• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Periwayatan dan Hadis

MATA RANTAI PERIWAYATAN HADIS

A. Pengertian Periwayatan dan Hadis

1. Pengertian Riwayat

Periwayatan (riwāyah) adalah lawan kata dari haus (‘aṭsy) yang kemudian digunakan untuk seseorang yang membawakan sesuatu. Rawā artinya adalah mengalirkan alir, sedangkan pelakunya berarti rāwin. Kalimat ini digunakan untuk seseorang yang membawa ilmu atau kabar kemudian disampaikan sebagaimana air dialirkan.1 Jadi, periwayatan

(ar-riwāyah) ialah kegiatan penerimaan, penyampaian, serta

penyandaran hadis kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang yang menerima hadis dari seorang perawi, tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai pseriwayat hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya,

1 Aḥmad bin Fāris ar-Rāzī, Mu‘jam Maqāyis Al-Lugah, ed. ‘Abd as-Salām M. Hārūn (Beirut: Dār al-Fikr, 1979), II: 453.

maka orang tersebut juga tidak dinyatakan sebagai perawi hadis.2

Jadi, ada empat unsur yang harus dipenuhi dalam proses periwayatan hadis. Keempat unsur tersebut adalah (1) adanya

ar-rāwi, perawi hadis; (2) adanya al-marwī atau ar-riwāyah,

apa yang diriwayatkan; (3) adanya sanad atau isnād, susunan rangkaian para perawi; dan (4) adanya matn, kalimat yang disebutkan setelah sanad. Adapun kegiatan yang berkaitan dengan seluk-beluk penerimaan dan penyampaian hadis disebut dengan taḥammul wa adā’ al-ḥadiṡ.3 Dengan demikian, seseorang barulah dapat dikatakan sebagai perawi, apabila ia telah melakukan taḥammul wa adā` al-ḥadiṡ, dan hadis yang disampaikannya lengkap berisi sanad dan matan (Isma’il, 2005: 24).4

2 ‘Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Suyūṭī, Tadrīb ar-Rāwī fī Syarḥ Taqrīb

an-Nawāwī (Beirut: Dār Iḥyā’ as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1979), II: 225.

3 Taḥammul adalah menyampaikan hadis dan mengambilnya dari guru. Sedangkan adā’ adalah meriwayatkan hadis dan menyampaikannya kepada murid. Lihat dalam Maḥmūd aṭ-Ṭaḥḥān, Taisīr Musṭalaḥ al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), 32; Adapun cara penerimaan dan penyampaian hadis (ṭuruq at-taḥammul wa al-adā’) ada delapan, yaitu: mendengar dari guru (as-samā‘ min lafẓ asy-syaikh), membacakan hadis kepada guru (al-qirā’ah ‘alā asy-syaikh), otoritas periwayatan dengan lafal atau tulisan (al-ijāzah), memperoleh kitab (al-munāwalah), tulisan (al-kitābah), memberitahu (al-i‘lām), wasiat (al-waṣiyyah), dan menemukan (al-wijādah). Untuk informasi lebih detailnya dapat dibaca di ‘Uṡmān bin ‘Abd al-Raḥmān Ibnu aṣ-Ṣalāḥ,

Muqaddimah Ibnu aṣ-Ṣalāḥ (Beirut: Dār al-Fikr, 1986), 132; as-Suyūṭī, Tadrīb ar-Rāwī fī Syarḥ Taqrīb an-Nawāwī, I: 418; Iyāḍ bin Mūsā Al-Yaḥṣubī, al-Ilmā‘ ilā Ma‘rifah Uṣūl ar-Riwāyah wa Taqyīd as-Samā‘, ed. Al-Sayyid A. Ṣaqar (Kairo: Dār

al-Turāṡ, 1970), 68.

