-Tābi‘īn, TA: Tab‘ al-Atbā‘
Berdasarkan tabel sebaran di atas, dapat dikatakan bahwa setidaknya terdapat delapan kawasan besar, di samping kawasan lainnya, yang menjadi sentral bagi sufi perawi dalam mentransmisikan riwayat-riwayatnya. Meski demikian, jumlah sufi perawi dari masing-masing kawasan tersebut sangat beragam dan variatif, baik dilihat dari sisi banyak dan sedikitnya maupun dari sisi jumlah antar generasi. Berikut penjelasan singkat mengenai delapan kawasan utama tersebut:
1. Madinah
Madinah merupakan kota utama tempat periwayatan hadis. Hal ini dapat dipahami karena Madinah merupakan
tempat dimana Nabi Muhammad saw tinggal dan membentuk komunitas pasca melakukan hijrah dari Mekkah. Jadi, banyak dari sahabat yang menetap dan merekam setiap aktifitas Nabi Muhammad saw. Kemudian, para sahabat mentransmisikannya kepada generasi berikutnya. Demikian halnya dengan sufi perawi hadis, setidaknya terdapat tujuh belas orang dari generasi tābi‘īn dan enam dari generasi atbā‘ at-tābi‘īn yang meriwayatkan hadis dalam al-Kutub at-Tis‘ah. Di antara mereka yang terkenal adalah: Sa’īd bin Musayyab (w. 90 H); Khārijah bin Zaid (w. 100 H); Sulaimān bin Yasār (w. 100 H); dan Muḥammad bin al-Munkadir (w. 130 H).
Mengenai keberadaan mereka di kawasan Madinah, ‘Afīfī menyatakan bahwa pada hakikatnya kemunculan tradisi zuhud telah berawal dari kawasan ini dikarenakan banyaknya para sahabat yang berusaha secara langsung meniru perilaku sederhana Nabi Muhammad saw.125 Selain itu pula, situasi politik, di antaranya perpindahan kekuasaan dari Madinah ke Damaskus oleh dinasti Umayyah, menjadi pemicu munculnya sikap apolitis dan sikap menjauhi hiruk pikuk kehidupan dunia oleh beberapa sahabat dan generasi tābi‘īn saat itu.
Fenomena perpindahan kekuasaan politik ini pula yang mungkin bisa menjadi alasan mengapa pada generasi setelah
tābi‘īn, sufi perawi hadis di Madinah mengalami kemunduran.
Bahkan tidak ditemukan catatan perihal sufi perawi pada generasi tab‘ al-atbā‘, sebagaimana dalam tabel tersebut di atas. 2. Mekkah
Dibandingkan dengan Madinah, keberadaan sufi perawi yang berada di kawasan Mekkah cenderung lebih sedikit jumlahnya. Tercatat hanya ditemukan sebanyak 13 orang saja, dari generasi tābi‘īn sebanyak lima orang dan delapan orang dari generasi atbā‘ at-tābi‘īn. Di samping itu pula, rata-rata jumlah riwayat dari mereka juga cenderung sedikit.
Mengenai hal ini, al-Jawābī menjelaskan bahwa Mekkah setelah ditinggal hijrah oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya cenderung sepi dari aktifitas keilmuan hingga Nabi saw mengutus beberapa sahabat Nabi saw untuk berdakwah di sana.126 Selain itu, aktivitas keilmuan di Mekkah biasanya hanya terjadi ketika musim haji tiba. Sufi perawi yang tercatat di sana, di antaranya adalah: ‘Aṭā` bin Abī Rabbāḥ (w. 114 H); Sufyān bin ‘Uyainah (w. 198 H); dan Fuḍail bin Iyāḍ (w. 178 H).
3. Basrah
Berbeda dengan dua kawasan sebelumnya, Basrah merupakan salah satu kawasan yang ramai dengan pemikiran-pemikiran keislaman saat itu. Basrah telah menjadi tempat rujukan bagi mereka yang ingin bergumul dalam dunia
126 al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī
keilmuan Islam, terutama dalam periwayatan hadis dan tradisi kesufian. Mengenai tradisi periwayatan hadis, Basra banyak di datangi dan bahkan ditinggali oleh beberapa sahabat besar, seperti: Anas bin Mālik, Abū Mūsa al-Asy’arī, dan Ibnu ‘Abbās. Oleh karenanya, proses transmisi hadis di kawasan ini menjadi semarak dan meluas. Tercatat bahwa Anas bin Mālik telah meriwayatkan hadis di kawasan ini sebanyak 2286 hadis dan memiliki murid sekitar 200 orang.127
Selanjutnya, Abū al-‘Alā ‘Afīfī juga mencatat bahwa Basra pada saat yang sama juga telah menjadi markas bagi tradisi sufistik saat itu.128 Hal ini dibuktikan dengan munculnya beragam perilaku yang ekstrim (tajrībah rūhiyah) dalam upaya membentuk karakter jiwa yang suci dan bersih, seperti selalu berpuasa dan sejenisnya. Maka, tidaklah mengherankan jika banyak ditemukan sufi perawi hadis di kawasan ini. Paling tidak terdapat 64 sufi perawi di kawasan ini. Dua puluh sembilan di antaranya adalah tābi‘īn, tiga puluh tiga adalah
atbā‘ at-tābi‘īn, dan dua yang lainnya adalah tab‘ al-atbā‘.
Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H), Ṡābit bin Aslam al-Bunānī (w. 127 H), Ayyūb as-Sikhtiyānī (w. 131 H), dan Yūnus bin ‘Ubaid (w. 139 H) adalah di antara sufi perawi di Basrah.
127 al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī
asy-Syarīf, 27.
4. Kufah
Sebagaimana Basrah, Kufah juga telah menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan Islam, terutama setelah menjadi basis utama bagi pendukung ‘Alī bin Abī Ṭālib. Meski, oleh sebagian ulama, Kufah dikenal sebagai pusat bagi para pemikir rasional (ahl ar-r’a’y). Meski demikian, pada kenyataannya pula, Kufah menjadi magnet bagi mereka yang ingin mencari dan meriwayatkan hadis. Karena, banyak sekali sahabat Nabi saw yang pindah dari Madinah dan menetap di kawasan ini, seperti ‘Alī bin Abī Ṭālib, Ibnu Mas‘ūd, dan Sa’d bin Abī Waqqāṣ. Jadi, proses transmisi periwayatan hadis di kawasan ini mulai muncul dan berkembang pesat.129
Selain tradisi periwayatan hadis, tradisi sufistik juga mulai muncul dan berkembang di kawasan ini. Bahkan seorang sufi yang pertama kali mendapat julukan aṣ-ṣūfī juga berasal dari sini, yaitu Abū Hāsyim al-Kūfi dan Jābir bin Ḥayyān.130 Oleh karenanya, setidaknya terdapat 75 sufi perawi yang berasal dari Kufah. Bahkan jumlah tersebut lebih banyak dari sufi perawi Basrah yang hanya berjumlah 64 orang.
Mereka tersebar dalam tiga generasi. Generasi tābi‘īn sebanyak 33 orang, generasi atbā‘ at-tābi‘īn sebanyak 37 orang, dan generasi tab‘ al-atbā‘ sebanyak 5 orang. Rabī’ bin Khuṡaim
129 al-Khaṭīb, Uṣūl al-Ḥadīṡ: ‘Ulūmuhu wa Muṣṭalaḥuhu, 119.
130 Menurut ‘Afīfī, bahwasanya tradisi sufistik yang muncul di kawasan Kufah pada dasarnya telah banyak dipengaruhi oleh komunitas Syi’ah saat itu. Lihat ‘Afīfī,
(w. 63 H), Aswād bin Yazīd an-Nakhā‘ī (w. 75 H), dan Sufyān aṡ-Ṡauri (w. 161 H) adalah di antara sufi perawi dari Kufah. 5. Syam
Pasca perpindahan pusat kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus oleh dinasti Umawiyah, Damaskus, bagian dari Syam, telah menjadi pusat peradaban baru serta menjadi markas ilmu pengetahuan Islam. Salah satunya, menjadi pusat riḥlah bagi para pencari hadis. Tradisi periwayatan hadis di kawasan ini diawali dengan banyaknya sahabat Nabi saw, seperti: Mu‘āż bin Jabal (w. 18 H), Abū ad-Dardā` (w. 32 H), dan ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit (w. 34 H), yang berdatangan ke kawasan ini dan kemudian mengajarkan serta meriwayatkan hadis. Berbeda dengan tradisi hadis, tradisi sufistik di kawasan in baru terlihat dan berkembang pada abad ketiga hijriah. Tokoh yang terkenal saat itu adalah Abū Sulaimān ad-Dārānī (w. 215 H).131
Meski demikian, berdasarkan telaah peneliti, ditemukan setidaknya 44 sufi perawi di kawasan ini. Generasi tābi‘īn sebanyak 18 orang, generasi atbā‘ at-tābi‘īn sebanyak 17 orang, serta generasi tab‘ al-atbā‘ sebanyak 9 orang. Mereka tersebar di berbagai daerah di Syam, seperti di Damaskus, Homs, Harran, dan Antakya. Mereka yang terkenal adalah Rajā` bin Ḥaiwah (w. 112 H), Makḥūl al-Faqīh (w. 110 H), Aḥmad bin Abī al-Ḥawārī (w. 246 H).