4 M. Syuhudi Isma’il, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis Dan

2. Pengertian Hadis

Ḥadīṡ menurut bahasa adalah sesuatu yang baru. Ḥadīṡ

adalah kabar yang datang, baik sedikit maupun banyak. Adapun bentuk jama’/pluralnya adalah aḥādīṡ. Ḥadīṡ menurut istilah adalah segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang diriwayatkan pada Rasulullah setelah beliau diutus menjadi Nabi. Dengan definisi ini, maka sunnah lebih luas dari ḥadīṡ. Ketika para ahli ushul fiqh menyebutkan ḥadīṡ secara mutlak, maka yang dimaksud adalah sunnah qauliyyah (sunah yang berupa perkataan). Ini dikarenakan sunnah menurut mereka adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah selain al-Qur’an yang berupa perkataan, perbuatan dan penetapan dan patut dijadikan dalil syar’i. Khabar menurut muḥaddiṡūn adalah sinonim dengan ḥadīṡ dan mencakup apa yang diriwayatkan dari Rasulullah (marfū‘), sahabat (mauqūf) dan tābi‘īn (maqṭū‘).5

Sementara itu, ketika lafal ḥadīṡ disebutkan secara mutlak, maka artinya bisa jadi apa yang disandarkan pada Rasulullah, atau yang disandarkan pada sahabat atau tābi‘īn.

Khabar dan aṡar ketika disebutkan secara mutlak, maka yang

dimaksud adalah apa yang disandarkan pada Rasulullah dan yang disandarkan pada sahabat atau tābi’īn, kecuali ahli fikih

5 Muḥammad ‘Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Ḥadīṡ: ‘Ulūmuhu wa Muṣṭalaḥuhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), 18, 27-28.

Khurasān yang menamakan mauqūf sebagai aṡar dan maqṭū‘ sebagai khabar.6

Selanjutnya, sebagian ulama menyatakan bahwa antara hadis dan sunah memiliki titik persamaan, sekaligus juga memiliki titik perbedaan yang signifikan. Dikatakan sama jika melihat dari objek yang dimaksudkan yakni sesuatu yang berasal dari Rasulullah baik yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter, bentuk, atau kebiasaan baik sebelum diutusnya Rasulullah maupun sesudahnya. Jadi, apapun yang berkaitan dengan pribadi Rasulullah, baik dalam hal keteladanan, kepemimpinan, akhlak, dan lainnya, merupakan sunah dan hadis sekaligus. Hal yang berbeda ketika yang dimaksudkan dengan hadis adalah rekaman atas ragam perkataan, aktifitas, serta sikap Rasul saw, maka hadis menjadi sangat berbeda dengan sunah. Artinya, hadis menjadi bagian dari rekaman sunah Rasul, dan bukan sebaliknya.

Mengenai perbedaan itu, ‘Abdurraḥmān bin Mahdī (w. 198 H) berkata: “Sufyān aṡ-Ṡaurī (w. 161 H) adalah imam dalam sunnah dan ḥadīṡ, sedangkan Syu‘bah bin al-Ḥajjāj (w. 160 H) adalah imam di dalam ḥadīṡ dan tidak imam di dalam

sunnah. Kemudian dia juga berkata: “Aku tidak melihat orang

yang lebih mengetahui sunnah dan ḥadīṡ yang masuk dalam sunah lebih dari Ḥammād bin Zaid (w. 179 H).”7

6 al-Khaṭīb, Uṣūl al-Ḥadīṡ: ‘Ulūmuhu wa Muṣṭalaḥuhu, 27-28.

7 ‘Abd ar-Raḥmān bin Muḥammad Ibn Ḥātim ar-Rāzī, Mu‘jam Maqāyis

Ibnu aṡ-Ṣalāḥ (w. 643 H/1245 M) pernah ditanya tentang makna kalimat pertama. Dia mengatakan: “sunnah di sini adalah lawan dari bidah. Terkadang seseorang ahli dalam ḥadīṡ, tetapi tidak ahli dalam sunnah.” Sulaiman al-A‘masy (w. 148 H) juga berkata: “aku tidak mengetahui kaum yang lebih utama dari kaum yang mencari ḥadīṡ dan mencintai sunnah.”8.

Abū al-Ḥasan an-Nadwī (w. 1420 H/1999 M) mengatakan bahwa ḥadīṡ adalah segala realitas yang disandarkan pada Rasulullah walaupun cuma dilakukan sekali dalam hidupnya atau yang diriwayatkan seseorang saja, yaitu

ar-riwāyah al-lafẓiyyah (riwayat perkataan) tentang perkataan,

perbuatan dan kondisi Rasulullah. Adapun sunah adalah perbuatan yang terus menerus (mutawātir) yang diambil dari Rasulullah kemudian dari sahabat dan tābi’īn dan orang yang sesudahnya walaupun tidak mutawatir perkataannya. Hal tersebut adalah metode yang mutawātir untuk beramal dengan al-Qur’an dan Hadis, karena sunah adalah interpretasi praktis terhadap al-Qur’an.9