6. Mesir
Sebagaimana kota-kota besar Islam saat itu, Mesir juga menjadi pusat migrasi oleh beberapa sahabat Nabi saw. Tercatat beberapa nama di antaranya adalah ‘Amr bin al-‘Āṣ (w. 43 H) dan putranya sendiri, Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Āṣ (w. 63 H) yang memiliki riwayat hadis sekitar 700 hadis.132 Perihal tradisi sufistik di Mesir, sebagaimana Syam, tradisi tersebut baru terlihat pada sekitar awal abad ketiga hijriyah. Hal itu ditandai dengan munculnya tokoh semisal Żūn Nūn al-Miṣrī (w. 245 H) yang memiliki pengaruh dan sumbangsih besar dalam pemikiran tasawuf.133
Oleh karenanya, sangat wajar jika dalam rentetan generasi sejak tābi‘īn hingga tab‘ al-atbā‘, sufi perawi banyak dijumpai pada generasi atbā‘ at-tābi‘īn yang berjumlah 13 orang. Generasi tābi‘īn hanya empat orang dan generasi tab‘
al-atbā‘ hanya dua orang. Jadi, sufi perawi di Mesir secara
keseluruhan berjumlah 19 orang, dan di antaranya adalah Abdullah bin Wahb (w. 197 H) dan Ḥaiwah bin Syuraiḥ (w. 58 H).
7. Bagdad
Bagdad, sebagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan Islam, baru muncul ketika kota ini dijadikan pusat pemerintahan oleh Abū Ja’far al-Manṣūr, Khalifah pertama dinasti Abbasiyah,
132 al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī
asy-Syarīf, 31.
sekitar tahun 136-158 H. Oleh karena itu, tidak terdapat sahabat maupun tābi‘īn yang tercatat tinggal di kawasan ini. Baru pada generasi atbā‘ at-tābi‘īn, Bagdad menjadi sentral periwayatan hadis.134 Hal senada juga terjadi pada tradisi sufistik, madrasah Tasawuf di Bagdad baru muncul dan terlihat pada sekitar awal abad ketiga hijriyah, dan salah satu tokoh yang terkenal adalah al-Ḥāriṡ al-Muḥāsibī (w. 243 H).135
Kedua hal tersebut sesuai dengan temuan yang ada, bahwa sufi perawi baru muncul pada generasi atbā‘ at-tābi‘īn dan generasi tab‘ al-atbā‘. Sufi perawi pada generasi atbā‘
at-tābi‘īn tercatat hanya empat orang. Pada generasi tab‘ al-atbā‘
sebanyak 14 orang. Fenomena periwayatan di Bagdad ini jelas berbeda dengan kawasan sebelumnya. Jika kawasan yang lain rata-rata jumlah sufi perawi mengalami penurunan pada generasi tab‘ al-atbā‘. Akan tetapi, periwayatan dari kaum sufi di Bagdad pada generasi ini malah mengalami peningkatan.
Menurut Abū al-‘Alā ‘Afīfī, hal tersebut terjadi karena ketika Bagdad telah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam, terutama tasawuf.136 Kemudian, di sisi yang lain, tradisi sufistik yang berada di kawasan Basrah mulai lemah, dan Bagdad menjadi arus baru dalam tradisi sufistik yang mewarisi dua pusat tradisi sufistik generasi awal, yakni tasawuf mazhab
134 al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī
asy-Syarīf, 34.
135 at-Taftāzānī and Utsmani, Madkhal ilā at-Taṣawwuf al-Islāmī, 94. 136 ‘Afīfī, at-Taṣawwuf: aṡ-Ṡaurah ar-Rūḥiyah fī al-Islām, 89.
Basrah dan tasawuf mazhab Madinah. Yang pertama banyak dipengaruhi oleh unsur teologi, terutama Mu‘tazilah, dengan tokohnya yang terkenal Abū al-Ḥāriṡ al-Muḥāsibī (w. 243 H). Adapun yang kedua banyak dipengaruhi oleh tradisi hadis dengan tokohnya Aḥmad bin Ḥanbal (w. 241 H).
8. Khurasan
Menurut Aḥmad Amīn, sebagaimana dikutip oleh al-Jawābī, Khurasan merupakan nama kawasan untuk empat kota besar di kawasan luar Arab, yakni Naisabur, Merv, Herat, dan Balkh.137 Kawasan ini tercatat telah didatangi oleh beberapa sahabat Nabi saw, di antaranya adalah Buraidah bin Ḥuṣaib al-Aslamī, Ḥakam bin ‘Amr al-Giffārī, ‘Abdullah bin Khāzim, dan Qais bin Sa’īd bin ‘Ubādah.138 Jadi, bisa dikatakan bahwa proses transmisi hadis sudah ada sejak generasi awal.
Meski demikian, Khurasan belum terkenal sebagai pusat kajian hadis kecuali pada akhir abad kedua hijriyah, dan ulama yang terkenal saat sebelum itu hanya Abdullah bin Mubārak (w. 181 H). Kemudian, mulai awal abad ketiga hijriyah, Khurasan terkenal sebagai pusat studi hadis, baik riwayat maupun kodifikasi. Oleh para intelektual Islam, Khurasan telah dikenal
137 al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī
asy-Syarīf, 35.
menjadi salah satu sentral bagi perkembangan ilmu hadis dan fikih.139
Selanjutnya, tradisi tasawuf juga telah muncul dan berkembang sejak sekitar akhir abad kedua hijriyah. Tradisi tersebut mendapatkan momentumnya ketika pada pertengahan abad ketiga hijriyah terjadi peralihan pusat tasawuf dari Balkh, yang merupakan pusat tertua tradisi tasawuf di Khurasan, ke Naisabur. Tasawuf di Naisabur pada dasarnya pula memiliki keterkaitan erat dengan madrasah Tasawuf di Balkh dan di Bagdad. Keterkaitan tersebut didasari oleh adanya jaringan pertemanan serta jaringan guru dan murid. Salah satu ciri khas dari tradisi tasawuf di sini adalah lahirnya golongan
al-Malāmatiyyah. Adapun tokoh yang terkenal di kawasan ini
adalah Abū Ḥafṣ al-Ḥaddād dan Ḥamdūn al-Qaṣār (w. 271 H).140
Demikian halnya dengan sufi perawi hadis, setidaknya ditemukan sebanyak 13 orang yang berasal dari kawasan ini. satu orang pada generasi tābi‘īn, empat orang pada generasi
atbā‘ at-tābi‘īn, dan delapan orang pada generasi tab‘ al-atbā‘.
Meski jumlah mereka tercatat lebih sedikit dari kawasan lainnya, namun terlihat mengalami peningkatan pada generasi
tab‘ al-atbā‘, sebagaimana di Bagdad. Mereka yang terkenal di
antaranya adalah Abdullah bin Mubārak (w. 181 H), Yazīd bin
139 al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī
asy-Syarīf, 37.
Abī Sa‘īd (w. 131 H), Ibnu Rahawaih (w. 238 H), dan Muḥammad bin Rāfi’ (w. 245 H).
Selain delapan kawasan tersebut, masih ada kawasan lain yang menjadi asal keberadaan dari sufi perawi hadis, di antaranya adalah Yaman, Wasit, Bukhara, Tarsus, Mosul, Isfahan, Taif, dan Hamadan. Akan tetapi, jumlah keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat sedikit sekali pada tiap generasi. Bahkan, ditemukan dua sufi perawi yang tidak diketahui secara pasti asal keberadaannya.
Adanya sufi perawi dalam sebaran kawasan tersebut dapat menjadi bukti bahwa interaksi antara tradisi hadis dan tasawuf sejak awal telah menjadi warna tersendiri bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam saat itu. Meski hal itu mengalami penurunan yang signifikan hampir di setiap kawasan pada generasi tab‘
al-atbā‘, yang notabene merupakan masa kejayaan bagi proses
kodifikasi hadis dan tradisi pemikiran tasawuf.
Satu hal yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut perihal sufi perawi adalah jumlah riwayat yang disampaikan oleh mereka dalam al-Kutub at-Tis‘ah, sebagaimana paparan tabel berikut:
Tabel 3.3. Jumlah Riwayat dari Sufi Perawi
No Jumlah Riwayat T AT TA Jumlah %
1 ≥ 1000 9 10 1 20 6.8
2 500 – 1000 7 4 1 12 4
3 100 – 500 24 11 4 39 13.3
No Jumlah Riwayat T AT TA Jumlah %
5 10 – 50 31 44 12 87 29.5
6 ≤ 10 20 57 28 105 35.5
109 138 48 295 100
Keterangan: T: Tābi‘īn, AT: Atbā' at-Tābi‘īn, TA: Tab‘ al-Atbā‘
Berdasarkan data jumlah riwayat sebagaimana disebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata sufi perawi tergolong yang sedikit meriwayatkan hadis (qalīl ḥadīṡ). Hal itu dapat dilihat dari jumlah perawi yang meriwayatkan hadis kurang dari sepuluh hadis, yang berjumlah 105 orang atau hanya 35.5% dari 295 sufi perawi yang tercatat. Jumlah tersebut bisa menjadi bertambah jika 87 sufi perawi yang meriwayatkan hadis mulai dari 50-10 hadis dikategorikan pula sebagai qalīl al-ḥadīṡ. Jadi, persentase mereka bertambah menjadi 65.1% dari 295 sufi perawi. Jika demikian adanya, maka sufi perawi hadis secara umum tergolong memiliki riwayat yang sangat sedikit dibanding dengan perawi lainnya.
Potensi qalīl al-ḥadīṡ yang sangat menonjol hampir di setiap